Senin, 25 September 2017

FIGHT - FLIGHT - FREEZE - FORGIVE - yws

Fight and Flight adalah reaksi spontan yang muncul saat seseorang mempersepsi dan menghayati datangnya ancaman. Fight and Flight muncul "begitu saja" tanpa disadari. Hal ini karena prosesnya dikelola oleh Batang Otak yang memang berfungsi untuk memunculkan refleks perlindungan diri.

Fight adalah usaha perlawanan terhadap stimulus yang mengancam. Pada anak, bentuknya bisa memukul, menendang, merusak, ngambek, dlsb. Reaksi spontan fight ini muncul ketika seseorang, menghayati masih memiliki kemampuan atau kekuatan untuk melawan. Emosi yang menyertai umumnya adalah emosi marah.

Sementara Flight adalah reaksi spontan melarikan diri dari stimulus yang dipersepsi mengancam tersebut. Pada anak, bentuknya menarik diri, menghindar, dlsb. Biasanya hal ini dilakukan, ketika ybs, menghayati ketidak-mampuan untuk melawan stimulus yang mengancam tersebut. Emosi yang menyertai adalah emosi takut.

Baik Fight maupun Flight, keduanya adalah respon alamiah spontan dan wajar. Keduanya dimaksudkan untuk perlindungan diri dari kehancuran. Tak ada satu lebih baik dari lainnya. Keduanya hanya memberikan informasi mengenai apa yang dihayati oleh seseorang menghadapi stimulus tersebut.

Setelah Fight dan Flight, maka ada Freeze. Kapan freeze itu muncul? Freeze adalah kondisi ketidak-berdayaan seseorang untuk melakukan upaya baik melawan atau melarikan diri. Mungkinkah itu terjadi? Sangat mungkin. Tidak semua orang bisa dan berani melarikan diri. Bahkan untuk melarikan diri pun seseorang membutuhkan keberanian untuk menerima konsekuensinya.

Saya akan mengambil contoh konkrit sederhana yang sangat banyak terjadi pada kasus-kasus anak memperllihatkan reaksi freeze.
- Ketika seorang anak kelas 2 SD dipukul temannya kelas 4 SD yang badannya lebih besar, lebih kuat, dan lebih tinggi. Dia tidak berani melawan. Pulang ke rumah, dia melaporkan pada orangtuanya bahwa dia dipukul temannya dan berharap memperoleh perlindungan dari orangtuanya. Ternyata mendengar cerita anak, orangtuanya pun marah dan menyuruh anak membalas pukulan temannya tersebut (sebetulnya, siapa sih yang merasa terpukul?). Padahal, sudah jelas anak dalam kondisi menghayati ketidakmampuan. Buat orangtua (yang badannya lebih besar lagi), apa sih susahnya melawan anak kelas 4 SD?

Sungguh, orangtua tidak berempati pada ketidak-mampuan anaknya, ketika menuntut anak melawan, tapi tidak membimbing anak untuk menjadi mampu menghadapi konsekuensi dari pilihan perilaku yang diambil.

Di titik ini, anak berada dalam situasi terjepit antara tekanan temannya di sekolah dan tekanan orangtuanya di rumah. Ia tidak bisa melawan kedua-duanya, dan juga tidak bisa melarikan diri. Ia menjadi freeze. Malas sekolah, kehilangan semangat belajar, cemas setiap akan berangkat ke sekolah, sakit perut, lemas dan pusing ketika akan ke sekolah, dsb.

- Orangtua yang hobby menuntut, mengkritik, menilai, labelling, membandingkan, melakukan kekerasan fisik semuanya akan dipersepsi sebagai ancaman yang merendahkan dan bahkan menghancurkan diri anak. Anak dengan segala keterbatasan fisik, emosi dan kognitifnya, tak bisa melawan (Fight) itu semua namun tetap menghayati ketidak-nyamanannya. Mungkin ia pernah mencoba melakukan aksi perlawanan, tantrum, ngambek, dll. tapi ternyata orangtua lebih kuat dan ia menyerah. Anak juga umumnya tak berani melarikan diri (flight) (kalau pun ada, sangat kecil jumlahnya). Bila ia melarikan diri, maka ia akan kehilangan perlindungan dan tempat bergantung. Padahal ia dengan segala keterbatasannya masih membutuhkan itu semua.

