Kamis, 27 Oktober 2016

"SILAKAN IBU BAJUNYA ...!!!" - yws

Saya suka "cuci mata" saat mengunjungi daerah perbelanjaan seperti misalnya ITC BSD, Pertokoan Tanah Abang, Semanggi, Baltos di Bandung atau bahkan Pamulang Square dekat rumah saya. Tidak harus membeli, hanya berjalan-jalan saja dan melihat-lihat barang dagangan itu punya efek refreshing dan relaksasi buat saya. Sehingga pikiran mumet bisa agak terurai. Hehehe ... khas perempuan sekali.

Awalnya saya terganggu jika saat saya sedang melihat-lihat, tiba-tiba mbak penjaganya mendekati, dan berteriak "Silakan Ibu bajunya ...!!!" Kalau saya menjawab, "Lihat-lihat saja ..." si mbak pun pada umumnya mempersilakan "Boleh ..." Ada yang sambil tersenyum ada pula yang berwajah datar.


Pernah pada satu waktu saya membeli busana muslim di sebuah kios busana di Pamulang Square. Saya boleh berganti-ganti mencoba ragam busana yang ada di situ. Dan si mbak tak putus memuji, "Cocok bener baju ini dengan kulit Ibu..." atau "Aduh, ibu jadi kelihatan tambah muda ..." Dan anehnya, sekalipun saya tahu si Mbak penjual ini menggunakan hypnotic language untuk mensugesti saya, saya tetap senang mendengarnya.

Si mbak pedagang ini pun seperti sudah punya stock kalimat jawaban untuk setiap keluhan, misalnya,
- "Aduh kepanjangan ... " dijawab, "Iya bu, tinggal dipendekin sedikit di sini ..."
- "Aduh mbak mahal nih ..." dijawab "Bahannya memang bagus Bu, jadi agak mahal, tapi ibu gak bakal nyesel deh, soalnya ini cocok banget di Ibu."
- "Gak matching nih kerudungnya sama bajunya ..." dijawab, "Sebentar Bu, saya ke toko sebelah dulu cari yang kerudungnya matching."

Jika saya tidak jadi membeli, si pedagang tidak berkata apa-apa. Tapi ketika akhirnya saya memutuskan membeli si mbak penjual berkata dengan keras juga, "Nanti kembali lagi ke sini ya, Bu... !!!" Dan anehnya, teriakan itu nempel di kepala saya. Dan saya kerap menengok ke kios tersebut, jika saya datang, sekalipun belum tentu saya membeli.

Satu saat saya berkunjung ke sebuah kota yang budaya, kebiasaan dan pengalaman para pedagangnya membentuk suatu perilaku yang khas. Tak cukup toleran dengan orang yang hanya ingin berjalan-jalan dan melihat-lihat. Melihat, memegang, membandingkan harga dan menawar seolah harus berujung transaksi. Sehingga menjadi terasa memaksa. Sulit memilih sight seeing sebagai cara refreshing di kota ini.

Seorang pedagang menghardik saya karena tidak jadi membeli sebuah barang yang sudah saya sentuh. Ia menggerutu. Sekalipun saya tak paham gerutuannya, tapi menilik raut wajahnya, saya tau kalau ia tak suka. Saya tetap pergi karena memang tak berniat membeli, apalagi didampingi penjual yang cemberut seperti itu.

Sambil beranjak pergi saya pun terngiang dengan suara si mbak di Pamulang Square "Nanti kembali lagi ke sini ya, Bu ...!!!" dan rasa rindu untuk pulang pun mengalir....

*Cara terbaik mempengaruhi adalah dengan MENDEKATKAN bukan MENJAUHKAN.

Yeti Widiati 261016
Parenting di abad 21

ILMU-ILMU YANG PERLU DIKUASAI UNTUK PARENTING YANG LEBIH BAIK
(Diambil dan diterjemahkan dari parentinstructor.com) - yws


Ilmu 1 POLA ASUH
1. Pengertian pola asuh
2. 4 Jenis pola asuh
3. Konsekuensi dari pola asuh
4. Pengaruh jenis kelamin, etnis dan tipe keluarga terhadap pola asuh

Ilmu 2 PEMAHAMAN KARAKTERISTIK ANAK
1. Tahapan perkembangan anak
2. Karakteristik temperamen anak
3. Anak sebagai bagian dari keluarga (posisi, urutan, dll)
4. Persaingan antar saudara
5. Relasi sosial anak
6. Anak dan Stress

Ilmu 3 CINTA DAN PERHATIAN
1. Bagaimana menunjukkan rasa cinta
2. Bagaimana menunjukkan perhatian

Ilmu 4 MENJADI ROLE MODEL
1. Pengaruh masa lalu
2. Apa yang kita tampilkan sekarang?

Ilmu 5 EMPATI
1. Emosi dalam hidup
2. Mengapa emosi itu penting
3. Kurangnya empati
4. Mengapa kesadaran sosial itu penting?
5. Bagaimana belajar lebih empati?
6. Mengembangkan empati pada anak
7. Mendengar empatik
8. Komunikasi empatik
9. Acceptance (penerimaan diri)

Ilmu 6 KOMUNIKASI
1. Mengkomunikasikan emosi
2. Pola komunikasi yang merusak
3. Komunikasi asertif
- Menyampaikan pesan
- Belajar mendengar
- Mengekspresikan keluhan
- Kenali bagian kita dalam sebuah konflik
4. Berkomunikasi dengan anak
5. Tips untuk berkomunikasi dengan anak

Ilmu 7 DISIPLIN
1. Tujuan Disiplin
2. Pendekatan dan filosofi disiplin
3. Prinsip umum disiplin
4. Membuat batasan/boundaries
5. Tips untuk membuat batasan/boundaries
6. Hadiah dan konsekuensi/hukuman bagi anak

Ilmu 8 MANAGEMEN STRES
1. Stres dan kesehatan fisik
2. Stres dan kesehatan mental
3. Stres di tempat kerja
4. Stres dalam parenting
- Mengelola kesehatan mental diri sebagai orangtua
- Menangani stress sehari-hari dalam mengasuh anak
5. Mengenali Stres
- Empat tahap managemen stres
6. Dukungan sosial
7. Sepuluh tips mengurangi stres

Ilmu 9 MASALAH SPESIFIK KELUARGA
1. Anak dan Perceraian
2. Co-parenting
3. Parenting dan orangtua tiri
4. Parenting dan orangtua tunggal

Yeti Widiati 150716
POLA TEMPERAMEN ANAK - yws

Mengacu pada penelitian longitudinal New York* yang menurut saya masih relevan untuk anak Indonesia, dinyatakan bahwa ada 3 pola temperamen pada anak.

