Selasa, 29 November 2016

SKEMA - yws
(Konteks Psikologi Perkembangan Kognitif)

“Bu, saya tuh nggak mau mukul anak, karena saya tau itu nggak baik. Saya pernah merasakannya sendiri waktu dulu orangtua saya memukul saya. Saya sakit, tersinggung tapi juga sekaligus takut. Pokoknya gak enak. Setelah tau bahwa memukul anak itu tidak baik, saya berjanji pada diri saya untuk tidak melakukannya pada anak saya. Tapi kok kenapa susah sekali ya. Setiap anak saya bandel, emosi itu naik ke kepala saya. Dan rasanya ada yang memaksa saya untuk memukul juga. Saya mengepalkan tangan saya dengan sangat keras. Kadang saya berhasil menahan diri, tapi lebih sering saya kehilangan kesabaran dan akhirnya memukul juga. Tapi sesudahnya saya sangat menyesal ..."
----------

Dalam psikologi perkembangan kognitif, menurut Jean Piaget setiap individu mengembangkan suatu skema. Skema ialah suatu pola yang terorganisir, baik dalam bentuk pemikiran maupun perilaku yang dihasilkan melalui proses pembelajaran dari lingkungan. Bisa berupa sesuatu yang dilihat/dicontoh, maupun suatu pola berpikir dan perilaku yang dipelajari dan dilatih hingga menjadi otomatis.

Pemikiran dan perilaku seseorang akan mengacu pada skema yang dimilikinya. Bila ia tidak memiliki skema tersebut, maka ia tidak dapat melakukannya. Seorang anak yang selalu direndahkan oleh orang-orang di sekitarnya, maka ia sulit bahkan tidak bisa menunjukkan kemampuan berempati. Kebiasaan direndahkan membuat ia tidak memiliki skema empati dalam pikirannya.

Mereka yang tidak pernah memperoleh kasih sayang maka ia akan kesulitan bahkan tidak bisa menunjukkan kasih sayang.

Mereka yang terbiasa diperlakukan kasar dan keras, maka ia berpeluang besar melakukan hal yang sama sekalipun ia merasa tidak nyaman diperlakukan buruk. Hal ini terjadi karena ia hanya memperoleh skema yang salah atau maladaptif. Sehingga ketika pun ia merasa tidak nyaman diperlakukan buruk, ia tetap akan melakukan hal yang sama karena tidak memiliki skema yang tepat untuk menghhadapi pola stimulus seperti itu.

Dengan ulasan ini, semoga juga bisa menjawab paragraf di awal, ketika seorang anak cenderung untuk memilih pasangan yang mirip dengan kedua orangtuanya.

Apa yang perlu kita lakukan?

Bila konteksnya adalah pendampingan pada anak, maka tugas orangtua adalah membentuk skema pada anak dengan mencontohkan dan melatihkan.

Bayi hingga usia 1 tahun belajar melalui sensorinya. Selanjutnya ia belajar melalui pengalaman konkritnya. Kemudian mulai membuat hubungan sebab akibat sederhana dan baru kemudian berdasarkan pengalamannya tersebut ia bisa melakukan antisipasi.

Misalnya, bila kita ingin mengajarkan mengenai kasih sayang pada anak balita, caranya bukanlah dengan memberi nasihat, melainkan dengan menunjukkan kepekaan, berespon dengan tepat dan kemudian menunjukkan/mencontohkan kasih sayang melalui sentuhan (memeluk), perkataan lembut (auditori), senyuman (visual), dan aroma yang segar (olfactory).

Namun bila konteksnya adalah orang dewasa termasuk diri kita sendiri, maka membentuk skema baru adalah dengan belajar melalui orang-orang di sekitar kita.

Misalnya, ketika kita tidak suka dengan orang yang mengejek diri kita, namun ternyata kita juga mengejek saat kita berada dalam posisi lebih tinggi. Maka hal itu boleh jadi menunjukkan bahwa kita sendiri belum memiliki skema bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi ejekan orang lain. Kita perlu belajar pada orang yang saat diejek menunjukkan respon yang lebih efektif dan adaptif.

Saya yakin selalu ada orang-orang yang bisa menjadi guru bagi diri kita.

Yeti Widiati 291116

Jumat, 25 November 2016

MANNEQUIN CHALLENGE - yws
(Konteks emosi dan perilaku)

Viral video sekarang adalah Mannequin Challenge yang berisi film beberapa detik sampai beberapa menit dengan sejumlah orang berpose seperti manekin (boneka pajangan). Semakin banyak orang terlibat dan semakin aneh posenya maka akan semakin menantang.