Maka, antara rasa tidak nyaman menghadapi tekanan dan takut untuk melarikan diri, reaksi yang terjadi adalah freeze. Anak-anak dalam kondisi freeze, kehilangan kemampuan fokus, daya ingat, sering bengong, kecemasan tinggi dan berpengaruh pada fisik, maag, sesak nafas, dan gejala kecemasan lainnya kerap muncul. Gesture dan ekspresi lainnya pun tampil berbeda dibanding anak-anak yang tumbuh sehat fisik dan psikis. Di sini kerja Limbik (otak yang mengatur emosi) pun menjadi dominan.

Pola freeze yang berulang akan juga muncul pada saat anak bertambah usianya bila tidak ada proses koreksi. Bisa muncul dalam kondisi groggy atau tiba-tiba kehilangan kata dan daya ingat pada suatu situasi tertentu. Kecenderungan menghindari situasi yang tidak nyaman juga adalah salah satu bentuk menghindari reaksi freeze.

Sebetulnya semua reaksi di atas, fight, flight dan freeze adalah reaksi wajar. Mereka menjadi kurang wajar dan menjadi masalah apabila reaksi tersebut dilakukan berulang tanpa upaya pengolahan yang lebih rasional dan juga menimbulkan rasa tidak nyaman pada diri dan mengakibatkan konflik dengan orang lain. Ya, bayangkan saja ketika orang kerjaannya membantah melulu (karena merasa diserang saat diberi masukan), maka orang lain pun akan menjadi kesal. Atau sebaliknya, orang menghindar terus saat dihadapkan pada situasi menantang, itu juga membuat menjadi kurang efektif. Termasuk selalu blocking saat bicara di hadapan orang banyak pun juga menjadi mengganggu.

Karenanya dibutuhkan proses yang lebih panjang, yang tidak cukup hanya berhenti pada refleks batang otak dan juga emosi dari otak limbik. Otak korteks yang bekerja mengolah informasi perlu ditingkatkan sehingga pemecahan masalah dan pengambilan keputusan didasari oleh alasan-alasan yang lebih logis dan rasional.

Forgiveness adalah proses panjang yang melibatkan otak korteks. Proses forgiveness itu challenging pada sebagian besar orang (termasuk diri saya). Mulai dari tahapan menyadari dan menerima pikiran, perasaan dan keinginan diri. Melepaskan diri dan berjarak dengan emosi hingga melakukan proses acceptance yang di dalamnya juga ada reframming dan meaning baru terhadap situasi yang dihadapi, yang awalnya dipersepsi sebagai ancaman. Bahkan forgiveness yang berujung pada memberi dan mengasihi situasi atau orang yang menyakiti itu adalah kemuliaan.

Agama (manapun) mengajarkan pemaafan dan kasih sayang. Ternyata prosesnya sungguh panjang untuk sampai ke sana. Dalam kondisi kita terseok-seok menata diri dan mengelola emosi, kita pun dihadapkan pada tanggung jawab untuk mengajari anak kita bisa mengelola emosinya.

Saya melihat, kehadiran anak-anak kita dengan dinamika emosinya yang genuine juga adalah pembelajaran bagi kita sendiri sebagai orang dewasa.

"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS 42: 39-43)

Yeti Widiati 75-250917

Senin, 11 September 2017

TENTANG "JATUH" BERULANG DAN PENGARUHNYA PADA PERKEMBANGAN ANAK - yws

Pagi ini saya membuat status singkat tentang "jatuh". Ragam respon menunjukkan pengalaman yang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Dan semua itu sah-sah saja, karena setiap orang memang memiliki karakteristik, persepsi (yang terbentuk dari pengalaman) dan pengalaman itu sendiri. Di dalam pengalaman itu terkandung juga pola asuh yang selama ini telah diterima dari orangtua masing-masing dan bagaimana kita memaknainya.

Ketika kita jatuh (satu kali), ada beberapa kemungkinan penyebabnya;
1. Karena kaki kita masih BELUM KUAT. Dalam perkembangan, ini kita kaitkan dengan kematangan. Seorang anak yang belum matang, maka ia belum siap untuk menerima tantangan di atas kemampuannya.

2. Karena kita belum tahu TEKNIK jalan yang benar. Ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Semakin kuat tubuh kita dan semakin sering belajar, maka sejauh tingkat kesulitannya sesuai dengan kemampuan kita, maka kita akan bisa menguasainya.

3. Karena jalan yang memang terlalu SULIT, di atas kemampuan kita. Maka kita perlu mencari jalan dan tantangan lain yang lebih sesuai dengan kemampuan kita.

4. Karena kita MERASA LEMAH, sehingga kita kehilangan energi mental, merasa tak mampu, merasa medan terlalu sulit dan tak bersemangat untuk belajar lagi.

