Kamis, 20 Agustus 2015


TRAUMA - VAKOG - BELAJAR
(Memanfaatkan pola terbentuknya pengalaman traumatik untuk memahami proses belajar)

Punya pengalaman traumatik?
Beruntunglah, berarti anda tahu anda bisa belajar dengan cepat namun bertahan lama ...

Lho kok bisa ....?

Pengalaman traumatik tersimpan dalam memori kita begitu kuat. Ingatan itu muncul dan biasanya disertai emosi tertentu saat ada suatu stimulus yang memicunya.

Sementara mempelajari suatu subjek juga terkait dengan memori. Kita berusaha menyimpannya agar kelak dapat dimunculkan saat kita kehendaki.

Pola trauma dan pengalaman belajar pada dasarnya sama. Tapi mengapa kita kerap merasa kesulitan belajar dan mengingat suatu hal?

Yang membuat pengalaman traumatik begitu erat tersimpan dalam memori kita adalah karena pengalaman tersebut terkait dengan seluruh sensori yang memiliki intensitas sangat kuat. Dan keseluruhannya tersebut menjadi anchor dengan emosi negatif tertentu.

Contohnya, seseorang yang pernah menjadi korban kekerasan fisik, maka:
1. Sensori visualnya merekam, bagaimana wajah marah dari si pelaku kekerasan. Ia melihat matanya yang melotot, gigi yang menggigit keras, wajahnya merah padam atau bahkan pucat, dll.
2. Sensori auditorinya merekam, bagaimana suara bentakan dan suara pukulan yang begitu keras, atau bahkan suara musik atau suara lainnya yang terdengar saat peristiwa kekerasan itu terjadi.
3. Sensori taktilnya merasakan perihnya cubitan, pukulan, tamparan, apalagi bila sampai luka dan berdarah. Ada lengketnya darah yang terasa.
4. Sensori penciuman menghirup aroma tubuh atau parfum si pelaku, aroma udara di tempat itu, atau bahkan bau darah yang mengalir.
5. Sensori pengecapan mungkin merasakan asamnya air ludah yang muncul saat rasa mual datang dan menaikkan asam lambung ke mulut.

Semua sensori itu diasosiasikan dengan rasa negatif tertentu. Yang semakin sensori itu kuat, maka perasaan negatif itu pun menjadi bertambah kuat dan terekam erat dalam memori kita. Kapanpun stimulus sensori yang sama muncul, misalnya saat mendengar bentakan, maka segera memicu memori dan emosi yang kurang lebih sama.

Colek juga Che Moels, Eka Kurniasih

Kalau begitu, ketika kita ingin belajar dan menyimpan pengetahuan dalam memori kita dengan begitu kuat, maka pola yang sama dapat kita lakukan namun, kaitkan dengan emosi positif.

Belajarlah dengan mengaktifkan seluruh sensori.
1. Gunakan warna warna dan tampilan visual yang menarik atau tampilkan wajah dengan senyum cerah saat mengajar.
2. Gunakan musik, lagu atau suara yang bersemangat dan menyenangkan.
3. Lakukan gerakan, sentuhan/usapan atau tepukan yang memberikan semangat.
4. Hirup udara yang segar, misalnya belajar di alam terbuka, atau di tempat yang bersih.
5. Dan bila dibutuhkan sajikan makanan yang menimbulkan semangat belajar lebih meningkat.

Seluruh sensori yang menyenangkan ini akan berasosiasi dengan emosi yang menyenangkan. Sehingga kapanpun kita menghadapi stimulus yang menyenangkan ini, maka sebanyak mungkin memori yang terkait dengan stimulus ini pun akan muncul.

Pemahaman ini membuat saya teringat perkataan seorang teman, "Saya dulu diajari dengan keras. Saya dipukul kalau salah menjawab pertanyaan, tapi saya jadi ingat pelajarannya. Kenapa kita sekarang harus membuat anak mengingat dengan cara menyenangkan?"

Jawaban saya;
"Kita sudah tahu bahwa baik dengan kekerasan maupun dengan cara menyenangkan, seseorang tetap bisa mengingat. Kalau boleh anda memilih, anda ingin belajar dengan cara yang mana? Dengan pengalaman traumatis yang membuat anda malas belajar di kemudian hari, atau dengan pengalaman menyenangkan yang membuat semangat belajar kita terpelihara?

*Istilah trauma dibatasi untuk pengertian psikologi, bukan medis.
*VAKOG= visual (penglihatan). auditori (pendengaran), kinestetik (gerakan), Olfaktori (penciuman), Gustatori (pengecapan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...