Saya jadi teringat salah satu sesi dalam workshop Family Therapy yang diampu kang Asep Haerul Gani ketika membahas mengenai sculpture, motion create emotion dan self worth Virginia Satir. Bahwa Self Worth, mempengaruhi emosi dan tampil dalam gesture serta perilaku. Sebaliknya perilaku pun berkaitan dengan emosi dan bisa berpengaruh pada Self Worth.

Ada teman yang nyaris selalu berwajah suram dan mendung. Saking jarangnya tersenyum apalagi tertawa, saya sampai tidak ingat bagaimana suara tawanya. Kalau mendengar cerita lucu, ujung bibirnya hanya "tertarik" sedikit dan kemudian kembali ke posisi semula. Dan apa yang diceritakannya nyaris "hanya" cerita sedih dan kepiluan.

Sebaliknya ada teman yang keberadaannya selalu membuat orang lain senang. Karena ia selalu tersenyum, tawanya renyah dan ramah dan geraknya energik. Ia penuh ide, optimisme dan selalu bergerak membuat pencapaian-pencapaian.

Ternyata, ekspresi dan gesture tubuh kita, bukan hanya mempengaruhi mood dan emosi kita, namun juga mempengaruhi mood dan emosi orang-orang di sekitar kita.

Untungnya kita manusia yang memiliki kemampuan memilih dan mengendalikan diri kita. Kita tidak perlu merasa dan berperilaku hanya karena terbawa suasana, tapi kita pun juga dapat menciptakan suasana yang kita inginkan, memberdayakan dan berpengaruh positif bagi diri dan orang lain dengan cara mengubah ekspresi dan gesture tubuh kita seperti yang kita mau.

Awali hari ini dengan tersenyum, tertawa dan bersemangat. Kalau perlu ajak beberapa teman untuk melakukan mannequin challenge dengan tema kegembiraan, kebahagiaan, semangat, optimisme, dll. Sehingga mood yang positif menyebar luas ....

Cheeerrrsss ....

Yeti Widiati 251116

Rabu, 23 November 2016

SEPARATION ANXIETY DAN ATTACHMENT - yws
(Konteks Perkembangan Anak)


Tahun 2002, saat si nona bungsu berusia 2 tahun, saya terpaksa harus meninggalkannya selama 2,5 bulan. Yaitu ketika saya harus mendampingi kakaknya operasi craniofacial di Australia.

Dibandingkan si sulung yang berusia 10 tahun, perpisahan ini lebih berisiko untuk si bungsu yang masih berusia 2 tahun. "Object permanency" masih menyisakan efeknya dalam bentuk yang lebih kompleks.

Object permanency adalah pemahaman bahwa suatu benda/object akan tetap ada sekalipun tidak dapat diindra. Pada bayi di bawah usia 1 tahun, kemampuan ini belum dimiliki sepenuhnya, sehingga ketika benda tidak terlihat, maka ia menganggapnya tidak ada. Kemampuan menyadari eksistensi benda adalah kemampuan penting dan signifikan untuk menunjukkan perkembangan kognitif seseorang.

Para orangtua yang saat ini punya bayi berusia beberapa bulan (di bawah 1 tahun) bisa melakukan eksperimen ini. Perlihatkan sebuah mainan di depan bayi anda, sampai anda yakin bahwa bayi anda tahu bahwa ada mainan yang terlihat. Kemudian di depan bayi anda (terlihat oleh bayi), tutuplah mainan tersebut dengan selimut. Jika bayi kemudian menoleh ke arah lain dan tidak mencari mainannya, berarti bayi anda belum memiliki kesadaran object permanency. Tapi bila bayi itu menarik selimut untuk mencari mainannya berarti kesadaran object permanency sudah dimiliki. Dia tahu bahwa tertutup bukan berarti tidak ada.

Fenomena object permanency adalah sangat wajar. Ini yang membuat bayi senang bermain 'ciluk ba'. Ia tertawa senang saat melihat wajah yang disukainya tiba-tiba terlihat. Perubahan ekspresi tertawa dan diam itu yang lucu dan menggemaskan bagi orang dewasa sehingga mereka tak bosan mengulanginya. Itulah juga mengapa bayi akan sering menoleh pada ibu/pengasuhnya saat ia sedang bermain, karena ia perlu memastikan bahwa pelindungnya ada, dan ia belum bisa diyakinkan dengan nasihat, bila ibu/pengasuh itu tidak terlihat bukan berarti dia hilang. Keyakinannya kuat hanya ketika benda itu bisa diindra.