Bahasan "jatuh" ini berbeda antara anak dengan orang dewasa. Karena pada anak, kelemahan obyektif no. 1, 2 dan 3 adalah yang paling sering terjadi, sehingga bantuan konkrit dan dukungan psikologis akan dibutuhkan secara seimbang. Sementara pada orang dewasa, no. 4 yang jauh lebih banyak.

"Merasa lemah" akan membentuk konsep diri seseorang, yang membuat ia membatasi dirinya untuk tidak melakukan apapun. Konsep ini terbentuk dari pengalaman kegagalan yang berulang. Awalnya kegagalan itu bersifat obyektif, namun kemudian bergeser menjadi subyektif, ketika ybs, meyakini bahwa ia memang benar-benar tidak mampu dan pasti gagal pada area tersebut. Konsep itu semakin kuat ketika ada orang yang memiliki otoritas (orangtua, guru, teman, ahli, dll) yang melakukan judging bahwa ia memang lemah pada area tersebut. Maka label tersebut seolah dikonfirmasi oleh orang-orang di sekitarnya, dan ia meyakininya dengan baik.

Carol Dweck dalam buku "Mindset" dan dalam banyak seminarnya, berulang menekankan bahayanya judging (fix mindset), dan ia lebih mem-promote 'growth mindset' yaitu apresiasi pada proses. Oleh karena itu alih-alih, berkata, "Kamu ini lemah", ia lebih mendorong orang untuk mengatakan "Bagus sekali kamu sudah berusaha".

Dalam bahasan Solution Focused Therapy dan Neurosains pun demikian. Semakin terlihat, judging buruk akan dipersepsi sebagai ancaman, sehingga otak reptil yang aktif dan bereaksi mempertahankan diri dan bukannya otak kognitif yang bekerja untuk berpikir positif mencari ragam alternaif penyelesaian.

Balik lagi ke jatuh berulang. Bila hal ini terjadi pada anak kecil dengan segala keterbatasannya, maka semangat belajar yang awalnya dimiliki akan hilang, ketika;
- anak benar-benar merasa helpless, tidak berdaya dan tidak terbantu untuk mengatasi kesulitannya.
- lebih buruk lagi, bila orang dewasa di sekitarnya memberikan sikap dan komen kontraproduktif, mencaci ("Kamu ini susah banget diajarin"), menertawakan ("Masa gitu aja gak bisa"), judging ("Emang bodoh sih"), langsung membantu ("Udah sini sama bunda aja"), membandingkan ("Si anu bisa, masa kamu nggak bisa"), mengabaikan kemampuan ("Kamu harus bisa"), membiarkan dan tidak peduli apakah anak bisa atau tidak.

"Jatuh" pada orang dewasa, seperti disampaikan di atas, lebih banyak mengikuti karakteristik No. 4. Mengapa demikian? Orang dewasa bisa mencapai usia puluhan tahun berarti mereka sudah melalui banyak keberhasilan dalam hidupnya dan juga sudah memiliki pola bagaimana membuat dirinya berhasil. Sehingga bila ia tidak bisa kebanyakan adalah karena "MERASA" tidak bisa.
- Ketika orang dewasa menghadapi kesulitan, mereka bisa mengacu pada keberhasilan-keberhasilan yang pernah dilalui dalam hidupnya. Dari sekian banyak kegagalan, pasti ada keberhasilan yang pernah kita alami. Ini lah yang disebut dengan EXCEPTION, atau perkecualian. Kita belajar dari perkecualian tersebut, apa yang membuat hal itu terjadi, dan bagaimana kita mengulanginya.
- Orang dewasa juga sudah memiliki tujuan jangka panjang yang bisa dicapai secara bertahap. Berbeda dengan anak yang tujuannya hanya berjangka pendek.
- Orang dewasa sudah memiliki trick atau strategi menghadapi kesulitan, kegagalan dan menyusun rencana keberhasilan. Sehingga sebetulnya rumus-rumus penyelesaian itu sudah dimiliki. Ketika emosi dan lupa, tinggal diingatkan saja. Hehe ... gampang bener rumusnya. Melakukannya perlu "jungkir balik".

Oleh karena itu pendekatan bantuan pada orang dewasa adalah lebih sesuai menggunakan yang membuat mereka aktif mencari dan menggali sendiri. Orang dewasa kurang sesuai bila diajari seperti anak yang belum paham sama sekali. Apalagi disuapi dan diberi tahu terus-menerus.

