Sabtu, 24 Juni 2017

Mengajarkan Pendidikan Seks pada Anak dan Remaja

Saya menemukan bahwa banyak orang tua atau pun guru merasa canggung untuk berbicara mengenai hubungan laki-laki dan perempuan kepada anak-anak mereka. Padahal hubungan laki-laki dan perempuan adalah hal yang wajar dan alamiah. Manusia tidak akan bisa tumbuh dan berkembang bila Allah tidak menjadikan perasaan cenderung kepada lawan jenis. 

Seperti juga perkembangan pada aspek-aspek lain yang berkembang dari sederhana menjadi kompleks, maka ketertarikan kepada lawan jenis pun juga berkembang seperti itu. Menariknya adalah perkembangan ini diawali dengan perkembangan fisiologis, yaitu dalam hal perkembangan hormon sesuai dengan jenis kelamin. Estrogen dan progesteron pada perempuan dan hormon testosteron pada laki-laki. 

Dalam konteks fisiologis dan hormononal ini, maka manusia tidak berbeda dengan makhluk hidup yang lain, terutama dengan binatang. Akan tetapi Allah melengkapi manusia dengan kelengkapan lain yang membuatnya menjadi berbeda dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari hewan, yaitu kognitif dan moral. Aspek kognitif dan moral ini yang membuat manusia memiliki aturan-aturan dalam menyalurkan ketertarikan terhadap lawan jenis termasuk dorongan seksualnya. 

Oleh karena itu, meskipun anak-anak, secara fisiologis belum memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang didasari perkembangan hormonal dan dorongan seksual, namun pemahaman aturan atau batasan sudah dapat diajarkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. 

Hal-hal apa saja yang perlu diperkenalkan pada anak agar pada masa pubertas ia masih tetap dapat menjaga perilakunya meskipun perubahan hormonal kerap membuatnya galau dan tertekan?

1. Konsep dan identitas diri yang jelas sebagai laki-laki atau perempuan. Saya pribadi mengenalkan tentang konsep ini ketika anak saya berusia 2 tahun. Yaitu dengan menjelaskan perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan, siapa saja yang boleh melihatnya, dan dalam konteks seperti apa. Siapa yang boleh membantunya berpakaian, buang air besar atau kecil. Kalau sakit harus bilang pada siapa, dan lain-lain. Saya melakukannya tanpa memberikan tekanan berlebihan dan sesuai dengan daya penerimaan anak. Sehingga anak merasa bahwa hal itu adalah wajar, dan bukan sesuatu yang tabu. Saya berharap mereka bisa berbicara terbuka dan lugas, tapi tahu waktu dan tempatnya. 

Kenapa berbicara hal tentang seks itu penting dilakukan secara terbuka, karena 80% masalah perceraian adalah karena masalah komunikasi mengenai seks. 

2. Pemeliharaan organ-organ reproduksi. Kebersihan dan kesehatan organ reproduksi adalah penting. Selain terkait dengan syarat sahnya ibadah, juga terkait dengan kesehatan individu ybs, dan keturunannya. Tidak sedikit kecacatan pada bayi terjadi karena orang tuanya tidak menjaga kebersihan dan kesehatan organ reproduksi dengan baik. Islam sebetulnya sudah dengan sangat baik dan detail dalam menjelaskan hal ini. Akan tetapi diperlukan juga penguatan dari sisi medis-nya. 

3. Hubungan antar lawan jenis. Bagaimana batasan laki-laki dan perempuan untuk berinteraksi. Bolehkah surat-suratan, bolehkah jalan bareng, kalau boleh bagaimana batasannya. Intensitas masalah dalam area ini memang akan meningkat ketika anak memasuki usia pubertas dan remaja. Saya pribadi lebih suka untuk tetap berpatokan pada batasan yang ada, tidak berubah menjadi lebih ketat hanya karena anak menjadi remaja. Kalau dulunya saya berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan boleh ngobrol, ya ketika memasuki masa remaja pun masih tetap boleh ngobrol. Kalau anak ternyata cenderung hanya mau mengobrol pada teman tertentu dan situasi tertentu, ya jelaskan juga batasannya. Dan apakah hal itu layak dilakukan atau tidak, terlepas dari apakah ada pengaruh hormonal atau tidak. 