1. "Easy" Child
Sekitar 40% anak adalah termasuk easy child. Anak-anak yang termasuk kelompok ini, pada umumnya moodnya stabil, senang. Fungsi biologis berjalan baik (mudah makan, tidur dan aktif bergerak) dan mudah menerima pengalaman baru. Secara sosial juga mudah memasuki dan bertemu dengan orang serta situasi baru.

2. "Difficult" Child
Sekitar 10% termasuk kelompok ini. Ditandai dengan sensitivitas yang lebih tinggi, sehingga mudah kesal, menangis, frustrasi namun juga mudah tertawa terbahak-bahak. Ia perlu usaha lebih besar untuk tenang. Fungsi biologis ritmenya tidak teratur, misalnya dalam hal makan, tidur, termasuk buang air. Kurang suka hal-hal baru, dalam hal makanan, situasi sosial, orang-orang baru. Lambat beradaptasi.

3. "Slow to Warm Up" Child
15% anak berada di antara easy dan difficult child, dalam hal kecepatan berespon dan beradaptasi dengan lingkungan. Ia membutuhkan waktu lebih lama daripada easy child namun lebih cepat daripada difficult child baik dalam mood, fungsi biologis, minat terhadap hal-hal baru dan berespon terhadap lingkungan sosial.

Masih ada 35% anak yang tidak termasuk dalam pola-pola di atas. Mereka misalnya, anak-anak yang mungkin fungsi biologisnya termasuk easy child, namun dalam hal adaptasi sosial termasuk dalam difficult child. Atau anak-anak yang punya minat terhadap hal-hal baru, namun dari sisi mood sangat mudah berubah.

Pemahaman kita (orangtua dan guru) mengenai pola temperamen anak ini, bukanlah dimaksudkan untuk melakukan judge atau labelling, namun lebih pada pengetahuan sehingga kita dapat menghandle anak dengan lebih efektif saat menghadapi suatu situasi tertentu.

Orangtua dan guru yang peka dan peduli pada pola temperamen anak, akan mengembangkan strategi lebih variatif ketika misalnya, menghadapi anak yang sulit makan makanan baru, daripada ikut terbawa kesal dan frustrasi ketika anak "mogok makan".

Dari pengamatan saya terhadap ragam kasus anak, maka poin utamanya tetap adalah pada bagaimana pola asuh atau bagaimana orangtua memperlakukan anak. Anak-anak yang termasuk "easy" child juga bisa bermasalah bila orangtua tidak menghandle atau memanfaatkan resources ini dengan baik.

Tantangan pada orangtua yang memiliki easy child, adalah pengabaian pada anak atau bahkan kesombongan, ketika orangtua mengira bahwa karena dirinya-lah anak menjadi baik dan kemudian mulai mengkritisi orangtua lain yang dipandang "gagal" menghandle anaknya.

Difficult child dan Slow to warm child pun bisa menimbulkan masalah yang lebih besar ketika orangtua menyerah, "Ah anak saya sih memang begitu, kalau gak dikasih keinginannya nanti nangis kejer, repot. Mending di kasih saja," Atau sebaliknya bersikap terlalu kaku dan memaksa, "Pokoknya mau gak mau anak itu harus nurut ...". Sikap-sikap seperti ini menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari.

Allah itu adil, setiap orangtua dikarunia anak dengan tantangan yang sesuai dengan kemampuannya. Tugas kita sebagai orangtua adalah melakukan sebaik yang bisa kita lakukan.

*Sumber Experience Human Development, Diane E. Papalia, 13th

Yeti Widiati 201016

Selasa, 18 Oktober 2016






Ini adalah foto tahun 2012, saat kontrol terakhir dengan Prof. David David, setelah ditangani (operasi dan pendampingan) selama 16 tahun. Dikatakan "terakhir" karena Prof. David mengatakan bahwa proses rekonstruksi untuk mengembalikan fungsi organ, dipandang telah selesai.

Sejak lahir Ghina menyandang Crouzon Syndrome, kelainan pada struktur tulang kepala yang mengganggu fungsi organ di kepalanya. Pada usia Ghina 1,5 tahun, (tahun 1996 awal), kami memperoleh rekomendasi untuk berkonsultasi dengan Prof. David David (dulu masih bergelar Mr.) seorang dokter ahli Craniofacial dari Adelaide Australia.

Kami memperoleh kesempatan bertemu, saat Prof. David berkunjung Indonesia.
Dari pertemuan pertama ini, kami memperoleh gambaran lebih jelas mengenai apa yang bisa kami lakukan untuk membantu perkembangan putri kami baik dari sisi medis maupun psikologis.

Operasi rekonstruksi pertama saat Ghina usia 2 tahun (1996), untuk memberikan ruang bagi otaknya berkembang, sebagai upaya menghindari keterbelakangan mental, gangguan syaraf dan juga rasa sakit kepala yang luar biasa.

Operasi kedua usia 8 tahun (2002), memperbaiki mid-face, terutama untuk menyelamatkan mata dari tekanan terlalu besar yang bisa menyebabkan kebutaan, dan juga memperbaiki rahang.

Operasi ketiga usia 16 tahun, Ghina sudah duduk di bangku SMA. Juga memperbaiki mid-face. Titik beratnya pada rahang, membuat tulang pipi dan memperbaiki dahi.

Proses operasinya sendiri adalah satu tantangan besar, tapi memelihara hasil operasi dan mengembangkan aspek perkembangan lainnya ternyata juga tidak sederhana. Sejak awal Prof. David mengatakan, "Saya melakukan operasi, itu bagian saya, tapi anda orangtuanya yang memelihara hasil operasi ini karena ini adalah proses perubahan jangka panjang."

Dan saya mengapresiasi Prof. David yang selalu memberikan penguatan pada setiap pertemuan konsultasi (2 kali setahun) saat ia berkunjung ke Indonesia. "Hello Blossom ... " dan "Thank you, you did great job as parent. You make my job, easier ..." adalah kalimat yang selalu diucapkan saat menyapa Ghina dan saat pertemuan selesai.

Semua proses sejak awal hingga saat akhir adalah proses pembelajaran luar biasa.

