Sabtu, 30 Juli 2016

BODY INTEGRITY* - yws

Setiap orang perlu memiliki Body Integrity, yaitu kesadaran bahwa tubuhnya adalah miliknya, perlu dijaga dan dihormati baik oleh dirinya maupun orang lain. Orang lain tidak boleh menatap, menyentuh, memegang apalagi menyakiti tubuh atau bagian tubuh orang lain dengan cara yang tidak sopan atau tidak dikehendaki si pemilik tubuh. Intinya body integrity adalah kehormatan diri.

Siapa yang perlu mengajarkan body integrity? Dasarnya adalah oleh orangtua, baru kemudian lingkungan di luar orangtua, seperti keluarga besar, guru, teman dan masyarakat.

Awali dengan mengajarkan
- identifikasi dan penamaan bagian-bagian tubuh,
- fungsi setiap bagian tubuh,
- pemeliharaan
- dan juga perlindungannya.

IDENTIFIKASI DAN NAMA BAGIAN TUBUH
Nampak sederhana bukan? Tapi dalam kenyataannya, saya menemukan bahwa ada saja orangtua yang menghindari menjelaskan beberapa bagian tubuh tertentu. Jangankan menjelaskan fungsi, pemeliharaan dan perlindungan bahkan menyebutkan namannya pun rasanya lidah ini kelu. Sampai saking jengah dan canggungnya, orangtua mengganti nama bagian tubuh itu dengan nama yang orang lain mengartikannya berbeda.

Bagian-bagian tubuh yang saya maksud terutama yang terkait dengan alat-alat reproduksi baik yang nampak maupun tidak nampak. Padahal bagian tubuh ini sama seperti bagian tubuh lainnya juga penting untuk dijelaskan, dan bahkan sangat penting ketika kita membahas mengenai Body Integrity.

FUNGSI
Menjelaskan fungsi bagian tubuh adalah terkait dengan pemanfaatan dan konsekuensi dari pemanfaatan bagian tubuh itu. Bila seorang anak tahu fungsi dari bagian tubuhnya, maka biasanya ia akan lebih kooperatif untuk menjaganya. Termasuk juga seberapa manfaat yang dirasakan dari bagian tubuh tersebut. Misalnya, kalau dia merasakan diuntungkan dengan adanya tangan, maka ia akan menjaga tangannya dengan baik. Kalau anak tahu bahwa resiko benturan bisa melukai, maka ia akan menjaga supaya tubuhnya terhindar dari resiko tsb.

PEMELIHARAAN
Saya ulangi, bila anak menyadari tubuhnya, merasakan fungsi/manfaatnya maka ia akan lebih kooperatif untuk memelihara. Kebersihan, kesehatan adalah termasuk dalam bagian ini. Menyuruh apalagi memaksa anak mandi, sementara anak tidak merasakan langsung manfaatnya akan menjadi rutinitas yang melelahkan dan menguras emosi. Karenanya tetap penting untuk menjelaskan mengapa suatu aktivitas perlu dilakukan meski prosesnya tidak menyenangkan.

Tetap menarik mencermati, mengapa ketika berkaitan dengan kesehatan reproduksi, orangtua menghindari membahas ini. Ketika tahapan awal (mengidentifikasi dan memberi nama bagian tubuh juga fungsinya) terlewati, maka memang menjadi agak rumit dan canggung untuk membahas mengenai pemeliharaannya. Anak perlu diajari caranya thaharah (membersihkan diri), istinja (membersihkan kotoran) dan juga mandi besar (mandi setelah menstruasi atau mimpi basah) bila sudah baligh. Bahkan yang lebih teknis dan spesifik seperti membuang pembalut pun baiknya diajarkan secara khusus.

PERLINDUNGAN
Sekalipun ini tahapan tertinggi, namun dalam prakteknya tetap bisa dilakukan sejak dini. Ajari anak bagaimana melindungi dirinya.
1. Ajari anak Kapan, Siapa, Di mana dan Bagaimana ia boleh MENAMPILKAN tubuhnya. Termasuk bagian tubuh yang mana saja yang boleh ditampilkan.
- Bolehkah anak berdandan dengan make up tebal seperti orang dewasa?
- Pantaskah anak melenggak-lenggokkan tubuhnya di depan orang banyak?

2. Ajari anak Kapan, Siapa, Di mana dan Bagaimana ia boleh DISENTUH tubuhnya.
Ajari anak mengenali/mengidentifikasi ragam sentuhan mulai dari yang
- formal/sosial (misal; bersalaman),
- profesional (oleh dokter),
- kasih sayang (ciuman dan pelukan dari orangtua)
- sampai yang menjurus kepada seksual (misal; menyentuh alat kelamin) dan juga kekerasan (memukul, menampar, mencubit, dll).

Oleh karena itu,
- Bolehkah anak digendong dan dipangku oleh siapa pun apalagi yang berjenis kelamin berbeda?
- Pantaskah mencium anak yang kelihatan lucu apalagi oleh orang yang berjenis kelamin berbeda?
- Bolehkah anak dipukul atau ditampar bahkan oleh orangtua atau pun orang terdekat sekalipun. (Note; kekerasan, pelecehan seksual dan perkosaan secara statistik jauh lebih banyak dilakukan orang terdekat anak daripada orang tak dikenal).