Bagi bayi dan balita, ketika mereka mengira bahwa pengasuhnya "hilang" maka timbullah perasaan cemas. Perasaan cemas karena perpisahan ini bila terlalu lama terjadi akan berefek pada emosi dan perilakunya. Semakin panjang dan intens rasa cemasnya, efeknya akan semakin besar. Dari mulai hanya ekspresi sedih, kemudian menangis, marah, tidak mau makan, tidak mau main, dll. Gejala ini akan berhenti saat anak sampai di tahap acceptance, yaitu kesadaran dan penerimaan bahwa sesuatu sudah hilang. Tahap ini akan lebih mudah terjadi bila ada kondisi yang menggantikan kehilangannya. Entah itu saat ibu/pengasuhnya kembali, ada orang lain yang menggantikan atau bahkan anak sudah bertambah kemampuan kemandiriannya.

Nah, kembali pada cerita bungsu saya. Pada usia 2 tahun object permanency-nya sudah jauh lebih kompleks. Dia tahu bahwa sekalipun ibunya tidak terlihat, ibunya tetap ada dan akan kembali dalam jangka waktu tidak lama.

Dulu saat anak-anak saya balita, saya jarang meninggalkan anak berhari-hari. Biasanya hanya beberapa jam, dan tidak setiap hari. Saya penganut paham "Golden Age" sehingga saya memutuskan lebih banyak di rumah dan mendampingi anak, saat mereka masih balita (golden age).

Saya membuat SOP (Standard Operational Procedure) setiap akan pergi. Selain untuk menghindari separation anxiety juga untuk menunjukkan bahwa anak dihargai. Sebelum pergi, saya akan berkata, "Mama pergi dulu, Insya Allah Mama pulang jam 12 (misalnya). Jam 12 itu kalau jarum panjang dan pendek dua-duanya sudah di situ, di angka 12", sambil menunjuk pada jam karena anak belum bisa berhitung dan belum memahami konsep waktu. Kalau ternyata saya ada kemungkinan terlambat, maka saya akan menelpon, minta maaf dan menjelaskan kenapa saya terlambat. Saya menghindari menggunakan kata "sebentar lagi" yang tidak jelas batasnya. Anak perlu memperoleh 'kepastian' sehingga ia dapat mengembangkan kemampuan antisipasi dan meregulasi diri. Dengan alasan yang sama, saya juga sangat menghindari berbohong pada anak.

Ketika saya akan pergi mendampingi kakaknya operasi, saya tidak tahu akan berapa lama saya meninggalkan bungsu saya. Konsep waktu dan angka pun dia belum paham. Sehingga agak sulit bagi saya menjelaskan berapa lama saya akan meninggalkannya. Sehingga, sekalipun saya tetap menjalankan prosedur menjelaskan kepergian saya, namun saya menyadari bahwa setelah beberapa hari saya akan dianggap "hilang" oleh si bungsu. Jauh lebih penting bagi saya adalah menyediakan "jaring pengaman" bagi anak saya agar ia tidak mengalami perasaan kehilangan yang berlarut-larut. Daripada saya bersedih dan kecewa karena si bungsu "lupa" pada saya.

Saya minta bantuan ibu mertua saya untuk mendampingi anak saya selama saya pergi. Saya minta bantuan saudar ipar dan keponakan-keponakan untuk menemani saat ada kesempatan. Saya juga mencarikan pengasuh yang sabar dan bisa diajak bekerja sama. Dan yang jelas saya berbagi tugas dengan suami saya. Saya mendampingi anak kedua operasi, sementara suami saya mendampingi 2 anak lainnya, dan terutama si bungsu.

Saya bersyukur memiliki keluarga besar yang saling membantu. Dengan segera si bungsu bisa menerima ketidak-hadiran saya dan menjalani hidupnya seperti biasa lagi dengan ceria. Sekalipun saya kerap menelpon, namun nampaknya semua itu terasa tidak nyata baginya. Suara telpon masih belum cukup meyakinkan baginya karena wujud konkrit saya tidak bisa dilihat, disentuh ataupun dicium. Saya sudah "hilang" ....

Ketika pulang, sekalipun mengabari sebelumnya, saya bisa menangkap si bungsu yang shock, terpana dan nampak bingung akan kehadiran saya. Beberapa minggu berikutnya si Bungsu menjadi sangat dependen dan manja. Orang menyebutnya melepas "kangen". Bagaimanapun saya membutuhkan waktu berbulan-bulan kemudian untuk meredakan rasa insecure dan kecemasan si nona bungsu terhadap perpisahan.