Thank you Prof. David. Saya percaya, setiap kebaikan akan berbuah kebaikan.
Wish you all the best.

Yeti Widiati 181016

Senin, 17 Oktober 2016

READ ALOUD - yws


Pada umumnya, bayi dan anak-anak senang dibacakan buku cerita. Bukan hanya karena content cerita yang menarik, tetapi juga pada proses interaksi selama dibacakan buku.

Sayangnya tidak semua orangtua senang membacakan buku, apalagi membacakan berulang-ulang buku yang sama. Merasa bosan, sia-sia, tidak terlalu penting, tidak sabar, tidak sempat/tidak ada waktu dan bahkan merasa tidak mampu, acap menjadi alasan para orangtua.

Apa keuntungan membacakan buku dengan suara keras (read aloud) pada anak? Ah, saya percaya banyak orangtua sudah tahu tentang hal itu. Selain meningkatkan ikatan/bonding emosional orangtua-anak, yang juga penting adalah meningkatkan kemampuan berpikir/kognitif anak.

Bagaimana kemampuan kognitif bisa meningkat?
- Karena wawasan pengetahuan anak bertambah besar.
- Kosa kata pun bertambah kaya.
- Anak belajar alur berpikir/sistematika yang benar.
- Cerita yang baik juga berpeluang memberikan anak kesempatan memperoleh alternatif problem solving.
- Dengan penyajian yang tepat, juga bisa merangsang kemampuan berpikir kritis anak.
- Mendorong minat belajar dan literasi
- Dll.

Penelitian menunjukkan ada korelasi positif antara anak yang memiliki kemampuan berbahasa (mengungkapkan ide melalui bahasa) yang baik, dengan tingginya kemampuan berpikir anak.

"Read Aloud" yang baik bukan hanya sekedar membacakan buku, namun ada interaksi dan pelibatan anak dalam proses berupa tanya jawab misalnya.

Ada paling tidak 3 jenis style "Read Aloud", yaitu
1. DESCRIBER
Orang yang membacakan cerita dengan style Describer, berfokus pada "menggambarkan" apa yang terjadi dalam cerita atau gambar yang dibacakan dan mengajak anak menggambarkan kembali atau memperagakan apa yang diceritakan.

Contoh pertanyaan yang diajukan:
“Kucingnya kelihatannya seperti apa?"
"Apa yang dimasak ibu untuk sarapan?"

Style ini bisa menambah kosa kata dan wawasan pengetahuan anak mengenai beragam hal. Sehingga sesuai untuk bayi dan anak-anak yang kosa katanya belum banyak.


2. COMPREHENDER
Membacakan buku dengan style Comprehender, mendorong anak untuk melihat lebih dalam pada makna cerita, membuat kesimpulan, dan melakukan prediksi.

Contoh:
“Menurut kamu, singanya sekarang mau ngapain?”
"Bagusnya kita melakukan apa kalau kita menyinggung perasaan teman?"
"Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari cerita ini?"

Ada kemampuan analisis, problem solving, antisipasi yang dieksplorasi. Kemampuan-kemampuan ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi.


3. PERFORMANCE-ORIENTED READER
Orang yang membacakan buku dengan style ini, menyampaikan cerita dengan merancangnya sebagai suatu pertunjukkan yang menarik. Ada pendahuluan dengan menyampaikan tema sebelumnya, paparan isi yang dikemas menarik dan mengajukan pertanyaan sesudahnya.

Model ini baik untuk membuat anak tertarik dengan aktivitas membaca buku.

Tidak ada style membacakan buku yang terbaik bagi anak. Masing-masing style di atas adalah penting dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan anak. Kapan kita bergaya teatrikal dan membuat anak terpesona saat membaca buku, kapan kita memberi kesempatan anak yang berbicara lebih banyak, dan kapan kita mestimulasi anak untuk menggali lebih dalam kemampuan berpikir dan merasanya.

Coba semua yuk ...


Yeti Widiati 171016

Jumat, 14 Oktober 2016

INGATAN BATITA - yws

Ketika bungsu saya berusia sekitar 2 tahun, saya menemukan flash card perkalian di sebuah toko buku, dan lalu membelikannya untuk melengkapi permainan yang dimilikinya. Flash card ini menarik, tidak hanya ada angka yang ditulis dengan bentuk-bentuk lucu, tapi juga ada gambar-gambar berwarna yang catchy untuk anak usia tersebut. Hanya dalam jangka waktu beberapa bulan kemudian, bungsu saya dengan lidah pelonya, bisa menyebutkan perkalian 1 sampai 10 dengan baik. Dan ia menjadi bertambah bersemangat ketika konsekuensi yang diterimanya menguatkan.

Apakah bila anak usia 2 tahun bisa menyebutkan perkalian dengan benar berarti ia sudah paham prinsip perkalian dalam matematika? Tidak, karena ia hanya menghafal gambar dan menyebutkan nama gambar tersebut.

Dengan cara yang sama, apakah bila seorang anak batita hafal ratusan lagu dia sudah paham dengan isi/makna lagu tersebut? Tidak juga, karena dia hanya menghafal kata yang terkait dengan irama, ritme atau bahkan gerakannya bila ada.

Kalau begitu buat apa menghafal dan seberapa batita bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi?

Mengingat adalah salah satu aspek kognitif yang penting tapi bukan paling penting. Penting karena menjadi fondasi dari fungsi kognitif lainnya yang lebih tinggi. Mengingat bisa menunjukkan kemampuan daya tangkap, fokus, minat, bahkan juga besarnya pengaruh emosi.

Ingatan batita bersifat jangka pendek. Karena perubahan yang sangat cepat terjadi pada tahapan usia ini, maka mereka tidak menyimpan terlalu lama suatu informasi baru. Batita hanya akan menyimpan lebih lama suatu informasi ketika informasi tersebut dapat dipergunakan lebih lama, atau memiliki kaitan secara spesifik dengan kejadian khusus yang luar biasa.

Berbeda dengan orang dewasa yang ingatannya berdasar bahasa (language-based memories), maka ingatan batita berdasar sensori dan kinestetik. Oleh karena itu untuk membuat batita mengingat, tidak cukup hanya menyuruh dan menasihati (bentuk informasi verbal), tanpa mencontohkan, membimbing, memuji, dll (melibatkan aspek sensori dan motorik lainnya).