Konsep mengenai pernikahan sudah harus dijelaskan ketika anak sudah baligh, atau masa pubertas dalam istilah Psikologi. Karena anak harus tahu bahwa hubungan seks akan membawa pada konsekuensi yang sangat besar dan serius serta memerlukan tanggung jawab yang luar biasa besarnya. 

Pada usia pubertas ini juga anak perlu diajarkan bagaimana caranya untuk mengalihkan fokus dan energinya yang sangat besar. Karena di satu sisi ada dorongan seksual namun di sisi lain ia belum dilengkapi dengan kemampuan untuk bertanggung jawab. Di negeri-negeri Barat, short cut yang dilakukan adalah dengan mengajarkan hubungan seks aman. Tapi itu tentu bukan pilihan cara yang akan kita ambil karena lebih banyak menyebabkan kemudharatan. Di titik ini kita perlu mengembangkan cara yang lebih kreatif tapi tetap syar'i.

4. Berpakaian dan berperilaku Saya pribadi meyakini bahwa aturan berpakaian dalam Islam adalah untuk melindungi kehormatan. Oleh karena itu selain mencontohkan, saya juga mengajarkan mengenai konsep dasar berpakaian. Saya lebih suka bahwa kesadaran untuk menjaga diri itu tumbuh dari anak, bukan karena paksaan dari lingkungan. Karena paksaan kerapkali menimbulkan tentangan dan tindakan yang sebaliknya. Oleh karena itu saya lebih suka mengajarkan anak untuk membayangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain jika ia memakai pakaian tertentu. 

Untuk point 3 dan 4, saya kira usaha kita akan jauh lebih besar, karena kita dihadapkan pada lingkungan dan orang-orang yang memiliki value yang berbeda, sehingga turun dalam tata aturan yang berbeda juga. Menurut saya, daripada kita mengeluh karena orang lain berpakaian terbuka dan "mengundang" atau menunjukkan interaksi laki-perempuan dengan batasan minimalis, maka saya lebih suka membuat bagaimana anak bangga dan yakin dengan value yang dimilikinya. 

5. Mengajarkan kehormatan dan tanggung jawab Kasus-kasus pelecehan seksual, saya kira bertitik tolak dari diabaikannya kehormatan. Baik bagaimana seseorang menghormati dirinya sendiri maupun menghormati lawan jenisnya. Jika ada konsep yang menganggap bahwa orang lain, termasuk lawan jenis lebih rendah derajatnya dari dirinya sendiri, maka perilaku untuk merendahkan akan muncul dalam banyak bentuk. Berpakaian terbuka atau perilaku menggoda sebetulnya hanya trigger, karena yang jauh lebih mendasar adalah penghormatan terhadap diri dan orang lain. 

6. Pemahaman tentang peran sesuai dengan jenis kelamin. Anak laki-laki kalau sudah besar jadi ayah dan anak perempuan kalau sudah besar jadi ibu. Ada peran yang bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tapi ada peran yang spesifik hanya bisa dilakukan laki-laki atau perempuan karena perbedaan fitrahnya. Perempuan melahirkan dan menyusui adalah fitrahnya dan tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Tetapi peran sesuai jenis kelamin ini juga bisa dipengaruhi oleh value dan budaya. Pengalaman saya, diskusi tentang ini juga akan menjadi panjang lebar, karena masing-masing orang memiliki pendapat yang berbeda. Tapi ketika kita berurusan dengan pendidikan anak, baik itu di rumah maupun di sekolah, maka sepakati bersama terlebih dahulu di antara para pendidik (ayah-ibu atau guru), apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak didiknya.

Yeti Widiati 101212

Jumat, 23 Juni 2017

"AGAMA CREEPY ... " - yws

"Aku tuh sebetulnya banyak penasaran sama agama, Tante. Aku pingin ngerti lebih banyak. Tapi waktu aku dengerin ceramah ustad, kok malah aku melihat agama itu jadi creepy. Aku jadinya males deh belajar lagi ... "

"Maksudnya creepy, itu gimana?"