Dari cerita ini, saya ingin mengajak pada para orangtua yang karena satu dan lain hal, terpaksa meninggalkan buah hatinya dalam jangka waktu lama, atau dalam jangka waktu pendek tapi sering, untuk lebih berfokus pada kebutuhan anak daripada kebutuhan sentimental diri sendiri. Bagaimana pun selalu ada konsekuensi yang perlu dihadapi. Memiliki ekspektasi terlalu tinggi, misalnya, "Anak saya harus dekat dan mau curhat pada saya meskipun saya jarang di rumah" nampaknya perlu dibuat lebih realistis.

Karena prinsip kedekatan/attachment adalah adanya frekuensi, intensitas dan proximity.
- Frekuensi adalah seberapa sering
- Intensitas adalah seberapa kuat
- Proximity adalah seberapa dekat

Yeti Widiati 231116

Senin, 14 November 2016

RAGAM RASA "TAKUT" PADA ANAK - yws

"Takut" adalah salah satu jenis emosi. Setiap emosi memiliki informasi dan pesan. Dengan pesan itu, maka kita tahu apa yang dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami emosi tersebut. Misalnya, emosi marah, memberi informasi dan pesan bahwa seseorang tidak suka menghadapi suatu keadaan dan mencoba melawan.

Oleh karena itu ekspresi emosi adalah salah satu bentuk komunikasi seseorang kepada lingkungannya bahwa ada kebutuhan yang perlu dipenuhi.

Dalam konteks perkembangan anak, maka adalah wajar dan alamiah seorang anak untuk menampilkan ekspresi emosinya, misalnya, menangis karena sedih, cemberut ketika kesal, pucat dan mengkerut saat takut, tersenyum atau tertawa saat senang, dll. Yang kerap menjadi masalah adalah jika orang-orang di sekelilingnya tidak cukup peka atau tidak suka dengan bentuk ekspresi emosi yang ditampilkan sehingga mengabaikan atau berusaha untuk menekan, melarang atau memaksa hilang atau mengganti suatu emosi tertentu.

Cara ini sebetulnya menjadi kontraproduktif, karena anak menjadi merasa terabaikan, tidak terpenuhi kebutuhan atau pesan emosinya dan kehilangan kesempatan untuk belajar mengelola emosinya sejak dini.

Sebagai contoh, seorang anak yang menangis karena melihat ondel-ondel, kemudian orang di sekitarnya alih-alih mengajarkan cara menghandle emosinya secara adaptif malah merendahkan atau bahkan menakut-nakuti/mengancam anak dengan ondel-ondel, "Awas kalau gak mau belajar nanti ada ondel-ondel nyulik kamu ..."

Seperti ragam emosi lainnya, maka emosi takut pun memiliki informasi dan pesan bahwa seseorang tidak suka menghadapi suatu situasi namun merasa tidak berdaya menghadapinya. Ia membutuhkan bantuan dan perlindungan agar rasa takutnya berkurang.

Bila kita ingin membantu anak untuk dapat mengelola emosinya dan berespon secara adaptif terhadap emosi tersebut, maka kita perlu peka dan menangkap pesan emosi tersebut.

Berikutnya, saya menjabarkan ragam jenis takut yang biasa muncul pada anak usia 0-12 tahun, (Diane Papalia, Human Development). Tentunya bisa berbeda pada beberapa anak. Namun paling tidak pengetahuan ini bisa menjadi jalan bagi kita para orang dewasa untuk membantu anak dalam mengelola rasa takutnya, sehingga dapat berespon lebih adaptif.

1. Usia 0-6 bulan, bayi takut kehilangan perlindungan dan takut suara keras.

2. Usia 7-12 bulan, bayi takut pada orang asing, ketinggian, objek yang muncul tiba-tiba, situasi yang tidak terduga dan tidak terbayang.

3. Usia 1 tahun, anak takut berpisah dari orangtua, toilet, takut luka dan takut pada orang asing.

4. Usia 2 tahun, anak takut pada suara sangat keras (sirene, alarm, petir, ledakan, suara mobil truk), takut pada binatang, ruang gelap, terpisah dari orangtua, benda atau mesin besar, perubahan lingkungan, teman baru.

5. Usia 3 tahun, anak takut dengan topeng, badut, kegelapan, binatang, terpisah dari orangtua.

6. Usia 4 tahun, anak takut terpisah dari orangtua, kegelapan, suara-suara asing termasuk suara pada malam hari.

7. Usia 5 tahun, anak takut binatang, orang jahat, kegelapan, terpisah dari orangtua, takut pada sesuatu yang bisa menyakiti tubuh.

8. Usia 6 tahun, anak takut makhluk supranatural (hantu, jin, nenek sihir, dll), takut terluka, petir, kegelapan, tidur atau ditinggal sendirian, dan takut terpisa dari orangtua.

