Sabtu, 31 Oktober 2015

APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN UNTUK MELINDUNGI ANAK KITA DARI MEMBULLY DAN DIBULLY? (Bagian-2) - yws

Ini adalah tulisan lanjutan. Oleh karena itu untuk memperoleh kesatuan pemahaman, tulisan Bagian-1 pun perlu dibaca terlebih dahulu.

3. KENDALI DIRI,
Emosi itu terkait dengan fisiologis, antara lain kematangan syaraf dan hormonal. Oleh karena itu mengapa biasanya anak-anak, masa pubertas, orang sakit, perempuan saat menstruasi & menopause dan orang yang sudah tua, lebih rentan, sensitif dan mudah terpicu emosinya. Namun kendali emosi bergantung pada bagaimana pola pengasuhan, pendidikan dan pengalaman yang terjadi dalam hidupnya.
- Apakah orangtua lebih banyak mengikuti keinginan anak?
- Atau sebaliknya apakah orangtua lebih banyak melarang keinginan anak?
- Apakah anak laki-laki tidak boleh menangis tapi lebih diterima kalau dia memukul, melawan dan berkelahi?
- Sebaliknya, apakah anak perempuan boleh menangis tapi tidak boleh memukul, melawan dan berkelahi?
- Apakah orangtua memberi kesempatan anak mengungkapkan perasaannya dengan berbicara?
- Apakah anak berolah raga?
- Apakah anak belajar bela diri?
- Apakah orangtua menceritakan perasaan-perasaannya pada anak apa adanya? Atau orangtua lebih suka menyembunyikan perasaannya pada anak?
- Apakah orangtua mengajarkan dengan jelas, hal-hal apa yang perlu dilakukan anak untuk mengelola emosinya?
- Apakah orangtua memberi tahu dengan jelas perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan?
- Apakah ada konsekuensi yang diberikan saat perilaku buruk diperlihatkan?
- Apakah ada apresiasi yang diberikan saat perilaku baik diperlihatkan?

4. KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING
Kalaulah masalah adalah adanya gap/jurang antara harapan dan kenyataan, maka banyak hal di dunia ini yang bisa kita anggap menjadi masalah. Ada masalah yang tidak bisa kita ubah, misalnya, kondisi fisik, ras, kelahiran, dll. Namun ada masalah yang bisa kita ubah, seperti kedisiplinan, pengetahuan, perilaku, kemiskinan, dll.

Bila seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, maka ia biasanya menjadi mudah emosi. Dan semakin seseorang mampu menyelesaikan masalahnya, maka emosinya semakin stabil. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa anak kecil yang masih bergantung pada orangtuanya, ia menjadi mudah emosi. Hal yang sama bisa terjadi pada orang yang lemah secara psikologis, misal, anak yang dimanja, orang yang kurang percaya diri, orang yang lemah secara fisik dan tidak menemukan kelebihannya. (Lihat bahasan saya tentang konsep diri).
- Apakah orangtua membiasakan diri segera mengatasi masalahnya saat masalah masih ringan dan tidak menunda dan menumpuknya?
- Apakah orangtua memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan masalah sendiri?
- Apakah orangtua ikut campur atau mengambil alih dalam penyelesaian masalah anaknya?
- Apakah orangtua mengajak anak untuk mendiskusikan masalah dan mencari alternatif penyelesaian masalah bersama?

5. CONTOH PERILAKU ORANG DEWASA
Bagi anak, tak cukup menasihati dengan bicara. Ketika apa yang ditampilkan orang di sekelilingnya tidak sesuai, maka menyerap secara visual (melihat perilaku orangtua atau film) jauh lebih mudah daripada menyerap secara auditori (nasihat)
- Apakah perkataan orangtua dan perbuatannya selaras?
- Apakah orangtua memperlihatkan kemampuan kendali diri?
- Apakah orangtua mendampingi anak saat menonton TV, video, membeli komik dan main games, serta menjelaskan mana perilaku yang pantas dan yang tidak?
- Bagaimana orangtua berespon terhadap kejadian yang tidak menyenangkan, misalnya saat kemacetan, saat diperlakukan tidak sopan di depan umum, saat tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, atau saat menuliskan keluhan di media sosial.
- Apakah orangtua mengira apa yang mereka lakukan tidak akan terbaca oleh anak? Mungkin tidak sekarang, tapi kelak ...
- Apakah orangtua memperlihatkan proses problem solving yang baik? (Karena anak meniru pola perilaku dan penyelesaian masalah orangtuanya)

6. PAPARAN MEDIA
Betul, bahwa perkembangan teknologi digital dan internet meningkatkan secara signifikan penyebaran informasi melalui televisi, video, media sosial, gadget, dll. Banyaknya orang-orang yang kurang/tidak peduli dengan pendidikan anak memperparah kondisi ini. Pihak berwenang yang memiliki otoritas untuk membuat regulasi dan menentukan kebijakan tidak cukup bertanggung jawab. Dorongan mencari keuntungan sebesar-besarnya, kompetisi rating, perhatian dan popularitas sungguh menyesakkan, penyebaran value tertentu. Video kekerasan diputar terus-menerus di televisi, diunggah di youtube dan dishare habis-habisan oleh banyak orang yang mengira bahwa itu akan membantu.

Bagaimana pun tetap ada yang bisa kita lakukan sebagai orangtua. Seperti yang pernah saya bahas di status "Menyerahkan Pengasuhan Anak kepada TV, Komik dan Gadget"
- Apakah orangtua menjelaskan dan berdiskusi mengenai efek baik dan buruk gadget, internet, games, dll.
- Apakah orangtua melakukan pendampingan saat anak menonton film (televisi atau video) atau bermain games dan melakukan review?
- Apakah orangtua membuat pengawasan, pembatasan dan pengaturan untuk menggunakan gadget, internet, televisi, dll?
- Apakah orangtua sudah menanamkan value yang tepat, sehingga anak bisa mengambil keputusan sendiri dengan baik.

Boleh jadi masih ada yang perlu kita lakukan sebagai orangtua untuk melindungi anak-anak kita. Dan yang saya uraikan di atas terutama ditujukan pada diri saya sendiri.

