Kamis, 20 Agustus 2015

Berulang kali saya ditanya tentang kontroversi penggunaan kata JANGAN dan TIDAK. Ada sebagian orang mengatakan agar para orangtua menghindari mengatakan JANGAN dan TIDAK kepada anak, sementara di sisi lain kitab-kitab suci termasuk Al Qur'an banyak menggunakan kata JANGAN dan TIDAK dalam berbagai ayatnya.
Ini pendapat saya;
-------------------------------------------------------

IKUTI BAGAIMANA AL QUR'AN DAN ASSUNNAH "BERBICARA"
(Terkait kata JANGAN dan TIDAK dalam konteks pendidikan anak)

1. Cek ayat-ayat dalam Al Qur'an atau sabda nabi yang menggunakan kata JANGAN atau TIDAK. Lihatlah bahwa sekalipun ada kata JANGAN dan TIDAK, diikuti dengan:
- Alasan atau reasoning kenapa perilaku itu dilarang, dan/atau
- Ada perilaku alternatif yang disarankan.

Misalnya, saya ambil contoh ayat dari surat Luqman, "Wahai anakku, JANGANLAH engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar.” atau contoh lain, "maka sekali-kali JANGANLAH kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan JANGANLAH kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan."

Pertanyaan saya (harap dijawab jujur dalam hati saja), apakah setiap kita melarang dengan kata JANGAN pada anak, kita (orangtua atau guru) mengiringi dengan penjelasan atau menunjukkan perilaku yang diharapkan?
Yang saya lihat dalam keseharian adalah, orangtua hanya bilang JANGAN tapi kemudian tidak menjelaskan kenapa perilaku itu tidak boleh dan juga tidak menyampaikan perilaku apa yang diharapkan. Bahkan dalam banyak kasus melanjutkan dengan labelling, misalnya, "JANGAN ribut, kamu ini bandel banget sih ... "

2. Anak berbeda dengan orang dewasa.
Orang dewasa sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk bertindak dan mengambil keputusan. Anak, pengetahuannya masih terbatas. Ketika ada ayat "Dan JANGANlah kamu mendekati zina.." maka orang dewasa tahu apa pilihan lain yang bisa dilakukannya selain zina. Menikah, menundukkan pandangan, shaum, dll.

Tapi anak tidak begitu. Sehingga ketika anak dilarang, maka perlu diberitahu apa yang bisa ia lakukan. Tidak cukup hanya berkata, "JANGAN ribut!". Lalu kalau tidak boleh ribut, bolehnya ngapain? Yang terjadi adalah anak akan trial error melakukan banyak hal, yang seringkali membuatnya bingung, karena seolah tak ada yang bisa dilakukan. Dalam kondisi seperti ini baik orangtua maupun anak berpeluang menjadi emosi. Kenapa tidak dikatakan, "JANGAN ribut, adik sedang tidur nanti bangun. Gimana kalau kamu main di luar, atau gimana kalau kamu baca buku dulu."

JANGAN itu seperti rem pada kendaraan. Ketika ada bahaya, maka kita mengerem. Tapi setelah itu kita tidak bisa diam di situ terus, kita harus maju lagi. "Maju lagi" itu analogi dari "apa yang perlu dilakukan anak"

3. Hukum bagi anak berbeda dengan hukum bagi orang dewasa.
Ada banyak hal yang dilarang dilakukan oleh orang dewasa tapi dimaafkan apabila dilakukan anak. Oleh karena itu cara memberi tahu anak menjadi berbeda karena konsekuensi hukumnya juga berbeda.

4. Dalam banyak hal, ammar ma'ruf didahulukan daripada nahi munkar. Dahulukan mengajak pada kebaikan daripada melarang. Itu pendapat saya.

5. Cara kerja otak itu unik, karena lebih mudah bagi otak untuk menyimpan stimulus visual. Kalau saya bilang "JANGAN membayangkan gajah warna pink" maka otomatis kita akan membayangkan gajah warna pink. Itu kenapa beberapa ahli menyarankan kita (untuk mempercepat proses penerimaan stimulus) adalah dengan menyampaikan kata atau kalimat yang lebih cepat diterima otak, misalnya, 'Bayangkan gajah yang berwarna coklat." maka otomatis gajah pink tidak akan terbayang.

Saya pernah buktikan itu dan silakan teman-teman melakukan sendiri percobaan kecil-kecilan. Ada seorang balita sedang disuapi. Di sebelahnya ada TV menyala menyiarkan film kartun. Matanya melirik terus ke TV sehingga mulutnya tidak mengunyah. Ibunya kesal, sehingga menegur, 'JANGAN nonton TV ..." Yang terjadi adalah anak itu terus menerus menengok ke TV dan ibunya menjadi kewalahan karena proses makan menjadi lama.

Singkatnya, kata JANGAN dan TIDAK, efektif bila orang yang dilarang sudah memiliki sistem value yang kuat dan tahu apa alternatif perilaku apa yang bisa dilakukan selain yang dilarang.

Silakan katakan JANGAN dan TIDAK pada anak. Tapi PASTIKAN bahwa anak tahu apa perilaku lain yang BOLEH dilakukan. Kalau tidak, anak akan bingung dan stress.

*Tidak mungkin ada kata JANGAN dan TIDAK kalau tidak ada gunanya ...

Wallahu'alam
PSIKOLOG JUGA MANUSIA ....
(Dibaca dengan nada lagu "Rocker juga Manusia" yang dinyanyikan Candil saat masih bergabung dengan Seurieus) smile emotikon

Perkataan itu kerap saya ucapkan ketika ada saja orang yang terheran-heran menemukan ternyata psikolog juga punya masalah dalam hidupnya. Atau ketika ada orang yang berkata, "kamu gak mungkin bisa merasakan apa yang saya rasakan, karena kamu gak punya masalah kayak saya."


Masalah itu Sunnatullah, dia akan selalu datang dalam hidup manusia seiring dengan bertambah usia (psikologi perkembangan), bertambahnya pengetahuan dan ketrampilan (psikologi pendidikan), bertambah luasnya relasi (psikologi sosial), bekerja (psikologi industri), termasuk juga adanya benturan dorongan dan keinginan yang ingin dicapai (psikologi klinis).

Salah satu hal yang saya syukuri dari sekian banyak keberkahan yang tak terhitung adalah karena saya sempat belajar agama dan psikologi secara paralel pada waktu yang relatif sama. Agama menanamkan kesadaran pada saya adanya Zat yang Maha Kuasa, di sisi lain psikologi mengajarkan saya kenisbian manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya sebagai makhluk.

Bekal ini yang saya gunakan ketika saya menghadapi berbagai tantangan dan kondisi dalam hidup.

Seorang teman psikolog pernah berkata pada saya, bahwa psikolog dan psikoterapis yang baik bukan mereka yang hidupnya selalu mudah. Psikolog dan psikoterapis yang baik adalah mereka yang menghadapi tantangan dan dapat mengatasinya. Mereka ini berpeluang lebih besar untuk dapat berempati pada kesulitan orang lain. Karena mereka pernah merasakan stress, cemas dan bahkan mungkin depresi atau bentuk-bentuk emosi lainnya. Mereka tahu usaha sebesar apa yang perlu dilakukan. Mereka juga tahu bagaimana lelahnya menghadapi ini semua. Termasuk mereka juga tahu bagaimana caranya "beristirahat" dan memotivasi diri. Mereka tak mudah merendahkan masalah orang lain.

Setiap masalah biasanya terkait dengan kelemahan diri kita. Dan kalau kita memandang dengan cara pandang Tuhan. Maka masalah adalah cara Tuhan menunjukkan kelemahan kita dan mengajarkan bahwa, itu lho titik di mana kita perlu meningkatkan diri dan mencapai level manusia yang lebih baik.

Ada orang yang lahir dan dibesarkan pada keluarga yang kurang ideal sehingga ia kehilangan kesempatan untuk belajar hal-hal mendasar yang pada umumnya dikuasai orang lain yang tumbuh dari keluarga ideal. Maka pada satu titik di masa depan ia akan dihadapkan pada kekurangannya tersebut. Dan Tuhan selalu punya cara untuk "memaksa" kita mendorong diri melampaui batas standar yang kita miliki selama ini. Tuhan punya standar sendiri yang ingin agar kita mencapainya.

- Sulit memahami orang lain, Tuhan akan hadapkan kita pada kondisi di mana kita "harus" memahami dan bahkan melayani orang lain.
- Tidak sabar mengajari orang lain, Tuhan akan kirimkan orang yang menantang kesabaran dan ketelatenan kita untuk mengajarinya.
- Cenderung egois dan mementingkan diri sendiri. Tuhan akan membenturkan diri kita pada situasi di mana kita harus mendahulukan orang lain.
- Dlsb (Daftar ini bisa kita perpanjang)

Karena masalah dan tantangan adalah Sunnatullah, maka bergantung pada kesediaan kita untuk coping dan solving the problem. Stress dan libatan emosi saat menghadapi tantangan tersebut lebih banyak disebabkan kesediaan kita untuk menerima kondisi (acceptance). Semakin kita menolak, semakin kita tidak adaptif semakin tinggi libatan emosinya.

*Pahit dan manis sama saja. Selama itu semua datangnya dari Tuhan, maka pasti baik adanya.

KESUKSESAN VERSI ORANG INTROVERT
(Konteks acceptance dan adaptasi terhadap anak)

- Anak saya introvert banget bu, dia tidak mau mendengarkan kalau saya bicara. Tertutup sekali dan banyak rahasianya. Dia sampai bilang, 'Udah deh mama jangan nanya-nanya melulu, pusing'

+ Putri ibu senang main sama teman-temannya gak?

- Ya itu juga masalahnya, dia kalau sama teman-temannya sih gak masalah. Rame banyak ngomong. Tapi kalau sama saya nggak. Mau jadi apa dia nanti kalau introvert begitu.

----------

Istilah introvert dan ekstrovert kerap disederhanakan menjadi pendiam dan banyak bicara. Padahal tidak sesederhana itu. Introversi dan ekstroversi adalah berkaitan dengan bagaimana seseorang mengarahkan energi mentalnya.

Orang introvert lebih banyak mengarahkan energi mentalnya ke dalam diri, sehingga ia lebih sering melakukan refleksi. Ia membutuhkan waktu soliter lebih banyak untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu orang introvert senang melakukan aktivitas soliter seperti, membaca, menulis, menggunakan komputer, memancing. Seniman, penulis, pematung, insinyur, komposer dan para penemu seringkali adalah seorang introvert. Mereka lebih menyukai fokus pada satu aktivitas. Mengamati terlebih dahulu sebelum terlibat dalam suatu kegiatan. Dan berpikir serta menganalisis terlebih dahulu sebelum berbicara. Berbeda dengan seorang pemalu yang memiliki kecemasan dalam berinteraksi sosial. Orang introvert yang sehat, tidak memiliki kecemasan tersebut, namun memang lebih suka situasi soliter.

Sementara orang yang ekstrovert lebih banyak mengarahkan energi mentalnya ke luar diri. Ia merasa lebih terbangkitkan bila berada dalam kelompok atau melakukan relasi sosial yang intens. Sehingga ia nampak mudah terlibat dan beradaptasi dalam lingkungan baru. Bidang marketing, politik dan aktivitas-aktivitas sosial lebih menarik bagi mereka.

Ada satu istilah lagi yang relatif kurang dikenal, yaitu ambievert. Orang ini dapat berubah-ubah antara ekstrovert dan introvert.

Pada dasarnya tidak ada orang yang 100 persen introvert dan 100 persen ekstrovert. Dan sekalipun seseorang itu dominan pada satu kutub, maka tak ada salahnya juga menjadi orang seperti itu.

Oleh karena itu menjadi menarik ketika menyimak keluhan para orangtua mengenai anak-anaknya yang "dicurigai" introvert hanya karena mereka enggan berbicara dengan orangtuanya. Menurut saya di sini ada beberapa kesalahan berpikir.

Kesalahan berpikir yang pertama adalah menganggap bahwa introvert itu salah dan bermasalah sehingga mempunyai anak introvert menjadi "patut disesali."

Kesalahan berpikir yang kedua adalah menganggap bahwa introvert terkait dengan kemampuan bicara dan kesediaan mendengar. Padahal kemampuan bicara tidak ada hubungan dengan introvert. Dan karena orang introvert senang menyimak dan berpikir, maka kemampuan mendengar justru relatif lebih menonjol.

Kesalahan berpikir yang ketiga adalah mendefinisikan kesuksesan dengan paradigma ekstrovert, yaitu orang sukses adalah orang yang mudah bergaul, menarik ketika berbicara, asertif, dll.

