Rabu, 22 Februari 2017

PENGARUH “STILL FACE” IBU PADA EMOSI DAN PERILAKU ANAK – yws

Apa yang kita lakukan pada saat bayi kita menatap wajah kita?
- Tersenyum
- Membuat wajah-wajah lucu
- Berceloteh mengajaknya bicara
- Menggerakkan kepala, tangan atau tubuh
- Tak berekspresi karena sedang memikirkan banyak hal
- Tak memperhatikan karena sedang sibuk bergadget atau mengerjakan pekerjaan rumah
- Kesal dan marah karena merasa kerepotan
- Dll


“Still Face” atau terjemahan harafiahnya adalah “ekspresi muka datar” mengacu pada ekspresi wajah tanpa emosi. Still Face Experiment adalah percobaan yang dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh ekspresi ibu/pengasuh kepada emosi dan perilaku bayi. Saya sungguh terpengaruh dengan percobaan ini dan semakin yakin bahwa seorang ibu/pengasuh perlu memberikan respon yang koheren (sesuai) dengan ekspresi anak.

Ibu yang peka, hangat dan memiliki kelekatan/attachment dengan anaknya, merupakan basis untuk pembentukan emosi yang sehat bagi anak. Sebaliknya ibu/pengasuh yang kurang peka, kurang ekspresif, kurang responsif atau bahkan tidak jarang, menampilkan ekspresi tidak nyaman seperti tidak tertarik, tidak peduli, memalingkan muka (karena sibuk dengan pekerjaan atau karena gadget), kesal, cemberut, marah, membuat anak frustrasi, rewel, tidak aman, tidak nyaman dan bila itu berlangsung terus-menerus, maka anak berpeluang mengalami gangguan emosi dan perilaku di kemudian hari.

Video di bawah ini cukup menunjukkan betapa pentingnya kita sebagai pengasuh memberikan respon positif pada anak. Respon positif ini adalah kebutuhan anak untuk mengembangkan kemampuan pengelolaan emosi yang sehat dan kendali perilaku yang baik.

Tonton videonya di sini https://www.youtube.com/watch?v=apzXGEbZht0

*Bayi = usia 0-12 bulan
*Simpen gadget saat bersama bayi

Yeti Widiati 22-220217

Kamis, 16 Februari 2017

ENERGI MASKULIN DAN FEMININ UNTUK ANAK-ANAK KITA - yws

Idealnya, anak memperoleh energi maskulin dan energi feminin secara proporsional dalam hidup mereka. Energi maskulin biasanya berasal dari ayah kandungnya, dan energi feminin biasanya berasal dari ibu kandungnya. Catat .... BIASANYA ....!

Ternyata dalam hidup tidak semua anak berada dalam situasi ideal. Ada yang tidak memiliki ayah dan/atau ibu kandung. Ada pula yang berayah dan beribu kandung, namun ayah ibu ini "tidak hadir" dalam hidupnya atau fungsi ayah ibunya tidak maksimal.

Secara tradisional, umumnya ayah dengan energi maskulinnya menegakkan aturan/disiplin, membantu anak dalam pemecahan masalah secara rasional, mengajarkan agama, dan menetapkan pengaturan ekonomi secara umum. Sementara ibu dengan energi femininnya memberikan pendekatan afektif (kasih sayang), pemeliharaan (kesehatan, kebersihan, kerapian) dan juga hal-hal detail dan praktis lainnya.

Boleh jadi ada saja ayah atau ibu yang memiliki kedua energi tersebut sekaligus dalam satu sosok. Tapi mereka ini sangat langka. Biasanya kita temukan para ayah ibu luar biasa ini pada;
- Orangtua tunggal, entah karena ditinggal meninggal atau perpisahan karena perceraian.

- Orangtua yang lengkap namun tak bisa hadir menjalankan fungsinya, misalnya pada kasus LDR (Long Distance Relationship), orangtua yang salah satunya sangat sibuk bekerja sehingga minimal bertemu dengan anak.