Yeti Widiati S. 141015
APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN UNTUK MELINDUNGI ANAK KITA DARI MEMBULLY DAN DIBULLY? (Bagian-1) - yws

Tahun lalu saya membahas tentang kasus bullying, spesifiknya kekerasan fisik pada anak-anak. Saya mengemukakan bahwa paling tidak ada 6 hal yang perlu dikelola oleh orangtua, guru, masyarakat dan otoritas yang berwenang. 6 hal tersebut adalah konsep diri, senstivitas, kendali diri, kemampuan problem solving, contoh perilaku orang dewasa dan paparan media. Selalu ada kemungkinan lebih banyak dari 6 hal yang perlu kita kelola. Namun 6 hal ini yang saya simpulkan dari kasus-kasus yang saya terima. Yang jelas penyelesaian masalah bullying dan kekerasan tidak pernah tunggal, perlu proses dan tidak bisa instan. Sama seperti dokter yang mengobat penyakit, ia juga tidak memberikan resep hanya satu obat saja. Semakin kompleks masalahnya, maka semakin banyak hal yang harus diselesaikan.

Untuk menentukan 'obat' dari suatu penyakit, maka yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan identifikasi masalah atau mencari akar/latar belakang masalah itu muncul. Hal ini agar kita dapat menentukan apa yang perlu kita lakukan. Pada kenyataannya, hampir setiap masalah tidak sederhana. Boleh jadi ada keterbatasan bagi kita untuk menyelesaikan pada area tertentu, misalnya terkait kebijakan, budaya, atau sistem. Namun di sisi lain juga selalu ada yang bisa kita lakukan. Saya lebih suka mengajak kita untuk berfokus pada apa yang bisa kita lakukan daripada pada apa yang tidak bisa kita lakukan. Berfokus pada kelemahan akan membuat kita pesimis. galau, kesal, marah dan frustrasi, dan biasanya memperburuk masalah. Sementara berfokus pada kekuatan akan membuat kita fokus dan lebih optimis. Banyak kejadian, hal positif yang dilakukan secara konsisten dan konsekuen ternyata memiliki pengaruh yang luar biasa yang tidak diduga sebelumnya.

Saya mengajak kita semua untuk bertanya pada diri sendiri, apa hal minimal yang sudah kita lakukan terkait 6 hal yang saya sebutkan di atas

1. KONSEP DIRI
Pada umumnya baik pelaku maupun korban bullying, memiliki konsep diri yang rendah. Pembentukan konsep diri diawali dengan bagaimana penerimaan orangtua terhadap anak.
- Apakah anak merasa dicintai? (Pertanyaannya bukan, 'Apakah orangtua mencintai anak?')
- Apakah orangtua sering memberikan label negatif pada anak?
- Apakah orangtua menghargai pencapaian anak?
- Apakah orangtua senang membandingkan anak dengan saudaranya, anak lain atau bahkan dengan dirinya (maksudnya dengan orangtua saat mereka anak-anak)
- Apakah orangtua lebih berfokus pada kesalahan dan kekurangan anak, daripada pada prestasi dan mencari kelebihan anak?

Kalau semua itu masih dilakukan, paling tidak kurangi atau hilangkan hal itu, sebelum sibuk memikirkan nasihat apa yang harus diberikan pada anak.

2. SENSITIVITAS
Sensitivitas adalah dasarnya empati, atau kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain. Anak yang memukul, menusuk, membakar anak lain, tidak peduli pada rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain. Jangankan merasakan perasaan yang sifatnya psikologis, seperti kecewa, sedih, takut, bahkan perasaan yang sifatnya fisik pun mereka tak merasakannya.
Pertanyaannya
- Apakah orangtua suka memukul atau mencubit anak anda ketika mereka melakukan kesalahan?
- Apakah anak senang menonton film, animasi, main games action?
- Apakah orangtua menjelaskan pada anak bahwa perilaku agresif dalam film adalah trick dan tidak boleh dilakukan dalam keseharian?
- Apa respon orangtua ketika anak jatuh, teriris pisau, lelah, sakit, mengantuk, dan kondisi fisik lainnya?
- Apakah orangtua bisa menangkap saat anak merasa sedih, kecewa, marah, takut?
- Apa respon orangtua ketika menangkap anak sedang berada dalam kondisi emosi negatif?
- Dan bagaimana juga respon orangtua ketika menangkap anak sedang berada dalam kondisi emosi positif?
- Sejak balita, apakah anak diberikan semua stimulus sensori? Gambar atau film, ragam musik, benda-benda dan tekstur yang disentuh, bau-bauan, ragam makanan untuk dikecap, bergerak (lari, lempar, loncat, memanjat, merangkak, dll)
- Apakah anak diberi kesempatan untuk menekuni seni? Seni apapun, musik, seni suara, lukis, gambar, menari, kriya/crafty, dll.

Kalau orangtua lebih berfokus pada perasaannya sendiri, daripada perasaan anak, misalnya ketika anak melakukan kesalahan, orangtua langsung marah dan memukul tak peduli bagaimana perasaan anak, maka mekanisme itu juga yang akan ditiru oleh anak.

Bukan berarti saya mengatakan bahwa orangtua tidak boleh marah. Tentu saja boleh, karena emosi adalah hal yang wajar dan alamiah. Yang saya ajak adalah agar kita bisa mengendalikan diri. Tahu kapan dan bagaimana mengekspresikan kemarahan. Dan fokus pada perilaku yang ingin diperbaiki, bukan pada emosi kita sendiri.

Ups, ternyata panjang juga membahas semua 6 aspek. Insya Allah saya lanjutkan di status berikutnya.

Yeti Widiati S. 141015
SING WARAS, NGALAH - yws

"Heran, sudah diajarin kok gak ngerti-ngerti juga ... !"

Familiar dengan kalimat seperti itu atau yang mirip seperti itu?