3. Ajari anak untuk berani mengungkapkan perasaannya
- terkait tubuhnya (body sensing),
- melaporkan tindakan orang lain yang melanggar batas kepada orang yang dipercaya.
- atau bahkan belajar bela diri untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diharapkan.

Betul, bahwa bahasan dan kepantasan ini akan berkait dengan value setiap orang dan juga budaya dalam kelompok tertentu. Silakan saja masing-masing orangtua menggunakan batasan dari value dan budaya yang dianutnya. Apapun value atau budayanya, tahapan-tahapan mencapai Body Integrity tersebut tetap penting dilakukan. Sehingga kita tidak terheran-heran ketika melihat dalam realita anak-anak yang diajari agama dan moral, tapi ternyata tidak memiliki body integrity ketika ia memperlihatkan, mem-foto, menshare tubuhnya secara terbuka atau membiarkan tubuhnya boleh diperlakukan bebas oleh orang lain.

*Istilah Body Integrity saya dengar pertama kali dari Mas Reza Indragiri Amriel seorang psikolog forensik saat membahas mengenai pelecehan dan kekerasan seksual pada anak dan remaja.
Saya menurunkannya ke dalam bahasan psikologi perkembangan dan parenting yang lebih teknis.

Yeti Widiati 300716

Kamis, 28 Juli 2016

WE TIME - yws
(Bonding dan Sibling Rivalry)

Ada saja yang bertanya pada saya, bagaimana saya "membuat" si kakak tidak jealous pada adiknya yang membutuhkan perhatian khusus karena kondisinya? Biasanya saya akan menghela nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab. Bukan apa-apa, karena pertanyaan itu mengembalikan memori saya pada masa-masa melelahkan menguras energi fisik dan emosi. Saat si sulung mengalami regresi (kemunduran perilaku ke tahap perkembangan sebelumnya) setelah ia menguasai berbagai ketrampilan sesuai dengan usianya. Dan masa regresi itu terjadi ketika adiknya berusia sekitar 1,5 tahun. Saat di mana saya sedang limbung dan bingung dengan kondisi adiknya yang tak jelas.

Saat regresi, si kakak yang berusia 3,5 tahun dan sudah bisa makan sendiri, kembali minta disuapi. Sudah bisa ke toilet sendiri, kembali mengompol dan sudah bisa bermain sendiri, kembali minta ditemani.

Melihat kondisi itu, saya segera menyadari bahwa si kakak mengalami sibling rivalry, persaingan antar saudara untuk memperoleh perhatian dari orangtuanya. Ada kecemasan pada si kakak bahwa ia kehilangan cinta dan perhatian yang selama ini ia peroleh secara penuh, tak terbagi.

Saya perlu meyakinkan pada si kakak bahwa ia tetap diperhatikan dan dicintai sekalipun ada adiknya. Namun di sisi lain, ada kondisi bahwa memang si adik membutuhkan perhatian yang cukup besar karena perlu mondar-mandir ke berbagai dokter untuk melakukan pemeriksaan dan juga beragam treatment medis.

Bagaimana caranya meyakinkan anak usia 3,5 tahun bahwa ia diperhatikan dan dicintai, sekalipun ada seorang yang hadir dalam hidupnya? Kata-kata dan kalimat tidaklah cukup untuk balita yang menyerap informasi dengan indranya. Ia perlu melihat, mendengar, menyentuh, mengecap dan mencium. Ia perlu merasakan dengan seluruh indranya apa itu perhatian dan cinta.

Pada masa-masa melelahkan itu, saya berkesempatan membaca kisah Stephen Covey dengan 9 anaknya. Bagaimana ia membuat anak-anaknya tetap rukun dan merasa dicintai. Ia menyediakan waktu khusus untuk setiap anaknya.

Cara itu pula yang saya gunakan kepada si sulung. Ada waktu di mana ia hanya berdua saja dengan saya, ibunya. Saya menyebutnya "We Time". We Time ini tidak sama dengan waktu yang dipergunakan saat melakukan aktivitas keseharian, seperti makan, mandi, belajar, di mana perhatian kita mungkin teralih kepada berbagai hal lain, karena disambi dengan mencuci, memasak, dll.

We Time adalah benar-benar waktu di mana kita hanya berfokus pada anak kita saja. Biasanya saya berjalan-jalan, ngobrol, makan, bermain dan melakukan berbagai kegiatan yang disukainya, hanya berdua saja. Pergi dan pulang menggunakan kendaraan umum, si sulung bisa tertidur di pangkuan saya tanpa terganggu adiknya. Dalam "We Time" saya hanya milik si kakak. Satu kali seminggu waktu istimewa dan eksklusif dimiliki si kakak. Sementara si adik dititipkan dulu pada ayahnya, neneknya atau mbak pengasuhnya.