9. Usia 7-8 tahun, anak takut makhluk supranatural, kegelapan, peristiwa buruk yang diberitakan media (berita penculikan, pembunuhan, bencana alam, dll), takut sendirian dan takut terluka.

10. Usia 9-12 tahun, takut pada tes/ujian sekolah, takut mendapat nilai buruk, takut terluka, takut tampilan fisik buruk, takut petir, takut kematian dan kegelapan.

Jadi, apa yang perlu dilakukan orangtua saat anak takut?
- Peka terhadap ekspresi emosi takut anak yang ditampilkan melalui tubuh, maupun perilaku. Misal, muka pucat, badan mengkerut, bibir melengkung ke bawah, menggigil, tangan dingin atau berkeringat, mengompol, kehilangan nafsu makan, dll.
- Menemukan objek yang menimbulkan rasa takut pada anak.
- Menerima rasa takut anak secara verbal "Adek takut ya ...?" atau perilaku (memeluk). Hindari merendahkan, mengejek, menyuruh menghilangkan, mengalihkan perhatian, menyalahkan, dll.
- Berikan perlindungan, misal dengan memeluk dan memberikan perlindungan, "Sini sama Mama dulu ..."
- Ajarkan cara menstabilkan diri, misal, tarik nafas dulu pelan-pelan yaaa ..."
- Tunggu, beri kesempatan anak menenangkan diri.
- Sesudah tenang, baru jelaskan mengenai situasi yang dihadapi dan cara coping/menghadapinya secara adaptif. Misal, "Ya itu barusan namanya ondel-ondel. Memang sih ya, mukanya nyeremin. Tapi itu di dalamnya ada orangnya lho. Tuh coba lihat kakinya. Adek mau lihat orangnya? Gak apa-apa kamu takut dan kaget, nanti kalau sudah berani kita lihat orangnya yuk ... dst.

Perlu waktu? Ya. Perlu sabar? Ya. Hindari tergesa-gesa dan memaksa, beri waktu anak untuk menstabilkan diri.

Percaya deh, gak bakalan rugi. Keuntungan mengajarkan anak mengelola emosi akan diperoleh tahun-tahun selanjutnya, karena anak menjadi lebih memahami diri dan tahu bagaimana melakukan coping terhadap situasi yang membuatnya tidak nyaman.

Yeti Widiati 141116

Minggu, 06 November 2016

FOKUS PADA APA YANG BISA DILAKUKAN - yws

Masih berkaitan dengan tulisan sebelumnya JANGAN AMBIL ALIH TUGAS ANAK dan STRATEGI MENGURANGI KEREWELAN DAN KECEMASAN ANAK PADA SITUASI ASING.

Saya ingin menceritakan pengalaman saya saat mendampingi anak operasi di sebuah rumah sakit ibu dan anak di Australia. Ini adalah cerita dari tahun 2002, 14 tahun lalu. Sehingga sangat mungkin ada beberapa RS di Indonesia yang juga sudah melakukannya. Atau bila pun belum, semoga ini menjadi alternatif yang bisa dilakukan di sini untuk membantu mempercepat proses kesembuhan anak.

Fokusnya adalah pada apa yang sudah mampu dilakukan anak.

Jadi RS ini memiliki relawan-relawan yang bertugas membantu berbagai aktivitas di RS. Yang paling menarik buat saya adalah relawan yang mendampingi anak bermain dan belajar.

Setiap pagi seorang Play Leader akan berkeliling dari kamar ke kamar untuk mengecek kondisi pasien. Ia mencatat apa yang sudah bisa dilakukan pasien dan kemudian menawarkan aktivitas apa yang bisa dan ingin dilakukan pasien. Tujuannya adalah agar pasien tidak terlalu terfokus dengan sakit yang dialaminya, emosinya menjadi lebih tenang demikian pula dengan orang dewasa yang mendampinginya karena anak menurun stres dan kerewelannya.

Misalnya, pasien yang baru pindah dari ICU dan masih berbaring, maka ditawarkan untuk menonton video. Anak boleh memilih film apa yang akan ditonton. Atau juga bisa dibacakan buku cerita yang disukainya dan mendengarkan musik.

Pasien yang sudah bisa duduk dan menggerakkan jarinya, ditawari untuk bermain games komputer atau game watch.

Pasien yang tangannya sudah bisa bergerak lebih banyak namun masih belum boleh turun dari tempat tidur ditawari aktivitas yang bisa dilakukan di tempat tidur, membaca buku cerita, menggambar, melukis, membuat prakarya, bernyanyi, dll.

Pasien yang sudah boleh turun dari tempat tidur, boleh main di ruang bermain yang bersih dan terjaga keamanannya.