Saya sering mendengarnya.
- Majikan yang membicarakan pembantu yang berulangkali salah memahami perintah.
- Guru yang mengajari siswa dan tetap saja tidak mengerti
- Boss yang mengeluh tentang bawahannya
- Orangtua yang kehilangan akal menasihati anaknya
- Para Ilmuwan dan profesional yang kebingungan menjelaskan konsep-konsep teknis kepada orang awam
- dan banyak lagi, (silakan diteruskan)

Kecerdasan manusia (seperti juga aspek-aspek lainnya) memiliki rentang yang cukup panjang,
- Mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks
- Mulai dari yang konkrit-praktis hingga yang abstrak-analisis
- Mulai dari yang berpikir parsial hingga yang komprehensif
- Mulai dari yang loadingnya lama hingga yang sangat cepat memahami.
- Mulai dari yang antisipasinya pendek, hingga yang memiliki kemampuan antisipasi panjang
- Mulai dari yang sulit mengingat dan mudah lupa hingga yang memiliki kemampuan ingatan jangka panjang yang kuat.
- Mulai dari yang imitatif hingga yang kreatif

Analoginya, jika yang satu adalah orang yang pendek dan satunya lagi adalah orang yang tinggi, maka mana yang paling mungkin, memaksa orang yang pendek "memanjangkan tubuhnya" agar menjadi lebih tinggi atau orang yang tinggi mengubah posisi menjadi duduk agar tingginya menjadi sama?

Jadi, majikan, guru, boss, orangtua, ilmuwan dan profesional sebagai orang yang "lebih tinggi" dari sisi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu berempati dengan kemampuan berpikir pembantu, siswa, karyawan, anak, dan orang awam.

Mereka yang "lebih tinggi" ini, alih-alih mengeluh, mencerca apalagi menertawakan, perlu mencari strategi untuk membuat orang lain memahami dengan lebih mudah pesan yang ingin disampaikannya.

Pepatah Jawa mengatakan, "Sing waras ngalah" menunjukkan kebesaran jiwa dari orang yang "lebih tinggi" untuk memahami mereka yang masih berproses untuk menjadi lebih tinggi.

Yeti Widiati S. 101015


HANYA PERLU TELINGA .... - yws

- Bu, saya ingin curhat nih. Gimana ya, ada masalah tapi gak juga sih ...

+ Apa yang ingin disampaikan?


- Ini lho bu, suami saya itu pelit sekali.

+ Oh, suami ibu pelit, bagaimana pelitnya?

- Ah enggak juga sih, sekarang sudah berkurang.

+ Oh sudah berkurang ...

- Tapi dia gak percaya sama saya

+ Bagaimana gak percayanya?

- Mmmmh tapi gak juga ya. Itu dulu, kemudian saya banyak doa, sekarang sudah tidak begitu lagi.

+ Oke ...

- Tapi itu suami saya keras kepala sekali

+ Keras kepala?

- Eh, tapi kalau saya kasih tahu baik-baik kadang-kadang mau dengar juga.

+ Mmmh ....

- Cuma saya suka merasa tidak dihormati di depan anak-anak. Masa kalau saya ngasih tahu anak-anak langsung disalahkan oleh suami di depan anak. Anak-anak kan jadinya tidak menghormati saya.

+ Lalu apa yang ibu lakukan?

- Ya saya sabar saja bu, sekarang anak-anak sudah mulai menghormati saya.

+ Berarti ibu sudah mengatasi masalah-masalah ibu

- Iya sih ya .... tapi ....

*Sesi menemani dan mendengar selama 1 jam dengan pola pembicaraan yang sama, menceritakan masalah lalu disangkal kembali, demikian bolak balik ...

Yeti Widiati S 081015
MENEMUKAN BAKAT - yws

Pertama kali menemukan bakat Ghina adalah sekitar usia 2 tahun. Saat itu Ghina diajak tante dan oomnya ke Kebun Binatang Ragunan bersama kakak dan saudara-saudara sepupunya. Sepulang dari Ragunan, Ghina bersama kakaknya duduk di lantai, mengambil kertas dan dengan pensil warna kakaknya ia tampak tekun membuat coretan-coretan. Tak lama kemudian ia menyerahkan kertas gambarnya pada saya.

"Maaah .... jah .... " katanya sambil menunjukkan coretan yang dibuatnya.
Saya melihat gambarnya dan bertanya, "Ini gajah?" Ghina mengangguk dengan yakin. Saya terpana melihat coretan gajah yang dibuatnya. Goresannya memang masih belum terkoordinasi dengan baik, namun saya bisa mengidentifikasi bentuk gajah dari proporsi badan, letak belalai dan kuping gajah yang tepat, jumlah kaki yang ada empat (padahal belum bisa berhitung) dan juga letak ekornya.

Saat itu saya menyimpulkan, bahwa anak saya memiliki kemampuan menangkap detail visual dengan tepat. Koordinasi visual-motoriknya memang belum sempurna karena memang saat usia itu syaraf-syarafnya belum mencapai kematangan.

Saya mulai merancang pengembangan bakatnya. Ini menjadi penting karena dengan kondisinya maka mengembangkan bakat menjadi salah satu cara untuk juga mengembangkan konsep dirinya, selain pengetahuan dan ketrampilannya. Di samping itu menggambar akan membantu saya untuk berkomunikasi yang masih terkendala karena kemampuan Ghina mendengar kurang optimal. Menggambar, menurut psikologi juga adalah cara untuk mengembangkan kepekaan dan meregulasi emosi.

Atas saran seorang teman yang memahami tentang pengembangan kreativitas melalui seni rupa, maka saya membelikan 1 rim kertas HVS A4. Saya juga membelikan ragam alat gambar, spidol, crayon, pensil warna dan cat air. Saya membebaskan Ghina menggambar apapun. Tidak membatasi pilihan bentuk, warna dan termasuk juga cara, Ketika dia menggambar langit warna ungu, daun warna coklat atau muka orang warna kuning, saya membiarkannya. Ketika garisnya masih belum lurus, warnanya belum halus, saya pun membiarkannya. Karena point utama kreativitas adalah kebebasan dan keberanian untuk mengeluarkan ide, bukan kerapiannya.

Seiring waktu, curiosity-nya mendorongnya untuk berani, kompetitif dan mengembangkan diri. Ini menjadi momen penting, karena awalnya Ghina seorang yang pemalu dan cenderung pasif.

Saat usia SD kelas 5, dia meminta dibelikan buku seni padahal buku itu untuk SMA. Usia SMP saat dia ingin bisa menggambar air dan bulu, ia sengaja mendatangi guru gambarnya dan meminta advis untuk gambar yang dibuatnya. Beberapa kompetisi yang diikutinya adalah karena inisiatifnya sendiri. Tidak selalu menang, tapi ia ingin menjajal kemampuannya sendiri dan melihat bagaimana anak lain menggambar. Ia mengatakan, "Kata orang gambarku bagus, tapi setelah aku lihat gambar orang lain, ternyata ada banyak gambar orang lain yang lebih bagus."