Setelah beberapa kali melakukan "We Time" dan bonding (ikatan yang kuat) sudah terbentuk, maka relatif jauh lebih mudah bagi saya untuk membicarakan hal-hal sulit termasuk menceritakan kondisi adiknya dan apa yang saya harapkan dari sisi kakak terhadap adik.

Ketrampilannya pun kembali, dia tidak lagi mengalami regresi. Bahkan tumbuh kebanggaan bahwa dia menjadi seorang kakak yang mengerti dan melindungi adiknya.

Hingga saat ini, saya masih melakukan "We Time" itu dengan semua anak saya. Tidak lagi satu minggu sekali, karena mereka sendiri sudah memiliki kesibukannya. Bisa jadi per satu bulan atau bahkan per beberapa bulan.

We Time saya dengan si sulung sekarang diisi dengan diskusi topik-topik serius. Biasanya ia yang menyetir kemudian kita pergi ke tempat yang kita tentukan.

Kadang saya menyengaja pergi ke Bandung untuk melakukan We Time dengan anak kedua. Jalan-jalan di toko buku, memilih pakaian, minum bareng di cafe, sampai obrolan saat tidur bersama, berdua saja. Bahkan ayahnya pun tidak ikut.

Sementara We Time dengan si bungsu lebih banyak diisi dengan obrolan tentang idol-idol Korea. Tentang teman-temannya, Tentang gaya hidup, pokoknya benar-benar girls talk. Dan saya menikmati semuanya.

We Time dengan setiap anak adalah "tabungan hubungan dan emosi positif". Sehingga saat kita perlu membicarakan persoalan yang rumit yang mungkin menimbulkan ketidak-nyamanan, maka saat itulah kita mengambil tabungan kita. Semakin rajin kita mengisinya, maka semakin besar peluang kita untuk membicarakan hal rumit, kapan pun dibutuhkan.

*Note: Pasti perlu juga "We Time" dengan suami :)

Yeti Widiati 280716

Kamis, 21 Juli 2016

TRUST - yws

"Saya curiga suami saya selingkuh di luar rumah ..."
"Kalau suami ada di rumah anda percaya gak?"
"Pastinya dia mikirin selingkuhannya ..."
"Dari mana anda bisa yakin seperti itu?"
"Soalnya dia suka bengong, sambil ngeliat ke atas ..."
"Dan apa yang anda lakukan ketika suami anda seperti itu?"
"Saya bilang, 'kamu mikirin cewek lain ya?'"
"Suaminya jawab apa?"
"Bilangnya sih 'Nggak'. Tapi pasti dia bohong ..."
"Lalu anda maunya bagaimana?"
"Saya mau dia gak mikirin, ngebayangin, apalagi selingkuh dengan perempuan lain."
"Dan apakah dengan cara yang anda lakukan lalu anda percaya bahwa suami tidak selingkuh?"
"Nggak tahu ..."
"Dan, apa yang harus dilakukan suami anda agar anda percaya bahwa dia tidak selingkuh?
"Eh .... mmmmmhhhhhh ..... apa ya ....?"
"Dan apa yang anda inginkan terjadi pada diri anda?"
"Saya maunya percaya sama suami"
"Dan apa yang perlu anda lakukan agar anda percaya pada suami?"
"Aduh ... susah ya ..."


Bila trust tidak terbentuk, maka perilaku apapun yang ditampilkan tidak akan membuat trust menjadi kuat.

*Berlaku dalam berbagai hubungan, suami-istri, orangtua-anak, atasan-bawahan, pemimpin-rakyat, dll.

Yeti Widiati 210716

Rabu, 20 Juli 2016

5 TAHAP MENERIMA MUSIBAH - yws
(5 Stages of Grief)

Berduka saat mengalami musibah bersifat universal dan dialami oleh semua orang dalam perjalanan hidupnya.

Jenis-jenis musibah yang menimbulkan kesedihan mendalam, antara lain:
- Sakit parah atau kecacatan baik yang dialami diri sendiri atau dialami orang yang kita cintai (anak, pasangan, orangtua, dll).
- Putus hubungan, perpisahan/perceraian, patah hati atau meninggalnya orang yang sangat berarti. Pada anak-anak bahkan kehilangan dan kematian hewan peliharaan juga bisa menimbulkan rasa sedih luar biasa.

Menurut Elisabeth Kübler-Ross dalam buku On Death and Dying (1969), ada 5 (lima) tahap reaksi normal seseorang dalam menghadapi kesedihan yang mendalam.

Tidak setiap orang mengalami seluruh tahapan ini. Ada orang yang terus-menerus sepanjang hidupnya berada dalam tahap denial, atau tahap kemarahan. Namun bila kita menyadari di tahap mana kita berada, maka kita bisa menjalani proses dengan lebih baik. Demikian pula bila ini terjadi pada orang lain, maka orang di sekitarnya dapat membantu dengan lebih efektif.

Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Denial/Penyangkalan
“Tidak mungkin, tidak mungkin ini terjadi ... “

Ini adalah kalimat umum yang muncul sebagai reaksi shock yang normal saat seseorang mengalami musibah. Denial adalah mekanisme pertahanan diri untuk mengurangi shock yang datang tiba-tiba. Dengan cara ini rasa sakit yang luar biasa dapat kita kurangi.