Jadi kalau anak tidak mau berbicara dan mendengarkan orangtua, itu lebih karena situasi itu tidak menyenangkan atau bahkan mengancam baginya. Tidak ada hubungannya dengan introvert ataupun ekstrovert. Kalau setiap anak berbicara, langsung di-judge/dihakimi atau disalahkan, maka aktivitas berbicara dengan orangtua menjadi aktivitas yang kurang menarik dan anak akan enggan melakukannya.

Dan kalaupun anak adalah benar introvert, terima saja, dan ada banyak cara memanfaatkan kecenderungan introvertnya tersebut untuk menjadi sukses.

*Definisi introvert dan ekstrovert mengacu pada Carl Gustaf Jung.
ZERO MISTAKE AND ZERO TOLERANCE
(Konsep pendidikan anak)

"Anak saya tidak boleh main games bu. Kalau main games akan saya hukum"
"Kok nilainya hanya 9, masih ada yang salah ini"
"Kamu ini musti rajin belajar, jangan main melulu ... " (note: anak sekolah fullday Senin-Jumat, Sabtu-Minggu les)
"Kenapa kamu lihat-lihat BF, kamu bikin malu orangtua saja ..."
Dll ...

Ada saja saya menemukan orangtua yang memiliki standar "zero mistake" untuk anak-anaknya. Orangtua seperti ini juga biasanya menjadi "zero tolerance" pada kesalahan yang dibuat anak. Konsekuensi ikutannya adalah, orangtua cerewet dan mudah emosi. Anak patuh tapi stres. Atau anak oposisional, berontak dan melawan.

Konsep zero mistake dan zero tolerance sebetulnya baik bila ditempatkan pada tempat yang tepat, misalnya ketika kita bicara tentang pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan keselamatan. Pilot, Masinis, Dokter bedah syaraf, teknisi nuklir, apoteker atau orang-orang dalam bidang teknik yang berkaitan dengan operasional peralatan.

Hal yang kerap lupa atau luput diingat oleh orangtua kelompok ini antara lain:
1. Anak bukanlah mesin atau benda mati. Anak adalah makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang.

2. Berbuat salah pada anak adalah cara anak belajar. Kadang agak berbeda dengan orang dewasa yang seringkali melakukan kesalahan karena intensi atau dengan kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.

3. Orangtua lupa kalau dia dulu pernah menjadi anak dan juga melakukan kesalahan yang sama.

4. Melakukan kesalahan itu berbeda dengan karakter buruk.

5. Anak berbuat kesalahan tidak selalu karena mereka sengaja melakukan, tapi boleh jadi karena mereka belum belajar bagaimana cara yang benar. Biasanya ini terjadi karena lebih banyak larangan daripada contoh perbuatan yang benar.

6. Berbeda dengan cara berpikir induktif dalam sains bahwa yang paling benar itu hanya satu, maka dalam kehidupan sosial, yang ditandai dengan cara berpikir deduktif, hal yang baik dan benar itu bisa banyak. Sehingga kalau kita ingin mencapai tujuan maka ada banyak cara yang bisa kita lakukan, bukan hanya satu cara. (Note: ini bukan konteks bahasan agama)

7. Kesalahan memang memiliki konsekuensi, tapi respon emosi berlebihan terhadap kesalahan apalagi diikuti dengan label, cenderung kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.

8. Melakukan kesalahan bukanlah "kiamat". Perbaiki saja dan kemudian cari cara yang lebih baik. Banyak orang sukses, sebelumnya melakukan banyak kesalahan. Alih-alih terpuruk, mereka mencari jalan atau alternatif lain untuk mencapai tujuannya.

9. Manusia itu tidak seragam. Anak tidak selalu sama dengan orangtuanya bahkan dengan saudaranya sekalipun. Sehingga cara yang efektif bagi seseorang belum tentu efektif buat orang lain.

10. Dan anak bukanlah nabi. Mereka manusia yang tidak sempurna. Ada kelemahan meskipun pasti ada kelebihannya juga.

Last but not least, kita sendiri sebagai orangtua menyadari penuh kelemahan kita sebagai manusia. Kalau kita ingin orang lain memahami dan berempati terhadap kesalahan-kesalahan yang kita buat, maka pahami dan berempatilah terhadap anak kita sendiri saat mereka melakukan kesalahan-kesalahan ....

Wallahu'alam

Note lagi: Tulisan ini berdasarkan observasi terhadap kasus-kasus real

THE POWER OF 'MODEL'
(Konteks pendidikan anak)

Model atau contoh itu memiliki kekuatan luar biasa. Kelihatannya semua orang sepakat dengan pernyataan tersebut. Baik dalam konteks keluarga, pekerjaan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Saking pentingnya, sehingga saat ada masalah, sangat sering orang menisbahkan kesalahan pada pemberi contoh. Anak yang berperilaku buruk, berarti orangtuanya tidak mencontohkan perilaku baik. Perilaku karyawan buruk, atasannya yang dituding. Dan bahkan ketika rakyat berperilaku buruk, pemimpinnya yang disalahkan.

Saya ingin bercerita tentang kekuatan contoh ini pada diri saya sendiri dalam konteks pengembangan putri saya yang memiliki kondisi khusus dan sangat jarang terjadi. Dulu saya mendapat info bahwa hanya 10.000 : 1 kondisi yang terjadi pada putri saya. Itu pun saya tidak bisa memperoleh informasi memadai, karena orangtua lebih suka menyembunyikan kondisi anaknya daripada bersikap wajar dan memperlakukan anaknya yang berkebutuhan khusus sama seperti anak-anak lainnya.

Sejak tahun 1994 hingga 1,5 tahun kemudian, saya betul-betul kebingungan bagaimana caranya untuk mengembangkan anak saya. Hal itu karena saya tidak memperoleh diagnosis dan informasi detail yang memadai. Baru pada tahun 1996 saya memperoleh titik terang saat memperoleh diagnosis dari seorang dokter 'bule' dan didukung pula oleh dokter anak saya. Sejak saat itu usaha saya untuk melakukan treatment menjadi lebih fokus berdasar data yang diperoleh.

Satu hal yang saya lakukan cukup intens adalah mencari website yang berkaitan dengan kondisi putri saya. Saya juga bergabung dengan mailing list support group yang anggotanya berasal dari seluruh dunia. Tujuan saya adalah belajar bagaimana caranya saya harus memperlakukan putri saya. Saya benar-benar tak punya model atau contoh di lingkungan saya.

Pada suatu hari saya menemukan website dari seorang penyandang. Ia dosen di sebuah universitas di Amerika dan memiliki keluarga bahagia dengan beberapa anak. Seperti sebuah keajaiban, percaya atau tidak, semangat saya tiba-tiba meningkat sangat pesat. Pada awalnya, saya mengira bahwa anak saya akan bergantung selama hidupnya pada saya sebagai orangtua. Tapi setelah membaca dan berkenalan dengan para penyintas (survivor) ini, saya menjadi yakin bahwa anak saya dapat memandirikan dirinya dan membuat pencapaian bernilai bagi diri dan lingkungannya.

Rencana pendidikan anak pun menjadi lebih tertata dan lebih fokus pada tujuan besar di masa depan.

Menyadari pengaruh luar biasa yang bisa diperoleh dari model/contoh, maka hal itu juga yang kerap saya lakukan, baik dalam konteks pengembangan anak maupun dalam konteks penanganan masalah orang lain. Ada beberapa cara pemanfaatan contoh yang saya lakukan:
1. Orang bisa mengambil contoh dari dirinya sendiri. Saya minta ia mencari dalam pengalaman hidupnya keberhasilan yang pernah ia lakukan dan kemudian ia saya minta mengikuti pola keberhasilan tersebut.
Misalnya, orang yang merasa kurang berhasil berkomunikasi dengan anak, saya minta untuk mencari kapan, di mana dan dengan siapa ia pernah berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Pola itu yang ditiru sehingga ia bisa berkomunikasi dengan baik dengan anaknya.

2. Mengambil contoh dari orang di lingkungan terdekat.
Misalnya, pernah ada seorang ibu yang kesulitan untuk mengekspresikan kasih sayangnya pada anak. Saya minta ia melihat di lingkungan, entah itu orangtuanya, saudaranya, sahabat, tetangga, dll. orang yang menurutnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengekspresikan perasaan. Pelajari dan ikuti polanya.

3. Belajar dari kisah-kisah orang-orang besar dulu dan sekarang, termasuk para nabi dan pemuka agama. Itulah mengapa saya senang membaca biografi. Saya berusaha menemukan hal-hal menarik dalam hidup banyak orang dan mengambil pelajaran dari situ. Perkembangan media sekarang yang luar biasa memudahkan hal ini. Orang bukan hanya belajar dari buku, koran, TV, radio tapi juga melalui media sosial, blog, website dan juga youtube. Elanto si pemberani itu juga sebetulnya sudah banyak contohnya di luar negeri (ada video-videonya di YT). Semoga ia menambah contoh di Indonesia sebagai orang yang berani menegur kesalahan dan menyadarkan orang pada hal yang benar.

4. Bagi para orangtua, saya lebih suka menyarankan mereka mengubah perilakunya sehingga menjadi contoh bagi anak, karena ini jauh lebih mudah dan berkekuatan daripada orangtua mencari cara menasihati anak atau "menyuruh" psikolog menggantikan tugas orangtua untuk menasihati anaknya.

Sungguh, bertaburan banyak contoh dalam diri maupun di lingkungan. Dari dulu hingga sekarang. Pilih yang baik dan manfaatkan ...

-----

*Putri saya menyandang Crouzon Syndrome, gangguan dalam perkembangan tulang tengkorak kepala yang mempengaruhi fungsi seluruh organ di kepalanya.


MENGAJARKAN *SUNNATULLAH PADA ANAK
(Konteks pendidikan anak di rumah)

- Anak saya itu kalau minta barang sama ibunya gak dikasih, dia akan minta sama saya, Mbak.

+ Lalu ...?

- Ya saya kasih lah. Cuma mainan harga segitu, saya ada uangnya pula untuk membelikan. Kita kan sayang sama anak. Jarang ketemu pula. Lagian kita cari uang kan buat anak.

+ Apakah anak jadi patuh?

- Ini masalahnya, anak saya susah kalau diberi tahu. Gak mau nurut. Kalau ibunya yang ngasih tahu suka cerewet. Dia gak mau mendengar. Saya sih kan memang jarang ketemu. Saya sering kerja di luar kota.

+ Sekarang usia berapa anaknya?

- 20 tahun bu

+ Bukan anak lagi dong ya. 20 tahun berarti sudah dewasa.

- Ya tapi kelakuannya masih seperti anak-anak. Manja, suka gelendotan dan gampang ngambek kalau keinginannya tidak dikasih.

+ Ada konsekuensi tidak kalau putri bapak melakukan kesalahan?

- Tidak ada

+ Dan kapan dia bisa mendapat apa yang diinginkan, selain kebutuhan primernya.

- Mmmmhhhh .... gak ada waktu tertentu bu. Dia selalu dapat apa yang diinginkan. Ya kita sampai sejauh ini tidak kesulitan untuk memberikan yang dia mau.

.................

Ketika kita bicara tentang anak, maka itu bukan hanya bicara tentang bagaimana menyenangkan anak. Kita juga mengajari anak tentang hukum atau aturan dalam kehidupan nyata. Beberapa orang menyebutnya sebagai Sunnatullah.

Dalam kehidupan nyata, maka apapun yang kita lakukan selalu ada konsekuensinya. Jika kita berbuat baik, maka akan memperoleh kebaikan. Dan jika kita berbuat buruk, maka akan memperoleh keburukan. Memang kadang tidak sesederhana itu, namun sebagian besar hal mengikuti "hukum" tersebut. Itulah yang kita ajarkan pada anak, ketika kita mengajarkan konsekuensi pada anak di rumah.

Sekalipun orangtua memiliki harta yang banyak, perlu dipilah dan dibedakan antara kebutuhan dan keinginan. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan, seperti misalnya, makanan, pakaian, kebutuhan sekolah, maka beberapa orangtua bisa memberikan tanpa kendala. Tapi untuk hal-hal yang berkaitan dengan keinginan, maka anak harus belajar bagaimana berusaha memperolehnya.