Pada orang dewasa, judging dilakukan lebih banyak oleh diri sendiri. Sekalipun dilakukan oleh orang lain di sekitarnya, tokh kita sebagai orang dewasa memiliki otoritas paling besar untuk memutuskan sampai seberapa jauh pengaruh masa lalu, pengalaman dan omongan orang lain itu mempengaruhi diri kita dan keputusan-keputusan kita memperbaiki diri.

Sebagai orang dewasa, diri kita lah yang paling bertanggung jawab atas kesembuhan dan perkembangan diri kita sendiri. Jadi MULAI SEKARANG kita berpikir, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri sendiri.

Yeti Widiati 74-100917

Sabtu, 09 September 2017

EMOSI, PESAN DAN PENGARUHNYA DALAM PERKEMBANGAN ANAK - yws

Sebetulnya istilah emosi positif dan emosi negatif itu kurang tepat, karena emosi pada dasarnya bersifat netral dan memiliki pesan/tujuan yang baik bagi manusia. Namun kadang saya menggunakan istilah emosi 'positif' atau 'negatif' (dengan menggunakan tanda kutip), lebih kepada menunjukkan pengaruhnya kepada diri kita.

Ketika kita berbicara mengenai efek emosi, maka efeknya inilah yang bervariasi. Karena emosi berkait dengan tubuh, pikiran dan perilaku, maka menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami mengenai dinamika emosi, sehingga bisa kita manfaatkan optimal untuk perkembangan anak kita, dan juga untuk diri kita sendiri.

Emosi itu seperti warna, ada emosi dasar, dan ada emosi turunannya. Menurut Paul Ekman, ada 6 emosi dasar;
- Happy (BAHAGIA),
- Excited (BERSEMANGAT),
- Tender (SAYANG),
- Scared (TAKUT),
- Angry (MARAH),
- Sad (SEDIH),

yang kemudian dari sini diturunkan menjadi puluhan jenis emosi lainnya yang bisa merupakan kombinasi dari emosi dasar.

Sulitnya dalam bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Melayu), ternyata perbendaharaan kata untuk jenis emosi tidaklah cukup memadai. Kita bukan masyarakat yang artikulatif untuk menjelaskan emosi dengan terbuka. Saya kerap menemukan klien remaja dan dewasa yang kesulitan untuk menjelaskan emosinya. Hal ini lebih jauh juga berpeluang menimbulkan masalah karena emosi yang ditekan.

Sebetulnya masyarakat kita bukan tidak bisa sama sekali "menggambarkan" perasaan atau emosi. Budaya kita mengekspresikan emosi lebih banyak menggunakan metafora. "Sakitnya seperti diiris sembilu", "Rasanya lega seperti menghirup udara segar", "Terkejut seperti disambar geledek", dlsb, adalah beberapa contoh penggunaan metafora yang umum.

Sayangnya tidak semua orang mudah mengekspresikan emosi dengan kata atau metafora, dan sebaliknya tidak semua orang memahami metafora dan tidak selalu siap menerima ekspresi emosi yang disampaikan dengan lugas. Kalimat, "Saya marah ..." itu seringkali mengejutkan dan dihindari bahkan dihalangi oleh sebagian orang.

Emosi adalah sesuatu yang bersifat privat, berkait fisik, dan dipengaruhi oleh pikiran (beliefs) dan kemunculan emosi ini tidak disadari dan tidak bisa ditahan. Ketika menghadapi sesuatu yang menyeramkan, orang langsung ketakutan dan ia tidak bisa menghalangi kulitnya yang tiba-tiba memucat. Ketika merasa malu, orang juga tidak bisa menghalangi mukanya memerah. Termasuk orang tidak bisa menghalangi ketika marah, otot-ototnya menjadi tegang.

Itu mengapa saya pernah mengatakan bahwa bila seorang anak emosi, maka ia tidak layak dihukum, karena emosi itu adalah respon privat spontannya terhadap suatu stimulus. Lebih penting bagi kita adalah menangkap 'pesan' emosi tersebut dan kemudian tindakan kita selanjutnya adalah berdasarkan pesan emosi yang ditangkap tsb.

Emosi marah dan takut (termasuk cemas) adalah emosi yang mempengaruhi otak reptil (brainstem). Reaksi khas dari brainstem adalah;
- Fight (melawan), yang bisa muncul dalam ragam ekspresi/bentuk perilaku agresi, menghancurkan, melanggar aturan, mengamuk, berkata kasar, dll.
- Flight (melarikan diri), muncul dalam bentuk kabur, tidak mau melakukan apapun, tidak mau bicara, tidak mau makan, dll.
- Freeze (diam), bisa muncul dalam bentuk, bingung, salah tingkah, lupa, dll.