2. Marah
Ketika gelombang rasa sakit datang kembali. Emosi berikutnya muncul dalam intensitas lebih tinggi dan merupakan reaksi dari ketidak-berdayaan yang diekspresikan dalam bentuk kemarahan.

Kemarahan bisa ditujukan pada obyek yang tidak jelas, orang asing, teman, keluarga atau bahkan kemarahan bisa ditujukan pada orang yang meninggal. Beberapa bahkan marah pada Tuhan, karena merasa diperlakukan tidak adil. Meskipun secara sadar kita mengetahui bahwa orang-orang itu tidak layak disalahkan, tapi secara emosional kita mencari orang untuk dijadikan alasan kemarahan kita. Kadang kita merasa bersalah karena kita marah, tapi malah hal ini membuat kemarahan menjadi bertambah lebih kuat.

Dokter yang mendiagnosis penyakit berat dan tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut pun juga bisa menjadi sasaran kemarahan.

3. Bargaining
“Coba kalau penyakitnya ketahuan lebih awal ...”
“Coba kalau saya gak pergi meninggalkan dia ...”
“Coba kalau saya bertemu dengan dokter yang lebih pintar ...”

Kalimat-kalimat itu pun merupakan reaksi normal dari perasaan ketidak-berdayaan yang muncul dari kebutuhan untuk memperoleh kembali kekuatan.

4. Depresi
Ada dua tipe depresi yang berkaitan dengan berduka.
Tipe pertama adalah reaksi terhadap akibat dari kehilangan. Misalnya, kita khawatir pada biaya penguburan, rumah tangga, atau pendidikan anak-anak yang ditinggalkan. Fase ini dapat diperingan dengan bantuan konkrit baik berupa materi atau pertolongan orang lain.

Tipe kedua lebih halus dan bersifat privat. Ini menyangkut kesiapan diri kita untuk berpisah dan melepas orang yang kita sayangi.

Ada yang membutuhkan kehadiran orang lain pada situasi ini, namun sebaliknya ada juga yang membutuhkan kesendirian untuk mengekspresikan perasaannya dan menyiapkan diri menerima situasi yang baru.

5. Penerimaan (Acceptance)
Mencapai tahapan ini adalah suatu anugrah yang tidak diperoleh oleh setiap orang. Tahapan ini tidak selalu ditandai dengan rasa nyaman, tenang apalagi bahagia kembali seperti sediakala. Tapi juga bukan kesedihan yang berkepanjangan.

Tahapan acceptance lebih berbicara pada kesadaran akan realitas yang baru dan kesiapan untuk hidup dengan realitas baru yang berbeda dari sebelumnya.

Menghadapi kehilangan adalah pengalaman yang sangat personal dan mendalam. Orang tidak selalu bisa membantu kita untuk melaluinya dengan mudah atau memahami semua emosi yang kita alami. Tetapi orang lain dapat mendampingi kita dan membantu menghibur selama kita melalui proses ini. Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah mengizinkan diri kita merasakan kesedihan. Menolak atau menahan kesedihan hanya akan menambah lama proses kesembuhan alamiah.

Dengan tambahan dari tulisan Julie Axelrod di http://psychcentral.com

Yeti Widiati 200716

Sabtu, 16 Juli 2016

"RUDY" YANG TERDEGRADASI - yws

Nonton "Rudy Habibie" bareng nona bungsu. Aduh kok kecewa ya. Pasti sih setiap orang punya kesan subyektif yang berbeda-beda. Tapi buat saya film yang ini jauh betul kualitasnya di bawah "Habibie dan Ainun" yang pembuatannya benar-benar didampingi pak Habibie. Sehingga benar-benar based on true story. Setting waktu, tempat, dan juga pilihan bahasa/istilah sangat teliti kalau tidak boleh dibilang presisi. Memang sih di awal film "Rudy" ini menyebutnya bukan 'based on true story' tetapi 'inspired by true story', jadi seolah mengatakan "beda-beda tipis dengan aslinya gak apalah".


Buat saya, karena film ini, nama baik pak Habibie agak terdegradasi. Keagungan cintanya kepada bu Ainun (dari kacamata saya sebagai perempuan) terwarnai Ilonna. Setting wardrobe, bahasa/istilah juga pilihan pemain pendukung dari para comic membuat kening saya berkerut. Nampaknya saya menuntut terlalu banyak apabila Punjabi brothers lebih teliti terhadap hal-hal seperti ini. Gak dapet soulnya menurut saya. Bahkan si nona beberapa kali protes, "Kok ngomongnya gitu?" atau "Kok emang dulu udah ada barang itu" Dll.

Penasaran saja ingin tahu bagaimana pendapat pak Habibie menonton filmnya yang menjadi begitu cair, populer, kurang akurat, gak masuk akal dan berlebihan pada beberapa adegan dan cita rasa yang kuat adalah "berasa India". Ada drama yang membuat berurai air mata, komedi yang membuat terbahak, action berdarah-darah, tak lupa menyanyi dan lenggak-lenggok menari.

