Kamis, 16 Februari 2017

ENERGI MASKULIN DAN FEMININ UNTUK ANAK-ANAK KITA - yws

Idealnya, anak memperoleh energi maskulin dan energi feminin secara proporsional dalam hidup mereka. Energi maskulin biasanya berasal dari ayah kandungnya, dan energi feminin biasanya berasal dari ibu kandungnya. Catat .... BIASANYA ....!

Ternyata dalam hidup tidak semua anak berada dalam situasi ideal. Ada yang tidak memiliki ayah dan/atau ibu kandung. Ada pula yang berayah dan beribu kandung, namun ayah ibu ini "tidak hadir" dalam hidupnya atau fungsi ayah ibunya tidak maksimal.

Secara tradisional, umumnya ayah dengan energi maskulinnya menegakkan aturan/disiplin, membantu anak dalam pemecahan masalah secara rasional, mengajarkan agama, dan menetapkan pengaturan ekonomi secara umum. Sementara ibu dengan energi femininnya memberikan pendekatan afektif (kasih sayang), pemeliharaan (kesehatan, kebersihan, kerapian) dan juga hal-hal detail dan praktis lainnya.

Boleh jadi ada saja ayah atau ibu yang memiliki kedua energi tersebut sekaligus dalam satu sosok. Tapi mereka ini sangat langka. Biasanya kita temukan para ayah ibu luar biasa ini pada;
- Orangtua tunggal, entah karena ditinggal meninggal atau perpisahan karena perceraian.

- Orangtua yang lengkap namun tak bisa hadir menjalankan fungsinya, misalnya pada kasus LDR (Long Distance Relationship), orangtua yang salah satunya sangat sibuk bekerja sehingga minimal bertemu dengan anak.

- Orangtua yang lengkap, ada namun tak bisa menjalankan fungsinya secara optimal, entah karena sakit parah atau karena karakteristik pribadi tertentu, sehingga salah satu mengambil peran pasangannya.

Kembali lagi poin-nya adalah pada kebutuhan anak akan energi maskulin dan feminin. Diana Baranovich, seorang Psikolog dan Play Therapist dalam salah satu training yang saya ikuti, mengatakan bahwa anak membutuhkan kedua energi tersebut untuk keseimbangan dirinya dan juga untuk melakukan proses identifikasi. Untuk satu tujuan yang sama, misalnya meminta anak makan, ayah dan ibu biasanya akan melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda sesuai kekhasannya masing-masing. Dan ini akan memperkaya skema (pola perilaku) anak.

Bila anak memiliki contoh yang kaya dalam hidupnya, maka ia memiliki pilihan lebih banyak untuk berperilaku dibandingkan bila ia hanya memiliki sedikit pilihan dalam bertindak. Intinya, anak lebih fleksibel dan memiliki daya lentur (resiliensi) yang lebih baik dalam menghadapi tekanan. Memiliki kepekaan (energi feminin) dan juga bisa berpikir rasional untuk memecahkan masalah (energi maskulin).

Dalam kondisi keluarga di mana energi maskulin dan feminin tidak diperoleh secara seimbang, maka peluang masalah seringkali muncul pada area di mana salah satu energi tidak memadai.

Pada keluarga yang kekurangan energi maskulin, maka masalah yang kerap dikeluhkan adalah, anak-anak yang tidak menurut, tidak disiplin, pencemas karena kesulitan memecahkan masalah. Para ibunya mengeluh bahwa mereka tidak didengar, tidak dihargai dan tidak dipatuhi. Sementara anak-anak yang kekurangan energi feminin, berpeluang menjadi kaku dan kurang ekspresif dalam menampilkan ekspresi emosinya.

Apakah berarti anak-anak yatim/piatu, anak-anak panti asuhan, anak-anak dari singlet parent, anak-anak yang orangtuanya LDR, anak-anak yang orangtuanya salah satu atau keduanya “tidak hadir” atau tidak menjalankan peran dan fungsinya dalam keluarga dan anak-anak angkat dari same sex couple, pasti memiliki masalah karena ketidak-seimbangan energi feminin dan maskulin? Ya tidak begitu berpikirnya. Menariknya adalah, ketika Allah memberikan tantangan dan kesulitan, selalu diiringi dengan resources untuk mengatasi tantangan dan kesulitan tersebut.

Ketika kita menyadari bahwa ada hal-hal yang kurang ideal dalam hidup kita, tetap kita perlu berpikir, bagaimana tetap menyeimbangkan agar sedapat mungkin kekurang-idealan itu tidak meninggalkan masalah dan bahkan justru menjadi kekuatan. Dalam konteks keseimbangan energi maskulin dan feminin ini, maka seringkali saya menyarankan agar orangtua mencari penyeimbang tersebut dari figur-figur yang ada di sekitar anak. Karena saya menyadari tidak mudah dan tidak setiap orang sanggup berperan ganda, sebagai ibu, sekaligus sebagai ayah, sementara kebutuhan anak tetap perlu menjadi fokus kita.

Bila kehadiran ayah dengan energi maskulinnya tak dirasakan anak, maka energi itu bisa diperoleh dari kakeknya, pamannya, ayah tiri, ayah angkat, guru laki-laki, pengasuh laki-laki (di panti asuhan) atau figur lainnya yang dapat mengemban sebanyak mungkin fungsi ayah.

Sebaliknya bila kehadiran ibu dengan energi femininnya, tak dirasakan anak, maka energi itu bisa diperoleh dari nenek, tante, ibu tiri, ibu angkat, guru perempuan, baby sitter, atau pengasuh perempuan di panti asuhan.

Bagaimanapun tetap membutuhkan strategi yang tepat agar penyelesaian masalah di satu sisi tidak menimbulkan masalah di sisi yang lain. Misalnya, ketika ayah atau ibu memutuskan untuk menghadirkan ayah/ibu baru sebagai pengganti, maka pertimbangannya menjadi tidak sederhana. Bagaimana pun berfokus pada kepentingan anak, menjadi hal yang crucial dan perlu dipertimbangkan.

Teladan kita, Rasulullah bisa menjadi contoh yang baik terkait ini. Ia lahir tak mengenal ayahnya, dan bertahun-tahun dibesarkan bukan oleh ibu kandungnya sendiri. Namun ia (menurut saya) memperoleh energi maskulin dan feminin itu secara seimbang dari orang-orang luar biasa sekitarnya, sehingga ia dapat berkembang menjadi seorang yang istimewa.

*"Berbeda" itu tak perlu disesali. Cari cara agar perbedaan itu menjadi "Kekuatan".

Yeti Widiati 21-160217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...