"Iya soalnya ustadnya bilang, harus ini, harus itu, kalau nggak nanti masuk neraka. Emang cara hidup itu cuma satu yang paling bener?"

"Hhhhmmmm .... Tante juga duluuuu banget waktu seumur kamu pernah ngalamin apa yang kamu rasa. Tante pikir Qur'an isinya 'cuma' tentang perintah dan larangan saja. Kalau patuh masuk surga, kalau nggak, masuk neraka."

"Iya sama Tante, gitu banget yang aku rasa juga ..."

"Tante sih dulu curhatnya sama guru BK di SMA. Guru BK-nya senyum-senyum aja lihat Tante kesel. Lalu dia ngasih Tante buku. Mungkin karena gurunya tau tante suka baca buku. Kalau nggak suka baca, bisa jadi caranya lain. Dari buku itu Tante jadi tahu lebih banyak tentang Qur'an. Bahwa bahasan Qur'an bukan hanya tentang perintah dan larangan, tapi juga ada pengetahuan alam, sejarah, dll. Gara-gara ketemu ayat-ayat tentang Biologi, Astronomi, dll. eh malah semangat Tante untuk ingin tahu tentang agama jadi lebih besar."

"Kok ...?"

"Iya, Tante kan waktu itu masih remaja, remaja kan lagi anget-angetnya mikir dan perlu segala macam hal yang rasional dan logis. Nah, guru BK tante ngajak tante berpikir tanpa perlu mengancam."

"Aku sih masih mikir Tuhan itu 'marah-marah' melulu jadinya. Soalnya pak ustadnya njelasinnya begitu."

"Iya ya ... Tante perlu waktu juga untuk berpikir dan akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa Allah itu lebih besar kasih sayangnya. Kalaupun ada yang disebut dengan 'siksa' itu sebetulnya -menurut Tante sih- bukan siksa karena Allah marah, kesal dan benci sama kita makhluknya, tapi lebih karena konsekuensi logis yang kita terima akibat perbuatan salah kita. Itu pun bentuk kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita.

"Misalnya gimana, Tante?"

"Misalnya, kita disuruh berbuat baik pada orang. Kalau yang kita lakukan malah sombong, merendahkan orang lain, dan perilaku tidak baik lainnya, maka konsekuensinya adalah kita dijauhi orang lain. Itu bukan siksaan Allah. Atau contoh lain, kita disuruh menjaga kebersihan dan lingkungan. Lalu yang kita lakukan adalah buang sampah sembarangan, pohon ditebangi, danau diurug, hutan dibakar, maka kalau terjadi banjir, kebakaran hutan dll, itu konsekuensi logisnya. Kalau mau disebut siksaan, ya itu siksaan yang kita buat sendiri karena perbuatan kita.

"Kalau bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, itu gimana, itu kan bukan buatan orang?"

"Ya itu dinamika alam, yang terjadi karena proses alamiah. Coba kamu pelajari tentang bumi sebagai planet dan sebagai benda fisik, maka kamu akan lebih mengerti mengapa terjadi gempa bumi, gunung meletus, tsunami, angin taufan, dll. Menghadapi bencana seperti itu, kita berusaha, beradaptasi dan tawakal pada Allah"

"Tante, kalau tentang ustad-ustad yang kenceng dan maksa itu gimana dong. Aku udah ilfiil jadinya."

"Gini, pertama, nggak semua ustad seperti itu. Kedua, kalau ada ustad yang maksa begitu, itu bukan karena dia mau ngerepotin kita, tapi lebih karena dia kepingin banget ngajak orang dan dia merasa bahwa cara dia yang terbaik, karena dia sudah punya pengalaman berkesan dengan cara yang dia pakai. Kayak gini lho, kamu makan di restoran yang makanannya enak banget, lalu kamu ngajak teman makan di situ sambil setengah maksa karena menurut kamu itu yang paling enak. Ketiga, kalau tante boleh saran sih, kamu belajar pada banyak ustad, karena satu sama lain bisa saling mengisi, sehingga kamu dapat gambaran yang lebih utuh tentang agama. Gitu yaaaa ... asyiiik kan ..."