Saya mengatakan, "Kamu perlu bersyukur dengan kemampuan yang kamu miliki, tapi kamu tidak boleh sombong, karena di atas langit masih ada banyak langit ... "

Yeti Widiati S. 071015
BELAJAR BERPIKIR DARI IBRAHIM ...
(Konteks Perkembangan Religius) - yws

Salah satu kisah dalam Al Qur'an yang menginspirasi saya adalah ketika Ibrahim AS. "mencari" Tuhan. Ia bertanya pada ayahnya, bertanya pada dirinya sendiri, mengamati alam dan lingkungan, berpikir kritis dan melakukan analisis hingga sampai pada kesimpulan dan keputusan yang ternyata membuat ia harus berseberangan dengan kaumnya saat itu.

Dalam psikologi, setiap orang akan melalui fase bertanya mengenai hal-hal yang abstrak, filosofis, transenden dan/atau spiritual. Ini semua termasuk dalam aspek perkembangan relgius seseorang. Kemampuan ini diiringi juga dengan perkembangan kognitif dan perkembangan moral.

Umumnya, pertanyaan-pertanyaan ini memuncak pada saat anak berusia 13 tahun hingga 17 tahun. Bisa kurang atau lebih bergantung pada seberapa besar lingkungan merangsang kemampuan berpikir anak. Setelah periode itu berlalu, seharusnya seseorang sudah memiliki kesimpulan dan mengambil keputusan, sistem value yang mana yang akan dianutnya, apakah sama dengan orangtuanya ataukah justru berseberangan dengan orangtuanya.

Saya menyadari kekuatiran orangtua saat anak mengajukan pertanyaan yang dianggap sensitif tentang agama dan termasuk juga implikasinya dalam keseharian yang tidak selalu paralel dengan konsep yang diajarkan. Orangtua yang kuatir anak mengambil kesimpulan yang salah seringkali mengambil jalan short cut dengan melarang anak bertanya atau justru memaksa anak untuk mengikuti apa yang diyakini orangtuanya. Di titik ini saya melihat bahwa cara yang dilakukan itu sama dan sebangun dengan apa yang dilakukan ayahnya Ibrahim AS. ketika ia kebingungan menjawab dan akhirnya menyuruh Ibrahim untuk mengikuti apa yang sudah dilakukannya selama ini secara turun-temurun.

Kita mungkin berkilah, "Tapi kan yang kita ajarkan pada anak kita adalah yang benar, bukan seperti yang diajarkan bapaknya Ibrahim"

Sah-sah saja bila kita berpendapat seperti itu. Namun ada hal yang jauh lebih penting menurut saya, adalah bahwa kita perlu membimbing dan mengajarkan anak untuk bisa mengambil keputusan dan memilih mana yang baik dan benar berdasarkan pertimbangan dan kemampuan analisisnya sendiri. Ini adalah bagian dari kemandirian yang perlu kita ajarkan yaitu kemandirian untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan.

Transfer value dari orangtua pada anak menurut saya juga dipengaruhi oleh, seberapa terbukanya orangtua, untuk membahas hal-hal yang bersifat transenden ini. Betul, adalah sangat baik bila orangtua bisa menjawab semua pertanyaan anak. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah, keterbukaan yang ditunjukkan orangtua dengan mendengar, menyimak, mencarikan jawaban dan menahan diri untuk tidak mematikan rasa ingin tahu anak. Anak tidak akan kehilangan rasa hormatnya kepada orangtua, hanya karena orangtua tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh anak.

*Kita berhenti menyuapi anak makan, dan mengajarinya menggunakan sendok dan garpu agar suatu hari ia dapat makan sendiri.
Oleh karena itu, kita juga perlu sedikit demi sedikit mengurangi menyuapi anak dengan doktrin dan dogma lalu mulai mengajarinya berpikir dengan bertanya, menjawab pertanyaan, memberi persoalan dan memberi kesempatan untuk mengambil kesimpulan agar suatu hari ia dapat berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpihak pada yang baik dan benar.

Wallahu'alam

Yeti Widiati S. 021015
'PAHITNYA' USAHA MEMBUAT HASIL TERASA 'MANIS' - yws

- Karena kehidupan ekonomi kami yang sulit, dulu ibu kami membuka warung. Saya membantu menjaga warung setelah pulang sekolah. Yang bikin saya sakit hati adalah beberapa teman di sekolah mengejek saya, bu. Sakit hati saya, bahkan masih terasa sampai sekarang. Mereka mengejek saya karena miskin. Tapi saya tidak bisa curhat pada siapa pun. Saya hanya bisa menyimpan rasa sakit itu sendiri. Saya tidak mungkin bilang pada ibu saya yang sudah begitu repot dan susah dengan hidupnya. Ayah sudah meninggal dan adik-adik saya masih kecil.

Sekarang saya bingung pada anak-anak saya. Saya berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak saya, karena saya tidak ingin anak-anak saya mengalami kesulitan yang sama dengan yang saya alami dulu. Saya belikan pakaian yang baik agar mereka tidak diejek oleh teman-temannya. Saya juga bantu mereka dalam banyak hal agar mereka tidak merasa kesulitan. Tapi kok kenapa anak saya jadi manja ya? Anak saya tidak mau berusaha dan maunya hanya menuntut saja dari saya. Sakit sedikit dan sulit sedikit langsung mengeluh. Padahal sekarang mereka sudah usia SMA lho bu.

+ Apa ibu pernah cerita bagaimana ibu dulu berusaha waktu kecil?

- Gak lah bu, itu bukan pengalaman yang baik untuk diceritakan. Saya tidak mau anak-anak saya mengalami hal yang sama, jaga warung dan diejek oleh teman-temannya.

+ Tahukah ibu bahwa ada hal luar biasa di balik pengalaman hidup yang ibu rasa menyakitkan itu?

- Apa itu?

+ Dengan menjaga warung, pertama, ibu menunjukkan sikap ibu yang baik, mau membantu orangtua yang kesulitan. Kedua, dengan menjaga warung ibu juga mengembangkan kemampuan untuk menghadapi ragam orang dan belajar melayani mereka dengan baik. Ketiga, keberhasilan ibu menghadapi bully dari teman-teman ibu, menunjukkan ibu memiliki kekuatan secara emosi.