Caroline Rovee-Collier, menemukan cara untuk "menggali" ingatan bayi dengan mengacu pada prinsip Operant Conditioning dari Skinner, seorang behaviorist atau ahli psikologi dengan pendekatan perilaku. Prinsip Operant Conditioning adalah mengacu pada konsekuensi dari perilaku. Diingat atau tidak diingat, diulang atau tidak diulang suatu perilaku itu bergantung pada konsekuensi yang terjadi.

Misalnya, seorang batita yang kebetulan melemparkan benda kemudian benda tersebut memantul dan ia kemudian menjadi penasaran, maka ia akan mengulangi kembali perilaku melempar benda tersebut. "Penasaran" di sini adalah konsekuensi yang terjadi.

Atau seorang batita yang menjatuhkan vas bunga, vas bunga pecah dan kemudian ibunya berteriak sehingga ia kaget. Maka ia mungkin tidak akan mengulangi lagi perilaku menjatuhkan tersebut karena ia tidak nyaman dengan teriakan ibunya (konsekuensi).

Tapi cukupkah satu kejadian membuat anak mengingat selamanya? Gak cukup lah ...

- Ada daya ingat (seberapa lama kemampuan anak menyimpan informasi baru),
- Frekuensi (seberapa sering stimulus terjadi),
- Intensitas (seberapa kuat stimulus yang diperoleh), meliputi asosiasi (kejadian lain yang terkait), dan aspek sensori/Vakog yang terlibat.

yang semuanya perlu diperhatikan saat menyampaikan informasi pada anak.

Bayi usia 2 bulan umumnya hanya mengingat selama 2 hari.
sementara usia 18 bulan mengingat selama 13 minggu. Semakin besar usianya maka kemampuan mengingat akan lebih besar. Terlebih ketika kemampuan berbahasa sudah berkembang.

Itu kenapa, pendidikan itu melalui proses dan memakan waktu.

Yeti Widiati 141016

*Batita = mengacu pada anak usia 0-3 tahun
*Vakog = Visual (penglihatan), auditori (pendengaran), kinestetik (gerakan), olfaktori (penciuman), gustatori (pengecapan).

Jumat, 07 Oktober 2016

KURANGI NASIHAT, PERBANYAK BERTANYA - yws

Nah, apakah kita tidak boleh menasihati? Masak kita tidak boleh menasihati anak? Padahal, saling menasihati adalah salah satu perintah dalam agama apa pun.

Ya, nggak lah. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh menasihati. Saya mengajak kita para orangtua dan guru untuk juga mengimbangi nasihat dengan bertanya.


Mengapa bertanya itu penting? Saya membatasi terutama dalam konteks pendidikan anak.
1. Bertanya memberi kesempatan pada orangtua untuk memperoleh gambaran sejauh mana anak paham akan suatu hal. Sehingga ketika kita perlu menasihati, maka kita akan menasihati dengan lebih efektif, karena hanya menjelaskan apa yang tidak diketahui anak. Menjelaskan hal-hal yang sudah diketahui anak berulang-ulang, malah kontraproduktif karena membuat anak enggan mendengarkan.

2. Bertanya memberi kesempatan pada anak untuk berpikir logis, melakukan proses analisis, bahkan hingga pemecahan masalah. Hal ini terutama bila pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan terbuka, sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengelaborasi pemikirannya. Dalam proses ini, orangtua juga memperoleh kesempatan untuk membimbing cara berpikir anak.

3. Bertanya memberi kesempatan pada anak untuk melakukan introspeksi, berpikir abstrak dan mendalam, hingga memperoleh insight.
Kemampuan berpikir anak, berkembang mulai dari sensori, konkrit hingga menjadi abstrak. Pergeseran level tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan bahasa dan juga stimulasi berpikir yang diperoleh melalui tanya jawab, diskusi, dan proses berpikir tingkat tinggi lainnya.

4. Bertanya memberi kesempatan anak untuk mengembangkan kemandirian dan keberanian mengambil keputusan.
Cara ini sangat powerful bagi remaja, karena mereka berada pada titik kritis transisi dari kebergantungan menjadi kemandirian, termasuk kemandirian dalam berpikir. Proses tanya jawab yang memberi kesempatan diperolehnya kesimpulan secara mandiri, secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kepercayaan diri anak dan remaja, karena mereka merasa menemukan sendiri penyelesaian masalahnya.

Saya kira masih banyak manfaat yang diperoleh dari bertanya. Hal tersebut tidak diperoleh, jika kita hanya menasihati satu arah saja.

Bahkan Tuhan dan para Nabi pun mengajar dengan cara bertanya.

"Maka, tidakkah kamu memikirkannya?" (QS. Yusuf: 109)

Yeti Widiati 071016
MEKANISME PERTAHANAN DIRI IMMATURE - yws


Kemarin, saya menulis mengenai mekanisme pertahanan diri yang matang menurut Valliant, dalam menghadapi stres atau situasi yang (dipersepsi) tidak menyenangkan.


Sekarang, saya ingin menulis mengenai mekanisme pertahanan diri yang tidak matang/immature. Biasanya respon pertahanan diri yang immature ini dilakukan oleh anak-anak. Namun tidak sedikit juga orang yang lebih tua, melakukannya.


Beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri yang immature:
1. Acting Out: Ekspresi secara langsung yang didasari dorongan tidak sadar.
Misal; Marah dan mengamuk, ketika tidak siap menghadapi kritikan.


2. Fantasi: Kecenderungan untuk membuat keinginan menjadi fantasi dengan tujuan meredam konflik di dalam dan di luar diri.
Misal, anak yang berpura-pura berperan sebagai jagoan padahal dalam keseharian ia merasa direndahkan.


3. Mengidolakan seseorang yang dipersepsi memiliki kualitas yang sebetulnya diinginkan olehnya.


4. Introjeksi. Mengidentifikasi diri dengan ide atau value yang dimiliki seseorang yang dipandang lebih baik.


5. Pasif agresif. Agresi atau tindakan menghancurkan seseorang yang tidak disukai secara tidak langsung/pasif.
Misalnya, dengan membicarakan "di belakang", ketidakpatuhan, menunda-nunda melaksanakan tugas, dll.


6. Proyeksi. Cara mengurangi rasa cemas dengan memindahkan pikiran/perasaan yang kurang diterima, seperti kecemburuan, rasa benci, atau ragam emosi lainnya kepada orang lain. Ini adalah termasuk bentuk yang cukup sering digunakan.
Misal, seorang anak yang cemburu pada adiknya namun mengatakan bahwa adiknya lah yang cemburu padanya.