"Iya Tante, aku jadi pingin lebih banyak ngobrol sama Tante."

"Ayoook ... Tante juga senang ngobrol sama anak muda, jadi berasa muda lagi, hehe ... "
------------------------

*Apresiasi dan terima kasih saya yang tak terhingga untuk Guru BK SMA saya yang luar biasa, yang sabar mendengar curhatan siswa, yang memilih menjadi cermin sehingga siswa memperoleh insight dari pengalamannya. Menjadi contoh seorang pembelajar yang mengembangkan diri terus-menerus.
Guru BK saya, Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LH, M.Pd. Guru Besar Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung, penulis banyak buku Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling.

Yeti Widiati 47-230617

Selasa, 20 Juni 2017

IBADAH - yws

Saya ingin menceritakan kembali (versi saya), sebuah tulisan yang saya baca puluhan tahun lalu. Tidak ingat penulis pertamanya dan saya mohon maaf karenanya. Namun saya doakan agar tulisannya selalu menjadi pengingat agar orang lain lebih baik, aamiin. Mohon maaf juga bila detail disesuaikan, namun Insya Allah garis besar dan pesannya semoga tetap sama.

Alkisah ada seorang direktur sebuah perusahaan yang rajin puasa Senin Kamis. Ia, seorang pekerja keras dan penguasaha sukses.


Setiap hari, ia dilayani seorang pelayan laki-laki. Pagi hari, pelayannya rutin menyuguhkan teh manis dan penganan. Siang hari ia menyediakan makan siang dan sore hari kembali menyuguhkan teh manis dan penganan sore.

Suatu hari, direktur ini memanggil pelayannya. Ia berkata, "Pak, bapak kan tahu kalau saya setiap Senin Kamis itu saya puasa, kenapa bapak masih menyediakan makanan juga untuk saya?
"Oh, iya maaf Pak ..." jawab pelayan tersebut dengan agak ketakutan.
"Karena saya puasa Senin Kamis, apakah makanannya dibuang?"
"Maaf Pak, ... makanannya saya yang ambil ...." jawab pelayan semakin mengkerut tubuhnya karena merasa bersalah.
"Wah Pak, saya sih nggak masalah makanan saya diambil Bapak, daripada mubazir." Pak Direktur agak kecewa karena pelayannya sengaja menyediakan makan pada Senin Kamis lalu mengambilnya. "Tapi bagusnya bapak juga puasa Senin Kamis, karena puasa ini banyak pahalanya..." Ia pun menjelaskan panjang lebar mengenai keutamaan puasa Senin Kamis.
"Iiiiyaaa ... Pak ..." jawab pelayan tersebut terbata ...
"Apa Bapak tidak pernah puasa?" Pak Direktur mulai bersuara keras.
"Pernah, Pak ...?" jawab pelayan dengan lemah ...
"Kapan Bapak puasa, kalau setiap Senin Kamis mengambil makanan yang disediakan untuk saya?"
"Eh, saya puasa setiap Selasa, Rabu, Jum'at, Sabtu dan Minggu, Saya bisa makan hanya kalau bapak puasa ..."
Dan ... pak Direktur pun tertegun ......

*Bersyukurlah bila kita masih bisa menikmati manisnya ibadah. I'tikaf dengan khusyu. Umroh Ramadhan ke Tanah Suci. Tak pikirkan pakaian Idul Fitri. Tak pusingkan transportasi mudik. Ta'jil, makan malam, shahur bahkan penganan Lebaran pun sudah siap sedia.

Tapi ada orang-orang yang tak seberuntung itu, yang rizkinya berlebih hanya beberapa hari mendekati Lebaran (atau bahkan sesudah Lebaran). Yang memaksakan diri berdesak untuk memperoleh pakaian dan sepatu harga diskon. Yang berharap bisa tampil beda di depan Tuhannya saat sholat Ied dan silaturrahim. Yang bisa makan agak berbeda ketika para aghniya berlebih makanannya di hari Raya. Yang pasrah berjejal dan berpeluh dalam kendaraan umum di kepadatan arus mudik dan arus balik.