Nah, sekarang ibu berhasil menjadi seorang pengusaha yang hebat. Bisa mengenali orang sehingga dapat memberikan penawaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ibu juga bisa membedakan mana orang yang jujur dan mana yang culas. Dan yang jelas, ibu juga adalah seorang yang ringan tangan mudah membantu orang lain.

Pelajaran dan hikmah itu yang perlu ibu ceritakan kepada anak-anak ibu, sehingga mereka tahu bahwa pengalaman hidup ibu dengan bekerja keras ternyata memberikan hikmah dan manfaat yang luar biasa sekarang.

Kalau ibu mengubah cara pandang ibu, bahwa "kesulitan" bukanlah masalah melainkan jalan untuk meningkatkan kualitas diri, maka ibu akan "merancang kesulitan" yang terkontrol bagi anak ibu. Sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan berusaha yang sekarang tidak berkembang. Yang ibu lakukan sekarang adalah kebalikannya. Dengan membelikan pakaian yang baik, selalu membantu dan melayani membuat anak kehilangan rasa bahwa "berpahit" dalam berusaha justru yang membuat mereka dapat merasakan "manisnya" keberhasilan.

- Aduh bu, saya tidak menyadari bahwa kesulitan hidup saya dulu ternyata memberi efek luar biasa pada keberhasilan saya sekarang ...

+ Ya, apakah rasa sakit hati karena diejek teman itu masih ada?

- Jauh berkurang, karena sekarang saya melihat, 'ah teman-teman saya kan masih anak-anak yang belum mengerti'

Yeti Widiati S. 270915
INNERCHILD YANG KECEWA .... - yws

Berulang kali menyimak curhatan dan menelusuri masalah individu ternyata masalah seringkali bermuara pada masa lalu, terutama masa lima tahun pertama dalam kehidupan seorang individu.

Seorang ibu yang kesulitan untuk menghandle putranya yang berusia 5 tahun datang pada saya. Ia selalu emosi dan sulit untuk menahan diri untuk tidak memukul dan mencubit putranya terutama saat putranya tidak menurut apa yang diperintahkan atau mengganggu adiknya yang masih bayi.


Sampai pada suatu hari, ketika si putranya menyikat toilet setelah BAB (tanpa disiram) sikat, toilet, lantai juga badan si anak pun menjadi kotor. Sang ibu pun marah besar. Ia memukul dan mencubit anaknya. Sementara sang anak memandang dengan bingung, marah dan kesakitan. Apa yang salah dengan saya? Padahal saya bermaksud untuk menolong bunda membersihkan toilet?

Melihat tatapan mata anaknya, ibu ini tersentak kaget. Ia menyadari bahwa kemarahannya salah tempat. Pukulan dan cubitannya salah alamat. Ia kuatir, anaknya akan menyimpan dendam dan kebencian padanya sebagai seorang ibu.

Saat ditelusuri ke belakang ke masa lalunya. Nyatalah bahwa ternyata ada "anak kecil" yang marah dan kecewa di dalam jiwa si ibu. Kemarahan dan kekecewaan yang belum tuntas dan terbawa hingga dewasa. Yang secara tidak sadar menyebabkan si ibu mengulangi kejadian yang sama persis seperti saat ia dimarahi orangtuanya dulu, padahal ia bermaksud baik untuk membantu.

Unfinnished bussiness ini yang perlu diselesaikan, karena bila tidak, maka akan menjadi "lingkaran setan tak berujung" dan terus diturunkan dan berlanjut kepada anaknya.

Yeti Widiati S 250915
“KEHILANGAN” YANG MEMBAWA 'ARTI'
(Mengubah Paradigma dalam menghadapi masalah) - yws

Saya mengetahui anak saya hanya mampu mendengar sekitar 60-70 persen pada saat ia berusia 1,5 tahun, sekitar tahun 1996. Saat itu saya menjadi bingung, apa yang saya harus lakukan?

Menurut buku teks psikologi perkembangan anak, gangguan pendengaran akan mengakibatkan gangguan bicara. Gangguan bicara akan mempengaruhi kendali emosi dan mengakibatkan kesulitan bersosialisasi dan juga proses belajar. Gangguan sosialisasi akan mempengaruhi pengembangan konsep diri. Sementara gangguan proses belajar akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan penguasaan akademik. Apalagi di Indonesia yang saat itu nyaris tak ada sekolah yang peduli dengan keunikan individu. Pendekatan mengajar dibuat untuk kelas yang homogen. Anak-anak yang unik, orangtuanya harus bekerja lebih keras untuk memberikan pendidikan yang akomodatif bagi anaknya.

Semakin tahu resiko justru membuat saya semakin cemas. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk meredakan kecemasan saya sendiri. Namun ada satu hal yang selalu saya yakini, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan suatu alasan dan meaning tertentu. Meaning yang tidak segera diperoleh tapi akan datang pada orang yang mencarinya. Pemikiran ini yang membuat saya tercenung, apa meaning yang saya bisa peroleh dari kondisi ini?

Ketika menyadari bahwa anak saya tidak bisa berbicara dengan baik karena gangguan pendengarannya, saya mempertanyakan hal yang sebelumnya saya tidak pernah pertanyakan. Dan saya menjawabnya sendiri.

“Apa bicara itu?” – Bicara adalah salah satu bentuk komunikasi

“Kenapa manusia harus berkomunikasi? – Supaya ia bisa dipahami

“Apakah hakikat komunikasi?” – Komunikasi itu penyampaian pesan dari sender dan menerima feedback/umpan balik dari receiver

“Kalau begitu untuk berkomunikasi apakah harus dengan berbicara?” – Tidak, tapi memang lebih mudah bila dengan bicara

“Cara apa lagi untuk berkomunikasi selain dengan berbicara agar kita bisa dipahami?” – Berkomunikasi bisa dengan bahasa tubuh (gerakan, gestur, ekspresi), tulisan maupun gambar. Intinya ada banyak ragam komunikasi selain berbicara.

Kesimpulan ini yang membuat saya kemudian mengubah paradigma/cara pandang tentang komunikasi. Anak saya masih tetap terganggu pendengarannya. Saya pun memang masih tetap membawa anak saya ke tempat terapi wicara, agar ia bisa berbicara dengan artikulasi dan juga susunan kata dan kalimat yang baik. Saya juga membelikannya hearing aid, agar ia dapat mendengar suara lebih keras.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah, bahwa saya tidak lagi stres dengan kenyataan bahwa anak saya hanya bisa mendengar 70 persen saja. Saya tidak kesal karena anak saya membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengolah stimulus dan memberikan respon. Saya bisa memaklumi ketika suaranya hanya lirih saja.

