Senin, 24 Juli 2017

HARGA DIRI RENDAH (Tulisan ke-4) - yws

PENANGANAN
FOKUS PADA HAL POSITIF
Untuk meningkatkan harga diri anak yang sudah kepalang rendah, maka kita perlu berfokus pada hal-hal positif yang dimiliki anak. Setiap kekuatan dan pencapaian (prestasi) sekecil apapun harus ditangkap dan diapresiasi.

Cara awal yang baik adalah dengan meminta anak untuk menyusun daftar kelebihannya. Baik berupa sifat, pengetahuan, ketrampilan, atau usaha yang mereka pandang positif. Ini adalah suatu cara konkrit untuk berfokus pada hal positif daripada terpaku pada memikirkan hal negatif diri.

Ketika mendiskusikan daftar ini, kekuatannya perlu dielaborasi lebih lanjut. Proses mengelaborasi dengan mendengarkan seksama dan menerima perasaannya secara tidak langsung memberikan pesan bahwa dia benar-benar istimewa bagi orangtua. Kita pun sebagai orangtua dapat menyampaikan perasaan kita. Dengan cara ini, anak merasa berharga dan merasa memiliki teman yang mendampingi.

Saat harga diri anak rendah, maka approval/persetujuan, perhatian, apresiasi dan pujian perlu lebih diekspresikan. Berikan umpan balik positif sesegera mungkin pada setiap kesempatan, sehingga anak memperoleh asosiasi langsung antara perilaku yang ditampilkan dengan apresiasi yang diperoleh.

Merendahkan anak, harus dihindarkan dalam berbagai bentuknya. Ejekan dan bersikap sarkastik tak bisa mendukung pertumbuhan harga diri yang positif.

Komentar-komentar di bawah ini adalah beberapa contoh umpan balik positif setelah anak menunjukkan perilaku baik, "sekecil" apa pun:
- Ayah senang sekali melihat kamu tersenyum
- Kamu sabar banget waktu bunda/ayah sibuk (belanja, mencuci mobil, menyiapkan makanan, dll)
- Terima kasih kamu sudah menolong mengambilkan popok adik
- Bunda senang kamu berkata jujur
- Ayah kagum kamu sudah berusaha dan bekerja keras menyelesaikan PR
- Hebat benar kamu mau mengantri menunggu giliran
- Bunda suka kamu membantu tanpa diminta
- Waktu kamu kasihan dan menolong teman kamu, itu bagus sekali
- Kamu lucu sekali waktu tadi bicara sehingga membuat semua orang tertawa gembira
- Senang sekali ayah membuat lego ini bareng kamu

Pujian yang salah atau tidak sesuai kenyataan harus dihindari (Misal, mengatakan gambar anak bagus, padahal sebetulnya tidak). Anak akan merasa buruk jika mereka tahu kita berbohong untuk membuatnya merasa lebih baik. Masih ada banyak perilaku baik yang tampak yang bisa disorot dan diapresiasi.

Ketika anak berkecil hati karena kegagalan, jangan berharap terlalu banyak pada saat itu. Ini waktunya untuk bersabar dan menerima perasaannya. Berharap terlalu besar akan kontraproduktif. Lebih baik mengharapkan pencapaian yang lebih realistis sekalipun hanya berupa langkah kecil.

Anak yang rendah diri perlu belajar bertahap mengkompensasi kelemahannya menjadi kekuatan. Langkah pertama yang dilakukan adalah, "Lakukan apa yang kamu anggap benar". Bila anak melihat banyaknya tugas yang perlu dia lakukan, maka mungkin dia akan merasa terbebani. Oleh karena itu mengajari mereka untuk memilih apa yang paling mereka bisa lakukan akan lebih realistis. Bila mereka tidak bisa memilih sendiri, kita bisa membantu memilihkan atau memberi tahu secara eksplisit dan jelas apa yang perlu mereka lakukan saat itu untuk memperoleh kepuasan saat itu juga.

POSITIVE SELF-TALK (BERBICARA POSITIF DALAM DIRI)
Berbicara dengan kata dan kalimat postif pada diri sendiri adalah cara yang powerful.

Anak perlu dicontohkan caranya dengan jelas dan mempraktekkannya. Mengatakan "Saya baik-baik saja" lebih baik daripada "Saya nggak baik" atau "Saya nggak pernah melakukannya dengan benar."

Mekanisme membenci diri perlu dihalangi dan dihilangkan. Gali (amati, tanya) apa hal yang menurut anak merupakan hal negatif yang mereka miliki. Sarankan agar mereka menghentikan kebiasaan berpikir/berkata buruk ini.

Saran kita perlu konkrit dan jelas. Beberapa contoh yang bisa kita komunikasikan pada anak, antara lain:
- Coba lakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan bukan melakukan yang lebih baik dari orang lain.
- Setiap hari kita lebih percaya diri, lebih baik dan lebih mengenal diri sendiri.
- Nikmatilah yang kamu lakukan.
- Perlahan-lahan kita lebih percaya diri dan mandiri.

Saran-saran di atas dapat membuat anak melihat keberanian dan kemampuannya lebih baik. Mereka bisa mengenali kemampuan diri dan situasi tertentu. Ada situasi saat mereka tidak cukup mampu dan mereka perlu membiarkan orang lain untuk memimpin. Tapi ada juga situasi di saat mereka cukup mampu dan dapat lebih dominan.

PENGALAMAN YANG KONSTRUKTIF
Ketika anak memiliki harga diri rendah menjadi penting bagi orangtua untuk menyusun dan merencanakan pengalaman belajar bagi anak untuk memperbaiki situasi tersebut.

Kita perlu merancang ragam aktivitas yang dapat membuat anak terlibat. Pada awalnya mungkin perlu menjanjikan reward (yang sesuai) agar anak mau berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Kegiatan Pramuka, musik, hobi, olahraga, dll bisa dipilih sebagai aktivitas yang bisa membuat anak menguasai kompetensi tertentu. Anak perlu merasa cocok dan mampu ketika mengikuti kegiatan tersebut.

Kita perlu 'memastikan' bahwa ketua kelompoknya peka dan melibatkan semua orang untuk berpartisipasi. Ketua yang hanya menekankan pada kemenangan dan hanya memberi kesempatan pada anak yang sudah pintar, bukanlah pilihan yang tepat bagi anak kita yang masih perlu berusaha mengembangkan harga dirinya. Kita perlu mencari pemimpin kelompok yang dapat mendorong kerja sama, memberi kesempatan semua anggota untuk memimpin, sehingga seluruh anggota pernah merasakan memiliki tanggung jawab.

Adalah penting untuk menemukan atau menciptakan suatu kelompok yang tidak membebani anak kita. Oleh karena itu bila kita tidak menemukan kelompok tersebut, orangtua bisa menciptakan sendiri suatu program training yang dirancang sesuai kebutuhan anak kita. Aktivitas rekreasi yang terencana juga dapat memiliki manfaat yang positif untuk anak-anak yang memiliki harga diri rendah.

Pengalaman konstruktif ini dapat dilakukan juga dalam aktivitas di rumah bersama keluarga. Tujuannya perlu realistis dan dapat dicapai oleh anak namun tetap menantang. Anak perlu merasa bahwa mereka memiliki kontribusi pada kesejahteraan keluarga dan menjadikan 'Saling menolong' sebagai value keluarga. Oleh karena itu, di rumah anak harus membantu orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari.

Pengalaman konstruktif lainnya dapat diperoleh melalui bekerja sukarela di rumah sakit, membacakan buku untuk orang buta, berbelanja untuk penyandang difabel dan menghibur atau mengunjungi orang yang sudah tua. Semuanya bisa menjadi pilihan untuk dilakukan.

Hal lain yang bisa memberikan pengaruh positif pada harga diri anak adalah dengan melibatkan saudara (kakak atau adik) untuk saling mendorong sehingga tercipta suasana yang optimis. Menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan bersama dan menjadi model/contoh yang baik pun cukup efektif mengubah lingkaran setan harga diri rendah. Baik saudara maupun orangtua harus banyak mengobrol tentang ragam hal.

Teknik lain yang bisa dilakukan di rumah adalah memiliki hari VIP (very important person). Pada hari-hari tertentu seorang anggota keluarga menjadi pusat perhatian. Anggota keluarga yang lain harus melayani dan menyenangkannya dengan cara spesial pada hari tersebut. Aktivitas dan makanan favorit VIP harus disediakan.

Bisa juga melakukan aktivitas bertukar peran. Misalnya, anak menjadi orangtua dalam satu hari dan keinginannya diikuti oleh semua orang.

Kegiatan bermain peran juga bisa dilakukan di sekolah. Aktivitas ini perlu direncanakan dengan baik, sehingga tujuan spesifik dapat dicapai sesuai kebutuhan anak. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan harga diri pada anak usia 7 tahun diperoleh setelah anak berpartisipasi dalam drama kreatif dan direkam dalam video yang kemudian ditonton anak. Anak akan melihat dirinya sendiri dalam film tersebut dan memperoleh umpan balik yang positif.