Kerja brainstem yang begitu dominan akan membuat kerja limbik (otak emosi) terpengaruh dan otak korteks (otak berpikir) menjadi tidak optimal.

Maka tidak heran, anak-anak yang mengalami kejadian yang sangat luar biasa (trauma, bencana, kecelakaan) dan/atau kejadian luar biasa yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa kanak-kanaknya (KDRT, bullying, pola asuh otoriter, labelling negatif, dll), menjadi mudah lupa dan sulit berpikir, kaku serta mengembangkan prasangka-prasangka negatif. Biasanya tampil dalam prestasi akademik yang tak sesuai dengan potensinya. Kondisi ini terjadi karena otaknya berfokus pada ancaman dan sibuk bekerja lebih keras untuk bereaksi pada ancaman tersebut dalam rangka untuk melindungi dirinya dari 'kehancuran".

Fungsi kognitif antara lain daya tangkap, wawasan, pemahaman, logika, kreativitas, analisa/sintesa, pemecahan masalah, kecuali memori, dikelola lebih banyak oleh otak korteks yang bekerja lebih baik saat brainstem tidak bekerja terlalu keras, dan limbik "mengeluarkan" emosi yang tepat.

Semoga sekarang bisa lebih terlihat kaitannya mengapa disarankan kita tidak melakukan labelling negatif pada anak. Tak ada seorang pun yang suka disebut "Si Bodoh", "Si Bandel", "Si Pemalas". Sebutan-sebutan buruk seperti itu akan mengaktifkan brainstem, mendorong orang untuk melakukan respon pertahanan diri (fight, flight, freeze respons).

Bila kita berharap anak atau siswa kita belajar dengan kemampuan terbaiknya, cara yang lebih logis dan paling mendukung untuk otak korteks bekerja optimal adalah dengan membuat anak senang, penasaran, berani dan bersemangat belajar.

Apakah emosi marah, takut, sedih itu perlu selalu dihindari? Tidak, bahkan perlu dihadapi. Semua emosi perlu berkembang seimbang dan proporsional dan kita tahu bagaimana mengekspresikannya dengan cara yang tepat/adaptif. Nah, ukuran-ukurannya ini yang bersifat subyektif dan berbeda pada setiap orang.

Marah membuat kita mau mempertahankan diri.
Takut dan cemas itu untuk pemahaman mengenai keterbatasan diri.
Sedih membuat kita memahami bahwa kita memiliki harapan, keinginan dan kebergantungan.
Senang membuat kita tahu apa yang ingin kita capai.
Semangat dan berani membuat kita menyadari apa yang kita mampu.
Cinta membuat kita menyadari dorongan untuk care pada orang lain.
Dll.

Yeti Widiati 73-090917
RUMUS-RUMUS DALAM HIDUP - yws
(Konteks Perkembangan Anak)

Pernahkah mengalami, kita sudah mengajarkan satu rumus Matematika pada anak dan dia sudah paham. Tapi ketika diterapkan dalam soal cerita dia jadi bingung? Lalu kita menjelaskan lagi hingga dia paham bagaimana menerapkan rumus tersebut dalam soal itu, dan ketika soalnya diubah ia pun bingung lagi, seolah-olah rumus itu tak bisa digunakan?

Ternyata kesulitan penerapan rumus, itu bukan hanya dalam soal-soal cerita Matematika saja. Tapi juga dalam keseharian, dan saya termasuk yang lumayan sering mengalami. Bukan hanya pada anak, pada klien bahkan pada diri sendiri.

Contohnya misalnya, saya mengajarkan pada anak saya bahwa untuk mulai menjalin pertemanan, maka rumus awal yang digunakan adalah menggunakan prinsip "kesamaan". Cari yang sama dari teman tersebut, dan jadikan kesamaan itu sebagai titik masuk untuk berkenalan. Misal, "Oh ternyata temanku suka menggambar", maka ngobrol lah tentang menggambar, tentang obyek yang paling senang digambar, tentang tempat membeli alat gambar yang murah, dlsb.

Nah, ceritanya anak saya berhasil menggunakan rumus tersebut pada seorang temannya. Tapi ketika menghadapi temannya yang lain, yang kebetulan agak berjarak dari sisi minat, maka anak saya pun bingung kembali. Dan rumus itu pun buyar. Ketika saya ingatkan dengan rumus tersebut, ia pun berkata, "Oh cara itu bisa dipakai juga ya?"