Jangan-jangan, mereka lah yang beroleh pahala keikhlasan sepanjang tahun ...

Wallahu'alam

*Bila ada yang tahu penulis pertama cerita di atas, baik mengabari saya, agar bisa segera saya sematkan namanya. Syukur-syukur bila ada sumber yang sahih.

Yeti Widiati 46-200617

Jumat, 16 Juni 2017

EMPATI (LAGI) - yws

empati/em·pa·ti/ /émpati/ n Psi keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain http://kbbi.web.id/

empathy
NOUN
mass noun
The ability to understand and share the feelings of another. en.oxforddictionaries.com

Jadi kalau disimpulkan hanya dari dua definisi di atas, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Oxford Dictionary, maka
Empati itu:
- adalah proses mental
- mengandung kemampuan untuk memahami apa yang dipikirkan orang lain (aspek kognitif)
- dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (aspek afektif).

Menariknya ternyata, kalau mengacu pada definisi di atas, empati tidak harus ditunjukkan dengan perilaku (aspek psikomotorik). Meskipun untuk tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan boleh jadi perlu ditunjukkan dengan perilaku.

Saya lebih ingin mengelaborasi, untuk sampai pada kemampuan berempati, maka kompetensi apa yang perlu dimiliki?

1. KEMAMPUAN MEMAHAMI APA YANG DIPIKIRKAN ORANG LAIN
Berarti anak perlu dibimbing dan diajar untuk bisa berpikir fleksibel. Berpikir tidak hanya dari sudut pandangnya sendiri. Tapi juga berpikir dari sudut pandang orang lain.

Egosentrisme adalah berpikir dari sudut pandangnya sendiri. Khas terjadi pada usia balita dan mulai berkurang sedikit demi sedikit (dengan stimulasi lingkungan) sesuai pertambahan usia. usia 12 tahun pada umumnya anak sudah bisa berpikir sociosentris.

Saya biasanya melatih kemampuan berpikir sociosentris ini dengan diskusi. Misalnya dengan kata-kata; "Bayangkan kalau kamu jadi dia, apa yang kamu pikirkan?" Atau kalau untuk anak yang lebih muda, lebih sederhana lagi dengan mengambil situasi yang lebih spesifik dan konkrit, misalnya, "Bayangin kalau nggak ada yang mau main sama adek gimana dong?"

2. KEMAMPUAN MERASAKAN APA YANG DIRASAKAN ORANG LAIN
Merasakan berarti berawal dari kepekaan indrawi. Kepekaan indrawi dilatih melalui:
- Stimulasi fisik, merasakan tiupan angin, mengamati lingkungan, belaian, pelukan, rasa makanan, aroma bunga, suara burung, keseimbangan, gerakan, dll.
- Berlatih kepekaan melalui seni. Seni rupa (menggambar, melukis, kriya, prakarya), seni musik (menyanyi, bermain alat musik), seni gerak (tari, drama/teater), kuliner/memasak, dll.
- Belajar pengelolaan emosi, mulai dari mengenali, menyadari, mengetahui kebutuhan, mengkomunikasikan emosinya sendiri. Ini adalah suatu rangkaian pembelajaran yang lebih menantang dibanding belajar kognitif.

Project di bawah ini mengembangkan baik kemampuan berpikir juga merasakan menjadi orang lain.
- menginap di rumah orang lain,
- bermain peran atau bekerja (menjadi pelayan, berjualan, dll),
- aktivitas membantu orang lain (membacakan buku untuk orang buta, menghibur di panti asuhan, membimbing belajar adik kelas, menemani dan membantu kakek/nenek/orang cacat/orang sakit, dll)
- bekerja sama mengerjakan kegiatan tertentu
Dll

Baiklah sebanyak apapun project, diskusi, aktivitas, namun yang paliiiing penting adalah bagaimana orangtua menunjukkan empatinya kepada orang lain dan terutama kepada anak sendiri.