Saya berfokus pada tujuan, bagaimana ia bisa memahami saya dan bagaimana saya bisa memahami dia. Karenanya, saya mengubah cara bicara, memperbesar volume, memperlambat bicara, membuat jeda, melakukan cross check, bicara dengan mata bertatapan, berbicara dengan ekspresi dan gerak tubuh, memberinya kesempatan menggambar, mengobservasi lingkungan, dan mengajarkan membaca dan menulis.

Mencari meaning (menurut Logoterapi), melakukan reframing (menurut NLP), mencari hikmah (menurut agama Islam), apapun istilahnya untuk menggambarkan perubahan paradigma berpikir, ternyata menurunkan tingkat stres. Terbukti bahwa stres diakibatkan oleh pemaknaan terhadap situasi atau lingkungan. Situasi bisa sama, tetapi pemaknaan yang berbeda mengakibatkan libatan emosi yang berbeda pula. Stress, cemas, ataupun bahagia adalah pilihan kita.

Cara seperti ini juga yang biasanya saya lakukan kepada klien yang stres dan mengeluh terhadap hal-hal given atau hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Hal-hal yang sudah “dari sananya” begitu.

- Ketika kita lahir dengan kondisi fisik tidak sempurna
- Ketika anak kita ternyata tidak sepintar, secantik, atau memiliki minat seperti yang kita harapkan
- Ketika pasangan kita memiliki kebiasaan, sifat, atau lingkungan yang tidak kita sukai
- Ketika kita berada dalam lingkungan yang tidak seideal seperti yang kita bayangkan
- Ketika kita mengalami kehilangan orang-orang yang dicintai
- Ketika kita mengalami musibah yang tak bisa dihindari
Dan lain-lain.

Maka mencari meaning, melakukan reframing atau mencari hikmahnya adalah cara yang lebih realistis dan masuk akal untuk mempertahankan kesehatan mental dan kebahagiaan diri kita.

Memang ada saja yang mengatakan, “Tapi kan kita kasusnya beda, ibu tidak mengalami kondisi seperti saya,” Ya memang kasusnya berbeda, namun tetap ada rumus yang sama, sekalipun diperoleh dengan jalan yang berbeda.

Lihatlah sekeliling kita, ada banyak orang berbahagia hanya dengan mengubah cara pandangnya. Kenyataan memang tidak akan berubah, tapi sikap mental kita yang berubah 180 derajat. Kalau orang lain bisa, Insya Allah anda juga bisa ....

Yeti Widiati S. 160915

SEPERTI MEMBELI KUCING DALAM KARUNG
(Tentang mengenal calon pasangan) - yws

Saya tahu bahwa tema ini cukup sensitif. Sensitif dalam artian berpeluang menimbulkan perdebatan yang cukup tajam. Kalau memikirkan perdebatannya, sungguh saya merasa malas mengangkat tema ini, karena saya tak suka perdebatan yang tak berujung dan tak menyumbang manfaat. Tapi ketika saya melihat 'ke hilir' ke akibat yang terjadi, maka saya serta-merta akan menengok 'ke hulu' dan bertanya "Di mana letak miss-nya?"

Sudah beberapa kali, saya menerima kasus-kasus pernikahan yang umurnya belum juga seumur jagung tapi sudah penuh dengan konflik dan keinginan berpisah yang begitu kuat dari kedua belah pihak. Beragam pasangan namun masalahnya bermuara pada hal yang sama yaitu, "Saya tidak tahu kalau pasangan saya ternyata seperti itu dan saya tak menyukainya"
- Ternyata pasangan saya gampang tersinggung
- Ternyata pasangan saya keras kepala
- Ternyata pasangan saya pemalas
- Ternyata ibu mertua saya cerewet sekali
- Ternyata kakak ipar saya suka iri
Dst.

Saya tanya, "Berapa lama anda mengenal pasangan anda sebelum menikah?"
Jawabannya beragam, ada yang 1 bulan, 3 bulan, 1 tahun, bahkan ada yang sudah berpacaran selama 5 tahun. Saya tidak menemukan pola di sini. Lama perkenalan ternyata tidak menentukan seberapa besar kita mengenal calon pasangan kita.

Saya tanya, "Bagaimana anda mengenal pasangan anda sebelum menikah"
Jawabannya pun beragam, ada yang menjawab kenal karena berpacaran, ada yang diberitahu oleh orang lain tentang calon pasangannya. Saya pun tidak menemukan pola di sini. Ternyata, dari mana sumber informasi' apakah diri sendiri, kerabat, teman, guru, ustadz, dll. juga tidak menjamin kita mengenal calon pasangan dengan baik.

Sehingga dalam hal ini, saya tidak bisa menyimpulkan, apakah orang yang berpacaran sangat lama dan intens, itu kelak akan menjalani pernikahan yang bahagia atau tidak. Karena ada orang yang berpacaran lama dia langgeng dan bahagia tapi ada juga yang berpacaran lama tapi hanya menikah sebentar saja.

Sebaliknya, saya juga tidak bisa menyimpulkan, apakah pernikahan dengan dijodohkan, tanpa proses pengenalan yang memadai itu pasti pernikahannya tidak bahagia? Karena banyak orang yang dijodohkan tapi bahagia, dan sebaliknya banyak juga yang dijodohkan tapi tak bahagia seperti yang dihayati Siti Nurbaya di masa lalu.

Saya akhirnya sampai pada pemikiran, intinya bukan pada 'bahwa ternyata pasangan kita berbeda setelah pernikahan' tapi seberapa besar kemampuan kita untuk bisa menerima perbedaan yang kita temukan dari pasangan.

Karena yang namanya pasangan, baik itu suami maupun istri memang pasti akan membuat kita shock dengan kebiasaannya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, keluarga yang berbeda, dll.

Mengapa mereka yang berpacaran lama bahkan yang hubungannya sudah terlalu jauh belum tentu mengenal pasangannya dengan baik?
Karena pacaran bukanlah pernikahan. Pacaran tidak memiliki komitmen dan tanggung jawab sebesar pernikahan. Pacaran, lebih seperti kepalsuan yang ditampilkan dengan sengaja. Dan bisa putus kapan pun tanpa harus bertanggung jawab.