MENGGUNAKAN REWARD DAN KONTRAK
Carilah reward yang tepat yang cukup kuat mempengaruhi anak. Setelah itu kita susun goal/tujuan bersama anak yang perlu dicapai, berkaitan dengan peningkatan harga diri. Pada awalnya, buatlah kontrak tertulis, mencakup goal yang akan dicapai, lama waktu pencapaian, dan termasuk reward yang akan diperoleh bila goal tercapai.

Pesan yang ingin disampaikan yaitu, bahwa memenuhi kewajiban adalah hal penting dan menguntungkan bagi anak.

Kontrak dapat digunakan dalam hal kewajiban anak membersihkan kamar atau dalam konteks mengerjakan sejumlah PR setiap harinya. Orangtua yang kreatif bisa menambahkan persyaratan berupa larangan anak untuk tidak membuat komentar negatif tentang diri anak.

Penting sekali untuk mengajari anak agar mandiri. Bila sistem kontrak ini sudah dipahami dengan baik, maka anak dapat menulis kontraknya sendiri dan membuat rewardnya sendiri pula. Hal ini akan meningkatkan kemampuannya untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Mereka bahkan dapat mengembangkan sendiri kontrak yang tidak tertulis. Cukup mengatakan dalam hati, "Saya akan menonton televisi setelah saya mengerjakan PR selama 1 jam dan membuang sampah".

Kepuasan yang diperoleh dari pengalaman keberhasilan ini adalah reward alamiah yang memiliki pengaruh kuat untuk meningkatkan harga diri anak.
----------------------

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi/Pengertian, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.

*Merupakan terjemahan bebas (dengan penyesuaian dan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 58-240717

Minggu, 23 Juli 2017

HARGA DIRI RENDAH (Tulisan ke-3) - yws

PENCEGAHAN

TUMBUHKAN CARA BERPIKIR RASIONAL DAN PEMAHAMAN DIRI
Setelah anak bisa diajak berpikir, maka ajarkan anak berpikir rasional. Setiap kesalahan berpikir atau over generalisasi perlu segera dikoreksi. Misal, "Saya gagal, saya tak mau mencoba lagi," adalah salah satu contoh pemikiran tak logis. Contoh lain adalah, "Kalau ada orang marah, berarti saya jelek."

Perlu dijelaskan pada anak, bahwa kadang-kadang perilaku anak memang kurang tepat dan bahwa orang dewasa pun kadang berada dalam suasana hati buruk yang bisa ditanggapi salah oleh orang lain. Anak perlu tahu bahwa harga diri itu berfluktuasi (turun-naik) dan bahwa perasaan baik dan buruk adalah normal. Bila dijelaskan dengan sederhana, anak kecil pun bisa memahami hal ini.

Anak perlu tahu bahwa ada banyak standar kebaikan dan tidak ada ukuran universal terkait kecantikan. "Cantik itu bergantung pada siapa yang melihat". Ini penting terutama bagi anak-anak yang tampil berbeda dari anak lainnya dan merasa tidak ada seorang pun (selain orangtuanya) yang mencintai mereka.

Ayat-ayat dari kitab suci, pepatah atau cerita-cerita yang sudah dikenal baik dapat digunakan sebagai sumber value untuk membantu anak memahami konsep ini. Bahkan anak kecil pun bisa memahami konsep bahwa setiap orang memiliki kelemahan di satu area dan kekuatan di area lain. Dan kekuatan tersebut (ketrampilan, kepekaan, pengetahuan, humor, dll) sangat dibutuhkan.

Lakukan diskusi keluarga mengenai tema harga diri tanpa harus berkait kejadian tertentu. Kapan pun, orang bisa berbahagia dan tetap merasa bernilai, sekalipun tidak membuat pencapaian yang luar biasa. "Saya baik-baik saja" adalah perasaan luar biasa yang dapat dicapai siapa pun dalam kehidupan sehari-harinya.

Kemenangan tak perlu dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan. Kita perlu melawan sistem yang hanya menghormati beberapa pemenang dan memperlakukan sebagian besar lainnya sebagai pecundang. Sistem semacam ini membuat anak menumbuhkan perasaan bahwa kemenangan adalah satu-satunya cara untuk menyenangkan orang dewasa dan orang lainnya.

Kita lebih baik mengajarkan value berusaha. "Berhasil melakukan yang terbaik" adalah kesuksesan yang sebenarnya.

Setiap bentuk perfeksionis adalah konsep yang tidak logis. Kita perlu mengajarkan pada anak bahwa "tidak ada orang yang sempurna". Berhasil atau gagal adalah biasa. Dan bahwa setiap orang punya kekuatan dan kelemahan yang berbeda.

MENDORONG KOMPETENSI, KEMANDIRIAN DAN MENIKMATI PROSES DAN HASIL.
Ada banyak cara mempersiapkan anak agar bisa menangani masalah secara efektif di lingkungannya.

Capailah kompetensi/kemampuan anak yang sesuai level usianya, baik itu terkait ketrampilan, pengetahuan atau perilaku tertentu. Dan buatlah agar anak tetap merasa aman serta menikmati prosesnya.

Sangat berisiko bila kita terlalu melindungi atau sebaliknya tidak melindungi anak. Ajarkan anak untuk fleksibel sehingga mereka dapat menilai situasi dan menerapkan ketrampilannya secara adaptif dalam keseharian.

Ketika anak menghadapi masalah atau stres sehari-hari, kita dorong anak untuk berpikir. Dan kita hanya membantu saat dibutuhkan. Misalnya; pertengkaran antar saudara dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk belajar berdiskusi dan menemukan kesepakatan. Berilah kesempatan pada anak untuk menyumbangkan solusi terhadap penyelesaian masalah.

Dalam konteks brainstorming maka, ide dan perilaku yang baik perlu dipuji sementara hukuman harus dihindari sebisa mungkin. Anak perlu belajar menikmati tumbuhnya kemampuan menangani situasi secara mandiri.

Anak yang lebih kecil atau yang masih belajar berdiskusi, boleh diberikan pilihan terbatas (supaya tidak bingung). Mintalah mereka untuk memilih solusi dengan menjelaskan alasan dan mendengarkan pendapat yang lain secara seksama. Semua pendapat mereka harus dihormati, didorong dan dieksplorasi lebih jauh.

Orangtua perlu memperhatikan minat, keinginan serta tujuan-tujuan anak. Anak merasa lebih kompeten bila mencapai tujuan mereka. Peran kita lebih sebagai pembimbing daripada sebagai "Tukang Tegur". Kita dapat membantu anak untuk
- mengantisipasi problem,
- terhindar dari masalah yang lebih rumit,
- tidak putus asa, dan
- dapat berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah.

Diharapkan dalam atmosfir keluarga yang positif, maka banyak tujuan anak yang sama dengan tujuan orangtua. Anak terdorong mencapai keberhasilan, menyenangkan orang lain, menikmati proses, dan melakukannya secara mandiri. Tujuan-tujuan ini perlu didiskusikan secara terbuka dan didorong untuk bisa dicapai.

Anak juga perlu dipersiapkan dalam menghadapi stres sehari-hari yang mungkin muncul. Misal, karena kelahiran adik baru, masuk sekolah, dll. Kita dapat membantu anak mengatasi stres dengan menunjukkan perilaku apa yang diharapkan dari mereka. Jika anak tahu apa yang bisa mereka lakukan, maka mereka akan lebih merasa bertanggung jawab. Dan level pemahaman moral mereka meningkat.

Anak perlu memiliki tugas sehari-hari (membereskan mainan, menyapu halaman, mencuci piring, dll). Bila mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas tersebut dan memperoleh apresiasi, maka perasaan berharganya, akan meningkat.

Pujilah perilaku yang benar dan tak perlu mengharapkan kesempurnaan. Berikan pujian spesifik ("kamu rapi sekali membereskan mainan ke dalam kotak"), daripada pujian global ("kamu anak pintar"). Karena pujian spesifik akan membuat anak tahu kemampuannya apa adanya. Tak ada yang lebih menyenangkan selain mampu dan berhasil menyelesaikan pekerjaan yang dikuasainya.

SEDIAKAN KEHANGATAN DAN PENERIMAAN
Harga diri yang tinggi terbentuk ketika anak merasa diterima apa adanya. Buatlah batasan yang jelas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak. Bersikap permisif (anak boleh melakukan segala hal) tidaklah sama dengan kehangatan.

Anak merasa berharga jika mereka dicintai. Hal ini akan membuat mereka mengembangkan rasa percaya/trust dan rasa aman dari disalahkan.