Apa yang diinginkan dijadikan sebagai cara untuk mendorong anak berusaha. Sementara mengurangi atau menghilangkan apa yang diinginkan adalah konsekuensi negatif dari kesalahan yang dibuat.
Misalnya, anak ingin menonton film. Kalau itu hanya bersifat entertain/hiburan, maka dia hanya bisa memperolehnya setelah berusaha. Misalnya setelah dia mengerjakan tugas baik rumah maupun sekolah. Tapi kalau dia tidak mengerjakan tugas, maka dia tidak mendapat apa yang diinginkan.

Ada kendali yang perlu diajarkan, ada kemampuan menunda kepuasan yang perlu dibiasakan dan itu semua diajarkan dengan alamiah. Orangtua adalah pemegang amanah sehingga memiliki otoritas untuk mengatur dan memimpin. Dan bicara tentang memimpin bukanlah bicara tentang memaksa. Akan tetapi bicara tentang kewibawaan, kompetensi, trust, dan kemampuan mempengaruhi.

Wallahu'alam

*Sunnatullah = Ketetapan Allah.
Sebagian orang berpendapat bahwa Sunnatullah hanya terkait hal-hal yang bersifat fisik.
Namun sebagian lagi berpendapat bahwa Sunnatullah melingkupi semua hal yang terkait ketentuan atau ketetapan Allah baik yang bersifat fisik maupun dalam kaitannya dengan sosial.


EMOSI YANG BERANAK-PINAK
(Konsep emosi dalam Emotion Focused Therapy)

Seorang anak menangis sedih karena bonekanya hilang.
Kesedihan ini adalah emosi primer yang disebabkan stimulus yang jelas, yaitu kehilangan boneka.


Tapi ketika seseorang membenci dirinya yang tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan, maka kebencian ini adalah emosi sekunder yang terjadi karena emosi yang lain (tidak berdaya).

Ada lagi ekspresi emosi yang diperalat atau dijadikan instrumen baik untuk mencapai tujuan sadar maupun tidak sadar. Emosi ini terjadi karena proses belajar atau latihan (conditioning) yang berulang, dan diperkuat ketika ia memperoleh konsekuensi yang sesuai dengan yang diharapkannya. Contohnya,
- Anak yang menggunakan tangisan untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
- Seorang suami yang melakukan kesalahan berulang, namun selalu minta maaf kepada istrinya dengan merayu dan membelikan barang mahal, sehingga istrinya luluh dan akhirnya menerima kembali suaminya.
- Sebaliknya dengan pola yang sama adalah istri yang merajuk (ngambek) kepada suaminya sehingga akhirnya suaminya mengalah mengikuti keinginan istrinya.
- Contoh yang dipandang bisa diterima oleh lingkungan, adalah seorang sales yang tersenyum dengan maksud agar orang mau membeli barang yang dijualnya.

Respon emosi instrumen yang sering dipakai dan melekat begitu kuat pada diri seseorang, menjadi "topeng" yang kerap tidak lagi disadari oleh ybs.

Respon emosi primer perlu diterima (accept), terutama bila respon itu bersifat adaptif. Misalnya sedih karena kehilangan, marah karena menghadapi kekerasan, takut atas ancaman, dll. Emosi tersebut adalah wajar karena bertujuan untuk mempertahankan diri. Berikan kesempatan orang tsb. untuk mengungkapkan perasaannya,

Ada respon emosi primer yang maladaptif. Untuk bentuk ini, maka orang perlu dibimbing untuk dapat menemukan kebutuhannya yang tepat sehingga dapat menampilkan respon emosi yang adaptif.

Respon emosi sekunder lebih kompleks karena bisa merupakan rantai emosi yang panjang. Dibutuhkan kemampuan khusus untuk mengeksplorasi respon emosi sekunder sehingga diperoleh rangkaian emosi yang membentuknya sehingga muncul emosi sekunder.

Respon emosi instrumental juga membutuhkan kemampuan khusus untuk mengeksplorasi dan membuat seseorang menemukan kesadaran diri agar ia bisa berfungsi dengan tepat dengan memanfaatkan ekspresi emosinya dalam situasi sosial.

Dalam banyak kasus anak, kerap terjadi orangtua mengabaikan respon emosi primer anak, sehingga respon emosi berubah menjadi sekunder atau bahkan instrumental.

Sementara banyak kasus dewasa, melibatkan respon emosi sekunder dan instrumental.


ANAK KEDUA, ANAKKU JUGA

"Anak saya yang kedua itu kok beda banget sama kakaknya, ya bu ... "

Saya sudah tak asing dengan kalimat itu. Baik orangtua yang mengeluh tentang anak keduanya, maupun tentang anak pertamanya. Poin-nya adalah bahwa anak kedua berbeda dari anak pertama.


Statistik memang menunjukkan hal tersebut. Sampai-sampai tema karakter terkait urutan atau posisi anak dalam keluarga menjadi tema khusus yang dibahas saat saya dulu belajar Psikologi Perkembangan (Manusia). Karena memang urutan anak ternyata adalah salah satu yang berpengaruh terhadap karakter anak.

Ada keinginan dan dorongan yang sangat besar pada diri manusia untuk menjadi dirinya sendiri yang utuh dan unik. Mereka tak suka dibandingkan dengan orang lain, hatta itu saudaranya sendiri padahal mereka membawa gen yang sebagian besar sama.

Dengan mekanisme yang unik hal itu yang terjadi pada anak kedua. Bila kakaknya pendiam, maka si adik kedua lebih rame. Sebaliknya bila kakak rame, maka adiknya pendiam. Kakak dan adik seringkali memiliki hobi yang berbeda dan memiliki kekuatan/kelemahan yang berkebalikan.

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan perbedaan itu. Hanya saja entah mengapa orangtua senang sekali membandingkannya. Masalahnya dengan membandingkan adalah orang yang dibandingkan kerap merasa dia diukur. Dan ukuran berarti melibatkan nilai mana yang lebih baik, dan mana yang lebih buruk.

Yang membuat anak merasa tidak nyaman adalah, bila orangtua bukan hanya menilai dan membandingkan tetapi juga memiliki preferensi atau lebih suka pada karakter satu anak daripada karakter anak yang lain. Dan preferensi itu tampil pada perlakuan, ekspresi, pemihakan orangtua, yang terasa jelas bagi anak dan mendorong respon alamiahnya. Perasaan diterima akan mendorong respon kooperatif, sedangkan perasaan ditolak akan mendorong respon caper (cari perhatian) baik dengan cara positif (menunjukkan prestasi) maupun cara negatif (nakal atau melanggar aturan).

Anak dengan cara uniknya mengingatkan pada orangtua, bahwa mereka hanya perlu diterima apa adanya. Karena mereka hadir dalam hidup kita adalah atas pilihan Sang Maha Tahu. Apakah anak pendiam, rame, cepat belajar, sensitif, banyak makan, banyak bergerak, dll. semua adalah pilihan Allah untuk memberi peluang bagi orangtua meningkatkan kualitas dirinya. Sekaligus mengingatkan bahwa anak pada hakikatnya adalah 'milik' Allah, dan hanya titipan bagi orangtuanya ....

Wallahu'alam


LDR
(Konteks pendidikan keluarga)

LDR atau singkatan dari Long Distance Relationship, seringkali dinisbahkan pada pasangan remaja yang berjanji menjalin hubungan namun tinggal di tempat yang saling berjauhan. Jarang istilah ini dikenakan pada pasangan yang sudah menikah yang karena satu dan lain hal terpaksa berpisah dalam jangka waktu relatif lama.


Istilah LDR ini muncul begitu saja saat saya menghadapi klien-klien pasangan suami-istri yang bertahun-tahun hidup terpisah karena tuntutan pekerjaan. Hanya beberapa bulan sekali sang suami pulang untuk bertemu keluarganya untuk kemudian kembali lagi ke tempat kerjanya.

Menarik ketika menyimak keluhan-keluhan yang muncul dari para istri, terkait keputus-asaan mereka menghadapi anak yang tidak disiplin. Sementara keluhan dari para suami adalah mereka kecewa karena anak tumbuh besar tanpa rasa tanggung jawab dan kesadaran bahwa mereka sudah dewasa.

Saya tahu, adalah gegabah bila saya menggeneralisir bahwa pasangan LDR menghasilkan anak-anak yang kurang disiplin dan kurang bertanggung jawab. Dan memang bukan itu arah kesimpulan saya. Saya jadi teringat pernyataan seorang psikolog senior, Ibu Elly Risman, bahwa seorang ayah memiliki tugas antara lain menegakkan aturan/disiplin, mengajarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan serta menanamkan konsep-konsep agama. Sementara seorang ibu memberikan pendekatan afektif (kasih sayang) untuk menumbuhkan kepekaan.

Kasus-kasus LDR yang saya amati seolah memperkuat pernyataan bu Elly tersebut. Bahwa ketika seorang ayah tidak menjalankan fungsinya, dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak sepenuhnya kepada istri, maka peluang ketidakseimbangan perkembangan anak menjadi cukup besar terjadi. Karenanya seorang ayah, sekalipun ia memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja, namun ia juga tetap memiliki peran crucial dalam pendidikan anak dan keluarganya terutama dalam hal kedisiplinan, mengajarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan serta penanaman nilai dan konsep-konsep agama.

*Dari "Program Pensiun Gaul" Eastparc Yogyakarta 070815


INTEGRITY VERSUS DESPAIR
(Konteks Menyikap Masa Pensiun)

Pada usia 40 hingga sekitar 60 tahun, maka biasanya orang mengalami pencapaian dalam aktivitasnya. Karir bagi laki-laki dan perempuan bekerja dan mengasuh serta mendidik anak bagi ibu rumah tangga.


Bagi mereka yang bekerja, maka mereka masuk ke dalam masa persiapan pensiun. Pada saat itu mereka akan menghadapi banyak tuntutan perubahan. Baik itu dalam hal ragam aktivitas maupun relasi sosial. Bagi beberapa orang yang masih memiliki anak yang perlu dibiayai sekolahnya, maka hal ini kadang membuat cemas. Karena di satu sisi masih ada tuntutan untuk memiliki pendapatan yang memadai, bahkan lebih tinggi. Di sisi lain, sumber pemasukan terancam berkurang.

Situasi ini yang kerap menimbulkan tense atau ketegangan yang lebih tinggi yang juga bisa menyerang kesehatan. Ketegangan juga bisa disebabkan oleh kesadaran pada masalah-masalah yang sebelumnya tidak disadari keberadaannya karena perhatian yang lebih terfokus pada aktivitas lain.

Keluhan mengenai, anak yang ternyata sulit dikendalikan, pasangan yang "mengecewakan", kecemasan harus menurunkan standar gaya hidup sebelumnya, kecemasan mengenai berkurangnya pemasukan yang akan berimbas pada kelangsungan hidup, dan kecemasan karena menurunnya kondisi fisik dll. adalah hal yang kerap muncul pada masa ini.

Mereka yang memiliki fondasi kuat dalam hal mental hanya perlu waktu sebentar saja untuk beradaptasi dengan situasi ini. Sementara mereka yang hidupnya kurang seimbang, terlalu fokus pada satu hal dalam hidup dan abai pada hal lainnya akan mengalami despair atau kekecewaan terhadap banyak hal.

*dari program "Pensiun Gaul Executive" di Eastparc Yogyakarta 060815


BASIC TRUST VERSUS MISTRUST - yws

(Konteks Perkembangan Psikososial Anak)

Bagaimana seorang ibu atau ayah menggendong atau membuai bayinya? Canggung, bingung, tidak percaya diri, kesal, bosan?
- "Saya gak bisa nggendong bayi, kagok, anaknya suka rewel. Biar ibu saya saja yang nggendong."
- "Takut bu, takut bayinya jatuh, habis dia menggeliat-geliat begitu seperti ikan mas baru ditangkap."
- "Ah anak bayi kan masih tidur melulu bu, gak usah terlalu banyak digendong-gendong lah, taruh di tempat tidurnya saja."
- "Bosan bu dan pegel juga, kita kan banyak kerjaan, masa harus gendong-gendong bayi terus."
- "Nggak deh, biar si Mbak nya aja yang pegang, repot."

Perkataan itu kebanyakan keluar dari para ibu muda atau para bapak. Ada yang kecanggungan dan keengganannya hanya berlangsung sekitar beberapa hari saja, namun juga ada yang berlangsung lebih lama hingga bertahun-tahun hingga anak merasa 'jablai' oleh orangtua kandungnya sendiri.

Apa hubungannya menggendong dengan trust dan mistrust yang dituliskan sebagai judul di atas? Basic Trust versus Mistrust adalah istilah yang diusung oleh Erik Erikson (Psikolog Jerman kelahiran Amerika, bukan orang Sunda smile emotikon ) dalam Teori Perkembangan Psikososial.