Bagaimanapun, akting Reza Rahardian tetap bagus, jauh meninggalkan para pemain lainnya yang entah bagaimana rasanya benar-benar seperti penggembira. Reza yang "menyelamatkan" film ini sehingga saya masih bisa menikmatinya. Oh ya, para comic mungkin memang lucu, tapi rasanya bukan di film itu tempat yang tepat.

Dan yang membuat si nona bungsu saya excited adalah karena beberapa pemain pendukung (Ernest, Chelsea Islan, Bastian, dll) datang ke Blitz untuk promo, menyapa para penonton juga mengajak berfoto selfie.

Yeti Widiati 150716

Sabtu, 09 Juli 2016

PENJARA "REAL TIME" DALAM PARENTING - yws

Era digital memunculkan istilah "real time" yang bermakna kurang lebih rentang waktu yang dihasilkan suatu perangkat komputer untuk berespon. Semakin cepat respon suatu perangkat, maka dipandang lebih baik. Kejadian di suatu tempat bisa diakses dalam hitungan detik di tempat yang lain.

Nampaknya konsep "real time" ini berpengaruh secara signifikan pada perilaku manusia, termasuk parenting di dalamnya.

Suatu hari pernah seorang muda, sms curhat pada saya. Saya sempat membacanya, tapi tidak menjawab sms tersebut karena sesuatu dan lain hal. Selang beberapa menit, masuk sms kembali dari orang tsb. berisi protes, "Kenapa Mbak hanya membaca saja dan tidak menjawab curhat saya? Mbak gak suka sama saya, ya?"

Ooops, agak kesal saya jadinya karena bukan saja orang tsb. tidak peduli pada situasi saya, tapi juga mengakhiri pertanyaannya dengan tuduhan pada saya. Terlintas dalam pikiran saya, jangan-jangan orang ini hidup 24/7 bersama gadget di samping dirinya, dan segera berespon setiap ada pesan sms, wa, FB, twitter, instagram dll yang masuk. Dan ia mengira semua orang termasuk saya, seperti itu.

Pengaruh real time dalam parenting, sungguh patut kita cermati juga. Apakah ini sesuatu yang mendukung ataukah justru merusak proses pendidikan yang kita bangun untuk anak-anak kita.

Saat balita, ibu saya mendampingi saya setiap saat. 24 jam dalam seminggu. Kemudian ketika saya masuk sekolah TK, ibu tidak memperoleh kabar dari saya selama 2 jam dari jam 8-10. Selama 2 jam itu saya memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai diri saya, tanpa intervensi dari orangtua.

Masuk SD, rentang waktu saya mandiri menjadi lebih panjang, antara 3 jam (kelas 1 SD) sampai 5 jam. SMP-SMA, 7 jam. Dan saat kuliah, bisa seharian atau bahkan berhari-hari (jika menginap) orangtua saya tidak mendapat kabar dari saya. Ya, tak ada gadget saat itu, dan kami pun belum memiliki telpon rumah. Sekalipun tidak berhubungan setiap saat, saya merasakan bahwa orangtua saya tetap trust pada saya.

Sekarang, zaman berubah. Jamak saya mendengar orangtua yang menelpon anaknya yang sudah mahasiswa 3-5 kali/sehari (lebih dari dosis obat). Tak peduli anaknya sedang kuliah, diskusi, ngobrol dengan teman atau bahkan sedang tidur di kostannya. Anak TK bahkan play group pun dibekali gadget oleh orangtuanya. CCTV di pasang di rumah agar orangtua bisa memonitor bayinya dari kantor. Dan meradangnya para orangtua ketika diberlakukan peraturan "No gadget" di sekolah.

Untuk point terakhir ini, bukan hanya orangtuanya yang meradang, bahkan siswanya pun demikian. Kesal karena tak punya kesempatan chatting dengan teman-temannya via gadget. Daaaaan ... sayang disayang, para guru pun tidak selalu menunjukkan contoh, bagaimana cara "hidup" tanpa gadget. Karena saat mengajar dan ada pesan masuk, di sela waktu mengajarnya ia pun membalas ragam pesan, langsung atau pun via wa.

Teknik berbohong via gadget pun berkembang,
"Gua lagi otw nih ..." padahal sama sekali belum berangkat.
"Honey, aku lagi di kantor ..." padahal sedang di Senayan.
"Mama aku lagi belajar bareng ..." padahal sedang pacaran
Etc. ...

Ketika hp bisa juga digunakan untuk mengirim foto, maka muncul istilah, "No picture is hoax", sehingga orang tidak lagi hanya berbicara tapi merasa perlu untuk membuktikan kebenaran omongannya. "Lagi makan di mall nih ..." mengiringi pose tersenyum di depan meja penuh makanan. Kalau perlu minta mbak dan mas pelayan untuk memfotokan. Btw, salah satu ketrampilan yang dibutuhkan para pelayan restoran sekarang adalah kemampuan memfoto dengan ragam hape.