Oleh karena itu mereka yang berpacaran lama tetap shock setelah pernikahan, karena kelelahan dalam kepalsuan akan terbuka juga saat pernikahan. Kecuali bagi mereka yang memang selalu tampil apa adanya, maka setelah pernikahan, guncangan keterkejutan tidak lah terlalu besar.

Tapi saya kira, tetap ada hal penting yang perlu diketahui dari calon pasangan. Karena pernikahan adalah komitmen kuat yang perlu dipelihara dan dijaga sekuat mungkin. Direncanakan akan dijalani dalam jangka waktu lama. Sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan besar dan melahirkan generasi baru yang lebih baik.

Kita perlu tahu value yang dimiliki calon pasangan kita. Apa harapan-harapannya, cita-citanya dan rencana-rencananya ke depan.

Kita juga perlu mengenal keluarga besarnya. Karena pernikahan bukan hanya tentang bersatunya 2 (dua) orang melainkan bergabungnya 2 (dua) keluarga besar.

Kita memang perlu tahu juga apa yang menjadi kesukaan dan kebiasaan calon pasangan kita, untuk memudahkan proses adaptasi yang berlangsung.

Mengenal adalah seperti melakukan orientasi. Ketika kita akan pergi ke suatu tempat, maka kita akan membuka google map dan membayangkan rutenya. Ketika kita akan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, kita akan cari tahu terlebih dahulu segala macam hal tentang perusahaan tersebut dan pekerjaan yang ditawarkan. Ketika seorang dosen akan mengajar maka ia memberikan gambaran secara umum materi kuliah yang akan diberikan dalam satu semester.

Maka menjadi luar biasa gambling, jika seorang yang akan menempuh perjalanan hidup bersama seorang laki-laki/wanita tidak melakukan orientasi terlebih dahulu untuk hal yang begitu penting dan dipertanggung-jawabkan di depan Tuhan.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan. Pilih yang sesuai dengan value. Namun jangan biarkan cara yang justru menjadi ganjalan dalam mencapai tujuan. Yang crucial kita kembangkan pada diri adalah kemampuan untuk menerima orang lain dan beradaptasi dengan situasi yang baru, yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Bagi para orangtua, maka mengajar dan membimbing anak (laki-laki ataupun perempuan) untuk bisa beradaptasi dengan situasi yang berbeda adalah penting. Karena berpengaruh terhadap bagaimana mereka kelak menjalani pernikahan.

Wallahu'alam

Yeti Widiati S. 150915
WITING TRESNO JALARAN SOKO KULINO - yws

Cinta datang karena sering bertemu. Saya yakin pepatah Jawa ini tidak muncul tanpa sebab. Entah kapan munculnya, dan mungkin tak perlu menggunakan statistik ketika orang Jawa menyimpulkan bahwa cinta dan rasa sayang itu tumbuh karena intensitas dan frekuensi bertemu yang semakin besar.

Saya membuktikannya dari berbagai kasus perselingkuhan dan perceraian. Perselingkuhan hampir selalu diawali dan diiringi dengan menurunnya kualitas hubungan antara suami istri terlebih dahulu. Ada jarak yang memisahkan antara suami dan istri, baik itu jarak imajiner maupun jarak real.

Jarak imajiner adalah ketika suami istri tidak lagi memiliki pandangan, cita-cita, harapan dan tujuan besar yang sama. Perbedaan ini bisa muncul sejak awal pernikahan. Ketika masing-masing laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak sungguh-sungguh membicarakan dan mempersiapkan rencana masa depan dengan rinci dan terbuka. Entah itu karena romantisme yang membutakan atau bahkan karena mereka tidak sungguh-sungguh saling mengenal calon pasangannya.

Perbedaan juga bisa muncul di tengah pernikahan. Pada dasarnya perubahan adalah alamiah, namun jika pasangan mengalami perubahan tidak dalam kecepatan yang sama, misalnya yang satu menjadi lebih luas pergaulannya, sementara pasangannya hanya berteman dengan orang yang sama, atau yang satu menjadi lebih luas wawasan dan minatnya sementara yang lain terjebak dalam rutinitas yang sama. Maka di titik ini pun akan timbul perbedaan. Biasanya perbedaan itu mulai terasa jelas setelah pernikahan berlangsung beberapa tahun.

Jarak imajiner juga bisa terjadi ketika pasangan yang karena kesibukan salah satu atau keduanya, memang benar-benar jarang bertemu. Suami dan/atau istri yang bekerja dari pagi hingga malam, dan hanya bertemu beberapa jam saja sehari. Atau suami istri yang ritme kerjanya berbeda, sehingga nyaris tidak bertemu meski satu rumah. Istri yang bekerja siang hari sementara suami bekerja pada malam hari.

Pertengkaran hebat yang terus-menerus, keengganan untuk saling melayani, mengejek pasangan (termasuk menceritakan keburukan pasangan di FB) dan bahkan ketidak-pedulian atas pasangan, adalah beberapa gejala dari relasi yang berjarak. Kondisi ini kerap berlanjut menjadi kemalasan untuk berbicara dan bersikap terbuka, mulai berbohong, timbulnya prasangka, dan akhirnya trust (rasa saling percaya) pun tergerogoti. Kualitas hubungan pun menjadi semakin kritis.

Jarak real adalah ketika pasangan memang terpisah tempat sehingga harus melakukan LDR (Long Distance Relationship). Pasangan LDR membutuhkan komitmen yang sangat tinggi termasuk kesepakatan berapa lama hubungan seperti ini akan dijalani. Karena bagaimana pun ada ambang batas kemampuan orang melakukan LDR, sekalipun itu berbeda-beda pada setiap orang.

Risiko tinggi pada saat terpisahkan oleh jarak imajiner ataupun real, adalah ketika di tempat dan waktu yang berbeda justru ada orang lain yang mengisi kekosongan dan bahkan kebutuhannya. Misalnya saja, seorang suami yang jarang bertemu istrinya karena kesibukan bekerja justru intens bertemu dengan perempuan lain di tempat kerjanya. Demikian juga bisa terjadi sebaliknya, istri bertemu dengan laki-laki lain lebih intens daripada ia bertemu suaminya.