Menurut Erikson, perkembangan psikososial itu seperti anak tangga. Setiap anak tangga memiliki kerentanannya masing-masing. Bila kerentanan bisa dilalui dengan baik, maka akan menjadi fondasi kuat untuk melangkah ke 'anak tangga' berikutnya. Sementara bila kurang berhasil, maka akan membuat 'limbung' di tahap perkembangan berikutnya. Oleh karena itu setiap level pencapaian selalu ada dua kutub pencapaian, berhasil atau kurang/tidak berhasil.

2 tahun pertama adalah pembentukan trust atau rasa percaya anak kepada orang-orang di lingkungannya, terutama kepada orang-orang yang paling penting dalam hidupnya yaitu orangtua atau pengasuhnya. Trust menjadi dasar dari perkembangan psikososial selanjutnya, seperti pembentukan konsep diri, kepercayaan diri, kemampuan empati, relasi sosial, dst. Pembentukan trust itu diawali dari bagaimana orangtua/pengasuh melakukan pengasuhan, menatap, menggendong, membersihkan, mengenakan pakaian, memberi makan/minum, mengajak bercakap, bermain, dll.

Bayi adalah sosok yang tidak berdaya secara fisik sehingga ia bergantung sepenuhnya kepada orang dewasa di sekitarnya. Ia dapat merasakan siapa yang ikhlas dan penuh kasih sayang hanya dari bagaimana mereka menyentuh atau memperlakukannya. Bayi pun berespon sesuai dengan bagaimana stimulus yang diterimanya. Bila ia diperlakukan tergesa-gesa atau kasar, maka ia tidak nyaman dan akan rewel. Bila ia diperlakukan lembut maka perasaan nyamannya akan membuatnya tenang.

Orang dewasa atau pengasuh yang kurang sabar, seringkali menganggap bahwa bayi yang rewel disebabkan karena 'kesalahan' bayi itu sendiri. Ia tidak menyadari bahwa bayi hanya berespon terhadap stimulus yang ia terima. Memang ada bayi yang lebih sensitif dibanding yang lain, bayi yang memiliki standar kenyamanan lebih tinggi. Bagaimanapun nature/sifat bayi itu tetaplah orang-orang di lingkungannya yang perlu menyesuaikan diri dan memberikan stimulus yang membuat aman dan nyaman bagi bayinya.

Remaja-remaja yang enggan curhat kepada orangtuanya hubungan anak-orangtua yang kurang hangat, atau anak yang rewel luar biasa, anak-anak yang underachievement (kurang berprestasi), dan berbagai problem lainnya dalam hubungan anak orangtua, ketika ditelusuri, kerapkali berawal dari pembentukan trust di 2 tahun pertama yang terganggu.

Ada sementara ibu muda yang berkata, "Ah ngurus anak sih nanti aja kalau anak sudah besar. Sekarang masih bayi kan belum ngerti dan belum bisa apa-apa." Nah, dengan paradigma bahwa pembentukan fondasi adalah sejak awal, maka problem justru akan semakin besar saat anak menjelang remaja.

Remaja yang bonding/ikatan emosinya kurang terbentuk sejak bayi dengan orangtuanya (bukan hanya ibu tapi juga ayah), tidak akan dengan mudah menerima dan percaya pada apa yang disampaikan oleh orangtuanya. Mungkin dia lebih menurut pada pengasuh atau kakek-neneknya jika trust yang terbentuk lebih kuat pada pengasuh atau orang-orang yang signifikan baginya.

Lebih mudah membangun di atas fondasi yang kuat daripada di atas fondasi yang lemah ...

Yeti Widiati

Sumber gambar: www.pinterest


INDONESIA DARURAT KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL ...

- .... dan saran dari para ahli seringkali menjadi kendala bagi banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual dalam keluarga. Misalnya, anak harus mengetuk pintu kamar sebelum masuk ke kamar orangtuanya. Bagaimana mungkin mengetuk bila pintu pun tak ada? Karena rumah yang sempit tak ada kamar sehingga semua orang, ayah, ibu, anak laki, anak perempuan, bahkan mungkin paman tidur dalam satu ruangan bersama.

- Pelaku pedofil seringkali tidak disadari bahwa mereka melakukan pelanggaran. Karena anak "tidak disakiti" secara fisik. Mayoritas mereka, mencekoki anak dengan faham bahwa perilaku yang dilakukan pelaku adalah bentuk kasih sayang. Sementara anak yang secara kognitif belum kritis dan ditambah dengan kebergantungan yang besar, tidak berhasil melepaskan diri dari kondisi tersebut.


- Viscious circle (lingkaran setan) kekerasan dan kasih sayang membuat istri bingung. Di satu sisi ia direndahkan di sisi lain ia dipenuhi materinya. Satu saat dipukul dan ditampar, saat lain, suami minta maaf hingga menangis. Ia tak bisa mengadu, karena ketika mengadu ia akan disuruh ikhlas dan bersabar. Ia tak berani mengambil tindakan karena "tidak bisa, tidak terbiasa dan tidak boleh" berpikir dan memutuskan.

- Membeli pakaian untuk balita dan anak-anak pun sekarang harus sangat teliti. Gambar-gambar kecil yang selintas lucu dan menarik ternyata beberapa disusupi dengan gambar tak senonoh. Panda atau Mickey Mouse yang lucu kelihatan sedang bermain tapi ternyata setelah dilihat lebih detail sedang melakukan aktivitas seksual.

- Di Indonesia belum ada sistem pendukung (hukum) yang jelas, untuk korban. Ketika seorang kepala keluarga melakukan kekerasan atau pelecehan kepada orang yang seharusnya dilindungi dan kemudian harus menjalani hukuman, belum ada aturan/hukum yang jelas siapa yang harus bertanggung jawab pada anak-anaknya kemudian, jika tidak ada keluarga besar yang dapat menanggungnya.

*secuplik dari banyak hal yang membuat diri ini 'menghela nafas dalam-dalam', di konvensi dan workshop IPK (Ikatan Psikolog Klinis) Jakarta 2015


MASALAH BUAT LO ... ?
(Konteks Perubahan)

Setiap ada problem maka biasanya bisa ditelusuri ke BELAKANG ke masa awal munculnya problem tersebut.
Misalnya;
- Seorang laki-laki menjadi homoseksual ternyata dulu pernah mengalami pelecehan seksual oleh pamannya.
- Seseorang pendidikannya rendah dan pekerjaannya tidak menghasilkan pendapatan memadai, ternyata karena keluarganya miskin.
- Seorang perempuan sulit untuk mempercayai laki-laki karena sering dikecewakan lelaki.
Dll.


Namun setiap ada problem belum tentu akan memunculkan problem ke DEPAN-nya.
Misalnya;
- Seorang laki-laki yang pernah mengalami pelecehan seksual belum tentu akan menjadi homoseksual.
- Seorang yang miskin belum tentu tidak bisa bersekolah dan memperoleh pekerjaan yang baik.
- Seorang perempuan yang pernah dikecewakan laki-laki belum tentu akan tidak bahagia dalam pernikahannya.
Dll.

Yang membedakan apakah problem sekarang akan menjadi problem di masa depan atau tidak, akan bergantung pada
1. Seberapa besar seseorang menyadari bahwa saat ini ia mengalami problem.
2. Kemampuan seseorang mengantisipasi konsekuensi dari problem saat ini bila ia tidak melakukan perubahan.
3. Keputusan untuk menjadi penyebab perubahan bagi dirinya sendiri.
4. Melakukan perubahan tersebut secara konsisten dan konsekuen.

Kendala yang kerap terjadi pada orang yang menghadapi problem sehingga masalah tidak tuntas bahkan bertambah rumit, adalah;
1. Menganggap diri korban dari orang lain dan lingkungan. Sehingga menuntut perubahan pada pihak lain, bukan pada dirinya sendiri --> Reframing/ubah cara pandang.

2. Tidak berhasil mengantisipasi akibat terburuk yang terjadi bila masalah diabaikan saja, sehingga problem tidak cukup memiliki energi untuk memaksa perubahan --> Lihat masalah secara komprehensif dan nilai seberapa besar kenyamanan untuk tidak berubah dan ketidaknyamanan untuk tidak berubah.

3. Ketidakmampuan menyusun perencanaan dan tindakan prioritas yang perlu dilakukan --> Lakukan coaching

4. Malas atau enggan memulai perubahan dan mudah patah semangat saat berusaha dan saat menghadapi kesulitan --> Hitung berapa besar kerugian dari tidak berubah atau keuntungan dari perubahan terhadap diri dan masa depan

*Observasi dari berbagai kasus


AKTIVITAS MAKAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN BICARA SERTA BAHASA
(Konteks Perkembangan Anak dan Sensory Integration)

Makan, bukan hanya bermanfaat untuk perkembangan fisik. Aktivitas makan (mengunyah, mencampur makanan dengan lidah, mengisap dan menelan) juga berpengaruh terhadap perkembangan bicara.

Lho ... kok, bagaimana bisa?

Ya, karena perkembangan bicara terkait langsung dengan bagaimana fungsi organ bicara, antara lain rongga mulut, lidah, bibir dan gigi selain juga fungsi organ pernafasan dan pendengaran.

Setiap bunyi akan menggunakan kombinasi beberapa organ bicara tersebut. Misalnya ketika kita menyebut bunyi 'm', 'p' dan 'b' maka kita akan mengatupkan kedua bibir kita dan memberikan tekanan yang berbeda-beda. pada huruf m ada dengungan, sementara b dan p ada tekanan yang diberikan.

Tingkat kesulitan pelafalan huruf juga berbeda, huruf 'r' pada umumnya adalah yang paling sulit dilafalkan sementara huruf vokal seperti 'a' adalah yang paling mudah.

Kita bisa memahami apa yang disampaikan anak melalui kata-kata terutama bila artikulasi dapat diucapkan dengan jelas. Anak yang bicaranya mudah dipahami berpeluang untuk memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan dengan anak yang artikulasinya buruk. Mengapa? Karena anak yang artikulasinya jelas, maka ia dapat mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan jelas sehingga ia pun lebih cepat memperoleh respon yang tepat dari lingkungan. Anak yang artikulasinya kurang jelas sering frustrasi karena lingkungan tidak bisa memahami keinginannya sehingga direspon dengan kurang tepat oleh orang di lingkungan.

Seperti otot tubuh dilatih supaya lentur dengan melakukan olah raga, maka organ bicara dalam mulut dilatih salah satunya dengan melakukan aktivitas makan.

Anak yang makan beragam makanan dengan beragam tekstur, maka otot-otot organ bicaranya akan lebih terlatih.
- Latihlah anak untuk mengunyah makanan yang liat/alot seperti daging, permen karet, ketan, dll, akan melatih giginya untuk menjadi lebih kuat dan juga otot lidahnya menjadi lentur.
- Makanlah dengan bibir terkatup, sehingga akan membantu anak melafalkan huruf-huruf yang menggunakan bibir.
- Makan-makanan yang crunchy/garing seperti kerupuk, keripik, sereal juga akan merangsang syaraf gusinya.
- Makan bubur, jus buah-buahan dengan ragam tekstur juga akan melatih kemampuan menelan. Huruf 'k' dan dengung 'ng' banyak menggunakan bagian belakang rongga mulut.
- Makanan cair seperti sup, jus juga melatih kelenturan bibir.
- Makan makanan berukuran besar, akan membuat anak membuka mulutnya lebar-lebar, misalnya memakan apel tanpa dipotong.
- Dll.

Agar anak mau makan-makanan dengan berbagai tekstur, maka tampilan, rasa dan bau pun menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Karena anak-anak yang hanya mau makanan tertentu saja seringkali memiliki gangguan dalam artikulasi huruf-huruf tertentu. Kecuali kalau tekstur makanan yang tidak disukai dapat tergantikan oleh jenis makanan lainnya. Misalnya, anak tidak suka makan emping karena pahit, maka kita bisa menggantikan dengan kerupuk atau keripik yang juga crunchy.

Orangtua perlu mengacu pada tujuan perkembangan sehingga dalam banyak hal perlu mencari cara atau strategi kreatif agar anak mau makan makanan dengan tekstur tertentu. Ada beberapa anak yang sangat sensitif atau sebaliknya kurang sensitif dengan tekstur makanan tertentu. Misalnya anak-anak yang kurang suka mengunyah dengan gerahamnya, sehingga cenderung mengunyah dengan gigi serinya saja. Hal ini selain berakibat makanan kurang tercerna juga mempengaruhi artikulasinya dalam berbicara.