Jika anak memperoleh nilai buruk atau gagal, kita perlu memberikan dukungan emosi pada anak sehingga mereka merasa bahwa kita menerima mereka apa adanya. Bukan hanya menerima saat anak berhasil dan menolak saat anak gagal.

Banyak orangtua menganggap enteng perbuatan mengkritik orang lain, yang didengar anak. Misalnya, mengkritik atau merendahkan pekerjaan tertentu, ras, atau agama lain. Kebiasaan mengkritik orang atau kelompok lain akan menimbulkan energi dan perasaan negatif pada anak. Oleh karena itu jauh lebih baik kita membicarakan hal positif orang lain. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan pada anak bahwa orangtua menerima dirinya dan orang lain.

Afeksi (kasih sayang) spontan harus sering diperlihatkan. Beberapa orangtua sangat sulit mengekspresikan perasaan positif. Ekspresi cinta yang terbuka sangat berpengaruh dalam meningkatkan harga diri. Hindari mengekspresikan afeksi hanya ketika anak berperilaku baik dan berprestasi saja.

Hal yang sama juga perlu dilakukan dalam mengekspresikan optimisme. Sehingga anak belajar pula menjadi optimis bila melihat orangtuanya optimis dengan lebih berfokus pada kekuatan daripada kelemahan.

Penerimaan diri anak dapat ditunjukkan dalam berbagai aktivitas keluarga, misalnya;
- membuat kliping atau album foto berbagai event.
- Membuat diari
- Kumpul-kumpul keluarga dengan bernyanyi, main game, dan mendiskusikan hal yang sedang populer.
- Bicaralah dengan nada yang hangat dan penuh optimisme sedapat mungkin.

Jika ada anggota keluarga yang berpikir negatif maka ini dapat mempengaruhi kehangatan kebersamaan. Penting untuk semua anggota keluarga saling membantu agar merasa bahagia dan menerima satu sama lain. Mereka perlu merasa seolah-olah berada dalam satu perahu yang bergerak ke tujuan yang sama.

----------------------
*Tulisan disajikan bertahap, Definisi/Pengertian, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.

*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 57-230717

Sabtu, 22 Juli 2017

HARGA DIRI RENDAH (Tulisan ke-2) - yws

PENYEBAB

Penyebab anak memiliki harga diri rendah, adalah karena kesalahan pengasuhan:
ORANG TUA YANG TERLALU MELINDUNGI/OVERPROTEKTIF
Anak yang terlalu dilindungi tidak belajar menangani masalahnya sendiri. Ia selalu bergantung pada orang lain dan ia pun tidak menghargai keputusan yang diambilnya sendiri. Mereka kerap malu dan takut berbuat salah. Orangtua memanjakan mereka dengan memberi bantuan terlalu banyak dan tidak mengizinkan anak untuk mengatasi stres yang wajar. Anak-anak ini sangat ringkih, mudah terluka dan tidak memiliki kemampuan menangkis bahaya. Kadang anak terlihat terlalu percaya diri dan merasa hebat tapi ini sebetulnya hanya tampilan luar untuk menutupi rasa kurang percaya dirinya.

ORANGTUA YANG MENGABAIKAN ANAK
Orangtua yang mengabaikan anak, cenderung tidak peduli pada anak (sering terjadi pada anak yang kelahirannya tidak dikehendaki atau yang dipandang kurang memenuhi harapan orangtua). Beberapa anak mungkin berkembang menjadi anak mandiri dan memiliki harga diri tinggi bila ia memperoleh penerimaan dari orang lain di sekitarnya. Namun lebih banyak anak dari orangtua semacam ini yang merasa diri mereka tidak cukup layak menerima penghargaan dari orang lain. Anak-anak ini seringkali diabaikan secara fisik dan psikis. Sehingga mengakibatkan mereka merasa tidak berharga.

ORANGTUA YANG MENUNTUT ANAK SEMPURNA/PERFEKSIONIS
Banyak orangtua menuntut anak terlalu tinggi dan sempurna. Mereka berharap anak hanya menunjukkan kekuatan dan bukan kelemahan. Akibatnya, anak merasa tidak layak karena tidak mampu mengikuti ukuran-ukuran yang ditetapkan orangtua. Anak-anak ini secara kurang adil dibandingkan dengan anak lain yang memiliki prestasi luar biasa. Akibatnya mereka sering bereaksi berlebihan terhadap kegagalan dan mencari-cari alasan atau menyalahkan situasi yang membuat mereka gagal.

ORANGTUA YANG OTOKRATIK DAN KERAP MENGHUKUM
Beberapa orangtua menggunakan pendekatan menguasai dan penuh aturan yang ketat. Mereka umumnya menggunakan metode otoriter dan memberikan hukuman berlebihan. Jarang berinteraksi akrab dengan anak dan tidak merasa perlu menghormati anak (karena anak dipandang lebih rendah). Anak-anak ini akhirnya mempersepsi dirinya sendiri tidak layak untuk dihormati. Pola ini berkebalikan dengan pola reward dan insentif yang mendukung berkembangnya harga diri yang tinggi.

ORANGTUA YANG MUDAH MENGKRITIK DAN MENUNJUKKAN KETIDAKSETUJUAN PADA ANAK
- Penerimaan orangtua, afeksi, persetujuan, pemahaman, dan pujian menghasilkan harga diri tinggi dan keinginan kuat untuk berprestasi.
- Sementara sebaliknya, penolakan dan kritik terus-menerus menghasilkan perasaan tidak berharga dan sikap "buat apa saya harus berusaha, tokh nggak akan dihargai juga".
- Orangtua yang terbiasa melabel anak dengan sebutan "nakal" akan membuat anak benar-benar menjadi "nakal" karena anak merasa image/citra dirinya terkonfirmasi oleh orangtua. Sama halnya dengan anak yang terus-menerus dibahas kecanggungan dan kecerobohannya. Mereka pun akan benar-benar merasa dan berperilaku canggung.
- Kekurangan dan kegagalan anak lebih banyak disorot, sementara feedback positif jarang diberikan.
- Harga diri rendah juga terjadi jika salah satu orangtua mengkritik cara pasangannya mengasuh dan mendidik anak. Bukan hanya anak yang harga dirinya rendah namun juga pasangan yang dikritik tersebut pun harga dirinya menjadi rendah.
- Pengaruh lain yang juga sangat kuat adalah bagaimana guru menerima siswa. Siswa yang merasa kurang diterima guru akan merasa rendah harga dirinya dan berpengaruh terhadap pencapaian akademik dan perilakunya (sering tidak patuh, melanggar aturan, dll).

- Modelling/Contoh
Orangtua yang harga dirinya rendah menjadi model/contoh yang ditiru anak. Mereka memperlakukan anak dengan kurang hormat sama seperti mereka sendiri merasa tidak dihormati oleh orang lain (dan orangtuanya dulu).

Anak merasa tidak perlu memikirkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Menganggap orang lain lebih sukses dan merasa tidak perlu berusaha, karena orangtua pun kurang mencontohkan caranya berusaha.

Semakin orangtua dan guru menunjukkan persetujuan pada anak, semakin anak diterima oleh lingkungannya (dan terutama oleh dirinya sendiri). Oleh karena itu orangtua adalah contoh langsung mengenai perilaku yang diterima.

- Perbedaan dan Kecacatan
Anak yang tampil sangat berbeda dibanding anak lain, berpeluang merasa harga diri rendah. Mereka merasa terlalu buruk, pendek, tinggi, atau berbeda dalam banyak hal. Yang sering berkembang adalah rasa marah kepada seseorang yang dipandang lebih sempurna dan benci pada orang yang menatapnya atau menunjuk perbedaannya.

Kondisi ini juga membuat anak menjadi kurang merasakan ketika sebetulnya ada orang yang menerima dan mengagumi dirinya.

Pola yang sama (bahkan lebih kuat) terjadi pada anak yang memiliki kecacatan. Karena bukti fisik keperbedaannya atau ketidak-normalannya selalu tampak. Mereka merasa tidak berharga dan sayangnya diperkuat dengan tatapan negatif atau komentar menyakitkan dari orang-orang tertentu di sekitarnya.

- Meyakini pemikiran yang salah/irasional (Irational Beliefs)
Sumber awal 'pemikiran yang salah' adalah dari rumah. Pemikiran yang salah ini menyebabkan berkembangnya perilaku merendahkan diri.

'Pemikiran yang salah', sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Terjadi karena kesalahan praktek pengasuhan, modelling, dan merasa diri berbeda dari orang lain.

Beberapa bentuk pemikiran yang salah, diantaranya seperti:
- Saya tak bisa mengerjakan segala hal dengan benar.
- Saya tidak pernah berhasil mengerjakan apa pun.
- Saya memang bodoh jika saya tak dapat mengerjakan itu.
- Saya nggak mungkin bisa
Dll.