Pasien-pasien usia SD akan ditawari juga untuk belajar, baik itu di sekolah rumah sakit (kalau sudah boleh berjalan), atau belajar di tempat tidurnya.

Play Leader akan mencatat semuanya di pagi hari dan kemudian mempersiapkan apa yang perlu dilakukan bersama relawan lainnya. Dan sekitar jam 10 saat pasien sudah selesai makan, mandi dan visit dokter, maka para relawan akan berkeliling untuk mendampingi pasien melakukan ragam aktivitas yang sudah dipersiapkan tersebut.

Saya terkesan. Terutama dari betapa komprehensifnya perencanaan disusun yang bertujuan untuk mempercepat kesembuhan anak. Jadi kesembuhan tidak hanya dari sisi medis tapi juga faktor-faktor penunjang. Betul bahwa faktor dukungan orang di sekitar adalah penting, namun hal itu juga dikelola dengan terencana tidak diserahkan begitu saja kepada keluarga. Beruntung bila pasien anak ini memiliki keluarga yang memberikan dukungan positif. Kenyataannya ada banyak pendamping yang tidak tahu atau tidak bisa melakukan hal-hal yang sebetulnya dibutuhkan pasien anak.

Di Indonesia sekarang, RS-RS yang cukup berbiaya, memang sudah melakukannya. Tapi RS ini tidak banyak dan otomatis juga pasien yang ditangani pun terbatas. Sehingga yang memperoleh kemanfaatan pun tidak signifikan jumlahnya.

Saya membayangkan suatu hari di RS-RS pemerintah, bangsal anak menjadi lebih sunyi dari tangisan dan jeritan pasien-pasien anak, orangtuanya lebih kalem tidak panikan, para perawatnya ceria, dan para dokter lebih tenang bekerja ....

Yeti Widiati 061116
JANGAN AMBIL ALIH TUGAS ANAK - yws

Seorang teman berbagi video tentang bagaimana seekor induk beruang kutub menolong anaknya yang tercebur di kolam kandangnya di kebun binatang.

Hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana cara induk beruang tersebut menolong anaknya. Ia tidak menarik dan tidak mendorong anaknya, melainkan hanya menahan kaki anaknya dan menjaga di belakangnya saat anak beruang itu berusaha memanjat naik ke pinggir kolam. Ketika ia melihat anaknya sudah mampu untuk naik, maka ia melepaskannya. https://www.youtube.com/watch?v=cU7vhXe-Zcw


Diana Baranovich, seorang Play Therapist menyatakan dalam salah satu sesi trainingnya, bahwa orangtua bertugas membimbing anak dan bukan mengambil alih tugas anak. Ia mencontohkan, ketika anak usia batita ingin menyalakan lampu, dan ternyata saklarnya terlalu tinggi, maka bila orangtua ingin membantu bukanlah dengan cara membantu menyalakan saklar, melainkan dengan menggendong anak, sehingga tangannya dapat menjangkau saklar tersebut.

Contoh lain, adalah, bila anak sudah bisa menyuapkan sendok ke mulutnya sendiri, maka ia yang harus melakukannya sendiri dan bukan disuapi oleh orang dewasa. Atau sudah bisa jalan ya, jangan digendong terus.

Dengan agak keras bahkan Diana mengatakan, orangtua yang mengambil alih tugas anak yang dapat dilakukannya sendiri, berarti melakukan "kekerasan" (harrashment) pada anak.

Dengan cara ini, maka yang dibutuhkan dari orangtua (juga guru atau pendidik lainnya) untuk tidak mengambil alihh tugas anak, diantaranya:
1. Kepekaan untuk MENGIDENTIFIKASI, hal apa yang sudah mampu dilakukan anak dan mana yang belum. Orangtua hanya membantu pada tugas-tugas yang benar-benar belum mampu dilakukan anak.

2. Perasaan TEGA melihat anak berusaha.
Kerap saya menemukan, orangtua yang karena alasan cinta dan kasih sayang, tidak tega melihat anaknya berpeluh karena berusaha. Kalaupun orangtua kasihan pada anak, maka kasihanilah anak yang kelak pada usia seharusnya dia sudah mampu melakukan banyak hal, ternyata anak bersikap pasif dan lebih banyak menunggu dibantu. Perasaan kasihan dan tidak tega yang salah tempat ini, akan menimbulkan "ongkos emosi" tidak sedikit di kemudian hari.

3. Kemampuan untuk MEMOTIVASI anak berusaha dan MENGAPRESIASI pencapaiannya.
Akan jauh lebih berguna bila orangtua memberikan penguatan dan apresiasi pada anak sehingga kepercayaan diri anak menjadi bertambah kuat.