Untuk kondisi spesifik seperti itu tentu saja dibutuhkan metode dan bahkan terapi yang lebih khusus. Namun untuk anak-anak lain pada umumnya, maka membuat variasi makanan yang menarik adalah jauh lebih sederhana dan dapat dilakukan. Perhatikan juga timing yang tepat. Pada saat kenyang anak akan enggan untuk makan-makanan yang kurang menarik baginya.

Selain memanfaatkan aktivitas makan untuk memperkuat dan merangsang organ bicara, lakukan pula aktivitas lain, seperti meniup balon, bersiul, mengeluarkan bunyi a, e, i, o, u di depan lilin yang tak boleh padam. Bermain menjepit sendok dengan bibir. Memainkan lidah ke atas, bawah, samping dan memutar. Menyikat gigi dan berkumur. Dan banyak lagi kegiatan menarik lain yang bisa dilakukan agar anak dapat mengembangkan kemampuan artikulasinya yang merupakan dasar dari kemampuan bicara dan bahasa.


SENSORY INTEGRATION, MEMANJAKAN DAN PHOBIA

Apakah ada hubungan antara ketiga hal di atas? Ada. Ketika pola asuh memanjakan dilakukan dalam keluarga pada saat anak masih berusia balita, maka saat remaja dan dewasa anak berpeluang mengalami phobia atau ketakutan dan kecemasan luar biasa terhadap suatu obyek yang secara obyektif tidak harus menimbulkan rasa takut.

Memanjakan yang seperti apa yang berpeluang memperburuk phobia?
Dan, mengapa usia balita itu crucial?

Memanjakan anak, biasanya didasari oleh keinginan melindungi anak secara berlebihan dengan menghindarkan anak dari rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional. Orangtua yang memanjakan seringkali tidak sanggup mendengarkan tangisan anaknya, tak tahan melihat anak yang kecewa dan sedih serta tak tahu cara menolak keinginan anak selain memenuhinya. Yang tidak disadari adalah pola asuh memanjakan ini, membuat anak menjadi "lumpuh" secara imajiner, sehingga anak tak mampu membantu dirinya sendiri. Ia punya tangan tapi terbiasa disuapi, ia punya kaki tapi terbiasa digendong, ia punya pikiran tapi tak diajak berpikir dan berdiskusi, ia punya hati tapi tak diajak untuk berempati.

Karena "dibuat lumpuh" maka ia menjadi betul-betul tidak berdaya ketika menghadapi kesulitan yang sesungguhnya secara obyektif pada usia tersebut seharusnya sudah bisa ia atasi.

Misalnya, pada usia balita anak sudah perlu melakukan sensory integration atau menyeimbangkan dan mengkoordinasikan seluruh sensori yang dimilikinya. Ia dapat melihat dan membedakan bentuk. Ia dapat mengenali berbagai macam suara/bunyi. Ia dapat mencium beragam bau dan mengecap beragam rasa. Ia dapat menyentuh berjenis tekstur. Ia dapat mengendalikan sendi juga menyeimbangkan tubuhnya.

Kematangan sensori dipengaruhi oleh perkembangan syaraf dan juga sejauh mana ia dilatih untuk mengembangkannya. Oleh karena itu seorang balita perlu diperkenalkan pada sebanyak-banyaknya stimulus sensori. Selain menghadapi stimulus yang biasa ditemuinya sehari-hari, ia juga perlu diperkenalkan pada stimulus yang mungkin jarang ditemuinya. Misalnya, berjalan di lantai kasar berbatu dan di atas tanah yang basah dan licin. Mendengar suara bising stasiun kereta, hiruk pikuk keramaian pasar dan bahkan malam yang hening di sebuah desa. Mencium aroma khas pasar ikan dan pasar tradisional. Melihat gambar geometris yang kaku dan wajah-wajah orang yang asing. Mengunyah makanan yang bertekstur lembek dan sayuran yang dingin serta agak pahit. Berada di tempat yang tinggi dan bergerak seperti lift dan eskalator. Semuanya perlu dirasakan.

Setiap stimulus sensori yang baru akan membuatnya merasa kurang nyaman. Saat itu maka emosinya akan terpicu. Dalam kadar tertentu, anak perlu belajar untuk mengendalikan emosinya. Bila anak menangis, marah, cemas karena kurang nyaman terhadap suatu stimulus sensori, maka menghindari stimulus tersebut bukanlah cara yang bijak, karena anak tidak diberi kesempatan untuk menguatkan kendali dirinya. Cara menghindarkan stimulus yang tidak menyenangkan ini yang kerap dipilih oleh orangtua yang memanjakan anaknya. Daripada anak rewel karena berbelanja di pasar tradisional yang gerah, becek, hiruk pikuk dan bising, orangtua memilih untuk berbelanja di supermarket. Atau daripada anak tidak makan karena sulit menelan daging yang kenyal, maka lebih baik makanan diblender.

Pola menghindari stimulus yang tidak nyaman secara terus menerus akan membuat anak "lumpuh" dan kehilangan kesempatan belajar mengendalikan emosinya. Sementara saat usianya bertambah besar, maka stimulus akan semakin kuat dan boleh jadi ada beberapa situasi di mana ia tidak bisa menghindarkan diri. Perasaan tidak berdaya membuatnya merasa gagal dan bila itu berlangsung terus menerus terutama bila diiringi dengan libatan emosi yang sangat kuat maka dapat menimbulkan kecemasan juga phobia pada stimulus-stimulus tertentu.

Bila memanjakan itu membuat 'lumpuh', tak berdaya, cemas dan bahkan phobia. Masihkah kita tetap akan memanjakan balita kita?

--------------
*notes:
- Untuk ABK (anak-anak berkebutuhan khusus) yang biasanya memang memiliki keterbatasan pada beberapa aspek SI (Sensory Integration), maka pengelolaannya membutuhkan pendekatan lebih khusus.

- Ilustrasi kasus adalah benar terjadi (bukan fiktif) namun identitas dihilangkan. Dan kasus sudah dianalisis dengan prosedur tertentu, sehingga ditemukan bahwa latar belakang masalahnya adalah karena pola asuh.

- Phobia bisa dipengaruhi sebab lain selain pola asuh yang kurang tepat. Seperti pengalaman traumatis atau kondisi bawaan (gangguan emosi berat).


PERTANYAAN MENYEBALKAN
(Konteks Komunikasi dan Relasi Sosial)

Waktu lebaran, (atau juga reuni) itu waktunya kumpul-kumpul. Baik dalam keluarga besar ataupun pertemanan, maka ketika berkumpul kerap ada pertanyaan yang diajukan. Biasanya oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Atau orang yang sudah sukses kepada temannya yang lain. Banyak pertanyaan menyebalkan yang diajukan. Mengapa menyebalkan? Karena jawaban dari pertanyaan tersebut akan mengandung "nilai" yang bisa dibandingkan dan berpeluang menurunkan harga diri.


Herannya, sekalipun menyebalkan, tapi tetap juga ditanyakan bahkan oleh orang yang dulu pernah merasa sebal ditanya hal itu. Boleh jadi karena sudah menjadi formalitas turun-menurun, sehingga rasanya aneh kalau kita tidak bertanya hal-hal di bawah ini. Dan banyak kita memang tidak tahu alternatif pertanyaan lain apa yang lebih baik.

Di berbagai budaya, pertanyaan di bawah ini dianggap terlalu privat dan tak layak ditanyakan. Sehingga dipandang kurang sopan untuk menanyakannya. Di Indonesia pertanyaan ini dianggap wajar. Ada yang karena ingin "mengukur" orang lain, ada yang karena memang peduli dan ada juga yang sekedar hanya kepo dan formalitas.

Ada banyak pertanyaan-pertanyaan jenis ini, tapi beberapa diantaranya misalnya adalah.

1. Kapan lulus? ---- Pertanyaan ini menyebalkan buat mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi dan belum juga kelar.

2. Kapan kerja? ---- Pertanyaan menyebalkan buat sarjana fresh graduate yang setelah beberapa bulan masih juga mengirim surat lamaran ke berbagai perusahaan dan bolak balik ikut seleksi.

3. Kapan nikah? ---- Menyebalkan buat para bujangan yang belum laku juga.

4. Kapan punya anak? ---- Menyebalkan buat pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sesudah nikah beberapa tahun.

5. Kamu rangking berapa? ---- Menyebalkan buat anak yang rangkingnya di atas 10.

6. Berapa nilai UN-nya? ---- Menyebalkan buat anak yang baru lulus SD dan SMP. SMA sih gak ngaruh karena masuk PTN tidak menggunakan NEM

Dst.
Ketika jawaban bisa dikuantifisir atau dihitung dan dibandingkan, maka yang berani menjawab hanya mereka yang yakin betul bahwa jawabannya akan memuaskan orang lain dan melindungi harga dirinya. Sayangnya tidak semua orang mencapai level itu. Sehingga bertanya hal-hal yang serupa dengan di atas lebih banyak membuat malu dan merendahkan diri orang lain.

Kalau kita peduli dengan orang lain dan ingin menjadi saudara atau teman yang baik, pikirlah "seribu kali" untuk bertanya hal-hal di atas. Atau ajukan pertanyaan yang bisa meningkatkan harga diri mereka.

Selamat Lebaran dan berkumpul bersama sanak famili.

*Ngingetin pertama buat diri sendiri.


BERMAIN dan KOMPETISI
(Konteks Perkembangan Anak)

Salah satu aspek dalam perkembangan anak adalah aspek bermain. Kalau mengacu pada definisinya, maka bermain adalah aktivitas yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan atau kegembiraan.


Bagi anak, bermain adalah serius dan merupakan kebutuhan serta cara untuk tumbuh dan berkembang. Setiap aktivitas yang menyangkut aspek-aspek perkembangan lainnya (fisik, motorik, bicara/bahasa, kognitif, kreativitas, emosi, sosial, moral, religius/spiritual dan sex role) akan memberikan kesan positif yang bertahan lama bila dilakukan dengan bermain.

Oleh karena itu, belajar, bergaul, bergerak, beribadah, dll. perlu dibungkus dengan pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman yang menyenangkan itu bersifat rewarding dan bila mengacu pada Teori Belajar Operant Conditioning, B.F. Skinner, maka penguatan positif (berupa reward) akan meningkatkan peluang diulanginya perilaku yang sama. Sementara penguatan negatif (berupa perasaan tidak nyaman) akan mengurangi perilaku tersebut.

Sekarang, lihatlah kompetisi yang dilakukan pada anak-anak kecil itu. Kompetisi menyanyi, menari, menggambar, mengaji, tahfidzh (menghafal Qur'an, peragaan busana, dll). Pesan apa yang sebetulnya disampaikan para orangtua ketika mengikuti kompetisi tersebut?

Anak mungkin senang mengaji, tapi ketika dipertandingkan, maka ia akan dinilai dan dibandingkan. Dan ketika dinilai maka ada baik dan buruk, sementara ketika dibandingkan maka ada yang lebih baik dan ada juga yang lebih buruk. Jangan salahkan anak, apabila mereka yang tidak menjadi juara mempersepsi dirinya menjadi "aku buruk."

Ketika persepsi ini muncul maka proses berikutnya menjadi kurang menarik. Anak menjalani kegiatan dengan keterpaksaan dan mengalami demotivasi. Kompetisi menghilangkan kesenangannya untuk menikmati aktivitas yang dilakukan, karena ia sekarang menyadari bahwa ada penilaian dan pembandingan terhadap hasil yang diperoleh. Sebesar apa pun usaha yang dilakukan seolah semuanya menjadi sia-sia ketika masih ada orang yang lebih baik darinya. Karena yang memperoleh reward atau diberi penghargaan, pujian dan hadiah adalah orang yang paling baik.

Seringkali keinginan terbesar mengikuti kompetisi adalah pada orangtua. Karenanya, ketika orangtua memutuskan mengikutsertakan anak pada suatu lomba. Tanya kembali pada hati yang paling dalam, apa motivasi yang melandasi hal tersebut, antisipasi kemungkinan apa yang akan muncul bila hal tersebut dilakukan dan cari cara untuk mengatasi ekses yang terjadi.

*Masa Anak adalah usia 2 tahun - 12 tahun


Curhat atau menceritakan masalah kita kepada anak akan menimbulkan dendam warisan pada anak kepada orang yang secara obyektif tidak punya masalah dengannya.

Apalagi ketika ibu menceritakan keburukan ayah dan/atau sebaliknya, ayah menceritakan keburukan ibu, maka anak terwariskan dendam ayah ibunya.