Mereka juga yakin bahwa mereka tidak mampu untuk menangani situasi baru. Sehingga ketika perubahan terjadi (misal, kelahiran adik baru, pindah rumah, perceraian), mereka merasa terancam, cemas, dan tak mampu untuk berbuat apa-apa.

Konsep diri individu dibentuk dalam keluarga. Bila anak merasa harga dirinya rendah, maka pemikiran bahwa dirinya tak berarti bisa menetap sepanjang hidup dan berpengaruh terhadap perilakunya, terutama bila pemikiran salah tersebut tidak mengalami proses koreksi.

Mengapa anak sulit mengubah pemikiran yang salah ini? Karena mereka belum memiliki kemampuan menilai dan belum memiliki cara pandang bahwa kesalahan mengasuh adalah masalah orang dewasa dan bukan masalah mereka. Mereka belum bisa melakukan 'self-talk' (berbicara kepada hati/diri sendiri) untuk memahami kejadian tersebut. Mereka tidak dapat berkata, "Saya tidak selalu jelek kok, ini bapak saya saja yang melihat setiap orang jelek.

Karena anak belum bisa mengoreksi sendiri pemikiran yang salah ini, maka komentar negatif dari lingkungan dipandang sebagai "tuduhan" terhadap kepribadian mereka seluruhnya.
----------------------

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi/Pengertian, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.

*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 56-210717
HARGA DIRI RENDAH (Tulisan ke-1) - yws

PENGERTIAN
Banyak masalah anak disebabkan karena rendahnya harga diri. Perlu diketahui, bahwa cara pandang dan perasaan anak tentang dirinya adalah sangat penting dan berpengaruh terhadap perilaku anak.

Perasaan tidak berharga dan kurangnya penghormatan terhadap diri sendiri akan mempengaruhi motivasi, sikap dan perilaku anak. Bila harga diri rendah, maka segala hal akan dilihat dari sudut pandang pesimistik. Oleh karena itu, baik sekali bila orangtua peka terhadap indikasi rendahnya harga diri anak. Sehingga masalah bisa segera ditangani dan tidak memperburuk performa anak.

Untuk mengetahui konsep diri anak, orangtua dapat menggalinya dengan menanyakan pada anak 3 pertanyaan berikut, yaitu;
- "Siapakah saya?"
- "Seperti apakah saya?"
- "Bagaimanakah diri saya dibanding orang lain?"

Harga diri seringkali diukur melalui prestasi sekolah, pekerjaan dan relasi sosial, terutama dalam masyarakat yang berorientasi pada prestasi, kompetensi dan produktivitas untuk menilai seseorang.

Harga diri juga tidak bersifat stabil, namun dapat berfluktuasi/turun naik. Hal ini karena perasaan "hebat" dipengaruhi oleh prestasi, pujian dan penerimaan lingkungan. Kadang anak merasa hebat dalam bidang tertentu namun merasa buruk dalam bidang lainnya. Sehingga kadang ia percaya diri namun kadang tidak percaya diri tergantung situasinya.

Anak yang tidak percaya diri, menjadi tidak optimis dan tidak yakin dengan tujuan yang dimiliki serta usaha yang dilakukannya. Mereka merasa tidak mampu, rendah diri, pesimis, dan mudah berkecil hati. Segala hal terlihat salah. Anak-anak ini gampang menyerah dan seringkali merasa tertekan.

Kata "jelek" dan "putus asa" adalah kata sifat yang sering digunakan untuk menggambarkan dirinya. Mereka juga sulit menangani frustrasi, marah dan seringkali mendendam.

Sayangnya, perilaku ini malah membuat orang lain melihat mereka secara negatif sebagaimana anak memandang dirinya juga negatif. Sehingga yang terjadi adalah seperti lingkaran setan.

Anak-anak yang merasa akan gagal dalam banyak hal, seringkali mempersepsi reward/hadiah/penghargaan yang mereka peroleh sebagai kebetulan/keberuntungan dan bukan sebagai hasil dari tindakan/pencapaiannya.

Reward hanya efektif jika anak percaya bahwa hal itu diperoleh karena perilaku dan pencapaiannya. Ini yang disebut "internal locus of control" atau kemampuan melihat bahwa hasil itu disebabkan oleh kendali diri sendiri. Sehingga anak dapat melihat hubungan sebab-akibat antara perilaku dan reward. Kemampuan kendali diri ini biasanya meningkat dengan usia dan prestasi/pencapaian diri.

Anak yang memperoleh keberhasilan (atau memperoleh penerimaan dan pengakuan dari lingkungan atas pencapaiannya), secara bertahap akan mengembangkan rasa percaya diri yang lebih baik. Mereka merasa lebih mandiri dan bebas untuk menampilkan diri dan membuat pencapaian/prestasi sesuai hal positif yang dimilikinya.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi/Pengertian, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 55-210717

Jumat, 21 Juli 2017

MENCURI (Tulisan ke-3) - yws

PENANGANAN
1. AMBIL LANGKAH SEGERA
Orangtua tidak boleh mengabaikan kecenderungan perilaku antisosial pada anak. Kita perlu memahami, mengkonfrontasi dan mengoreksi perilaku mencuri ini, yang tidak bisa diterima baik di rumah maupun di sekolah.

Koreksi:
- Hukuman yang paling masuk akal dari mengambil barang orang lain adalah mengembalikan barang dan meminta maaf atau membayar sejumlah uang untuk mengganti benda (jika rusak, hilang atau habis digunakan).
- Jika anak mengambil permen atau barang lain di toko, orangtua harus mendampingi anak ke toko dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembalikan sendiri barang yang diambilnya.
- Bila anak masih balita, dan terlalu malu sehingga tidak bisa bicara, maka orangtua yang meminta maaf, tapi tetap anak yang mengembalikan barang yang diambilnya.
- Jika barang yang dicuri rusak atau hilang, dan anak tidak memiliki uang cukup untuk mengganti, maka ia perlu membuat jadwal pengembalian/reimbursement dengan uangnya sendiri. Hindari "memiskinkan" anak karena akan mendorongnya untuk mencuri lagi.
- Jika karena satu dan lain hal penggantian dengan uang tidak bisa dilakukan anak, maka anak perlu memperoleh konsekuensi berupa pengurangan kesenangan, misalnya tidak diizinkan menonton TV. Hal ini dimaksudkan agar anak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak ditolerir dan akan memperoleh konsekuensi.
- Lakukan langkah SEGERA dan KONSISTEN (tidak ditunda) terhadap kejadian mencuri.
- Permintaan maaf, penjelasan dan janji memperbaiki diterima namun tidak dapat mengganti konsekuensi. Anak harus memiliki tanggung jawab pribadi untuk memperbaiki kesalahannya.

Konfrontasi:
- Orangtua harus secara verbal dan jelas membicarakan langsung dengan anak (ketika keduanya tenang/tidak emosi) mengenai seriusnya perilaku ini. Jelaskan mengapa tindakan ini tidak baik dan tidak ditolerir.
- Hindari menggunakan kata yang membuat arti mencuri menjadi lebih lunak, misalnya, "meminjam" karena anak akan menganggap enteng.
- Jelaskan perilaku 'mencuri' dengan sederhana, jujur dan bukan khotbah panjang lebar.
- Tunjukkan kerugian yang diakibatkan karena mencuri, ketidak-adilan, konsep hak milik pribadi. Jelaskan juga perasaan orang yang dicuri barangnya.
- Perlihatkan pada anak bahwa kita memahami motivasi anak mencuri, misalnya dengan mengatakan "Iya sih memang barang itu menggoda sekali untuk kamu miliki ..."
- Akhiri dengan hal positif dengan menunjukkan afeksi, apresiasi atau harapan positif pada anak. "Bunda sayang kamu, dan bunda percaya kamu bisa lebih baik dari ini ..."
- Ajak anak untuk berempati, "Bagaimana rasanya kalau ada orang yang mengambil barang milik kamu yang berharga (sebutkan barang kesukaan anak)?" atau "Menurut kamu bagaimana perasaan pemilik dompet ini kalau kamu menelponnya sekarang dan mengatakan bahwa kamu menemukannya?"
- Bila kita mencurigai anak mencuri tapi kita tidak yakin, maka kita dapat mengatakan, "Dek, bunda nggak tahu kamu ngambil uang dari dompet bunda atau tidak. Tapi kalau kamu mengambil dan mengembalikkannya, bunda akan sangat bangga pada kamu. Tapi jauh lebih penting adalah kalau kamu bangga pada diri kamu sendiri. Kamu perlu hidup bahagia dengan menjadi dirimu sendiri tapi ini sulit kalau kamu tidak jujur dan adil pada orang lain." Seringkali anak akan mengembalikan benda yang diambilnya beberapa hari sesudah pembicaraan tersebut.