Contoh dengan klien. Tak jarang saya memperoleh klien yang sangat cerdas. Pencapaian prestasinya pun luar biasa. "Rumus" berusaha, bersabar dan tidak berputus asa, sudah dimiliki. Dan sebetulnya ini merupakan resources baginya. Namun ketika menghadapi suatu masalah, ia tidak menyadari bahwa rumus tersebut bisa digunakan juga untuk menyelesaikan masalahnya.

Dengan pendekatan coaching, yaitu ketika klien dipandang sebagai "ahli" yang paling mengetahui masalahnya, seringkali setelah 'ngobrol', klien menemukan bahwa "penyelesaian masalah itu sebetulnya sudah ada pada dirinya sendiri".

Dan bahkan lupa rumus itu pun juga kadang terjadi pada diri saya sendiri. Diskusi dengan teman-teman adalah salah satu cara saya menemukan kembali "rumus" yang sebetulnya sudah saya ketahui, dan bahkan sudah kerap saya gunakan menyelesaikan masalah-masalah lannya.

Kalau sebetulnya semua masalah itu penyelesaiannya sudah ada pada diri kita sendiri, maka ketika kita punya masalah dan kita kesulitan menyelesaikannya, apakah itu menunjukkan hal buruk? Ya enggak juga lah (menurut saya).

Kita kan manusia tempatnya lupa. Kita juga memiliki keterbatasan cara pandang, yang membuat kita kadang luput dalam mengamati sesuatu. Dan memang, dalam kondisi sangat emosi, rasanya jalan menjadi sempit bahkan buntu.

Itulah mengapa kita membutuhkan teman yang bisa saling mengingatkan (paling enak dengan cara yang baik), karena kita kadang lupa rumus-rumus dalam kehidupan.

*The Solution is Always in the Room (Switch, Heath & Heath, 2010)
*"dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. Al Ashr: 1-3 ).

Yeti Widiati 72-070917

Rabu, 06 September 2017

MENONTON ORANG MENONTON - yws

Aneh nggak judulnya? Serius ini beneran. Perkembangan era digital ini betul-betul membuat perkembangan perilaku manusia menjadi unik. Setiap ada fitur baru (benar nggak ya istilahnya) yang muncul, dalam beberapa waktu kemudian muncul pula kreativitas orang untuk mencari uang melalui fitur-fitur tersebut. Coba saja lihat, setelah ada internet, tak lama kemudian orang bisa membuat olshop, dan kemudian juga berkembang transportasi berbasis aplikasi.

FB, Instagram pun termanfaatkan dengan baik untuk menjual produk secara visual. Bahkan gosip, berita buruk, fitnah pun ternyata bisa dibisniskan.

Kemudian muncullah Youtube. Mulailah orang menonton video. Entah itu musik, iklan, film. Orang pun terdorong untuk membuat video sendiri sehingga muncul profesi baru yaitu Youtubers dengan vlog-nya. Ada yang membuat vlog kehidupan sehari-harinya, ada juga tema-tema vlog lainnya.

Curiosity terhadap hidup orang lain, terutama para seleb membuat vlog yang dibuat para seleb menjadi menarik untuk ditonton. Mereka yang bukan seleb perlu "bekerja" lebih keras untuk membuat vlog yang unik dan menarik, dan bahkan dalam banyak kondisi menjadi agak 'lebay'. Itu pilihan ketika orang berharap videonya ditonton dan berimbas pada pemasukan yang ia peroleh. Kita mungkin pernah mendengar vlogers yang mengumbar sumpah serapah, melakukan tindakan di luar batas kesopanan, atau tindakan lain yang extraordinary, semuanya dimaksudkan untuk mengumpulkan view dan like. Pastinya ada juga vlog yang baik. Misalnya, vlog tentang cara belajar di luar negeri, vlog tentang latihan musik, memasak, perkembangan anak, dll.

Belakangan (oke boleh jadi saya juga termasuk yang telat), beberapa tahun terakhir, muncul lagi aktivitas unik para youtubers. Mereka bukan hanya merekam dan menyajikan video ativitas keseharian mereka, tapi mereka juga menyajikan video saat mereka sedang menonton dan bereaksi terhadap video orang lain.

Awalnya saya merasa aneh dengan aktivitas ini. Timbul pertanyaan, "Kok ada ya orang yang mau menonton video yang isinya adalah orang sedang menonton video lain." Ini disebut video reaction. Bahkan ada juga reaction terhadap video reaction. Nah lho menonton pangkat 3 jadinya. Jadi isinya adalah orang yang sedang menonton orang yang sedang menonton video orang lain. Bingung kan. Yang bingungin juga adalah, kok saya ikut-ikutan menonton video reaction ini pula. Berarti saya termasuk orang yang menonton orang yang sedang menonton video .... mbulet ....