7. Somatisasi. Mengubah perasaan tidak nyaman terhadap orang lain kepada dirinya sendiri dalam bentuk sakit fisik.


8. Wishful Thinking. Membuat keputusan menggacu pada hal yang diinginkan, bukan berdasar data, logika rasional atau realitas.
Misal; Tidak percaya anak mencuri karena menurut orangtuanya, anak selalu baik.


Dalam kadar tertentu yang tidak sering, maka pola respon di atas dipandang wajar dan masih bisa diterima. Namun menjadi kurang baik, bila dilakukan terus-menerus.


Selalu ada jalan untuk memperbaiki diri.
1. Awalnya, adalah dengan jujur mengakui apa perasaan yang sesungguhnya dirasakan.
2. Memahami perasaan tersebut dan mengenali pesan atau kebutuhannya.
3. Mencari cara yang lebih matang/adaptif untuk memenuhi pesan dan kebutuhan dari perasaan tersebut.


Jadi, bila seseorang diejek (bisa benar bisa juga hanya perasaannya) oleh temannya dan ia menjadi marah. Akui perasaan tersebut dan terima. Kemudian temukan apa kebutuhan dari perasaan marah tersebut. Bila kebutuhannya adalah harga diri atau keinginan dihargai, maka temukan cara yang lebih matang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya dengan berfokus pada apa yang menjadi kelebihan atau pencapaian. Kemudian apresiasi kelebihan atau pencapaian tersebut.


Bila terjadi pada anak atau remaja, maka peran orangtua menjadi sangat penting untuk peka terhadap kecemasan anak dan tanda-tanda mekanisme pertahanan diri yang kurang sehat. Hal ini menjadi pijakan awal bagi anak untuk dapat mengembangkan cara yang lebih adaptif dalam berespon terhadap stres.


Yeti Widiati 280916
PERTAHANAN DIRI YANG MATANG DAN ADAPTIF - yws
(Konteks berespon terhadap stress)

Setiap makhluk hidup akan berusaha mempertahankan dirinya dari kehancuran. Ini adalah mekanisme alamiah yang dilakukan nyaris tanpa proses berpikir. Secara biologis, ketika orang makan, minum dan berhubungan seks, itu pun juga adalah upaya untuk mempertahankan diri. Orang lari menghindar dari bahaya atau sebaliknya balas menyerang untuk membela diri, semuanya pun juga dimaksudkan untuk mempertahankan diri. Bayi dilengkapi dengan refleksi "grasp" (tangan mencengkeram) itu pun adalah dasar dari pertahanan diri.

Dalam psikologi, ketika seseorang menghayati serangan kepada dirinya, misalnya berupa ejekan, yang dihayati sebagai ancaman untuk menghancurkan harga diri, maka orang pun otomatis akan melakukan mekanisme pertahanan diri, misalnya dengan menarik diri atau menjauh dari orang yang mengejek, atau sebaliknya membalas mengejek yang seringkali dengan konten yang lebih tajam. Bisa juga membalas dengan cara pasif agresif, menghancurkan tapi dari belakang. Membicarakan dan menyebar keburukannya "di belakang" adalah cara-cara pasif agresif karena tidak berani berhadapan langsung tapi begitu ingin membalas. Cara-cara seperti ini tidak menimbulkan kenyamanan pada diri, kenyamanan pada orang lain dan sekaligus tidak produktif dalam penyelesaian masalah.

Oleh karena itu selama mekanisme pertahanan diri (Defense Mechanism) menimbulkan emosi negatif yang membuat tidak nyaman pada semua pihak, dan malah memperburuk serta mempersulit penyelesaian masalah, maka saya menganggapnya cara tersebut kurang adaptif atau bahkan maladaptif.

Valliant, seorang psikiater, menyatakan, setidaknya ada 19 mekanisme pertahanan diri yang dapat mengindikasikan kematangan emosional seseorang. Paling tidak pemahaman kita mengenai mekanisme pertahanan diri yang matang ini bisa menunjukkan pada kita hal apa yang masih perlu kita kembangkan dan perkuat dalam diri.

1. Acceptance, atau penerimaan terhadap situasi tidak menyenangkan yang tidak dapat diubah. Dalam bahasa agama disebut "ikhlas".

2. Altruism. Berupa pelayanan sosial yang konstruktif dan menimbulkan rasa senang dan puas.

3. Antisipasi. Perencanaan realistis terhadap ketidaknyamanan yang mungkin dihadapi.

4. Keberanian, kesediaan dan kesiapan mental untuk menghadapi konflik, rasa takut, rasa sakit, ahaya, ketidak-jelasan, keputus-asaan, hambatan, perubahan dan tekanan.

5. Emosi yang terkendali. Kemampuan berespon terhadap tuntutan dengan ekspresi emosi yang santun dan diterima lingkungan.

6. Emosi yang tercukupi. Tidak bergantung pada persetujuan dan penolakan orang lain.

7. Forgiveness atau memaafkan. Hilangnya kebencian atau kemarahan terhadap sesuatu yang mengancam atau dipersepsi sebagai ancaman, ketidaksetujuan, kesalahan atau penolakan untuk berdamai.

8. Bersyukur. Perasaan berterima kasih atau apresiasi terhadap pencapaian orang lain. Bersyukur akan meningkatkan level kebahagiaan dan menurunkan tinggkat depresi dan stres.

9. Rendah hati. Adalah kesadaran seseorang untuk menghargai pendapat atau pikirannya sendiri tanpa merendahkan pikiran dan pendapat orang lain.

10. Humor. Ekspresi terbuka terhadap ide atau pemikiran (terutama yang tidak menyenangkan untuk dihadapi atau dibicarakan) yang memberikan kesenangan pada orang lain.

11. Identifikasi. Suatu cara untuk mencontoh/memodel seseorang baik dari sisi karakter maupun perilaku.

12. Rasa kasihan atau iba kepada orang lain.

13. Mindfulness. Fokus dan orientasi terhadap kondisi saat ini dengan penuh rasa ingin tahu, keterbukaan dan penerimaan.

14. Kesederhanaan. Proses menghilangkan hal yang berlebih-lebihan dan tetap berada dalam batasan yang masuk akal.

15. Sabar. Usaha untuk menghadapi situasi sulit (penundaan, provokasi, kritik, serangan) dengan menghindari berespon negatif.