Dengan cara ini, bahkan anak berkebutuhan khusus dan anak-anak dengan ketunaan pun juga dapat mengembangkan dirinya. Karena seminimal apapun kemampuannya, tetap ia memiliki sesuatu yang bisa dikembangkan.

Coba deh untuk tidak mengambil alih tugas anak, dan kita akan takjub dengan pencapaiannya di kemudian hari.

Yeti Widiati 051116

Rabu, 02 November 2016

STRATEGI MENGURANGI KEREWELAN DAN KECEMASAN ANAK PADA SITUASI ASING - yws

- Dhia, 3 tahun dibawa ke dokter. Sepanjang waktu menunggu, Dhia rewel luar biasa. Merengek dan menangis berulang-ulang. Ibunya pun menjadi kesal dan menghardik "Diam ...! Kamu ini kok gak bisa diam. Mempan sebentar, dan kemudian hanya dalam hitungan menit, Dhia pun merengek kembali.

- Salma, 4 tahun diketahui menderita penyakit parah dan ia segera harus dioperasi. Ibunya tak tega memberi tahu Salma tapi ibu menangis terus setiap berada di depan Salma, "Kasihan, saya nggak tega dia dioperasi ..." Lho, lebih nggak tega mana dengan membiarkan anak bingung dan cemas melihat situasi yang tidak jelas karena ibunya menangis terus? Tak lama 2 orang perawat datang membawa Salma untuk persiapan operasi, dan Salma pun menjerit ketakutan ....

- Aldino, 3 tahun, berangkat ke mall bersama ayah ibu. Ia anak penuh energi. Senang berlari kian kemari. Gerakan favoritnya adalah 'sliding' meniru pemain bola saat memasukkan gol ke gawang. Di mall, Aldino excited melihat lantai luas yang bisa dipakai 'sliding'. Ia berlari dan kemudian melakukan sliding. Sliding pertama, ia menyenggol seorang perempuan, hingga ibu harus segera minta maaf. Sliding kedua ia menabrak manekin di sebuah counter pakaian hingga manekin itu jatuh. Untungnya (masih ada untung), Aldino tidak terluka. Namun aya harus mengeluarkan uang untuk mengganti tangan manekin yang patah.

- Ravi, 3 tahun, dibawa ke pengajian oleh bunda. Menit-menit awal ia masih tenang dan duduk diam di atas karpet. Ia mulai gelisah ketika pak ustadz mulai berkhotbah. Kakinya bergerak-gerak sehingga menyenggol gelas air dan membahasi karpet. Ia berdiri, berjalan di sela jamaah yang sedang mengaji, tergoda untuk keluar karena mendengar anak-anak yang berlari-lari dan berteriak-teriak di luar ruangan. Tapi bunda menariknya, memangku dan menyuruhnya diam.
-------------------

Apakah pernah mengalami situasi-situasi di atas?

Siapa pun tak nyaman menghadapi situasi yang mencemaskan, membosankan dan tidak diduga. Apalagi balita yang naturenya penuh energi, sulit diam dalam jangka panjang karena rentang fokus masih rendah. Sehingga ia akan banyak bergerak dan mudah bosan.

Ada sementara orang cenderung menghindari situasi tersebut. Atau sebaliknya menggunakan cara memaksa agar anak menampilkan perilaku yang diharapkan.

Saya lebih suka memilih mempersiapkan anak menghadapi situasi baru atau situasi yang tidak menyenangkan daripada menghandle situasi ketika sudah runyam.

Beberapa hal yang biasa saya lakukan saat anak-anak saya balita.
1. Beritahu anak TUJUAN yang ingin dicapai dan gambarkan SITUASI apa yang mungkin dihadapi dengan bahasa sederhana

Misal: "Dhia, kita mau ke dokter untuk periksa, supaya Dhia sehat. Nanti di sana kita akan menunggu karena ada banyak pasien yang mengantri. Dhia mau melakukan apa sambil menunggu? Menggambar atau main?

2. Jelaskan PERILAKU apa yang diharapkan dan apa yang perlu dihindari. Sebutkan alasannya.

Misal: "Karena banyak orang, maka adik tidak boleh lari-lari dan teriak-teriak. Itu mengganggu orang lain. Adik boleh baca buku cerita, menggambar atau mendengarkan musik, atau kegiatan lain yang tidak mengganggu orang lain."

3. Tawarkan cara PENYELESAIAN MASALAH bila ia bosan atau cemas.

Misal:
- "Kalau bosan, kamu boleh nyender pada Bunda atau boleh juga tidur sebentar."
- "Kamu juga boleh lari-lari di luar ruangan sebentar."
- "Kalau kamu takut, sini Mama peluk kamu."