Banyak ragam style video reaction ini. Ada yang reaksinya berjingkrak-jingkrak, ada yang melalui melalui mimik wajah, ada yang sambil terus berbicara. Ada yang sendiri, berdua atau beramai-ramai. Ada yang membahas sepanjang video, ada yang baru membuat review dan berdiskusi setelah video selesai. Ada yang kita bisa memperoleh ilmu dari video reaction ini, tapi ada pula yang kita hanya memperoleh kehebohan dan kekonyolan.

Kita memang sudah masuk ke era visual pangkat 2 bahkan 3.

Yeti Widiati 71-040917

Sabtu, 02 September 2017

"MANA YANG LEBIH SERING KITA BERI MAKAN?" - yws

Guncangan ritmis KA Argo Parahyangan itu membuat trance. Sambil melihat sawah berganti kebun berganti rumah, berganti jalan berulang-ulang, pikiran saya pun melayang kembali ke hari ke-3 workshop SFT kemarin. Teringat sebuah kisah metafora Indian yang disampaikan Fredrike (trainer).

Ada dua ekor anjing. Yang satu galak dan satunya baik. Mereka tiap hari berkelahi. Anjing manakah yang akan menang? Tetua Indian yang ditanya, merenung sejenak sebelum menjawab, "Anjing yang menang adalah yang kamu beri makan paling banyak ..."


Kata-kata memiliki pengaruh luar biasa terhadap pikiran dan perasaan orang. Kata2 tajam membuat tak nyaman. Umpatan, serapah, label buruk, membuat orang kehilangan harga diri dan memicu emosi marah, takut, sedih, kecewa, dsb.

Sebaliknya kata2 dukungan dan pujian menumbuhkan perasaan berharga, semangat, bangga, terdukung, kepercayaan diri, dll yang membuat orang mau bergerak dan berusaha dengan semangat dan rasa senang.

Dalam keseharian kita akan mendengar ragam kata dari kedua kelompok yang berseberangan tersebut. Kelompok kata mana yang akan paling berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku kita?

Saya mengikuti jawaban seperti jawaban Tetua Indian tadi, sehingga yang paling berpengaruh adalah kelompok kata yang PALING SERING kita dengar, kita ucapkan, kita akses, kita share (atau copas). Sengaja ataupun tidak.

Dalam pendekatan SFT, maka hal awal untuk suatu perubahan yang lebih baik, salah satunya adalah dengan mengubah pilihan kata menjadi kata-kata positif.

Rasanya MUDAH bukan? Kita sudah punya kok perbendaharaan kata2 positif. Tinggal meng-amplify-nya saja. Memperbanyak dan mempersering mendengar serta mengucapkannya. Setelah itu kita menunggu keajaibannya dari hati kita yang lebih senang, perilaku anak yang lebih manis, atau bahkan orang2 yang lebih ramah.

Insya Allah ...

Yeti Widiati 67-240817

*SFT : Solution Focused Therapy

Jumat, 01 September 2017

MENGAJAK BAYI/BALITA SAAT SHOLAT IED - yws

Dalam beberapa riwayat, diceritakan bagaimana Rasulullah mempercepat sholat ketika ada bayi yang menangis. Riwayat yang lain juga menceritakan bagaimana sholat sambil menggendong bayi/balita. Karena riwayat-riwayat itu cukup jelas, maka pada awalnya tak terlintas dalam pikiran saya untuk membahas mengenai hal ini. Saya rasa para orangtua bisa merujuk pada riwayat-riwayat tersebut mengenai bagaimana teknis sholat bersama bayi/balita.

Namun, saya merasa hal ini menjadi penting untuk dibahas (better late than never), ketika saya melihat banyak sekali para ibu muda kebingungan menghadapi bayi dan balitanya yang menangis saat sholat jamaah. Terutama sholat Ied di lapangan. Dan hebohnya adalah karena tangisan bayi itu "menular". Seorang balita yang anteng duduk di samping ibunya, sontak bisa ikut menangis ketika mendengar suara balita sebayanya menangis. Tak pelak konser tangisan membuat para ibu bingung, dan para bapak hilang fokus.

Sama seperti menghadapi situasi baru apa pun, maka kita sebagai orangtua perlu melakukan persiapan. Tidak "ujug-ujug" membawa atau mengenalkan pada situasi baru tanpa persiapan terlebih dahulu. Siapa pun termasuk kita yang dewasa (apalagi bayi dan balita), biasanya akan sedikit tegang dan cemas bila menghadapi situasi yang sama sekali baru.