16. Respek/menghormati. Keinginan dan kesediaan memperlihatkan penghargaan terhadap kualitas seseorang dan menunjukkan tindakan spesifik yang meningkatkan harga diri. Relasi yang didasari respek akan bertahan lebih lama.

17. Sublimasi. Transformasi atau mengubah emosi negatif, keinginan atau dorongan-dorongan ke dalam tindakan yang sehat dan dapat diterima. Misalnya, mengubah energi agresi ke dalam olah raga.

18. Suppresi. Suatu keputusan sadar untuk menunda memberikan perhatian terhadap pikiran, emosi atau kebutuhan dan memilih berfokus pada hal yang terjadi sekarang.

19. Toleransi. Kesediaan memberikan izin kepada suatu hal yang kurang disetujui.

Yeti Widiati 270916

*Defense (Inggris Amerika), Defence (Inggris British)
*Diterjemahkan bebas dan dilengkapi darihttps://en.wikipedia.org/wiki/Defence_mechanisms
TUBUH PUNYA MEMORI - yws

Pernah dong mendengar bahwa sentuhan adalah salah satu ekspresi bahasa kasih dan cinta? Bahasa cinta lainnya selain sentuhan adalah ucapan verbal, hadiah, pertolongan yang diberikan dan waktu yang diluangkan. Karenanya beberapa ahli menyarankan untuk mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui sentuhan. Baik itu berupa usapan, belaian, tepukan halus, ciuman, hingga pelukan. Sentuhan bisa sebagian tubuh (lengan, kepala, pundak) atau bahkan seluruh tubuh, seperti ketika saat memeluk erat.

Seorang ibu yang menidurkan bayinya, sering menyentuh bagian tubuh tertentu pada bayinya, agar ia bisa segera terlelap. Awalnya hanya trial error/coba-coba, hingga akhirnya ditemukan area sentuhan yang paling memberikan rasa nyaman. Sulung saya, cepat tertidur saat bayi, ketika alis matanya diusap berulang. Anak saya kedua, mudah tertidur jika dahinya diusap, Sementara bungsu saya, cepat tertidur ketika puncak kepalanya diusap dengan jari-jari saya. Bahkan hingga besar pun cara-cara sentuhan tersebut masih menimbulkan rasa nyaman ketika anak-anak saya sedang gundah atau saat sedang sakit, sehingga hingga kini pun saya masih kerap melakukannya.

Setiap sentuhan yang mengena pada tubuh kita akan tersimpan dalam memori. Ia bisa berfungsi sebagai pemicu untuk memunculkan emosi tertentu. Dalam bahasan Behavioristik (Conditioning) maka kondisi ini disebut "asosiasi" sementara dalam hipnosis dan hipnoterapi disebut "anchor". Dalam contoh anak-anak saya di atas, maka sentuhan di alis, dahi dan kepala, serta merta menimbulkan memori dan asosiasi dengan rasa nyaman.

Hal yang sebaliknya pun bisa terjadi. Bila seseorang pernah mengalami dipukul, dicubit, ditampar, atau mengalami kecelakaan berat sehingga terluka pada area tubuh tertentu, maka area-area tersebut bisa menimbulkan memori tidak nyaman saat disentuh.

Seorang anak yang kerap dicubit di pahanya saat kecil, setiap ia membuat kesalahan. Masih merasakan "kesemutan" di area yang sering dicubit tersebut pada saat dewasa, setiap ia melakukan kesalahan. Dan itu menimbulkan rasa tidak nyaman.

Oleh karena itu bisa kita bayangkan bagaimana dengan anak atau orang yang kerap mengalami kekerasan dan bahkan pelecehan seksual. Maka area-area tubuh tertentu menjadi terasa tidak nyaman dan menimbulkan emosi negatif, saat disentuh, atau saat menghadapi kejadian yang terasosiasi dengan pengalaman buruk tersebut.

Ada saja mereka yang akhirnya "membenci" bagian-bagian tubuh tertentu pada dirinya, karena mengingatkan pada kejadian buruk dan membangkitkan asosiasi dengan emosi negatif.

Pengetahuan tentang sentuhan ini bisa dimanfaatkan untuk ragam kebutuhan. Misalnya untuk menenangkan diri sendiri atau seseorang, kita bisa menyentuh bagian tubuh tertentu yang dapat menimbulkan kenyamanan. Atau bila tidak memungkinkan untuk menyentuh, karena alasan batas kesopanan, berbeda jenis kelamin atau berjarak lokasinya, maka kita bisa mengajaknya untuk membayangkan saat-saat disentuh tsb.

Bagi para orangtua, pengetahuan tentang sentuhan ini dapat menginspirasikan, kapan dan bagaimana memberikan sentuhan sesuai kebutuhan anak-anak kita. Kapan anak membutuhkan pelukan erat, usapan atau tepukan? Termasuk, apakah seorang remaja laki-laki masih pantas dipeluk dan dicium di tempat umum. Di sini kepekaan orangtua menjadi sangat penting.

Yeti Widiati 230916
FORGIVENESS, SALAH SATU CARA MEMPERTAHANKAN DAN MELINDUNGI DIRI DARI KEHANCURAN - yws

Ketika kita menghadapi situasi tidak nyaman atau bahkan mengancam dalam hidup, misalnya seperti stres, cemas, rasa takut, phobia, pengalaman traumatis, dll, maka diri kita akan mengembangkan suatu mekanisme otomatis untuk melindungi dan mempertahankan diri kita. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal dengan sebutan Defense Mechanism.

Emosi negatif yang dibiarkan dan bahkan dipupuk untuk selalu hidup, misalnya; kecemasan dan rasa takut terhadap suatu situasi, marah pada obyek yang dianggap mengancam, kesedihan karena kehilangan, yang dibiarkan berlarut-larut, lama kelamaan akan menggerogoti kesehatan diri, baik secara mental maupun secara fisik. Ragam bentuk keluhan fisik maupun penyakit pun dapat terjadi, seperti misalnya; sakit perut, pusing-pusing, sesak nafas, dll.


George Eman Valiant, seorang psikiater, mengatakan, ada 46 jenis defense mechanism yang terbagi ke dalam 4 level klasifikasi, Patologis, Immature, Neurotik dan Mature.