Memahami
Menanyakan pada anak "mengapa" mereka mencuri, biasanya tidak membuahkan hasil, karena mereka tidak bisa memberikan jawaban yang tepat.
Lebih baik bagi orangtua untuk menerima kenyataan bahwa anak mencuri dan mencari jalan keluar. Untuk itu, orangtua perlu lebih peka untuk menangkap apa kira-kira motif yang mendorong anak mencuri.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beberapa alasan anak usia sekolah mencuri adalah sebagai berikut:
- Deprivasi (kekurangan) ekonomi
Beberapa anak kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhannya misal, membeli permen, nonton bioskop, dll. Mereka menginginkan apa yang dimiliki temannya, tapi tidak mempunyai cara untuk memperoleh uang.

Solusi: Sediakan barang yang dibutuhkan anak atau berikan kesempatan anak untuk memperoleh uang (misal melakukan pekerjaan tertentu).

- Deprivasi emosi
Anak yang merasa kekurangan cinta, kasih sayang dan kepedulian dari orang tua berpeluang mencuri untuk mengisi perasaan kosong di dalam diri.

Solusi: Orangtua menunjukkan cinta yang lebih besar dan lebih ekspresif dan habiskan waktu lebih banyak bersama anak.

- Ketidakmatangan
Beberapa anak usia sekolah (7 tahun ke atas), mencuri karena belum memiliki pemahaman dan kesadaran mengenai moral. Mereka cenderung egois, dan ingin segera memuaskan dorongan dirinya. Sulit untuk membuat perencanaan dan menabung. Mereka mencuri untuk memperoleh apa yang mereka inginkan sekarang juga. Mereka kurang paham tentang hak milik pribadi dan pengetahuan tentang beda antara meminjam dan mencuri.
Sehingga mereka tidak merasa bersalah mengambil barang orang lain.

Solusi: Memberikan konsekuensi berulang dan mengajarkan prinsip-prinsip moral (misal; kepedulian pada orang lain).

- Petualangan yang menegangkan
Beberapa anak mencuri karena alasan suka dengan ketegangan yang dialami (mencari bahaya), untuk memperoleh pengakuan dan kekaguman dari kelompoknya, untuk membuktikan betapa mereka "keren" dan "lihai".

Solusi: Ajarkan anak untuk menemukan alternatif sumber kesenangan, persahabatan dan mencapai prestasi yang lebih baik.

- Penguatan dan contoh dari orangtua
Beberapa orangtua secara tidak sadar mencontohkan anaknya mencuri, misalnya, orangtua mengambil barang diam-diam saat mati lampu di toko. Orangtua tidak membayar pajak, melakukan korupsi, dan perilaku mencuri yang terang-terangan terlihat anak.

Solusi: Perubahan sikap dan perilaku orangtua

Cek alasan mana yang paling mungkin dari perilaku anak mencuri dan putuskan mana solusi yang paling sesuai untuk diterapkan pada anak, lalu ambil langkah-langkah untuk penyelesaiannya.

BEREAKSI DENGAN KONTROL DIRI
- Dalam menangani anak yang mencuri, penting bagi orangtua untuk mengontrol emosinya dan jangan terlalu terlihat shock, marah atau putus asa.
- Tak perlu melihat 'mencuri' sebagai kegagalan atau memalukan bagi orangtua. - Karena keterbatasan anak, sebagian besar anak pernah berkait dengan perilaku mencuri kecil-kecilan. Sikap ketidaksetujuan, kita tampilkan dengan cara tegas tapi tanpa harus berteriak atau berespon terlalu heboh.
- Hindari melebih-lebihkan kejadian dan membuat anak merasa dirinya sebagai kriminal. Jangan menjadi jaksa yang menggertak dan mencecar anak apalagi melabelnya sebagai "pencuri kecil" dan membuat prediksi mengerikan (kamu akan masuk penjara).
- Ketika kita memberi label buruk atau meramalkan kejadian buruk, anak akan menjadi yakin (karena anak percaya orangtua itu benar).
- Reaksi berlebihan dari orangtua juga akan membuat anak merasa sia-sia untuk memperbaiki kesalahan, dan akan memunculkan perasaan bersalah dan malu luar biasa. Lebih jauh hal ini akan merusak hubungan orangtua dengan anak.
- Tak perlu menuntut pengakuan karena akan memaksa anak untuk berbohong. Ingatlah bahwa ketika anak dalam masalah, ia membutuhkan kasih sayang dan rasa percaya diri yang lebih besar.
- Daripada berkata "Kamu mencuri, ya?" lebih baik mengatakan, "Bunda tahu kamu mencuri 50 ribu dari dompet bunda, mungkin karena ada yang kamu ingin beli tapi kamu tidak punya uang. Nanti lagi, kalau kamu perlu sesuatu, bilang pada bunda, dan kita akan diskusikan."
- Ada orangtua yang menyangkal kenyataan bahwa anaknya mencuri, dengan menjadi pembela bagi anak. "Anak saya tidak mungkin melakukan itu. Saya tidak mau membicarakannya lebih jauh." Sikap yang lebih baik adalah dengan membuka diri untuk mencari semua fakta dari berbagai sudut pandang, dan mencoba memahami penyebab atau motif yang mendasarinya.

MONITORING
- Hasil riset menunjukkan bahwa orang yang berbuat curang, mencuri dan berbohong akan berkurang jika terdeteksi lebih awal.
- Anak yang memiliki kebiasaan mencuri membutuhkan pengawasan lebih ketat oleh orangtua, sehingga ketika ia ingin atau sudah mencuri bisa segera terdeteksi.
- Anak yang sering mencuri (rata-rata 1 atau lebih per 2 minggu) tidak diizinkan menyimpan benda yang benar-benar bukan miliknya dan dompet serta kamarnya rutin diperiksa hingga kebiasaan buruk mencuri ini hilang. Dengan kata lain, hak mereka terhadap privacy dikurangi sampai mereka belajar menghargai hak orang lain.
- Anak-anak ini membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai mencuri dan mereka juga perlu tahu, bahwa mereka tidak bisa terhindar dari konsekuensi mencuri sekalipun rapi ditutup.
- Setiap mereka mencuri langsung segera dibahas, dan dicari penyelesaiannya.

PENDAPATAN TERATUR
Anak usia sekolah (6-12 tahun) perlu memiliki jaminan sumber pendapatan teratur yang cukup, seperti memperoleh uang dan melakukan tugas-tugas dan memperoleh bayaran.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 54-180717

Kamis, 20 Juli 2017

MENCURI (Tulisan ke-2) - yws

PENCEGAHAN

1. AJARKAN VALUE/AGAMA/NILAI MORAL TERKAIT HAK MILIK
Anak-anak dari keluarga di bawah ini kurang terdorong mencuri:
- Keluarga yang memberi nilai tinggi pada kejujuran dan menghormati hak milik orang lain,
- Keluarga yang lebih peduli pada sifat baik daripada memiliki harta benda,
- Keluarga yang menerapkan value kejujuran dalam hidup sehari-hari,
- Orangtua yang menghargai hak milik pribadi anak. Membiasakan meminta izin saat meminjam atau menyimpan barang milik anak.

2. KEMBANGKAN HUBUNGAN YANG AKRAB
Jika hubungan orangtua anak kurang akrab, ada dorongan pada anak untuk berusaha menyenangkan orang tua dengan ragam cara, salah satunya bisa dengan mencuri.

3. SUMBER PENDAPATAN YANG TERATUR
Beberapa keluarga memberi kesempatan anak untuk memiliki sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membeli barang yang diinginkan anak. Pendapatan ini diperoleh dari usaha anak, misalnya, melakukan pekerjaan tambahan. Hasil uang yang diperoleh bisa dimasukkan dalam celengan atau tabungan di bank.

Anak juga bisa memperoleh uang dari orangtuanya dalam jumlah yang disepakati cukup (tidak kurang dan tidak berlebihan).

4. PENGAWASAN KETAT
Orangtua yang mengetahui aktivitas anak sehari-hari biasanya lebih peka pada masalah anak, termasuk bila anak mulai mengembangkan kebiasaan mencuri. Lebih cepat kebiasaan mencuri diketahui, maka lebih cepat bisa dihindari konsekuensi buruknya.

Buatlah anak melakukan banyak aktivitas konstruktif dan menarik di waktu senggangnya. Anak yang mengisi dan menikmati waktu senggangnya kurang terpikirkan untuk melakukan hal-hal buruk.

5. BERIKAN CONTOH YANG BAIK
Perlihatkan perilaku jujur dalam aktivitas sehari-hari.
- Kembalikan benda yang ditemukan
- Hindari berbuat curang
- Tidak mengambil barang atau melakukan korupsi

6. HAK PROPERTI
- Jelaskan mana barang milik anak dan mana barang milik orang lain di rumah, dan hormati hak milik tersebut.
- Ajarkan anak cara meminjam dan mengembalian barang milik orang lain.