- Apakah orangtua berempati terhadap kesulitan anak belajar? Bila masih melabel anak bodoh, maka orangtua sedang tidak menunjukkan empati. Jangan heran bila anak berkata, "Masa nilainya cuma segitu ...."
- Apakah orangtua berempati terhadap perasaan anak saat ditinggal pergi orangtua? Bila orangtua masih pergi diam-diam meninggalkan anak, atau menyuruh anak mengerti bahwa orangtua lelah dan sibuk bekerja. Jangan heran bila anak juga tak peduli keresahan orangtua saat ia pergi bermain tanpa mengabari.
- Apakah orangtua berempati pada anak ketika mereka merasa sakit, takut, marah, sedih, kecewa, dll? Bila orangtua masih berkata, "Jangan nangis, cengeng, kamu harus kuat", jangan heran bila anak tak peka dengan perasaan orang lain dan juga tak peka terhadap perasaannya sendiri.

Ooooo ... ternyata menumbuhkan empati saja membutuhkan usaha yang cukup besar dan menantang.

Menyadari masih jatuh bangun dalam mengajari dan membimbing anak-anak, semoga selalu ada yang berkenan mengingatkan dan memberi tahu dengan cara yang terbaik yang membuat semangat mengembangkan diri tetap terjaga. Aamiin

Yeti Widiati 45-160617

Kamis, 15 Juni 2017

KURSI PRIORITAS DAN EMPATI YANG MENJADI HABIT - yws

Tetiba pingin cerita tentang kursi prioritas. Terinspirasi dari kisah (berulang) gadis belia versus ibu hamil di kereta gerbong wanita. Fokus bahasan saya dalam tulisan ini adalah mengenai empati yang menjadi habit.

Tahun 2002, saya mendampingi si Nona pertama operasi di Adelaide, ibu kota Australia Selatan. Sekalipun ibu kota, tapi kotanya tidak sebesar dan sepadat Jakarta. Kota ini terkenal karena memiliki pelayanan kesehatan untuk kasus-kasus Craniofacial yang kebetulan disandang oleh putri saya.

Saya hanya berdua dengan anak saya dan selama tinggal di sana, saya perlu memenuhi kebutuhan hidup saya dan juga anak saya. Saya berbelanja di Central Market, pasar besar yang menyediakan bahan makanan Asia dan juga makanan-makanan halal. Dari rumah sakit, saya sebetulnya bisa berjalan kaki, tapi membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Ada bis berbayar dan juga bis gratis. Semua melewati halte sesuai jadwal. Yaaa kadang terlambat juga sih, terutama bis gratis. Bis gratis ini biasanya dinaiki oleh orangtua, mahasiswa dan orang-orang seperti saya yang berhitung dan mencari cara hidup yang lebih ekonomis.

Suatu hari, saya bersama si Nona yang baru operasi 2 minggu, pergi ke pasar. Si Nona masih mengenakan perban di kepalanya. Menariknya di RS di sana, pasien untuk kondisi tertentu diperkenankan untuk jalan-jalan. Kebetulan juga memang tidak memungkinkan bagi saya untuk meninggalkan anak saya yang saat itu berusia 8 tahun dan baru operasi untuk tinggal sendirian di apartemen keluarga pasien. Jadi saya memutuskan membawanya untuk berbelanja.

Saya menunggu bis gratis di halte dekat gereja di seberang Woman and Children Hospital, rumah sakit tempat anak saya operasi. Saat naik, saya bersama anak saya langsung duduk dekat pintu persis di belakang supir. Supirnya diam saja, dan penumpang lain pun diam saja. Saya pun merasa nyaman.

Selang beberapa minggu kemudian saya pergi lagi ke pasar menggunakan bis gratis. Namun kali ini saya berangkat sendiri karena anak saya tinggal di ruang perawatan dijaga para perawat. Saat naik, saya (seperti kebiasaan naik bis dan angkot di Jakarta) kembali langsung duduk di dekat pintu persis di belakang supir. Nah, berbeda dari sebelumnya, kali ini supir menengok dan memandang saya dalam-dalam, tersenyum, lalu bertanya "Kamu bukan orang sini ya?" Saya mengangguk dan menjawab "Ya ..."