- Orangtua yang lengkap, ada namun tak bisa menjalankan fungsinya secara optimal, entah karena sakit parah atau karena karakteristik pribadi tertentu, sehingga salah satu mengambil peran pasangannya.

Kembali lagi poin-nya adalah pada kebutuhan anak akan energi maskulin dan feminin. Diana Baranovich, seorang Psikolog dan Play Therapist dalam salah satu training yang saya ikuti, mengatakan bahwa anak membutuhkan kedua energi tersebut untuk keseimbangan dirinya dan juga untuk melakukan proses identifikasi. Untuk satu tujuan yang sama, misalnya meminta anak makan, ayah dan ibu biasanya akan melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda sesuai kekhasannya masing-masing. Dan ini akan memperkaya skema (pola perilaku) anak.

Bila anak memiliki contoh yang kaya dalam hidupnya, maka ia memiliki pilihan lebih banyak untuk berperilaku dibandingkan bila ia hanya memiliki sedikit pilihan dalam bertindak. Intinya, anak lebih fleksibel dan memiliki daya lentur (resiliensi) yang lebih baik dalam menghadapi tekanan. Memiliki kepekaan (energi feminin) dan juga bisa berpikir rasional untuk memecahkan masalah (energi maskulin).

Dalam kondisi keluarga di mana energi maskulin dan feminin tidak diperoleh secara seimbang, maka peluang masalah seringkali muncul pada area di mana salah satu energi tidak memadai.

Pada keluarga yang kekurangan energi maskulin, maka masalah yang kerap dikeluhkan adalah, anak-anak yang tidak menurut, tidak disiplin, pencemas karena kesulitan memecahkan masalah. Para ibunya mengeluh bahwa mereka tidak didengar, tidak dihargai dan tidak dipatuhi. Sementara anak-anak yang kekurangan energi feminin, berpeluang menjadi kaku dan kurang ekspresif dalam menampilkan ekspresi emosinya.

Apakah berarti anak-anak yatim/piatu, anak-anak panti asuhan, anak-anak dari singlet parent, anak-anak yang orangtuanya LDR, anak-anak yang orangtuanya salah satu atau keduanya “tidak hadir” atau tidak menjalankan peran dan fungsinya dalam keluarga dan anak-anak angkat dari same sex couple, pasti memiliki masalah karena ketidak-seimbangan energi feminin dan maskulin? Ya tidak begitu berpikirnya. Menariknya adalah, ketika Allah memberikan tantangan dan kesulitan, selalu diiringi dengan resources untuk mengatasi tantangan dan kesulitan tersebut.

Ketika kita menyadari bahwa ada hal-hal yang kurang ideal dalam hidup kita, tetap kita perlu berpikir, bagaimana tetap menyeimbangkan agar sedapat mungkin kekurang-idealan itu tidak meninggalkan masalah dan bahkan justru menjadi kekuatan. Dalam konteks keseimbangan energi maskulin dan feminin ini, maka seringkali saya menyarankan agar orangtua mencari penyeimbang tersebut dari figur-figur yang ada di sekitar anak. Karena saya menyadari tidak mudah dan tidak setiap orang sanggup berperan ganda, sebagai ibu, sekaligus sebagai ayah, sementara kebutuhan anak tetap perlu menjadi fokus kita.

Bila kehadiran ayah dengan energi maskulinnya tak dirasakan anak, maka energi itu bisa diperoleh dari kakeknya, pamannya, ayah tiri, ayah angkat, guru laki-laki, pengasuh laki-laki (di panti asuhan) atau figur lainnya yang dapat mengemban sebanyak mungkin fungsi ayah.

Sebaliknya bila kehadiran ibu dengan energi femininnya, tak dirasakan anak, maka energi itu bisa diperoleh dari nenek, tante, ibu tiri, ibu angkat, guru perempuan, baby sitter, atau pengasuh perempuan di panti asuhan.