Kemudian, berkembanglah teknologi GPS yang bisa dipasang di gadget, sehingga keberadaan seseorang bisa dilacak. Tulisan, bicara dan gambar dianggap tidak bisa jadi cukup bukti. Selain kita bisa "share location", kita juga bisa melacak keberadaan orang lain yang kita pasangi GPS.

Suami-istri yang ribut gara-gara GPS, tidak jarang terjadi.
"Aku di kantor, Sayang ..."
"Nggak, kamu bohong, kamu sedang di luar kota. Kamu sedang pacaran kan sama sekretaris kamu ...?" (Rupanya sang istri memasang GPS di hp suaminya)

Atau juga bahkan orangtua memasang GPS pada anaknya untuk memonitor keberadaan anaknya agar ia merasa tenang mengetahui di mana anaknya berada. Sedihnya adalah, mungkin saja orangtua bisa tenang bisa memonitor aktivitas anak, tapi anak sama sekali tidak merasakan kehadiran orangtuanya.

Pertanyaannya kemudian, betulkah kita menjadi merasa lebih tenang dengan mengetahui segala macam informasi dan kondisi anak atau pasangan kita real time? Betulkah trust atau rasa percaya kita tumbuh pada anak kita atau pasangan kita? Betulkah bonding (ikatan) yang terbentuk antara orangtua dan anak menjadi lebih kuat? Atau yang terbentuk hanya ikatan imajiner yang semu?

Saat saya menulis ini semua, saya menyadari sepenuhnya bahwa saya juga terjebak dalam situasi tersebut. Saat anak saya yang berkuliah di luar kota tidak membalas sms saya, saya menjadi gelisah. Meskipun anak saya mengatakan, "Aku kan lagi kuliah, Maaa ...."

Saya pun merenung kembali.
- Betulkah kecanggihan semua peralatan digital ini membantu saya mempertahankan trust pada diri saya terhadap anak-anak saya tercinta?
- Betulkah saya memberikan kesempatan pada anak saya untuk bertumbuh mandiri tanpa intervensi setiap saat dari saya sebagai orangtuanya?
- Apakah cukup kesabaran saya untuk menunggu dan tidak tergesa memperoleh informasi real time dan menahan diri untuk tidak ikut campur?
- Dlsb.

Alih-alih memberikan kebebasan dan keleluasaan, real time justru menciptakan penjara imajiner yang membuat diri kita menjadi semakin gelisah setiap kali tidak memperoleh informasi segera.

Wallahu'alam

Yeti Widiati 090716

Kamis, 07 Juli 2016

KONMARI METHOD – yws


Konmari method yang diperkenalkan oleh Marie Kondo, bagi sebagian orang mungkin metode ini biasa-biasa saja dan tidak terlalu istimewa. “Cuma” metode bebenah kok. Tapi saya melihat yang terlihat biasa-biasa dan tidak istimewa ini memiliki efek terapeutik luar biasa bagi mereka yang masih struggling dalam mengelola diri, pikiran dan perasaan yang tampil dari bagaimana ia mengatur lingkungan fisiknya. Bukan masalah rapi dan “tidak terlihatnya” barang yang menjadi fokus tapi metode ini mengacu pada bagaimana mengorganisasikan agar barang bisa dicari kembali dengan mudah saat dibutuhkan. Termasuk juga mudah disimpan kembali sesuai kategorinya. Sehingga mengurangi tensi emosi dan juga mengurangi kecenderungan untuk membeli dan membeli lagi barang baru yang sama dengan yang sudah dimiliki.

Beberapa prinsip dari Konmari method yang menurut saya cukup menarik adalah.
1. Sebelum mengorganisasikan, kumpulkan dulu semua barang yang kita punya berdasarkan kategori. Misalkan, merapikan lemari pakaian, maka kumpulkan semua pakaian kita di lantai. Sehingga kita tahu seberapa banyak pakaian yang kita punya. Baik dari sisi jenis, warna maupun usia.

Cara ini bisa kita lakukan juga saat kita merasa memiliki beban yang terlalu berat dan terlalu banyak dalam hidup. Buat saja list, tulis semua hal yang kita miliki baik kelebihan maupun kekurangan, baik ancaman maupun peluang, termasuk juga semua resources (sumber daya) yang bisa kita gunakan untuk menyelesaikan masalah.

2. Alih-alih memilih barang untuk dibuang, maka metode ini lebih berfokus pada memilih barang yang akan disimpan. Pilih barang-barang (selain paper document) yang menurut kita memberikan energi positif, membuat kita senang dan membuat kita tambah cemerlang (spark and joy).

Saya ambil contoh dengan pakaian lagi, pisahkan mana pakaian yang kita suka dan memberikan energi positif saat mengenakannya. Bukan tentang baru atau lamanya. Sekalipun pakaian baru, tapi kalau kita tak nyaman mengenakannya, maka lebih baik tidak berada di lemari kita. Didonasikan boleh jadi lebih bermanfaat.

