Senin, 25 September 2017

FIGHT - FLIGHT - FREEZE - FORGIVE - yws

Fight and Flight adalah reaksi spontan yang muncul saat seseorang mempersepsi dan menghayati datangnya ancaman. Fight and Flight muncul "begitu saja" tanpa disadari. Hal ini karena prosesnya dikelola oleh Batang Otak yang memang berfungsi untuk memunculkan refleks perlindungan diri.

Fight adalah usaha perlawanan terhadap stimulus yang mengancam. Pada anak, bentuknya bisa memukul, menendang, merusak, ngambek, dlsb. Reaksi spontan fight ini muncul ketika seseorang, menghayati masih memiliki kemampuan atau kekuatan untuk melawan. Emosi yang menyertai umumnya adalah emosi marah.

Sementara Flight adalah reaksi spontan melarikan diri dari stimulus yang dipersepsi mengancam tersebut. Pada anak, bentuknya menarik diri, menghindar, dlsb. Biasanya hal ini dilakukan, ketika ybs, menghayati ketidak-mampuan untuk melawan stimulus yang mengancam tersebut. Emosi yang menyertai adalah emosi takut.

Baik Fight maupun Flight, keduanya adalah respon alamiah spontan dan wajar. Keduanya dimaksudkan untuk perlindungan diri dari kehancuran. Tak ada satu lebih baik dari lainnya. Keduanya hanya memberikan informasi mengenai apa yang dihayati oleh seseorang menghadapi stimulus tersebut.

Setelah Fight dan Flight, maka ada Freeze. Kapan freeze itu muncul? Freeze adalah kondisi ketidak-berdayaan seseorang untuk melakukan upaya baik melawan atau melarikan diri. Mungkinkah itu terjadi? Sangat mungkin. Tidak semua orang bisa dan berani melarikan diri. Bahkan untuk melarikan diri pun seseorang membutuhkan keberanian untuk menerima konsekuensinya.

Saya akan mengambil contoh konkrit sederhana yang sangat banyak terjadi pada kasus-kasus anak memperllihatkan reaksi freeze.
- Ketika seorang anak kelas 2 SD dipukul temannya kelas 4 SD yang badannya lebih besar, lebih kuat, dan lebih tinggi. Dia tidak berani melawan. Pulang ke rumah, dia melaporkan pada orangtuanya bahwa dia dipukul temannya dan berharap memperoleh perlindungan dari orangtuanya. Ternyata mendengar cerita anak, orangtuanya pun marah dan menyuruh anak membalas pukulan temannya tersebut (sebetulnya, siapa sih yang merasa terpukul?). Padahal, sudah jelas anak dalam kondisi menghayati ketidakmampuan. Buat orangtua (yang badannya lebih besar lagi), apa sih susahnya melawan anak kelas 4 SD?

Sungguh, orangtua tidak berempati pada ketidak-mampuan anaknya, ketika menuntut anak melawan, tapi tidak membimbing anak untuk menjadi mampu menghadapi konsekuensi dari pilihan perilaku yang diambil.

Di titik ini, anak berada dalam situasi terjepit antara tekanan temannya di sekolah dan tekanan orangtuanya di rumah. Ia tidak bisa melawan kedua-duanya, dan juga tidak bisa melarikan diri. Ia menjadi freeze. Malas sekolah, kehilangan semangat belajar, cemas setiap akan berangkat ke sekolah, sakit perut, lemas dan pusing ketika akan ke sekolah, dsb.

- Orangtua yang hobby menuntut, mengkritik, menilai, labelling, membandingkan, melakukan kekerasan fisik semuanya akan dipersepsi sebagai ancaman yang merendahkan dan bahkan menghancurkan diri anak. Anak dengan segala keterbatasan fisik, emosi dan kognitifnya, tak bisa melawan (Fight) itu semua namun tetap menghayati ketidak-nyamanannya. Mungkin ia pernah mencoba melakukan aksi perlawanan, tantrum, ngambek, dll. tapi ternyata orangtua lebih kuat dan ia menyerah. Anak juga umumnya tak berani melarikan diri (flight) (kalau pun ada, sangat kecil jumlahnya). Bila ia melarikan diri, maka ia akan kehilangan perlindungan dan tempat bergantung. Padahal ia dengan segala keterbatasannya masih membutuhkan itu semua.

Maka, antara rasa tidak nyaman menghadapi tekanan dan takut untuk melarikan diri, reaksi yang terjadi adalah freeze. Anak-anak dalam kondisi freeze, kehilangan kemampuan fokus, daya ingat, sering bengong, kecemasan tinggi dan berpengaruh pada fisik, maag, sesak nafas, dan gejala kecemasan lainnya kerap muncul. Gesture dan ekspresi lainnya pun tampil berbeda dibanding anak-anak yang tumbuh sehat fisik dan psikis. Di sini kerja Limbik (otak yang mengatur emosi) pun menjadi dominan.

Pola freeze yang berulang akan juga muncul pada saat anak bertambah usianya bila tidak ada proses koreksi. Bisa muncul dalam kondisi groggy atau tiba-tiba kehilangan kata dan daya ingat pada suatu situasi tertentu. Kecenderungan menghindari situasi yang tidak nyaman juga adalah salah satu bentuk menghindari reaksi freeze.

Sebetulnya semua reaksi di atas, fight, flight dan freeze adalah reaksi wajar. Mereka menjadi kurang wajar dan menjadi masalah apabila reaksi tersebut dilakukan berulang tanpa upaya pengolahan yang lebih rasional dan juga menimbulkan rasa tidak nyaman pada diri dan mengakibatkan konflik dengan orang lain. Ya, bayangkan saja ketika orang kerjaannya membantah melulu (karena merasa diserang saat diberi masukan), maka orang lain pun akan menjadi kesal. Atau sebaliknya, orang menghindar terus saat dihadapkan pada situasi menantang, itu juga membuat menjadi kurang efektif. Termasuk selalu blocking saat bicara di hadapan orang banyak pun juga menjadi mengganggu.

Karenanya dibutuhkan proses yang lebih panjang, yang tidak cukup hanya berhenti pada refleks batang otak dan juga emosi dari otak limbik. Otak korteks yang bekerja mengolah informasi perlu ditingkatkan sehingga pemecahan masalah dan pengambilan keputusan didasari oleh alasan-alasan yang lebih logis dan rasional.

Forgiveness adalah proses panjang yang melibatkan otak korteks. Proses forgiveness itu challenging pada sebagian besar orang (termasuk diri saya). Mulai dari tahapan menyadari dan menerima pikiran, perasaan dan keinginan diri. Melepaskan diri dan berjarak dengan emosi hingga melakukan proses acceptance yang di dalamnya juga ada reframming dan meaning baru terhadap situasi yang dihadapi, yang awalnya dipersepsi sebagai ancaman. Bahkan forgiveness yang berujung pada memberi dan mengasihi situasi atau orang yang menyakiti itu adalah kemuliaan.

Agama (manapun) mengajarkan pemaafan dan kasih sayang. Ternyata prosesnya sungguh panjang untuk sampai ke sana. Dalam kondisi kita terseok-seok menata diri dan mengelola emosi, kita pun dihadapkan pada tanggung jawab untuk mengajari anak kita bisa mengelola emosinya.

Saya melihat, kehadiran anak-anak kita dengan dinamika emosinya yang genuine juga adalah pembelajaran bagi kita sendiri sebagai orang dewasa.

"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS 42: 39-43)

Yeti Widiati 75-250917

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...