7. HINDARI GODAAN
Jangan meninggalkan uang kembalian sembarangan, dompet, celengan dan benda-benda yang menggoda dan mendorong anak untuk mencurinya.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 53-180717

Selasa, 18 Juli 2017

MENCURI (Tulisan ke-1) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

DEFINISI
Mencuri dapat didefinisikan sebagai;
- kepemilikan terhadap benda yang (menurut penilaian orangtua) bukan milik anak.
- Mencuri juga adalah mengambil benda tanpa izin dari pemiliknya.

Anak usia 2-4 tahun umum melakukan mengambil barang orang lain tanpa minta izin. Perilaku ini meningkat biasanya sampai usia 5-8 tahun lalu kemudian sedikit demi sedikit berkurang seiring dengan berkembangnya hati nurani. Anak membutuhkan waktu untuk mengubah diri dari cara pandang yang berorientasi pada diri sendiri (self centered) dan dorongan untuk segera memuaskan diri menjadi peduli pada orang lain dan mampu mengendalikan dorongan diri.

Dari semua masalah perilaku anak, mencuri adalah yang paling dikuatirkan orangtua. Beberapa orangtua seringkali melihat mencuri sebagai perbuatan kriminal yang sangat mengkhawatirkan. Ada perasaan bahwa orang akan menilai keberhasilan pendidikan orangtua dari perilaku yang ditampilkan anak.

Orangtua dapat mengambil langkah-langkah untuk menangani perilaku mencuri pada anak. Namun, jika kebiasaan mencuri tetap berlangsung sampai sesudah usia 10 tahun, maka dikuatirkan ada gangguan emosi yang serius dan membutuhkan bantuan profesional segera.

PENYEBAB
Anak mencuri karena ragam alasan. Anak balita atau anak yang belum memiliki kematangan (emosi dan sosial) belum memahami bahwa ia perlu menghormati hak kepemilikan barang pribadi orang lain. Biasanya mereka sulit membedakan antara meminjam dan mencuri.

Beberapa penyebab/alasan anak mencuri:
1. Adanya kekurangan atau kehilangan dalam hidup yang dihayati anak,
Sehingga mencuri menjadi simbol pengganti untuk kehilangan/ketiadaan cinta, perhatian, rasa hormat, atau kasih sayang dari orangtua atau orang yang berarti dalam hidup anak.

Umum ditemukan perilaku mencuri pada anak yang terjadi setelah perceraian atau meninggalnya orangtua atau pada anak angkat yang merasa kurang disayangi.

Perlu dicatat juga bahwa anak-anak yang dianggap "nakal" dan berkaitan dengan aneka perilaku antisosial, seringkali datang dari keluarga yang orangtuanya kriminal, kurang peduli atau bahkan mengabaikan/menelantarkan anak.

2. Ada beberapa orangtua yang secara sadar atau tidak, kurang puas terhadap anak, baik dari sifat, perilaku atau sebab-sebab lain. (Bisa muncul pada anak yang -karena berbagai alasan- kelahirannya kurang dikehendaki atau sebab traumatik lainnya).

Hal ini menyebabkan munculnya respon memberontak dan perasaan kemarahan yang ditekan pada anak dan mendorongnya melakukan tindakan mencuri sebagai protes atas sikap orangtua.

3. Anak bisa saja memilih contoh yang kurang baik dari orang di sekitarnya.
Mungkin ia melihat orangtua, teman, saudara, tokoh idola, dll mencuri. Ia kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan orang tersebut. Termasuk dalam kategori ini adalah, anak yang mencuri agar diterima oleh kelompok temannya di sekolah.

4. Beberapa anak mencuri untuk "meningkatkan" harga diri. Mereka mencuri benda untuk membuktikan pada orang lain kekuatan atau kehebatannya. Ada anak yang menikmati ketegangan dan petualangan saat mencuri.

5. Anak-anak dari golongan sosial ekonomi lemah mungkin mencuri karena mereka tidak punya uang untuk membeli barang yang mereka inginkan. Tidak memiliki apa-apa membuatnya sulit menghormati barang milik orang lain.

6. Mencuri bisa merupakan cara anak untuk secara tidak sadar membalas perbuatan orangtua.
Misalnya, jika orangtua melarang anak mengenakan make up, anak mungkin mencuri dari toko dengan membuatnya dirinya sengaja tertangkap agar orangtuanya malu.

7. Mencuri dapat merupakan sinyal dari adanya stres dalam diri anak, seperti depresi, cemburu terhadap adik baru atau marah.
Anak mencoba menimbulkan kembali rasa nyaman dengan mencuri. Alasan lain juga mungkin karena anak memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi dan mengalami kesulitan untuk menahan diri dari godaan.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 52-180717

Senin, 17 Juli 2017

BERBOHONG (Tulisan ke-3) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

PENANGANAN:

MEMBERIKAN HUKUMAN ATAU KONSEKUENSI
- Bantulah anak untuk belajar dari pengalamannya bahwa berbohong kepada orangtua itu tidak akan berhasil dan hanya akan merugikannya. Tunjukkan pada anak bahwa berbuat jujur akan mengurangi hukuman terhadap kesalahannya dan bahwa berbohong untuk menutupi kesalahan hanya akan menambah hukuman. Jadi dalam kasus kebohongan seperti ini, maka hukuman diberikan baik karena berbohong maupun karena kesalahan kesalahan yang dilakukan. Bisa berupa kehilangan dua kebebasan (priviledge) atau bisa juga dengan memberikan hukuman yang dua kali lipat.

- Kita sebagai orangtua perlu menjelaskan berulang value/nilai dari kebenaran bahwa jika mereka jujur mengenai suatu masalah maka kita sebagai orangtua akan membantu mereka dengan segala kemampuan yang kita miliki. Namun untuk bisa membantu kita perlu mengetahui semua fakta terkait yang sebenarnya. Jika mereka tetap berbohong, kita tidak dapat banyak membantu secara optimal. Yakinkan anak bahwa kita berpihak pada mereka dan menginginkan yang terbaik untuk mereka sehingga mereka tidak perlu takut untuk jujur.

AJARKAN NILAI MORAL
- Menghadapi kebohongan anak (apalagi anak kecil), kita tak perlu berespon berlebihan akan tetapi juga tidak mengabaikan. Lebih baik berfokus pada mengajarkan bahwa berbohong dalam berbagai bentuknya adalah tidak bermoral dan merusak diri sendiri serta orang lain.
- Jelaskan bahwa saling menghormati dan mempercayai dibangun dari komunikasi yang jujur dan bahwa kata-kata mereka adalah sangat penting dan bernilai.
- Ingatkan anak tentang kisah, anak yang berteriak 'Ada Serigala' terlalu sering sehingga tidak ada seorang pun lagi yang percaya bahkan ketika ia jujur.
- Perlihatkan pada anak, bahwa kita sebagai orang tua mengharapkan kejujuran dari semua orang dalam keluarga. Kejujuran merupakan 'kode moral' atau hal sangat penting dalam keluarga. Kita dapat mengajarkan ini melalui buku, puisi, kisah-kisah, kitab suci, dll.

UMPAN BALIK YANG REALISTIS
- Ketika seorang anak prasekolah bercerita dengan melebih-lebihkan, hargai keberaniannya bercerita, tunjukkan apresiasi dengan mengatakan "Wah, ceritanya menarik, tapi gimana ceritanya kok baju kamu bisa sobek?"
- Kita perlu membantu anak untuk memisahkan antara kebenaran dan fantasi dengan bertanya, "Ini beneran atau cerita aja?"
- Jika kita tahu cerita itu tidak benar, kita berkata, "Kalau begitu, cerita benernya gimana?"
- Juga ketika kita membacakan suatu cerita, tunjukkan bahwa cerita itu pura-pura dan apakah mungkin terjadi atau tidak di dunia nyata. Hal yang sama juga kita lakukan pada saat mendampingi anak menonton film. Sisihkan waktu khusus untuk mendiskusikan film yang dilihat, sehingga anak menyadari penuh bahwa yang dilihat adalah tidak nyata.

BANTU DAN DORONG ANAK UNTUK MENYADARI (SELF AWARENESS
- Ketika anak berbohong dan menyangkal bahwa mereka terlibat dalam suatu kejadian buruk, bantulah anak untuk mengenali peran mereka dalam situasi bermasalah tersebut dengan meminta mereka berbicara secara kronologis kejadian itu. Katakan "Ayah/bunda ingin tahu semua yang terjadi dari awal sampai akhir."
- Bantu mereka untuk fokus pada peran dirinya (tidak melebar menceritakan atau menyalahkan orang/pihak lain). Gali bagian-bagian yang tidak masuk akal untuk menunjukkan bahwa kita mencurigai bagian belum diurakan dengan akurat.
- Ketika anak menjabarkan atau menguraian situasi tersebut, diharapkan ia akan memperoleh insight dan menyadari di bagian mana ia salah dan memaksakan kebenaran.
- Tunjukkan bahwa kita setuju dengan anak ketika mereka benar dan jujur.