Apa yang perlu kita persiapkan?
- Mengenalkan situasi secara bertahap
- Antisipasi masalah
- Mengatasi situasi tak terduga
- Penguatan
- Pembiasaan

Saya uraikan semuanya sekaligus. Teknik ini juga bisa digunakan dalam situasi lain yang baru pertama kali dimasuki, misalnya, berbelanja di pasar, masuk sekolah, datang ke acara resmi/undangan, ke dokter, dan situasi baru lainnya, terutama yang memiliki aturan agak ketat.

Bayi dan balita itu berbeda pendekatannya. Bayi sampai usia 1 atau 2 tahun sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Maka kita yang mengikuti keinginan anak. Sementara balita mulai usia 2 tahun, sudah bisa diajak berbicara dan dijelaskan secara sederhana apa situasi yang akan dihadapi, dan perilaku apa yang diharapkan darinya.

Saat anak saya bayi, sebelum shalat saya biasanya akan bicara pada bayi saya, terlepas dari dia paham atau tidak, "Dek, Mama mau shalat dulu. Adek bobo/duduk di sini dulu ya."

Saya letakkan bayi saya di samping sajadah (dengan alas tentunya) ketika saya sholat. Diletakkan sedemikian rupa sehingga bayi bisa melihat saya yang sedang shalat. Bila sudah bisa berguling atau merangkak, maka lingkungan sekitar harus dijaga sedemikian rupa, sehingga tetap aman bagi bayi.

Bila menangis, maka saya akan menggendongnya sambil tetap shalat. Saya tidak akan membatalkan shalat saya saat bayi menangis. Bila saya membatalkannya, maka anak kita tahu, bahwa ia bisa mengganggu orangtuanya dengan tangisan dan akan menggunakan "senjata" tersebut di lain kesempatan.

Bila kita akan mengajak anak shalat berjamaah di masjid, maka lakukan pembiasaan berjamaah di rumah terlebih dahulu.

Sebelum membawa anak shalat berjamaah di masjid atau di lapangan. Maka biasanya saya akan berkata, "Dek, kita mau sholat di lapangan. Nanti banyak orang di sana, dan Mama shalat sama-sama orang lain. Adek boleh ikut shalat boleh juga duduk dekat Mama. Mama nggak akan ngomong sama adek sampai Mama selesai sholat, bilang Assalamu'alaikum ke kiri dan kanan. Kalau nanti pas Mama sholat, ada anak lain yang nangis, adek nggak usah ikut nangis. Adek tunggu saja dekat-dekat Mama ya.
*)catatan: anak yang sudah terbiasa diajak sholat di rumah, akan bisa mengantisipasi dan tahu berapa lama dia harus menunggu dibanding anak yang tidak terbiasa diajak sholat.

Untuk mengantisipasi, biasanya saya juga akan membawa mainan, susu dan makanan yang bisa dimanfaatkan saat anak menunggu saya selesai sholat.

Lakukan pembiasaan dengan tahapan, diawali
- shalat sunnah 2 rakaat,
- shalat wajib di rumah,
- shalat berjamaah di rumah,
- shalat berjamaah di masjid terutama shalat-shalat pendek, Shubuh dan Maghrib.
- Sehingga saat shalat di lapangan, situasinya relatif bisa tetap terkendali.

Dan selalu ingat dengan penguatan berupa pujian atas usaha anak bertahan menunggu kita shalat dari awal hingga akhir. Menangis atau pun tidak, tetap perlu kita beri pujian atas usahanya. Yang perlu diingat adalah, sedapat mungkin TIDAK membatalkan shalat saat anak menangis. Lakukan seperti yang diriwayatkan dalam beberapa hadits, gendong anak, tanpa berbicara.

Beberapa tahun terakhir, saya melihat situasi anak rewel saat shalat Ied dimanfaatkan dengan baik oleh tukang balon dan mainan anak. Daripada membelikan balon sebelum shalat Ied dan berpeluang terbang atau pecah yang membuat anak menjadi rewel, lebih baik menjadikan balon sebagai reward. Saya lebih suka anak memperoleh balon atau mainan bila shalat sudah selesai.

Baiklah, sekalipun shalat Ied sudah berakhir tadi pagi, tapi semoga cara ini bisa dimanfaatkan untuk shalat di rumah, di masjid dan shalat Ied di tahun-tahun yang akan datang.

*Jadikan pengalaman beribadah sebagai pengalaman yang menyenangkan bagi anak.

Yeti Widiati 010917

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...