Bagaimanapun tetap membutuhkan strategi yang tepat agar penyelesaian masalah di satu sisi tidak menimbulkan masalah di sisi yang lain. Misalnya, ketika ayah atau ibu memutuskan untuk menghadirkan ayah/ibu baru sebagai pengganti, maka pertimbangannya menjadi tidak sederhana. Bagaimana pun berfokus pada kepentingan anak, menjadi hal yang crucial dan perlu dipertimbangkan.

Teladan kita, Rasulullah bisa menjadi contoh yang baik terkait ini. Ia lahir tak mengenal ayahnya, dan bertahun-tahun dibesarkan bukan oleh ibu kandungnya sendiri. Namun ia (menurut saya) memperoleh energi maskulin dan feminin itu secara seimbang dari orang-orang luar biasa sekitarnya, sehingga ia dapat berkembang menjadi seorang yang istimewa.

*"Berbeda" itu tak perlu disesali. Cari cara agar perbedaan itu menjadi "Kekuatan".

Yeti Widiati 21-160217

Senin, 13 Februari 2017

DOUBLE STANDARD DALAM PARENTING - yws

Orangtua berharap anak bisa mandiri, tapi mereka mengambil alih penyelesaian masalah anak.

Orangtua berharap anak mau mendengar dan patuh, tapi mereka lebih banyak bicara dan tak cukup sediakan waktu untuk mendengar celoteh anak.


Orangtua berharap anak kritis, tapi mereka jengkel ketika anak membantah dan mendebat.

Orangtua berharap anak bisa mengendalikan emosi, tapi mereka kesal ketika anak marah, menangis dan tantrum.

Orangtua berharap anak kreatif dan penuh ide, tapi mereka tak tahan anak nggratak dan rumah berantakan.

Orangtua berharap anak penuh rasa ingin tahu dan bersemangat belajar, tapi mereka pening saat anak bertanya terus ... terus ... dan terus ...

Orangtua berharap anak membaca buku dan tak bermain games atau gadget, tapi mereka menghabiskan waktu dengan bergadget ria.

Orangtua berharap anak berkata sopan dan bertindak santun, tapi mereka berucap kasar saat tak sependapat dengan orang lain.

Orangtua berharap anak tak dibully dan membully orang lain, tapi mereka melabel anak dan mencela orang lain dalam percakapan di dunia nyata maupun maya dengan kata-kata yang mereka sendiri tak mau anak mengucapkannya.

Orangtua berharap anak tenang dan tidak tantrum, tapi mereka menghardik dan memukul anak saat mereka gelisah.

Dst. ...

Duh ... Saya perlu bertaubat ... karena saya juga orangtua yang kadang menerapkan "double standard"

Yeti Widiati 20-130217

Kamis, 02 Februari 2017

EGO STATE DUNIA MAYA DAN DUNIA NYATA - yws

Medsos itu sebetulnya egaliter.

Kalau tidak benar-benar kenal, memberikan data tertulis atau visual, maka kita tidak tahu seorang yang menulis itu usianya berapa, laki-laki atau perempuan, pendidikannya apa, latar belakang sosial ekonominya bagaimana, dsb. Semua sama dan punya hak sama pula untuk menulis pikiran dan pendapatnya.


Jebakannya adalah, orang bisa terpeleset pada ketiadaan adab dan sopan santun. Terlepasnya kehati-hatian sehingga membuka topeng yang selama ini dijaga di dunia nyata. Atau sebaliknya jaim tiada tara karena ingin memperoleh kesan tertentu yang boleh jadi bertentangan dengan kenyataan.

Jangan-jangan di era digital sekarang ini ada muncul ego state baru, ego state dunia maya dan ego state dunia nyata. Pertanda baik atau pertanda buruk? Ah biasa saja. Dalam konteks Ego State, maka hidup berdampingan dengan ragam ego state dan bergantian bertugas secara harmonis, itu yang lebih penting.

* Ego state adalah mini personality yang muncul karena suatu kondisi atau keadaan tertentu.
* Konsep ego state dikembangkan oleh Paul Federn, seorang psikoanalis. Kemudian dikembangkan menjadi salah satu pendekatan psikoterapi oleh John Watkins dan Edoardo Weis.