Defense mechanism yang dewasa/mature memiliki 19 bentuk. Umumnya ditemukan pada orang dewasa yang matang dan sehat secara emosional sekalipun dalam perjalanan hidupnya, ia pernah mengalami masa-masa sulit.

Orang-orang ini, belajar dan beradaptasi bertahun-tahun dengan situasi sulit yang dialaminya, sehingga ia bisa berfungsi baik di masyarakat. Penggunaan mekanisme pertahanan diri ini meningkatkan kepuasan dan perasaan terkendali. Cara ini juga membantu mengintegrasikan emosi dan pikiran yang saling bertolak belakang agar tetap berfungsi efektif. Mereka yang menggunakan cara ini biasanya dikenal sebagai orang yang baik dan berbudi luhur.

Forgiveness atau memaafkan adalah salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang mature/dewasa, yang ditandai dengan berhenti atau hilangnya rasa benci atau marah terhadap objek yang dipandang "menyerang," dan tidak sepakat, sehingga orang tersebut pulih dari penderitaan karena rasa marah/benci dan emosi positif terbentuk.

Tidak mudah bagi setiap orang untuk dapat memaafkan orang lain, terutama saat cara pandangnya menempatkan diri sebagai "korban" yang membuatnya menjadi merasa lemah dan tak berdaya.

Dibutuhkan waktu dan usaha terus-menerus untuk belajar ragam teknik pemaafan. Tujuan sehat dan bahagia, biasanya memberikan energi besar dan cukup efektif untuk memacu usaha.
HOMESCHOOLING, PILIHAN YANG MEMBUTUHKAN TANGGUNG JAWAB - yws

Dibanding 18 tahun lalu saat saya mempertimbangkan homeschooling untuk putri saya, maka istilah homeschooling sekarang sudah lebih dikenal. Banyak yang mengikuti dan bahkan sudah banyak provider homeschooling lokal yang menyediakan jasa kurikulum, buku, guru privat dan bahkan tempat belajar sendiri. Homeschooling yang saya lihat sekarang, menurut saya, sudah jauh bergeser dari semangat homeschooling seperti yang saya kenal pertama kali.


Hal yang menguntungkan sekarang adalah bahwa "lulusan" program homeschooling saat ini sudah diakui oleh Diknas sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan formal. Sesuatu yang mustahil dilakukan 18 tahun lalu, yang menyebabkan para orangtua homeschooler betul-betul adalah para pionir. Mereka berani menentang arus sistem pendidikan saat itu dan memberikan pendidikan pada anaknya dengan disain dan pendekatan yang mereka rancang dan lakukan sendiri. Mereka juga siap menerima konsekuensi dan risiko dari pilihan-pilihannya baik dari sisi pandangan masyarakat maupun dari sisi ketentuan formal sistem pendidikan.

18 tahun lalu (dan bahkan mungkin sebelumnya) sistem homeschooling didasari oleh semangat dan keinginan untuk memberikan pendidikan terbaik sesuai versi orangtua. Mereka (para orangtua) biasanya memandang bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga pendidikan formal kurang sesuai untuk anaknya dengan berbagai alasan. Umumnya karena orangtua memiliki value yang berbeda atau karena anak memiliki kekhususan. Perkembangannya sekarang, ada banyak orangtua yang melakukan homeschooling bukan karena alasan-alasan ideal tapi justru karena alasan praktis. Misalnya, karena anak tidak mau sekolah di sekolah formal dan merasa bebas serta nyaman jika belajar di rumah.

Program pendidikan homeschooling idealnya dilakukan sendiri oleh orangtua, bukan oleh orang lain atau lembaga lain. Oleh karena itu program ini sebetulnya mempersyaratkan kesiapan orangtua yang luar biasa, antara lain dalam hal:

1. Konsep pendidikan yang jelas. Orangtua perlu mencanangkan target pendidikan yang jelas baik jangka panjang maupun jangka pendek. Jangka pendek bukan hanya bicara tahunan, tapi juga semester, bulan dan bahkan turun kepada target harian. Semua target ini yang akan diturunkan ke dalam rencana belajar dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh orangtua dalam bentuk sistem pendidikan yang terpadu.
Target juga bukan hanya meliputi aspek kognitif (pengetahuan atau ketrampilan tertentu yang perlu dikuasai) namun juga menyangkut target perilaku dan karakter yang ingin dibangun. Karenanya pengetahuan dasar mengenai kurikulum menjadi penting oleh orangtua.

2. Peran aktif dan kesepakatan antar suami-istri
Sistem pendidikan homeschooling menuntut keterlibatan aktif dari ayah dan ibu. Keduanya perlu bersepakat dan mempersiapkan hingga hal-hal detail. Tidak akan berhasil apabila satu pihak terlibat habis-habisan sementara yang lain apatis dan tidak peduli.

3. Waktu
Orangtua sebagai perencana dan juga pelaksana program pendidikan, maka berarti ia perlu memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Semua kesempatan di rumah sebetulnya termasuk dalam pendidikan, bukan hanya pada saat belajar mata pelajaran tertentu. Karena ketika berbicara tentang pendidikan value dan karakter, maka seluruh aktivitas adalah proses pembelajaran.
Oleh karena itu adalah sangat riskan bagi para orangtua yang ayah ibunya sibuk bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore tapi memutuskan anaknya menjalani program homeschooling. Ada sementara orangtua yang sibuk, mengira bahwa dengan memanggil guru privat ke rumah dipandang sudah cukup memadai. Padahal yang namanya pendidikan bukan hanya penguasaan pengetahuan dan ketrampilan.

4. Motivasi dan minat belajar orangtua
Karena anak adalah tanggung jawab kedua orangtua, maka untuk melaksanakan program ini, motivasi orangtua harus sangat besar. Mereka harus memiliki dorongan untuk mencapai target ideal jangka panjang yang cukup kuat yang membuat mereka bisa bertahan melakukan program ini dalam jangka panjang. Program yang berlangsung setiap hari setiap saat menguras energi cukup besar sehingga kerjasama dan motivasi yang kuat menjadi sangat penting dan merupakan "bahan bakar" utama berjalannya "mesin" pendidikan di rumah.
Curiousity atau rasa ingin tahu serta minat belajar pada orangtua juga perlu terus diasah. Sehingga seiring dengan berkembangnya anak, orangtua pun juga ikut berkembang dan tidak stagnan. Sumber-sumber belajar yang variatif perlu dicari dan dikembangkan terus-menerus.