Jadi kuncinya adalah pada persiapan, pencegahan dan antisipasi. Memang perlu waktu dan usaha, namun berdasarkan pengalaman saya, dengan cara ini ongkos emosinya jauh bisa ditekan. Anak dan orangtua lebih tenang dan anak merasa lebih dihargai.

Yeti Widiati 021116
SEKOLAH DI LUAR NEGERI - yws

"Aku mau sekolah di luar negeri ... "
"Oke, mau belajar apa di luar negeri?"
"Mau belajar animasi"
"Apa sebetulnya cita-cita kamu kalau sudah besar?"
"Aku mau bikin film animasi yang bagus ..."
"Kenapa kamu ingin bikin film animasi yang bagus?"
"Soalnya Indonesia gak punya film animasi yang bagus."
"Bagus sekali cita-citanya. Lalu kenapa harus belajarnya di luar negeri? Di dalam negeri kan juga bisa."
"Iya sih, tapi kan kalau di luar negeri lebih lengkap dan aku bisa belajar mandiri."
"Menurut kamu, apa yang perlu kamu persiapkan kalau kamu mau sekolah di luar negeri?"
"Bahasa Inggris, supaya bisa ngomong, baca buku dan ngerti pelajarannya"
"Selain bahasa Inggris, terus apa lagi?"
"Nnnnggggg .... gak tau ..."
"Gimana kamu makannya?"
"Beli lah ..."
"Iya kalau uangnya banyak, tapi di luar negeri itu makanan lebih mahal daripada di sini."
"Masak aja kalau gitu. Mmmmhhh ... berarti aku perlu belajar masak ya ..."
"Di sana gak ada si mbak yang nyuci dan nyetrika baju. Masa pergi kuliah baju itu melulu atau kusut-kusut."
"Ya, aku belajar nyuci dan nyetrika deh ..."
"Lalu, kamu kan akan ketemu macam-macam orang. Ada yang baik, ada yang nyebelin. Gimana kamu menghadapi orang-orang seperti itu?"
"Eh, aku harus belajar berteman dengan macam-macam orang kalau gitu."
"Nak, di Indonesia ini mayoritas orang beragama Islam. Dan agama yang resmi ada 5. Kalau kamu di luar negeri, maka kamu akan menghadapi situasi yang jauh lebih heterogen. Bukan hanya 5 agama tapi ada jauh lebih banyak dari itu. Lumayan banyak yang atheis dan agnostik. Bahkan orang Islam-nya pun beragam madzhab dan organisasinya. Madzhab yang tidak ada atau dilarang di Indonesia, akan terbuka di luar dan mudah ditemukan. Bagaimana kamu bersikap terhadap hal itu? Mama ingin kamu berpegang teguh pada value kita."
..... diam cukup lama .... "Baik aja lah sama orang, tapi kita tetap shalat."
"Iya betul, kita baik pada orang, dan tetap ibadah sesuai agama kita"
"Ada juga kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan kebiasan dan budaya kita, misalnya, pergaulan, pakaian, dll. Bagaimana kamu menghadapi itu semua? Identitas diri dan akar budaya kita ini orang Timur"
"Ambil yang bagusnya aja lah ..."

Itu adalah secuplik perbincangan saya dengan si sulung saat masih kelas 2 SMP dan ia ingin sekolah di luar negeri. Ada beberapa hal yang saya sesuaikan sehingga detail tidak sama persis, namun tidak mengurangi esensi. Saya tidak membahas mengenai boleh tidaknya sekolah di luar negeri, tapi lebih mengenai apa situasi yang akan dihadapi, apa konsekuensinya, apa yang perlu dipersiapkan, dll. Pada kenyataannya, semua dibahas detail dengan contoh praktis dan latihan.

Content pembicaraan meliputi;
- tujuan hidup dan cara pencapaiannya
- kemandirian dalam memanage diri
- kemandirian dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan
- kemampuan bersikap dan bersosialisasi
- komitmen dengan value dan identitas budaya
- akademik, pengetahuan dan ketrampilan penunjang
- pemahaman budaya dan orientasi tempat yang dituju.
Dll.

Pembicaraan seperti ini masih dilakukan terus bertahun-tahun kemudian dengan pola yang sama. Maksudnya bagaimana insight/kesimpulan diperoleh oleh anak. Bukan melulu melalui nasihat satu arah. Bagi saya saat itu, tidak masalah anak saya akan melanjutkan pendidikan di dalam atau di luar negeri, tapi paling tidak saya perlu mempersiapkan sejak awal, terutama untuk hal-hal yang cukup mendasar dan membutuhkan waktu.

Yeti Widiati - 271016

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...