*Forgiveness Therapy, Asep Haerul Gani



-------------------------------



Orang yang curhat pada dasarnya mencari pendukung, sehingga ia kerap melakukan "deletion" atau menghilangkan bagian-bagian penting yang kurang menguntungkan baginya. Misalnya ketika si A kesal pada B dan curhat pada C maka A hanya menceritakan bagian yang buruk tentang B. Ia tidak menceritakan bagian baik si B atau bahkan bagian buruk tentang dirinya sendiri.

Seorang psikolog atau terapis bertugas untuk memunculkan bagian yang didelete tersebut, agar klien memperoleh gambaran utuh dari masalah yang dihadapinya. Sehingga ia memiliki kerangka pikir yang berbeda, mengubah emosi dan menjadi landasan untuk perilaku yang berbeda pula.

*Masih dari Forgiveness Therapy

EMPATI
(Konteks Parenting)

Empati adalah kemampuan untuk bisa merasakan perasaan orang lain. Bila seseorang bisa berempati, maka ia bisa berespon dengan tepat sesuai harapan orang lain. Bisa juga dikatakan bahwa empati adalah modal awal seseorang untuk dapat membantu orang lain.

Apa saja yang perlu dimiliki agar seseorang dapat berempati?

1. CARA PANDANG SOSIOSENTRIS
Cara pandang sosiosentris yang saya maksud di sini adalah kemampuan untuk "melepaskan diri" dan menempatkan diri pada posisi orang lain.
Bagi anak, hal ini tidak selalu mudah karena ia masih berada dalam cara pandang egosentris dan melihat segala macam hal dari sudut pandangnya sendiri. Namun saya biasanya akan tetap memanfaatkan egosentrisme ini untuk mengembangkan kemampuan sosiosentris.

Misalnya, ketika anak melihat temannya menangis karena kehilangan mainan mobil-mobilan kesayangannya. Anak lain mungkin tidak suka mobil-mobilan, atau punya mobil-mobilan yang banyak sehingga ia heran mengapa temannya harus menangis hanya karena kehilangan mobil-mobilan.

S: Nak, mainan apa yang paling kamu suka?
A: Aku suka sama 3DS
S: Apa yang bikin kamu suka?
A: Bagus lah, game-nya masih pada baru. Aku mainin tiap hari
S: Bagaimana perasaan kamu kalau 3DS kamu rusak atau hilang?
A: Gak boleh, 3DS ku gak boleh ilang, aku pasti nangis kalau ilang ...
S: Iya sedih ya kalau kita kehilangan barang yang sangat kita suka ...
A: Iya ... (mengangguk)
S: Jadi gimana ya perasaan teman kamu yang kehilangan mobil-mobilannya? Padahal kan itu cuma mainan satu-satunya yang dia punya ...
A: Sedih ya ...
S: Iya dia sedih sekali ...
A: Kalau kamu sedih, kamu biasanya merasa lebih enak kalau bagaimana?
S: Kalau ada yang ngajakin main
A: Kalau gitu, bagaimana kalau kamu ajak teman kamu main sama kamu?

2. SENSITIVITAS/KEPEKAAN PERASAAN
Sensitivitas dikembangkan melalui seni. Baik itu menggambar, melukis, membuat hasta karya (craft), menari, menyanyi, bermain musik dan memasak.

Banyak orang melihat menggambar, melukis dan hasta karya sebagai aktivitas yang memboroskan dan membuat berantakan, menyanyi, menari dan bermain musik dipandang sebagai ajang pamer. Cara pandang ini semua yang membuat mereka yang berpandangan tersebut cenderung untuk menghindari bahkan meninggalkan aktivitas seni.

Seni, selain berfungsi mengembangkan kreativitas, juga sensory integration dan sensitivitas atau kepekaan perasaan individu.

Bila dalam berempati seseorang bisa merasakan perasaan orang lain, maka ia perlu lebih dahulu mengembangkan kepekaannya terhadap perasaannya sendiri.

Mendengarkan nada lalu mengulanginya saat menyanyi. Membubuhkan dan mencampur warna saat menggambar dan melukis. Menggerakkan badan dengan halus saat menari. Membuat hasta karya dengan tekstur kasar. Atau mencampur bumbu saat memasak, semuanya akan membangkitkan kepekaan perasaan.

Lakukan kegiatan dengan berbagai aktivitas seni yang beragam. Ada sangat banyak jenis seni yang dapat dilakukan. Tak perlu meninggalkan menyanyi hanya karena tak setuju dengan ajang Idol. Tak perlu meninggalkan menari hanya karena tak suka goyang erotis penyanyi dangdut atau girls band berpakaian minimal. Tak perlu meninggalkan musik hanya karena tak suka bisingnya musik cadas, dll.

Fokuslah pada tujuan besarnya, dan cari cara yang mengarahkan kita pada tujuan besar tersebut.

Wallahu'alam

Sumber gambar http://startempathy.org/…/20…/11/teaching-kids-about-empathy



PUASA DAN MARSHMALLOW TEST

Saya kerap memutarkan video Marshmallow Test saat sesi Sharing Parenting pada para orangtua. Biasanya konteks pembicaraan saya adalah mengenai pengaruh memanjakan atau selalu memenuhi keinginan anak.

Marshmallow Test sendiri adalah experimen terkenal yang sudah dilakukan puluhan tahun lalu. Kesimpulan dari experimen ini adalah bahwa anak yang diajari untuk menunda kepuasan memiliki peluang lebih sukses di kemudian hari sebagai orang dewasa. Anda bisa lihat bagaimana Marsmallow Test di dalam video ini dan ragam bentuknya via Youtube, dan tentu saja anda sangat bisa melakukannya sendiri baik terhadap anak, siswa atau bahkan diri sendiri, dengan berbagai penyesuaian.


Menunda kepuasan (delayed gratification) adalah fondasi awal pengendalian diri. Sehingga seseorang yang berhasil melakukannya akan lebih terlatih untuk mengendalikan diri terhadap berbagai godaan dari lingkungan yang beragam dengan tingkat kesulitan yang beragam pula.

Bila seseorang berhasil mengatasi godaan yang ringan, maka hal itu akan menjadi kekuatan baginya untuk mengatasi godaan yang lebih besar, misalnya, godaan materi, seksual, kekuasaan, reputasi, kesombongan, keserakahan, dll.

Kalaulah puasa itu adalah salah satu cara untuk melatih kendali diri, maka apakah kita pernah menguji kemampuan kendali diri kita seperti yang dilakukan dalam Marshmallow Test?


BATAL PUASA

Sambil nyetir mendengarkan siaran di sebuah radio FM. Si penyiar bilang, "Kita pingin tahu pengalaman kalian-kalian, pernah gak kalian batal puasa, dan karena apa batalnya." Dan tak lama kemudian penyiar pun membacakan sms yang masuk dari para pemirsa.

Sms pemirsa : "Gua pernah batal puasa gara-gara ditraktir lontong sayur sama teman ... "


Penyiar : "Serius ...? Murah banget harga puasa lu, cuman seharga lontong sayur,"

Sms pemirsa : "Gua sekeluarga pernah batal puasa. Ceritanya kita ke mall, rame banget desak-desakan mana siang-siang panas lagi. Akhirnya kita sekeluarga ber-tujuh bo, kehausan gak tahan lagi dan kita buka di food court .... "

Penyiar : "Ya ampun sekeluarga kompak banget ... makanya kalau ke mall lihat-lihat waktu dan situasi dong ... Terus lu lu pade, pake jilbab lagi. Ampuuun ... pake jilbab buka puasa di siang bolong di tempat umum ... "

Sms pemirsa : "Kalau gua sih pernah batal puasa gara-gara diajak teman makan di warung Padang. Gak ngerti juga kenapa waktu itu gua b.go banget ya. Jam 3, kita lewat warung Padang, terus teman bilang "Makan yuk, laper ... " eh kayak kebo dicocok idungnya gua ngikut lagi. Padahal tinggal 3 jam lagi maghrib. Masih ada malunya sih, motor gua minta masukkin ke dalam restoran, takut ketahuan sama bokap. Secara itu jam pulang kantor bokap dan bokap biasa lewat situ.

Penyiar : "Lu tuh ya ... kalau masih ada malunya kenapa juga lu batalin puasa ... ?"

Sms pemirsa : "Ceritanya di kantor gua ada yang pesta ulang tahun. Terus kita makan-makan. Nah gua jadi gak enak gak makan sendiri. Jadi gua ikut makan aja deh, biar gak dibilang sok alim gitu ... "

Penyiar : "Ya elah elu ... malunya salah tempat tuh ... "

Sms pemirsa : "Gua batal gara-gara anak kecil siang-siang makan es krim di depan gua. Gua yang lagi haus, jadi gak tahan ... batal deh ... "

Penyiar : "Set dah ... gara-gara anak kecil, lu batalin puasa ... ck ck ck ... "

Dst.

*Dan saya menghela nafas serta merenung ...
Betapa penting sejak dini menanamkan puasa sebagai bagian dari ketaatan dan harga diri. Selain juga manfaat dan hikmah yang diperoleh.

Saya mengevaluasi diri, sudahkah saya melakukan itu, baik pada diri maupun pada orang-orang terdekat di sekeliling saya?

Betul bahwa idealnya juga adalah lingkungan dan orang-orang sekitar perlu memberikan dukungan. Tapi ketika orang-orang di lingkungan tidak bisa melakukan itu, maka kekuatan yang paling utama adalah berasal dari dalam diri sendiri.

Wallahu'alam ...


TENGGANG RASA
(Konteks Parenting)

Tenggang rasa, bagusnya dicontohkan daripada dipaksakan. Boleh saja ada beberapa orang yang beranggapan bahwa tenggang rasa perlu dipaksakan, dengan cara dibuat aturan dan adanya sanksi bila tidak dilakukan. Tapi itu sekaligus juga menunjukkan bahwa kita tidak cukup berhasil dan sudah kehilangan akal bagaimana menumbuhkan tenggang rasa dengan cara yang lebih baik.


Tema ini menjadi marak dibahas mendekati bulan Ramadhan, khususnya dalam hal makan minum di siang hari di tempat umum pada bulan Ramadhan.

Dalam membimbing anak-anak berpuasa, saya lebih suka mengikuti pola yang diajarkan orangtua saya sejak kecil. Berangkat dari hikmah shaum itu sendiri yaitu untuk melatih kendali diri dan berempati terhadap orang yang berkekurangan. Maka makanan yang terhidang, restoran yang dibuka dan orang-orang yang makan atau minum secara terbuka di siang hari tidak menjadikan alasan untuk tergoda ingin makan termasuk juga untuk marah dan usil pada mereka yang melakukannya.

Sikap yang juga ditanamkan pada saya oleh orangtua saya adalah sekalipun saya memiliki alasan sah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, misalnya saat datang bulan, hamil/menyusui, sakit atau saat dalam perjalanan, juga tetap tidak menjadi alasan untuk saya makan atau minum secara terbuka apalagi di hadapan anak kecil yang sedang belajar berpuasa.

Tenggang rasa itu tentang kepedulian pada orang lain, bukan tentang fokus pada kepentingan diri sendiri dan memaksa orang lain menghormati kepentingan kita.

Oleh karena itu, hal ini berlaku baik bagi yang berpuasa untuk menghormati dan mengizinkan orang yang tidak berpuasa memenuhi kebutuhan dasarnya.

Juga bagi yang tidak berpuasa untuk menghormati dan tidak pamer makan minum di hadapan orang yang sedang berpuasa.

*Mencolek dan mengingatkan diri sendiri dan teman-teman perempuan yang mengenakan kerudung, saat datang bulan untuk makan di tempat tertutup di bulan Ramadhan


LINGKARAN PENGARUH

Bayangkan kita berada di pusat satu lingkaran dan kemudian di luar diri kita ada beberapa lapis lingkaran. Lingkaran yang terdekat dengan diri kita adalah Lingkaran Kendali (Circle of Control). Lingkaran berikutnya adalah Lingkaran Pengaruh (Circle of Influence) dan lingkaran terluar adalah Lingkaran Kepedulian (Circle of Concern).

Lingkaran Kendali
Adalah semua hal yang berada dalam kendali kita dan kita memiliki otoritas paling besar untuk mengubahnya. Diri kita berada dalam lingkaran ini.


Lingkaran Pengaruh
Adalah semua hal yang berada di luar diri kita namun masih mungkin kita pengaruhi. Anak, pasangan (konteks keluarga), siswa (konteks sekolah), anak buah (konteks pekerjaan), teman, tetangga, dll.