Yeti Widiati 18-020217

Rabu, 01 Februari 2017

CARA PANJANG DAN CARA PENDEK - yws
(Konteks Parenting)

Apa yang anda lakukan untuk menghindari terjadinya banjir?

Ada dua macam ketegori jawaban terhadap pertanyaan ini. Cara panjang dan cara pendek.

Cara panjang:
- Tidak menggunduli hutan
- Penghijauan kembali
- Membuat sumur biopori
- Membuang sampah pada tempatnya (bukan di sungai)
- Membuat saluran pembuangan air yang baik
- Tidak "mengurug" danau, kolam alami, sungai, dll
- Tidak menghalangi jalan air untuk mengalir ke laut
- Membuat reservoar/penampungan air hujan
Dll.

Cara pendek:
- Buat tanggul di depan pintu
- Tinggikan jalan dan lantai rumah
- Bangun pagar tembok/pagar tinggi pembatas agar air tidak masuk ke rumah/halaman rumah.
- Buat rumah dua lantai, kalau banjir tinggal naik ke atas.

Cara panjang, prosesnya panjang dan menyeluruh. Tapi berapa banyak yang mau melakukan? Sedikit, karena melelahkan dan tidak terasa langsung efeknya bahkan banyak orang tidak menyadari adanya hubungan sebab akibat antara tindakan di atas dengan terjadinya banjir.

Karena tidak terasa hubungan/akibatnya ini, maka orang kerap merasa tidak terlibat dan tak bertanggung jawab. Berbeda kalau misalnya, segera setelah setiap membuang sampah sembarangan, orang langsung kepeleset. Maka sesuai prinsip conditioning, perilaku yang memperoleh punsihment atau negative reinforcement akan berkurang dan bahkan menghilang.

Cara cepat, ringkas, instan dan mudah, orang lebih suka pilihan short cut. Tinggikan saja lantai rumahnya misalnya. Apakah menghilangkan banjirnya? Tidak sama sekali. Banjir tetap ada, hanya saja ini hanya bertahan dalam jangka pendek.

Cara panjang dan pendek keduanya bisa benar. Kadang keduanya perlu dilakukan. Cara panjang berguna untuk melakukan tindakan preventif dan memiliki dampak jangka panjang. Cara pendek berguna untuk kedaruratan dan hanya memiliki dampak jangka pendek.

Menariknya adalah, ketika melakukan cara panjang, sangat mungkin kita tidak perlu melakukan cara pendek. Sementara bila kita melakukan cara pendek, maka kita tetap perlu melakukan cara panjang. Mengapa? Ya, karena cara pendek bersifat darurat dan hanya berdampak singkat.

Dalam konteks parenting, kita kerap terjebak untuk hanya berfokus pada cara-cara pendek daripada melakukan cara panjang.

Cara panjang dalam parenting, misalnya;
- Membentuk attachment (kedekatan)
- Mengembangkan komunikasi yang mengakrabkan
- Memberikan kesempatan pada anak untuk salah dan memperbaikinnya
- Memberi anak kepercayaan untuk melakukan suatu tugas
- Memberi anak kesempatan bertanggung jawab
- Melakukan aturan dengan konsisten dan konsekuen
- We Time bersama anak
- Menunggu dan memberi kesempatan anak untuk meredakan emosi sesuai kecepatannya

Cara pendek dalam parenting, antara lain;
- Memukul saat anak salah/tantrum
- Membantu anak padahal sudah bisa melakukan
- Lebih banyak komunikasi satu arah dan direct daripada komunikasi yang membuat anak berpikir
- Memerintah dan mengambilkan keputusan untuk anak
- Melarang dan menghukum tanpa bertanya
- Menyogok anak dengan "es krim" saat menangis, marah atau takut

Dll.

Jadi apakah kita memilih untuk melakukan cara pendek namun terus berulang karena masalah tak tuntas?
Atau melakukan cara panjang untuk keuntungan jangka panjang?

Yeti Widiati 17-010217

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...