5. Jaringan atau komunitas
Dukungan dari kelompok yang memiliki visi yang sama adalah penting. Selain untuk saling menguatkan secara psikologis juga untuk memperoleh berbagai sumber belajar yang lebih variatif. Program homestay bisa dilakukan di antara keluarga homeschooler sehingga mereka memperoleh pengayaan lebih luas dan juga belajar sosialisasi dalam kelompok yang terkendali dan sudah dipercaya. Sehingga kecurigaan sementara orang bahwa homeschooler kurang bisa bersosialisasi bisa ditepis.

6. Dukungan Materi
Keinginan untuk memberikan yang terbaik kadang (tidak selalu) perlu didukung dengan fasilitas yang memadai. Bisa berupa penyediaan media pembelajaran maupun biaya yang dibutuhkan untuk kunjungan ke berbagai tempat. Dari pengalaman beberapa homeschooler, justru biaya yang dikeluarkan untuk proses pendidikan bisa jauh lebih murah bila dibandingkan dengan menyekolahkan anak ke sekolah formal. Di sekolah formal ada biaya seragam, bangunan dan bahkan penyediaan materi belajar yang kadang di mark up.
Dulu, ketika program homeschooling belum diakui Diknas, maka orangtua homeschooler mau tidak mau harus menyediakan biaya bagi anak melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Karena saat itu hanya perguruan tinggi luar saja yang menerima anak "lulusan" homeschooling.

7. Antisipasi terhadap kondisi luar biasa
Ada konsistensi yang dibutuhkan agar anak memperoleh pendidikan secara optimal. Bagaimanapun selalu ada kondisi yang tidak terduga. Kendala yang perlu dipikirkan oleh orangtua meskipun tentunya tidak diharapkan, antara lain bila salah satu atau kedua orangtua tidak bisa melanjutkan melaksanakan program homeschooling ini. Entah karena sakit, perpisahan, perubahan konsep dan motivasi, kehilangan dukungan materi atau bahkan karena meninggal.
Bila hal yang tidak diharapkan terjadi maka orangtua sejak awal harus sudah mempersiapkan apa yang akan dilakukan. Apakah menghentikan program, dan anak masuk ke sekolah formal. Ataukah melanjutkan program dengan memilih orang yang akan menggantikannya.

*Bagaimanapun memilih melaksanakan homeschooling perlu didasari oleh pilihan yang bertanggung jawab dan keterlibatan yang tinggi. Bukan hanya sekedar pelarian karena anak tidak mau belajar di sekolah formal.

Yeti Widiati S. 150914
KURBAN, KESEMPATAN MENGEMBANGKAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK – yws

Mengapa orang harus sholat?
Mengapa kita perlu shaum?
Kapan anak boleh menyaksikan hewan kurban disembelih?
Kapan anak mulai belajar mengenakan jilbab?
Mengapa orang-orang berhaji?
Dll ...

Semua ibadah seyogyanya menjadi sarana mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Sholat, zakat, shaum, haji, membaca Qur’an, dll. adalah ibadah yang tidak hanya dilatihkan dan dibiasakan, namun juga perlu ditanamkan maknanya. Hanya saja, saking rutinnya melakukan hal-hal tersebut, sehingga kadang kita luput memahamkannya makna ibadah-ibadah tersebut.

Untuk menjadikan suatu value terinternalisasi, maka kita perlu memahami (kognitif), menghayati (afektif) dan juga menerapkannya dalam perbuatan (psikomotorik). Begitupun dengan beribadah. Seperti Ibrahim yang saat belia mempertanyakan Tuhan-nya kepada Azar ayahnya, maka kita pun sebagai orangtua perlu membuka diri untuk menjadi tempat bertanya. Bahkan pun ketika anak tidak bertanya, kita merangsang mereka untuk bertanya. “Wah, kalau mereka tidak bertanya, lalu kita rangsang mereka bertanya, malah repot nantinya ...” begitu sementara ibu berkata. Justru itulah titik pentingnya merangsang anak bertanya, sehingga kita tahu sampai sejauh mana pemahaman anak dan apakah perlu diluruskan atau tidak.

Anak sampai usia sekitar 8 atau 9 tahun (ada yang lebih cepat dan ada yang lebih lambat) pada umumnya memiliki pemikiran yang konkret dan sederhana. Mereka belum cukup mampu berpikir abstrak, mendalam termasuk memahami hal-hal yang bersifat filosofis. Dalam banyak hal, mereka juga masih sulit mencerna dan membedakan hal-hal yang bersifat imajinatif. Itulah mengapa kita para orangtua perlu melakukan pendampingan saat mereka menonton film apalagi film kartun. Tikus yang memukul kucing dengan palu, lalu kemudian kucingnya kembali berlari-lari, adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak masuk akal bagi orang dewasa namun bagi banyak anak dipandang real. Sehingga mereka bisa melakukan hal yang sama di dunia nyata.

Begitu pun dalam ritual ibadah, ada banyak hal yang bersifat filosofis, yang perlu diolah dan dicerna secara mendalam yang sebetulnya tidak mudah dipahami anak. Betul, bahwa tidak semua hal bisa dirasionalkan karena ada bagian-bagian dalam agama yang hanya membutuhkan keimanan dan kepatuhan. Namun menurut saya, masih sangat terbuka pintu penjelasan itu bagi anak-anak yang memang membutuhkannya agar mereka tidak salah mengartikan, dan lebih jauh, agar mereka semakin bertambah kuat keimanannya namun tetap memelihara sikap kritisnya. Seperti Ibrahim yang memang pada akhirnya orangtuanya tidak bisa menjawab, tapi ia mencari terus, dan akhirnya ia sampai pada kesimpulannya untuk hanya patuh pada Tuhan Pencipta alam semesta.

Sehingga ketika esok kita bersiap berangkat ke lapangan untuk sholat Ied, mengenakan pakaian terbaik, mengajak anak menyaksikan pemotongan hewan kurban, mengajak anak membagikan daging kurban, semoga itu semua menjadi kesempatan luar biasa untuk berbincang dan berdiskusi dan menanamkan value kebaikan serta keimanan pada anak.

Selamat Idul Adha
Semoga kita dapat meneladani kepatuhan Ibrahim, kesabaran Siti Hadjar dan keikhlasan Ismail
Dan semoga kurban kita diterima Allah SWT.
Aamiin ....

Yeti Widiati 110916

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...