Lingkaran Kepedulian
Adalah semua hal yang berada di luar diri kita dan kita memiliki pengaruh serta otoritas yang minimal. Misalnya, sistem pemerintahan, politik, kemacetan, banjir, kemiskinan, ketidak-adilan, dll.

Di mana perhatian, waktu dan usaha yang lebih banyak kita habiskan?

Orang yang proaktif adalah orang yang menitikberatkan perhatian, waktu dan usahanya pada pusat lingkaran. Mereka percaya apabila mereka berubah, maka lingkaran berikutnya akan terpengaruh. Seperti batu yang di lempar ke tengah kolam, maka riaknya akan sampai ke pinggir kolam.

Orang yang reaktif dan banyak mengeluh, menghabiskan perhatian, waktu dan usahanya pada lingkaran terluar. Menuntut lingkungan dan orang lain berubah. Menggantungkan nasib pada keadaan. Mengira bahwa mengeluh akan mengubah keadaan.

Saya kira pilihan predikat yang tepat adalah,
Kita MENGUBAH diri.
Kita MEMPENGARUHI keluarga.
Kita MENGINSPIRASI lingkungan.

Karena tokh, ketika kita sibuk membicarakan lingkungan atau hal-hal di luar diri kita, maka komen dan pertanyaan yang diajukan pada si pembicara adalah 'Apa yang sudah anda lakukan?'

Oleh karena itu menurut saya adalah jauh lebih baik bila kita melakukan tindakan dari lingkaran terdalam terlebih dahulu sebelum bergerak ke luar. Seperti saran pramugari di pesawat, "Pakailah masker anda terlebih dahulu sebelum anda memakaikan masker pada anak atau orang lain"

Gambar diambil dari http://www.athleteassessments.com/control-and-influence-mo…/


MEMBERIKAN SEGELAS AIR ATAU MENGAJARKAN MENGGALI SUMUR?
(Konteks mendidik dan pendidikan)

Bila kita memiliki air jernih dan menuangkannya ke dalam gelas orang lain, maka air itu akan segera habis, entah karena diminum pemiliknya, dibuang atau bahkan karena menguap. Dan ketika habis, maka ia akan berharap ada orang lain yang akan menuangkan kembali air jernih tersebut.


Sekarang bayangkan bila kita mengajarkan seseorang menggali sumur. Berat prosesnya, makan waktu lama dan air yang diperoleh keruh pada awalnya. Tapi setelah berjalan berminggu kemudian, si pemilik sumur dapat memperoleh air jernih kapan pun ia mau tanpa harus bergantung pada orang lain lagi.

Dalam mendidik anak-anak kita, yang mana yang kita lakukan? Apakah kita memilih untuk "MEMBERI pelajaran"?

Atau kita memilih berpeluh dengan mengajar anak MENGGALI potensi dirinya, MENEMUKAN air pengetahuannya, MERASAKAN pahitnya lumpur kesalahan dan pada akhirnya MENIKMATI jernihnya air hikmah?

Gambar diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Water_well


MOS YANG MERENDAHKAN MANUSIA ATAU MEMANUSIAKAN MANUSIA?

Tahun ajaran baru belum juga dimulai. Masih beberapa bulan lagi. Tapi saya mencuri start membahas ini sekarang untuk mengajak kita semua, masyarakat, orangtua, guru-guru, siswa senior dan terutama manajemen sekolah mengevaluasi pola dan metode yang digunakan dalam masa orientasi siswa baru. Terus terang, saya agak bosan dengan keluhan banyak orang saat banyak kejadian sudah kadung terjadi. Apalagi ketika timbul korban baik sakit, meninggal maupun stress karena MOS yang kebablasan.

Pertanyakan kembali makna orientasi yang sebenarnya dan apakah cara yang selama ini kita lakukan adalah cara yang benar, salah atau merugikan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang?

Kalau masa orientasi diartikan sebagai masa persiapan dan proses adaptasi terhadap situasi belajar yang baru, maka isinya betul-betul harus mengacu pada hal itu. Cara yang dilakukan selama masa orientasi adalah benih pola perilaku yang sedang ditanamkan kepada siswa yang baru.

Menyuruh siswa membawa barang-barang, misal kacang hijau 100 butir, koran KOMPAK, 10 keping koin 50 rupiah warna kuning, sosis goreng bentuk gurita, membawa tas dari karung bekas terigu, dll mungkin saja dipandang sebagai bagian dari mengajarkan usaha. Kenyataannya? Gak juga tuh. Karena yang repot mencarikan benda-benda tersebut adalah orangtuanya. Atau bahkan para pedagang sudah siap dengan satu set barang-barang tersebut dan dijual murah di depan sekolah. Anaknya sendiri tidak melakukan apapun. Jadi .... aspek usaha mana yang akan dicapai?

Menyuruh siswi perempuan mengikat rambut dengan pita warna-warni, siswa mengenakan kacamata buatan dari kawat, mengenakan topi dari kertas koran dll. Maksudnya mau mengajarkan keberanian untuk tampil beda. Ah ... plis deh ... keberanian tampil beda itu bukan dari tampilan luar, melainkan dari keberanian untuk bersikap benar, jujur, baik, sekalipun orang lain tidak melakukannya.

Tetapkan dulu tujuan yang ingin dicapai kemudian cari aktivitas apa yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Saya yakin, setiap orang memiliki kreativitas untuk melakukan hal yang baik. Beberapa hal yang bisa dipertimbangkan untuk dilakukan, misalnya;

1. Kepedulian dan responsivitas: "30 menit kebaikan"
Dalam waktu 30 menit, setiap orang harus melakukan kebaikan untuk orang lain di sekitarnya (bukan temannya). Misalnya membantu memungut sampah, menyapu, mengajar anak kecil menyanyi atau belajar, menolong ibu tukang warung mencuci piring, dll. Setiap anak harus berkeliling dan mencari orang yang akan dibantunya.

2. Kerjasama:
Memasak bersama dengan bahan murah namun bergizi. Dirancang mulai dari mempersiapkan menu, belanja, memasak, hingga menyajikan.

3. Orientasi ruang sekaligus mengajarkan keberanian:
Membuat peta dan maket sekolah, touring, mencatat seluruh ruangan termasuk mewawancarai pengelola ruangan. Pertanggung jawaban dilakukan dengan presentasi secara visual dan 3 dimensi termasuk drama kalau perlu.

4. Problem solving:
Diskusikan aturan dan kasus-kasus yang mungkin muncul selama di sekolah, misal pertengkaran, kesulitan belajar, tidak disiplin, penggunaan gadget, pacaran dan bahas bagaimana mereka (siswa baru) akan menyelesaikan masalah tersebut.

5. Kreativitas
Buat rencana pentas per kelompok, dan berikan apresiasi positif pada hasil yang ditampilkan.

Dan masih banyak lagi kegiatan yang lain. Yang poin utamanya adalah memanusiakan manusia. Memposisikan siswa baru sebagai subjek yang aktif. Dan untuk itu para siswa senior dan juga para guru perlu mempersiapkan diri untuk lebih terbuka dan memposisikan diri sebagai pembimbing, coach atau pamong.

Gambar diambil dari http://www.sesepuh.com/…/bedanya-masa-orientasi-di-dalam-ne…
PACING (PPPP) & LEADING (LLLL)
(Konteks komunikasi dengan anak/remaja)

"Masak saya mesti mengikuti anak. Seharusnya anak yang mengikuti saya. Saya kan orangtuanya. Saya lebih mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan ..."

Dalam berbagai sesi seminar dan training untuk orangtua, baik itu berbicara tentang komunikasi ataupun pola asuh, maka komentar ini kerap muncul dan terucap dari para orangtua.

Ada keberatan dan bahkan penolakan pada orangtua untuk mengikuti dan menyeleraskan cara pandang dan sikapnya dengan anak. Namun di sisi lain para orangtua ini juga mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak patuh, tidak mau mendengar apa yang mereka katakan dan kerap membantah ketika dinasihati.

Pola yang sama juga muncul ketika guru mengeluh tentang muridnya yang membandel, atasan yang mengeluh bawahannya yang tidak patuh, pemimpin yang mengeluh masyarakat kerap melanggar aturan, bahkan termasuk para ustadz/ustadzah yang mengeluh karena jamaahnya tidak juga mengikutinya.

Saya mengamati bahwa yang membuat orang tidak mematuhi atau mengikuti apa yang kita sampaikan tidak selalu karena konten materi yang disampaikan tapi lebih kepada siapa, bagaimana orang yang menyampaikan itu dan seberapa besar kedekatan orang tersebut kepada kita.

Semakin kita merasa dekat dan beririsan dengan orang tersebut, maka semakin besar peluang kita menerima apa yang disampaikan orang itu. Dan sebaliknya semakin kita merasa berjarak dan terpisah dari orang tersebut, maka semakin kita mengabaikan dan bahkan menolak apa yang disampaikan orang tersebut.

Jadi kembali ke pertanyaan orangtua di atas, "Apakah kita harus mengikuti semua yang dilakukan anak kita agar mereka mengikuti kita?"

Beberapa hal yang bisa dilakukan:
1. Pacing.
Ikuti beberapa sampel perilaku anak atau remaja kita, misal, anak suka nonton film kartun. Maka duduklah bersama anak dan tonton bersama. Pada awalnya, hindari nasihat, hanya bersama-sama dan melakukan kegiatan bersama. PPPP

2. Setelah anak merasa bahwa orangtuanya adalah buddy atau teman mereka (observasi dari perilakunya, biasanya anak terlihat lebih santai). Maka mulai lakukan perilaku yang berbeda, misalnya, biasanya setelah nonton film kartun pertama, anak akan memindahkan channel dan mencari film kartun lain. Maka orangtua melakukan hal yang berbeda, misalnya, mengajak bermain. Kalau anak menolak, berarti hubungan/rapport belum terbentuk. Tapi kalau anak mengikuti, berarti hubungan sudah mulai terbentuk. PPPL

3. Lakukan pacing beberapa kali atau beberapa hari dengan pola yang sama. Bersabarlah, jangan tergesa-gesa untuk segera mengubah perilaku. Semuanya ada prosesnya.

4. Bila setelah pengecekan anak beberapa kali anak mau mengikuti apa yang dilakukan orangtua, maka rapport atau hubungan yang baik sudah terbentuk, maka orangtua bisa mulai melakukan leading atau mengarahkan pada perilaku yang diharapkan dengan frekuensi lebih besar. PPLL

5. Leading juga dilakukan bertahap, satu kali dulu, kemudian diselang dengan pacing. Setelah berhasil baru ditingkatkan frekuensinya. PLLL - PLLL

6. Saat bonding atau ikatan sudah benar-benar terbentuk, maka leading dapat kita lakukan dalam intensitas dan frekuensi yang lebih besar L-L-L-L.

Memang ada orang-orang yang secara alamiah memiliki kemampuan influence yang begitu besar, sehingga dapat melakukan leading begitu cepat. Namun kabar baiknya adalah bahwa kemampuan ini bisa dipelajari oleh siapa pun. Kesabaran yang lebih dibutuhkan.

Sumber gambar http://childtherapynow.com/pcit.html


HYPNAGOGIC, HYPNOSLEEP, HYPNOPOMPIC

Cerita apa yang kita ceritakan kepada anak sebelum tidur?
Pembicaraan seperti apa yang kita lakukan saat anak tidur di dekat kita?
Bagaimana cara kita membangunkan anak?


------------------

Sebelum tidur, saat tidur dan saat bangun tidur, menurut Milton Erickson adalah saat-saat yang sangat sugestif untuk menerima pesan. Apalagi bila pesan itu disampaikan berulang setiap hari selama bertahun-tahun. Oleh karena itu adalah penting bagi kita untuk menjaga agar pesan yang kita sampaikan pada anak memiliki nilai sugesti yang positif.

Hypnagogic
Bayangkan bila anak terbiasa tertidur di depan TV yang masih menyala. Terdengar umpatan dan bahasa kasar dari sinetron-sinetron yang tidak mendidik, atau tawaran materi dari iklan-iklan.
Sugesti apa yang masuk, tersimpan dan terekam dalam memori anak?

Hypnosleep
Bayangkan juga bila anak tertidur di pangkuan sementara di dekatnya, ibu atau pengasuhnya bergosip baik secara langsung maupun via telpon.
Sugesti apa yang masuk, tersimpan dan terekam dalam memori anak?

Hypnopompic
Bayangkan juga ketika anak dibangunkan dengan cara diguncang, dikagetkan, diteriaki atau bahkan disiram. Terlebih bila ketidaksabaran memicu orangtua mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Sugesti apa yang masuk, tersimpan dan terekam dalam memori anak?