Melakukan pengorganisasian terhadap masalah, juga bisa memberikan insight bagi kita. Setelah kita membuat list terkait kekurangan, kelebihan, ancaman, peluang dan resources, boleh jadi kita menemukan kenyataan dan kesadaran baru, bahwa diri kita memiliki jauh lebih banyak hal positif daripada negatif dalam diri.

3. Benda-benda yang memiliki memori atau kenangan tertentu, pun boleh jadi perlu “dilepaskan” bila ia secara obyektif tidak memiliki manfaat signifikan. Pakaian pengantin, pemberian seseorang yang kita kasihi, baju bayi yang lucu, dll. Fotolah benda-benda kenangan tersebut. Kemudian peluk dan sentuh serta ucapkan terima kasih. “Terima kasih, kamu sudah membantu saya selama ini,” atau “Terima kasih, kamu sudah menjadi bagian indah dari masa lalu saya,” kemudian lepaskan.

Mungkin terasa aneh cara tersebut karena kita tidak pernah atau tidak biasa melakukannya. Tapi lakukan saja dan rasakan sensasinya. Kita tidak pernah tahu apabila tidak melakukan.

Dalam teknik-teknik terapi di ruang-ruang klinik, cara seperti ini lumrah dilakukan. Mereka yang memiliki unfinished bussines dengan orang-orang di masa lalu, dapat kita “hadirkan” dan kemudian kita ungkapkan apa yang masih menjadi ganjalan selama ini kepada orang tersebut. Biasanya proses ini membuat emosi menjadi release. Perasaan lebih tenang, dan kita bisa berpikir lebih jernih.


4. Lakukan pengaturan/pengorganisasian sehingga “semua” barang yang kita miliki terlihat jelas. Dengan cara ini kita tahu apa yang kita punya dan apa yang kita belum punya dan mungkin perlu diadakan. Dalam pengaturan pakaian, metode Konmari lebih menyarankan pengaturan pakaian secara vertikal daripada horizontal karena cara ini memudahkan kita untuk memilih pakaian dan tahu seberapa banyak yang kita miliki.


5. Lakukan pengorganisasian mulai dari yang paling mudah
  • - Pakaian, 
  • - Buku
  • - Kertas-kertas dan dokumen
  • - Barang-barang lain, termasuk barang-barang kenangan. 
Saya masih berproses melakukannya. Sudah terasa efek terpeutiknya saat mengorganisasikan pakaian. Terkejut ketika menyadari apa yang dimiliki dan begitu tarkait secara emosi saat perlu melepaskan. Memulai sesuatu dari yang paling mudah akan menumbuhkan rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu yang lebih sulit. Pola ini persis sama seperti saat kita mengajari anak atau bahkan diri kita sendiri untuk menguasai suatu ketrampilan tertentu. Mulailah dari yang paling mudah.

6. Ruang yang lebih luas

Bila pada awalnya, banyak barang tergeletak tak beraturan dan mengambil space sehingga kita merasa rumah kita penuh dan sesak. Maka metode Konmari membuat kita memperoleh space/ruang yang lebih lapang dan secara langsung juga mempengaruhi mood dan emosi kita. Perasaan ini pula yang terjadi saat kita berhasil membuat suatu pencapaian dalam masalah-masalah yang kita hadapi sehari-hari. Selain itu ruang yang lebih lapang, memberikan energi positif lebih baik untuk dapat berpikir dengan jernih. Pengambilan keputusan menjadi lebih obyektif.

Saat saya melakukan proses bebenah dengan metode Konmari, saya jadi teringat perkataan ibu saya almarhum. “Semarah dan sesedih apa pun yang kita alami dari persoalan dalam hidup, pekerjaan rutin di rumah tetap harus dilakukan...” Dan saya pun semakin paham, mengapa orang-orang yang mengalami depresi, salah satunya adalah ditandai dengan hilang/berkurangnya energi secara drastis untuk melakukan hal-hal rutin (apalagi hal-hal luar biasa). Semuanya itu tampil dari organisasi hidup dan penataan lingkungan yang kurang terstruktur.


Selamat bebenah di hari libur ...

Wallahu’alam.


Yeti Widiati 070716

Minggu, 03 Juli 2016

INTERDEPENDENSI ATAU TRANSAKSI? - yws

Konsep interdependensi dibahas Stephen Covey dalam '7 Habits for Effective People'. Kalau dependensi adalah kebergantungan, sementara independensi adalah kemandirian, maka interdependensi adalah saling kebergantungan.

Menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan, maka dalam hal kelebihan, ia membantu orang lain, dan dalam hal kelemahan maka ia yang bergantung pada bantuan orang lain. Demikian juga dengan orangtua.


Sampai usia 12 tahun, boleh jadi orangtua masih bisa memberikan ragam ilmu dan ketrampilan dasar yang perlu dikuasai seorang anak. Namun tidak semua orangtua bisa atau mau melakukannya atau mungkin juga, tidak memiliki kesempatan untuk itu. Sehingga mereka merasa perlu menitipkan anaknya dan menggantungkan diri pada lembaga sekolah dengan para guru sebagai pengajarnya. Bahkan seorang anak yang mengikuti Home Schooling sekalipun ada saat di mana orangtuanya akan bergantung pada komunitasnya atau orang lain di luar komunitasnya saat membutuhkan knowledge atau skill spesifik.