PIL atau WIL biasanya sulit masuk dalam pernikahan yang kualitas hubungannya baik. Hubungan yang baik terbentuk dari pernikahan yang memiliki;
1. Cita-cita, value dan cara pencapaian yang sama.
2. Komunikasi yang terbuka dan berimbang
3. Adanya trust
4. Kuantitas dan kualitas pertemuan yang baik. Bila kuantitas tidak memungkinkan (karena LDR atau sebab lain) maka kualitas menjadi sangat penting.

Yeti Widiati S. 140915

IBU LULUSAN SD VERSUS IBU SARJANA
(Kecerdasan Majemuknya seorang Ibu) - yws

Seperti biasa tulisan ini didasarkan pada observasi lapangan dan kasus-kasus yang diterima.

Pernahkah kita mengenal, melihat atau mengetahui seseorang yang menjadi luar biasa, baik itu dalam bidang akademik maupun dalam bidang lainnya, dan ternyata ibunya "hanya lulusan SD"? Pernahkan kita juga mengenal, melihat atau mengetahui ibu yang sarjana namun anaknya penuh masalah dan tidak berkembang optimal?

Pertanyaan pun terlintas pada benak saya, apakah "syarat" menjadi ibu yang baik itu adalah tingginya pendidikan formal? Atau kalau di buat lebih luas, apa saja syarat untuk menjadi ibu yang baik?

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seolah-olah perempuan tidak perlu bersekolah atau berpendidikan tinggi. Tetap saja ada keuntungannya bersekolah tinggi, karena pendidikan pada dasarnya adalah membentuk cara berpikir yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada cara bertindak dan mengambil keputusan. Orang yang berpendidikan tinggi diajari untuk berpikir logis, analitis, sintesis, filosofis, kreatif, antisipatif, problem solving, dll. Kemampuan-kemampuan ini yang dilatihkan dan dibiasakan selama ia kuliah, mengumpulkan data, membuat hipotesis dan mengujinya, membuat kesimpulan dan menyusunnya dalam bentuk karya ilmiah lalu mempresentasikannya. Kemampuan berpikir ini, bagaimanapun akan mendukungnya saat ia mengasuh dan mendidik anaknya.

Dengan kelengkapan berpikir yang dimiliki, seorang ibu dapat melakukan antisipasi secara logis bahwa bila terjadi peristiwa A maka akan muncul B. Kemampuan ini yang membuatnya dapat melakukan perencanaan dan tindakan yang tepat. Ia juga tidak menghindar ketika ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan "ajaib dan tak terduga" dan berusaha menjawab dengan logis sesuai kemampuan berpikir anak. Termasuk dengan kemampuan berpikir kreatifnya ia akan memikirkan ribuan cara untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kerewelan, kemanjaan, metode belajar, variasi kegiatan dll.

Orang yang memiliki kelengkapan berpikir ini apalagi dengan nilai yang tinggi, biasanya disebut cerdas (secara kognitif). Namun, kecerdasan tidak serta merta hanya milik orang-orang berpendidikan tinggi. Ada banyak orang cerdas yang tidak berpendidikan tinggi. Mereka tidak bersekolah bukan karena mereka tidak mau, tapi ada sejumlah alasan yang menyebabkannya, entah itu ekonomi, budaya, kesempatan dan penyebab lainnya.

Bagaimana pun adalah menguntungkan memiliki ibu yang cerdas secara kognitif. Tapi, apakah hanya kecerdasan secara kognitif saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu yang baik? Tidak juga ternyata.

Ada kepekaan, kepedulian dan kemampuan berespon (kecerdasan interpersonal) yang juga dibutuhkan dan sayangnya ini tidak dipelajari di sekolah dan pendidikan tinggi. Sehingga juga tidak ada gelar atau titel bagi orang-orang yang memiliki kepekaan yang tinggi dan kemampuan berespon dan berinteraksi yang baik. Bagaimana pun kepekaan ini yang membuat seorang ibu bisa membedakan tangis anaknya, apa keinginan anak hanya dengan melihat ekspresi dan gestur wajah anak. Dan yang lebih penting dari itu bukan hanya bisa membaca saja, akan tetapi juga bisa berespon terhadap kebutuhan anak yang tidak tersampaikan. Bagaimana ia bisa mengusap, memeluk dan menggendong anaknya dengan nyaman.

Biasanya kepekaan terasah karena interaksi yang intens sementara kemampuan berespon terbentuk karena pola asuh dan pendidikan dalam keluarga si ibu sebelumnya.

Kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, selalu berusaha dan tidak mudah putus asa (kecerdasan intrapersonal) adalah juga modal penting menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang memiliki kecerdasan ini, selalu berusaha sekalipun menghadapi kesulitan. Ia mungkin jatuh, tapi ia akan bangkit lagi untuk mencapai tujuannya. Ia akan berusaha mencari makna dari apa yang dialaminya dan menjadikannya pembelajaran untuk memahami dirinya sendiri.

Saya yakin ada kemampuan-kemampuan lain yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang pintar masak (kecerdasan kinestetik), ibu yang pintar mendongeng (kecerdasan verbal), ibu yang pintar merapikan rumah (kecerdasan visual) adalah kecerdasan-kecerdasan yang luar biasa dan menyempurnakan "kebaikan" seorang ibu.

Sayangnya, tak ada orang yang sempurna. Ada saja yang kurang pada diri seseorang, meskipun pasti ada lebihnya. Yang jelas, bahwa kita tidak bisa menyederhanakan "kebaikan" dan "kelayakan" seorang perempuan untuk menjadi ibu hanya dari pendidikan formalnya atau seberapa panjang gelar akademik yang disandangnya.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan sederhana yang tak lulus SD dan tinggal di pelosok negeri.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang tak dikaruniai anak kandung.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga atau baby sitter.

Dan tentu saja potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang berpendidikan tinggi.

Mau bukti? Saya punya contoh untuk semuanya. Dan saya yakin anda juga, kalau anda lebih cermat melihat ke sekeliling anda.

*Syukuri bila anda perempuan berpendidikan tinggi, sehingga berpeluang mendidik anak lebih baik. Tapi jangan rendahkan para perempuan yang berpendidikan rendah, karena boleh jadi dari tangan mereka lahirnya orang-orang yang luar biasa.

Yeti Widiati S. 130915

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...