GALI DAN TEMUKAN LATAR BELAKANG YANG MENYEBABKAN ANAK TERDORONG BERBOHONG
- Hal ini agar kita dapat mencegah kemunculan anak berbohong lagi di masa depan.
Alasan umum anak berbohong adalah:
1. Memperoleh pujian, perhatian dan prestige
Solusi: Berikan anak pujian dan apresiasi lebih banyak dalam hal baik yang dilakukannya sehingga anak tidak perlu merasa harus berbohong untuk merasa baik dan memperoleh pujian.

2. Menghindari hukuman, perasaan bersalah dan malu
Solusi: Kurangi hukuman yang terlalu keras dan tidak adil yang mungkin pernah terjadi di masa lalu. Buatlah konsekuensi yang lebih masuk akal terhadap perilaku berbohong dan jadikan kejujuran sebagai hal yang lebih rewarding dan lebih diharapkan.

3. Mencontoh perilaku berbohong (white lies) yang dilakukan orangtua.
Solusi: Berikan contoh yang lebih baik di rumah

4. Takut orangtua tidak senang karena anak gagal menyelesaikan tugas.
Solusi: Turunkan ekspektasi kepada anak. Dalam banyak hal, tuntutan dan harapan terlalu tinggi yang sulit dicapai oleh anak, mendorong anak menjadi tidak jujur.
Misal, mencontek agar dapat nilai baik.

5. Memperoleh keuntungan untuk diri sendiri
Solusi: Bantulah anak untuk mengeksplorasi cara lain untuk memperoleh apa yang diinginkannya.

6. Untuk merendahkan dan mengeksploitasi orang lain
Solusi: Diskusikan mengenai keadilan dan sportivitas

7. Setia kawan dan melindungi orang lain
Solusi: Memperoleh fakta obyektif dari berbagai sumber

8. Tindakan karena kebencian
Solusi: Konseling profesional bagi anak dan keluarga

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 51-170717
BERBOHONG (Tulisan ke-2) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

PENCEGAHAN
1. Tak perlu menuntut anak untuk mengakui perbuatan salahnya.
(*Kita sebagai orangtua berperan sebagai pendidik bukan berperan sebagai polisi atau jaksa).
Mengapa kita tak perlu melakukan hal tersebut? Karena orang cenderung akan tergoda berbohong saat dituduh melakukan kesalahan sekalipun hal itu benar. Hal ini karena dorongan alamiah setiap manusia untuk melindungi harga dirinya.
Oleh karena itu daripada memaksa anak mengaku, lebih baik kita mengumpulkan semua fakta dari berbagai sumber dan mendasarkan keputusan kita pada bukti yang ada. Jika kita ragu apakah anak bersalah atau tidak, lebih baik tidak memaksakan diri dan memaksakan anak yang berakibat mereka malah akan terdorong untuk benar-benar berbohong.

Misalnya; Jika kita tahu bahwa anak kita memperoleh nilai rendah di sekolah, hindari mengatakan, "Gimana ujiannya? Lulus nggak?" Lebih baik mengatakan, "Tadi pak/bu guru bilang kalau kamu nggak lulus. Ayah bunda sangat kuatir. Kamu pingin ayah bunda bantu bagaimana?" Hal ini juga berlaku untuk menghindari bertanya ranking, terutama bila kita tahu bahwa anak memang secara akademik kurang perform.

2. Tegakkan standar kejujuran yang sama.
Jika kita sebagai orangtua merasa bebas membengkokkan aturan dan mengizinkan "sedikit" berbohong dengan dalih "white lies" maka anak juga tak perlu harus selalu bicara benar.

3. Diskusikan hal-hal terkait dengan moral dalam keluarga.
Diskusikan mengapa tidak baik untuk berbohong, mencuri atau mencontek, apa akibat/konsekuensi logis dari perbuatan tidak jujur tersebut (hilangnya trust). Buatlah diskusinya menjadi menarik dan informatif. Lakukan dengan santai. Menggunakan cerita dari buku, film dll.

4. Hindari memberikan hukuman yang terlalu berat atau terlalu sering
Kondisi tersebut cenderung mendorong anak berbohong sebagai bentuk perlindungan diri.
Berbohong untuk melindungi harga diri juga terjadi jika orangtua terus-menerus mengkritik kesulitan dan kegagalan anak.
Strategi yang lebih baik adalah dengan berfokus pada kemampuan/kelebihan anak dan memuji serta mengapresiasi usahanya. Cara ini akan menumbuhkan trust anak bahwa orangtua adalah figur pelindung dan bukan figur pengancam, sehingga anak akan merasa cukup aman untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.

5. Berlatih untuk jujur pada diri sendiri.
Cobalah untuk tidak menghindari situasi yang tidak menyenangkan misal,
- mengatakan pada anak bahwa disuntik itu tidak sakit, atau
- berpura-pura bisa padahal sebetulnya tidak bisa,
- meminta permakluman saat berbohong atau
- melanggar janji.
Perilaku ini semua akan dicontoh oleh anak.

Cobalah agar kita lebih menyadari berbagai kecenderungan diri sendiri saat;
1. Melebih-lebihkan/lebay ketika bercerita
2. Menghindari janji pertemuan yang tidak diinginkan
3. Menyangkal melakukan kesalahan
4. Menyuruh anak/orang mengatakan "orangtua tidak ada" pada penelpon karena orangtua enggan menerima telpon.
5. Mengatakan pada anak/orang "sedang otw" padahal sebetulnya masih di rumah dan anak menyaksikan

Kebohongan yang kita lakukan itu tetap akan ditiru oleh anak kita. Sekalipun bagi kita itu kebohongan kecil, namun anak tidak melihatnya demikian. Bagi anak, bukan besar-kecilnya kebohongan yang dilihat, melain bahwa ternyata kita boleh berbohong dalam situasi seperti yang dicontohkan orangtuanya.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 50-170717
BERBOHONG (Tulisan ke-1) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

DEFINISI
Berbohong didefinisikan sebagai menyatakan hal yang tidak benar/tidak sesuai fakta dengan sengaja atau dengan tujuan memperoleh keuntungan atau untuk menghindari ketidaknyamanan.

Walaupun semua anak pernah berbohong dalam hidupnya, orangtua cenderung memandang kejujuran sebagai karakter terpenting dan mendasar dibanding karakter-karakter lain. Sehingga akan sangat marah serta terganggu ketika menemukan anaknya berbohong.

Selama masa prasekolah (4-6 tahun), anak kadang kesulitan membedakan antara fantasi dan kenyataan, akibatnya mereka rentan untuk berbicara berlebihan dan penuh khayalan.

Sebaliknya pada anak masa sekolah (6-12 tahun), anak cenderung melakukan kebohongan dengan sengaja. Biasanya hal itu dilakukan untuk menghindari hukuman atau memperoleh keuntungan.

Anak memiliki pemahaman moral dan konsep kejujuran yang berbeda satu sama lain. Piaget membedakan 3 tahap pemahaman anak mengenai berbohong.
Tahap 1, anak tahu bahwa berbohong itu salah karena akan mengakibatkan ia dihukum orangtua. Jika tidak ada hukuman, maka bohong boleh dilakukan.

Tahap 2, berbohong itu salah, ada atau tidak ada hukuman

Tahap 3, berbohong itu salah karena merusak kehormatan, kepercayaan (trust) dan kasih sayang.

Untuk mengetahui sampai mana level pemahaman anak mengenai "berbohong", maka ajukanlah pertanyaan seperti,
- "Mengapa berbohong itu salah atau tidak baik?"
- "Bolehkah kita berbohong kalau tidak ketahuan dan kalau tidak memperoleh hukuman?"

Umumnya anak usia 6 tahun berada pada tahap 2. Sementara anak usia 12 tahun sepertiganya berada pada tahap 3.

Berbohong pada anak memiliki beberapa bentuk, meliputi;
1. Simple reversals of truth (menyatakan hal yang berkebalikan): Anak mengatakan sudah mengerjakan PR padahal belum.

2. Exaggeration (melebih-lebihkan): Anak menceritakan kekuatan ayahnya dengan berlebihan ketika bicara di depan teman-temannya. "Ayahku dong, bisa ngangkat lemari sendiri ..."

3. Fabrications (pemalsuan): Anak bercerita pada temannya bertamasya ke luar negeri, padahal tidak pernah terjadi.

4. Confabulations: Anak menceritakan hal yang sebagian benar dan sebagian salah.

5. Wrong accusations (salah tuduh): Anak menyalahkan saudaranya menumpahkan susu, padahal sebetulnya dia yang melakukan.

PENYEBAB
Berikut adalah alasan umum yang mendorong anak berbohong:
1. Self defense (mempertahankan diri):
Untuk menghindarkan diri dari konsekuensi tidak nyaman dari perilakunya, baik berupa ketidaksetujuan maupun hukuman orangtua. Misal, mengatakan sudah sholat agar orangtua tidak mencereweti dan menyuruh sholat terus-menerus.