Tahun 1970-an, banyak anak mengawali sekolah pada kelas 1 SD, mereka tidak pernah merasakan duduk di Taman Kanak-kanak. Pendidikan dan pengasuhan sampai usia itu sebagian besar dipegang orangtuanya. Bergeser kemudian, TK/PAUD seolah menjadi kewajiban dan persyaratan memasuki SD. Lebih awal lagi ada Kelompok Bermain (Play Group) dan bahkan ada "sekolah" bayi untuk mengakomodir para orangtua yang tidak bisa, tidak sempat atau bahkan tidak mau mendampingi anak-anaknya menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang seharusnya dimiliki pada anak usia tsb.

Semakin bertambah usia anak, maka kebergantungan kita pada guru dan orang lain pun menjadi semakin besar. Karena kita tidak lagi bisa mencukupi semua aspek yang dibutuhkan anak.

Tapi berbicara mengenai akhlak, karakter dan value, misalnya, sopan santun, ketrampilan dasar bantu diri, kemauan berusaha, ibadah, dll, dasarnya haruslah dibangun orangtua di rumah. Sekalipun guru di sekolah juga memiliki tanggung jawab terhadap karakter siswa, namun sebagian besarnya adalah tugas orangtua.

Menarik sekali melihat saat ini ada cukup banyak orangtua menyerahkan "sepenuhnya" banyak aspek pendidikan dan pengasuhan anak kepada orang lain. Guru di sekolah, guru les/bimbel juga pembantu serta baby sitter. Kalau perlu, orangtua bersedia merogoh koceknya lebih dalam agar tugasnya bisa dilakukan orang lain. Di sinilah menurut saya, interdependensi berubah menjadi transaksi. Konsekuensinya, orangtua menuntut hasil kepada orang lain.

Betul, ada keterbatasan kita sebagai orangtua, sehingga kita membutuhkan bantuan orang lain. Namun tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak tetap ada di pundak orangtuanya. Sehingga hasil apa pun yang diperoleh, baik itu dengan melakukan sendiri ataupun dengan membayar orang lain, tetap menjadi tanggung jawab orangtua.

Wallahu'alam

Yeti Widiati 030716
GURU, ORANGTUA DAN SISWA - yws

Saya bersyukur, sekolah anak-anak saya memandang orangtua sebagai partner dalam pendidikan anak. Sehingga komunikasi begitu intens dan hubungan kami (orangtua dan guru) seperti teman. Saling menghormati wilayah masing-masing, memiliki kesepahaman visi tentang pendidikan anak, dan penuh keterbukaan.

Sebelum bergabung dengan sekolah, pihak sekolah mengundang kami para orangtua untuk menyampaikan gambaran tentang sekolah, dari mulai visi dan konsep pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, hingga hal-hal yang bersifat teknis, beli seragam bagaimana, makanan di kantin apa saja, dll. Sehingga kami para orangtua bisa mengantisipasi apa yang akan dihadapi anak, dan menyadari sepenuhnya konsekuensi yang kami hadapi bila menyekolahkan anak di situ.


Sekolah mengajak orangtua untuk bekerja sama dalam pendidikan anak, terutama dalam hal pemahaman aturan sekolah. Sehingga sedapat mungkin bisa sejalan dengan aturan-aturan di rumah.

Semua aktivitas di sekolah dilaporkan oleh guru (saat SD) dan dilaporkan oleh siswa (saat SMP dan SMA) kepada orangtua. Setiap masalah yang terjadi di sekolah, dicari solusinya bersama. Baik masalah yang terkait dengan kesulitan belajar, kepatuhan pada aturan maupun yang terkait dengan pergaulan siswa.

Keterbukaan pihak sekolah membuat masalah yang muncul tidak berujung pada konflik tajam. Karena sejak awal segera ditindak lanjuti.

Sekolah secara rutin mengadakan pertemuan informal, membahas mengenai ragam hal, materi pembelajaran siswa, parenting, atau bahkan perlombaan pada peringatan hari besar. Dalam kesempatan ini guru dan orangtua bisa berinteraksi lebih akrab dan cair.

Saya kira, saat ini pola relasi antara guru dan orangtua tidak bisa lagi seperti dulu. Ketika orangtua "menyerahkan" begitu saja anak pada sekolah. Orangtua juga memiliki tanggung jawab dalam mendidik akhlak anak sejak dari rumah. Guru pun demikian, perlu membangun komunikasi dan hubungan yang lebih cair dengan orangtua.

Ketika trust antara guru dan orangtua sudah terbentuk, maka masalah sebesar apa pun peluang penyelesaian menjadi lebih besar.

*Prihatin dengan orangtua/siswa yang memperkarakan guru
*Prihatin dengan guru yang menggunakan kekerasan fisik dalam pendidikan
*Apresiasi untuk para guru yang sudah mendidik siswa dengan sepenuh hati

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...