Bila kita menyadari bahwa kita sudah menanamkan sugesti negatif selama bertahun-tahun pada anak kita, maka mulai sekarang kita mengubahnya dengan menanamkan sugesti positif.

Mulailah sebelum anak tidur menceritakan kisah-kisah teladan, hingga contoh tokoh dan perilaku baik tertanam di benaknya.
Berdoalah, baik dengan doa-doa yang diajarkan dalam agama, maupun permohonan dengan bahasa sendiri.
Usaplah keningnya, kecup pipinya, dan bisikkan kata-kata cinta dan terima kasih karena mereka adalah hadiah istimewa dari Sang Maha Mencintai.

Saat anak tidur, bicaralah dengan kata-kata yang baik. Perdengarkan musik yang baik atau bacaan Qur'an. Dan jauhkan televisi yang masih menyala.

Saat membangunkan anak dari tidur. Bangunkan dengan lembut dengan bisikan di telinganya. Dengan mengusap ubun-ubunnya atau memijat lembut ibu jari tangan dan kakinya. Berikan waktu cukup pada anak untuk benar-benar bangun. Bangunkan pula dengan perasaan senang dan bersemangat, sehingga anak tertulari perasaan tersebut dan menjalani hari dengan senang.

Sumber gambar http://sleepsense.net/do-it-yourself-options/plans/
BUAH YANG PAHIT
(Konteks analisis masalah)

Kasus 1
- Bu, anak saya suka buang air besar di celana. Padahal dia sudah usia TK-B harusnya kan dia tidak lagi melakukan hal itu.
+ Apa yang dilakukan ibu kalau anak ibu marah?
- Marah itu kan tidak baik bu. Jadi saya melarang anak saya untuk marah, apalagi kalau sampai mengumpat dan mengamuk.
+ Dan bagaimana ibu tahu kalau anak ibu tidak setuju, tidak suka atau tidak berkenan atas sesuatu yang ibu katakan, lakukan atau ibu pilihkan?
- Tapi saya kan sebagai orang tua selalu memilihkan yang terbaik bu. Anak saya harusnya tahu bahwa apa yang dikatakan saya adalah untuk kebaikan dirinya.

Kasus 2
- Bu, anak saya kok suka curi-curi barang-barang kecil punya temannya ya. Saya sudah beberapa kali dipanggil ke sekolah karena laporan ini. Malu saya jadinya bu. Kayak anak saya gak pernah dibelikan apa-apa saja. Padahal barang yang dicuri itu murah-murah bu. Kalau dia bilang sama saya, saya bahkan bisa belikan 10 buah yang lebih bagus dari itu.
+ Anak ini anak ke berapa bu?
- Eeee ... maaf bu, sebetulnya dia bukan anak kandung saya. 2 orang kakaknya memang anak kandung saya. Anak ini saya urus dari bayi setelah ditinggalkan oleh seseorang di depan rumah saya. Tapi saya sayang sama dia bu. Meskipun dia anak pungut, tapi saya menyediakan fasilitas lengkap buat dia. Saya kan juga gak mau kalau orang bilang saya tidak adil pada anak-anak saya.
+ Dan pernahkah ibu bicara dari hati ke hati dengan anak ibu? Misalnya tentang bagaimana ibu mencintai dia?
- Memang perlu ya bu? Kan dia sudah lihat kalau saya selalu memberikan apa yang dia minta?

Kasus 3
- Saya kesal sekali bu, anak saya berbohong lagi. Dia bilang dia pergi les, ternyata dia pergi jalan-jalan, main sama teman-temannya.
+ Apa yang bapak inginkan dari anak bapak?
- Maunya saya tuh bu, anak saya jadi anak baik dan berprestasi
+ Kalau anak bapak sesuai dengan yang bapak inginkan, bagaimana perasaan bapak?
- Ya saya pastinya senang lah
+ Kalau ternyata anak bapak tidak mencapai seperti yang bapak inginkan, apa yang bapak lakukan?
- Saya kecewa bu, jadi saya tegur dan saya marahi. Contohnya beberapa waktu lalu. Nilai-nilai pelajarannya di sekolah anjlok. Saya marahi. Kok bisa nilainya jelek padahal anak saya tuh gak bodoh bodoh amat bu. Saya dokter bu, ibunya juga sarjana, ya harusnya anak-anak saya gak beda jauh dari orangtuanya.
+ Dan saat bapak kecewa, menegur dan memarahi, apa yang kemudian terjadi pada anak bapak?
.................................

Perilaku bermasalah itu seperti buah yang pahit. Menghilangkannya bukan hanya dengan "melepeh" dan mengeluh. Boleh jadi pohonnya perlu ditebang atau akarnya perlu dicabut. Meskipun boleh jadi buah yang pahit juga adalah "obat" yang mengingatkan dan introspeksi.
- Menahan buang air boleh jadi adalah buah dari "pohon marah"
- Mencuri adalah buah dari "pohon kehilangan"
- Berbohong adalah buah dari "pohon harga diri yang rendah"
- Apatisme adalah buah dari "pohon frustrasi"
- Penakut adalah buah dari "pohon ketidakmandirian"
- Cemas adalah buah dari "pohon tak berani memutuskan"
- Kebergantungan adalah buah dari "pohon larangan"
Dll.

Sumber gambar https://www.flickr.com/photos/jisou/23763966


DIGITAL IMMIGRANT VERSUS DIGITAL NATIVE
(Konteks perbedaan cara belajar)

B : Anak saya itu belajarnya gak bener ni Mbak, musti digimanain ya?


S : Ada keluhan di SMA-nya, atau prestasi belajarnya menurun?

B : Gak juga sih. Dia cepat ngerti kalau dikasih tahu. Nilainya juga bagus-bagus aja, 8 rata-ratanya. Tapi ya itu belajarnya gak bener.

S : Belajar yang bener itu seperti apa menurut bapak?

B : Gini lho Mbak, belajar itu harusnya duduk di kursi, baca buku, hafalkan, kemudian mencatat, buat rangkuman, kerjakan latihannya. Begitu itu cara belajar yang bener.

S : Kalau anak bapak belajarnya bagaimana?

B : Ini masa belajar di lantai sambil tengkurap, Sambil lihat laptop, kepala pakai head set. Goyang-goyang kepala sambil nyanyi. Belajar apaan itu, mana masuk di kepala.

S : Di laptop itu lihat apa pak?

B : Ya memang sih dia suka sambil searching gitu. Terutama kalau dapat PR. Dia cari bahan-bahannya dari internet. Dia juga suka buat ringkasan dengan mind manager.

S : Dengan cara belajarnya itu dia bisa tetap paham materi belajar kan pak?

B : Iya sih, tapi cara belajarnya aneh.

S : Target belajar itu sebetulnya cara belajarnya atau pemahamannya, Pak?

B : Iyaaaaa ...... sebetulnya pemahamannya sih yaaaa .....

S : Anak-anak kita punya strategi sendiri yang berbeda dengan kita dalam beradaptasi dengan teknologi. Seringkali kita sebagai digital immigrant yang perlu beradaptasi dengan mereka para digital native. Tugas kita memastikan pencapaian targetnya. Sementara mereka mencari cara yang paling adaptif.

Gambar diambil dari http://www.leansheets.com/10-practical-tips-for-the-bar-ex…/


PERNAH SUKSES BERARTI BISA SUKSES LAGI ... LAGI DAN LAGI ....
(Belajar dari pengalaman)

- Saya gak berani ambil risiko ... takut gagal ...


+ Coba ingat-ingat keberhasilan atau kesukesan anda selama ini. Pilih satu saja yang menurut anda paling hebat ...

- Mmmhhh ... apa ya ... rasanya tidak ada ...

+ Coba diingat lagi. Mungkin terkait prestasi di sekolah atau bagaimana anda mengasuh dan mendidik anak-anak anda.

- Oh iya ... terkait si Buyung. Anak saya ini kan lahir cacat. Saya bawa ke berbagai dokter. Sampai seorang dokter mengatakan bahwa anak saya harus diobati tapi biaya pengobatannya mahal sekali dan proses penyembuhannya lama. Tapi saya lakukan segalanya untuk Buyung. Hingga Buyung sekarang menjadi mandiri.

+ Dan ... apa yang membuat anda memutuskan untuk melakukan segalanya untuk Buyung?

- Saya ingin Buyung mendapat kesempatan untuk menjalani hidupnya dengan lebih baik.

+ Dan apa yang terjadi pada diri anda setelah Buyung mendapat kesempatan untuk menjalani hidupnya dengan lebih baik?

- Saya merasa lebih tenang.

+ Perasaan apa yang terjadi saat anda memutuskan untuk melakukan segalanya untuk Buyung?

- Nekat, saya tidak peduli dengan risiko gagal karena saya tahu ternyata ada jalan juga mencapai keberhasilan.

+ So .... ?

- Eh, iya ya ... saya berani mengambil risiko ....


(Masih) KEAJAIBAN METAFORA

- Saya itu seperti penyu bu, bergerak dan berjalan dengan lambaaaat sekali ... Saya sering tertinggal menyelesaikan pekerjaan ketika bersama dengan orang-orang.
+ Apakah penyu pernah bergerak dengan cepat?
- Mmmmhhhh .... pernah ya ....
+ Kapan penyu bergerak dengan cepat?
- Ketika berada di air.
+ Penyu bergerak dengan cepat ketika berada di air. Di mana anda bisa mencari air?
- Di laut, bu ...
+ Dan apa laut itu dalam kehidupan anda?
- Lingkungan kerja yang menyenangkan dengan pekerjaan yang saya suka dan orang-orang yang memberikan dukungan pada saya.
+ Jadi di lingkungan kerja seperti itu anda dapat bergerak lebih cepat.
- Iya bu
+ Dan apakah anda sudah menemukan lingkungan kerja tersebut?
- Saya sudah terbayang sekarang bu, di mana laut saya. Dan saya akan masuk ke laut tersebut dan berenang dengan cepat. Saya tidak kuatir dengan ombak yang besar, karena saya bisa bergerak cepat di laut.


Gambar dari http://maroonweekly.com/saving-sea-turtles


KEAJAIBAN METAFORA

"Metafora bagi orang-orang dari Nusantara memiliki arti yang personal sehingga seorang psikolog, psikoterapis atau coach tidak boleh mengabaikan metafora saat seorang klien mengkaitkannya dengan masalah yang dihadapinya" (Asep Haerul Gani)

Kang Asep, psikolog sekaligus seorang pencinta budaya nusantara mengungkapkannya dalam satu sesi bahasan "Clean Language" di trainingnya.


Clean Language dengan tokohnya David Grove adalah salah satu teknik yang digunakan dalam Psikoterapi dan Coaching. Salah satu prinsip dasar dari teknik ini adalah bahwa seorang psikolog, psikoterapis atau coach harus menggunakan bahasa dan istilah yang digunakan klien dan tidak boleh mengubahnya dengan bahasanya sendiri. Termasuk juga metafora-metafora yang digunakan oleh klien.

Ingatan saya pun kembali ke masa-masa usia SD dan SMP, saat saya diwajibkan menghafal berbagai ungkapan, baik dalam pelajaran bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda.

- Bak pinang dibelah dua, untuk menggambarkan orang yang sama persis tampilannya.
- Bagai api dalam sekam, untuk menggambarkan kemarahan yang disimpan dalam hati yang sedikit demi sedikit merusak dengan tumbuhnya penyakit hati
- Adean ku kuda beureum - ginding ku barang batur, metafora bahasa Sunda yang berarti kebanggaan karena menggunakan barang atau mengatas-namakan orang lain.

Ribuan metafora yang tumbuh dalam budaya nusantara, berakar secara khas di masyarakat. Sekalipun pengaruh budaya Barat yang lugas dalam bertutur, namun tetap saja metafora adalah kekhasan berkomunikasi yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang berbahasa tidak langsung, seperti di Nusantara.

Dan saya menemukan metafora itu juga digunakan oleh klien-klien saya.
- Ayah saya seperti singa galaknya ...
- Perihnya itu seperti diiris pisau perlahan-lahan, kemudian lukanya ditabur garam ...
- Anak saya itu ya kok seperti bola bekel. Mantul-mantul terus gak berhenti ...
- Hatinya itu lha kok ya seperti gunung es, keras dan dingin luar biasa.
- Saya ini seperti jatuh tertimpa tangga, nyemplung ke got, disorakin pula ...

Dan semua metafora itu memiliki arti personal yang signifikan bagi orang yang menggunakannya.

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...