2. Denial (penyangkalan):
Sebagai cara untuk menghindari ingatan, perasaan atau fantasi yang menyakitkan. Misal, mengatakan senang datang ke suatu acara padahal di acara tersebut dia dibully temannya.

3. Modelling:
Meniru perilaku orang dewasa. Misal, orangtua menyuruh anak mengatakan pada orang di telpon bahwa orangtua tidak di rumah, padahal ada di rumah hanya karena orangtua tidak mau menerima telpon dari orang tsb.

4. Ego-boasting:
Membual untuk memperoleh perhatian dan pujian.

5. Reality testing:
Ini adalah salah satu kemampuan individu yang berkembang pada manusia untuk memahami dunia internal (pemahaman, perasaan) dengan dunia eksternalnya. Anak yang belum mengembangkan kemampuan reality testing dengan baik, misalnya yang melakukan exaggeration kerap dipandang sebagai berbohong.

6. Loyalitas:
Upaya melindungi anak lain. Misalnya, mengatakan bahwa kakaknya ada di rumah dengan dia, padahal sebetulnya pergi main, agar kakaknya terlindungi dari dimarahi ayah.

7. Hostility:
Kebencian pada seseorang atau sekelompok orang. Misal, mengatakan hal yang tidak benar/memfitnah seseorang/sekelompok orang agar orang tsb memperoleh hukuman atau dibenci oleh orang lain.

8. Gain:
Bertujuan untuk memperoleh sesuatu dari seseorang. Misal, mengatakan belum makan agar diberi makan.

9. Self image:
Anak berulangkali dikatakan sebagai pembohong sehingga ia mempercayai dan meneguhkannya. Misal, orangtua atau orang dewasa yang sering mengatakan "Dasar tukang bohong ..." atau "Kamu pasti bohong sama bunda ..." pada anak.

10. Distrust:
Orangtua tidak percaya pada anak ketika ia menceritakan hal yang benar, sehingga anak sekalian saja mengatakan hal yang tidak benar.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 49-170717

Kamis, 13 Juli 2017

ILMU-ILMU PARENTING - yws

Apakah cukup kita memiliki cinta untuk bisa mendidik anak dengan baik? Sebagian mungkin menjawab cukup, lainnya bilang tidak. Nah, saya tidak ingin masuk dalam perdebatan tak berujung seperti itu. Kita eksplorasi bersama saja, pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang kita butuhkan sebagai orangtua untuk dapat mendidik anak-anak kita sebaik yang kita bisa lakukan.
*Nomor urut tidak menunjukkan prioritas.

1. Pola Pengasuhan
Dalam banyak hal, pola pengasuhan orangtua pada anak dipengaruhi oleh harapan, tujuan, value, beliefs, pengalaman, pengetahuan, budaya, pendidikan, karakteristik keluarga, keunikan anak, dan juga kepribadian orangtua.

Ada 4 besar jenis pola asuh yang kerap dibahas. Biasanya mengacu pada pola asuh yang diulas Diana Baumrind yaitu:
- Otoriter/Memaksa
- Permisif/Membebaskan
- Otoritatif/Demokratis
- Laissez Faire/Pengabaian

Dalam prakteknya 4 jenis pola asuh ini tidak pernah sepenuhnya murni 100%. Lebih sering terjadi pencampuran dalam kadar yang berbeda-beda. Namun ragam penelitian menunjukkan bahwa pola asuh Otoritatif/Demokratis dipandang yang paling berpeluang mengembangkan anak secara optimal.

2. Karakteristik Perkembangan Anak sampai Remaja.
Bila orangtua memahami karakteristik anak sejak dalam kandungan hingga remaja, maka ia berpeluang untuk dapat melakukan pengembangan anak dengan lebih efektif.

Setiap rentang usia tertentu ada tantangan dan kerentanannya. Pemahaman mengenai hal ini akan membuat orangtua lebih aware dan lebih siap menghadapinya dan mengurangi kecemasan dan kebingungan yang berlebihan.

Misalnya, adalah umum bayi bergantung penuh pada pengasuhnya, balita banyak bergerak, anak usia sekolah banyak bertanya dan remaja banyak membantah. Bila kita memahaminya, maka kita tidak mudah emosi, tidak memberikan tuntutan terlalu tinggi di atas kemampuan anak dan bisa mencari cara yang paling sesuai untuk menghadapinya.

Dalam bahasan mengenai karakteristik Perkembangan juga mencakup mengenai 3 aspek perkembangan yang perlu distimulasi orangtua, yaitu;
(1) Aspek Fisik, di dalamnya mencakup juga aspek motorik
(2) Aspek Kognitif, termasuk kreativitas, bahasa (dan bicara), moral dan spiritual
(3) Aspek Sosial-Emosi, termasuk bermain, peran sesuai jenis kelamin

Jadi, tak cukup anak hanya diberi makan atau disekolahkan, namun ada aspek-aspek lain yang juga perlu dikembangkan secara seimbang.

3. Strategi dan Komunikasi
Tidak seperti ilmu sains yang memiliki rumus jelas, maka dalam ilmu sosial, termasuk psikologi, rumus dan strategi yang kita gunakan menjadi lebih "cair". Cara yang berhasil untuk satu anak belum tentu efektif bagi anak lain. Hal ini karena ada relevan faktor yang lebih banyak yang mempengaruhi keefektifan suatu pendekatan.

Bagaimanapun tetap ada rumus umum yang bisa dipelajari, dan prakteknya kita perlu siap untuk mencoba ragam cara.

Pendekatan yang dipandang memiliki keberhasilan cukup tinggi adalah menggunakan pendekatan empati. Kita berusaha memahami perasaan dan cara berpikir anak dengan memposisikan diri pada posisi anak. Kemampuan berempati "mempersyaratkan" kepekaan, keluwesan berpikir dan kesediaan untuk memahami anak.

4. Pembentukan Perilaku dan Disiplin
Pemahaman tentang pembentukan perilaku, mulai dari tahapan hingga strategi pencapaian tujuan ini memang agak bersifat teknis. Membutuhkan kesediaan orangtua untuk merenung dan berpikir lebih dalam.

Saya ambil contoh begini, jika orangtua mengharapkan anak untuk memiliki sifat jujur, maka paling tidak, orangtua perlu mendefinisikan mengenai konsep "jujur" itu sendiri, termasuk indikator perilaku apa yang dapat dikatakan "jujur". Kemudian karakter jujur itu di"break down" dibuat tahapan, cara, waktu untuk bisa mencapainya.

Para orangtua yang memiliki basic pengetahuan mengenai ilmu pendidikan biasanya akan lebih mudah untuk memahami, karena sudah terbiasa membuat rencana pengajaran. Pengetahuan ini dapat diterapkan pula di rumah dengan cara yang lebih luwes.

5. Masalah Umum dan Khusus
- Ada masalah yang timbul karena konsekuensi perkembangan.
- Ada masalah yang timbul karena dinamika interaksi dan lingkungan anak.
- Ada pula masalah yang timbul karena perbedaan terberi/given.

Orangtua biasanya mengembangkan kemampuan handling problem melalui kasus spesifik yang dihadapinya. Tentunya ini baik. Bila orangtua juga mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah umum keseharian, ini menjadi luar biasa.

6. Menjadi Model
Pendidikan, sederhananya adalah mencontoh atau memodel. Dan memodel yang paling masuk akal adalah dengan melihat langsung orang-orang terdekat. Oleh karena itu orangtua, pengasuh dan guru adalah orang-orang yang memiliki peluang paling besar dicontoh anak.

Hal-hal apa saja yang biasanya dicontoh dengan sangat cepat dan mudah oleh anak?
- Tampilan fisik. Gesture, gerakan, cara bicara, ekspresi, cara berpakaian, dll
- Pengelolaan emosi. Reaktif, sabar, pencemas, periang, semangat, pemarah, murung, dll
- Problem solving. Terencana, tergesa-gesa, berdasar data, asal bicara, dll
- Habit atau kebiasaan
- Value, cara pandang, filosofi hidup, beliefs, dll

Pengasuhan dan pendidikan anak di rumah sejatinya bukan hanya satu arah (orangtua kepada anak), namun timbal balik (Orangtua-anak dan anak-orangtua). Sehingga konsekuensinya adalah, orangtua perlu mengembangkan diri terus-menerus.

Tentunya masih banyak ilmu-ilmu lain yang perlu dimiliki orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Yang saya urai di atas, belum seluruhnya.

Wallahu'alam

Yeti Widiati - 48-130717

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...