Saya duduk, tapi mulai merasa kurang nyaman, karena penumpang lain melirik tajam pada saya. Saya tak paham, apa yang salah dengan saya ...? Akhirnya saya pun mulai memperhatikan penumpang lain untuk mencari jawaban. Bis berkapasitas sekitar 24 orang itu hanya terisi sekitar 6 orang saja.

Bis kemudian berhenti di halte universitas, seorang mahasiswa Asia naik dan langsung berjalan ke bagian belakang bis dan berdiri di sana. Saya heran, kenapa dia masuk ke belakang dan tidak duduk, padahal ada sangat banyak kursi kosong?

Bis berjalan lagi dan berhenti di halte berikutnya. Masuk seorang nenek dan ia duduk di tengah. Masuk juga dua orang gadis Asia (lagi), mereka berjalan ke belakang lagi dan duduk di kursi paling belakang.

Setelah beberapa penumpang masuk dan tetap berdiri sekalipun ada banyak kursi kosong, akhirnya saya menyadari "kesalahan" saya dan arti tatapan tajam para penumpang. Saya pun segera berdiri dan berpindah tempat duduk ke bagian belakang.

Tak ada tulisan dan himbauan apapun, tapi semua penumpang tahu, bahwa kursi di bis diprioritaskan untuk orangtua, orang sakit dan ibu hamil. Mereka yang tidak masuk kategori tersebut banyak yang tetap berdiri, sekalipun ada banyak kursi kosong. Empati ini sudah jadi habit, sehingga otomatis begitu saja, para pemuda dan gadis yang sehat ketika masuk akan langsung berjalan ke bagian belakang, untuk memberi ruang penumpang lain masuk lebih mudah. Mereka juga tidak duduk meski ada kursi kosong.

Ah, tulisan saya ini nggak usah didebat ya, dengan mengatakan, "Jakarta kan beda, penumpang kendaraan umum banyak sekali dan perjalanannya panjang". Saya sangat tahu itu. Saya juga pengguna kendaraan umum. Cukup sering naik bis, KRL dll. Saya hanya ingin bercerita bahwa ketika empati sudah ditanamkan maka ia akan menjadi habit dan terjadi otomatis begitu saja tanpa perlu himbauan lagi ...

*PS semoga para gadis belia lebih berempati pada para wanita hamil

Yeti Widiati 44-150617
STIMULUS - ORGANISM - RESPONSE - CONSEQUENCE - yws
(Konteks Parenting dan Keluarga)

Dalam ilmu sains dan teknik, berlaku rumus S-R (Stimulus Respons) yang relatif tetap, itulah mengapa akhirnya bisa dibuat rumus yang berlaku sama di berbagai wilayah di bumi ini. Maka belajar ilmu matematika atau fisika akan sama di Indonesia, di Eropa maupun di Amerika.

Dalam ilmu sosial rumus S-R berlaku pula, tapi menjadi lebih rumit sehingga rumusnya menjadi S-O-R-C,
S=stimulus, O=organisma, R=Respons, C=Consequence.

C bisa menjadi Stimulus baru yang menghasilkan respons dan Consequence yang baru pula. Sehingga rumusnya:
S-O-R-C(S1)-O-R1-C1(S2)-O-R2-C2 .... Sn-O-Rn-Cn

Bagaimana menurunkannya dalam kejadian nyata?

Misalnya;
Ayah (dengan suara keras) menyuruh anak mengerjakan PR (S)
Anak (O) tidak segera mengerjakan (R)
Akibatnya ayah menjadi marah dan memukul anak (C/S1)
Anak (O) mengerjakan PR namun banyak salah karena ketakutan (R2)
Ayah bertambah marah, melabel anak 'bodoh' (C2)
Dst ...
Rn prestasi anak buruk, anak malas belajar
Cn orangtua bingung

Menariknya dalam ilmu sosial adalah, meskipun secara umum stimulus tertentu menghasilkan respons tertentu juga, namun karena O adalah manusia yang dinamis yang di dalam dirinya ada karakter, motivasi, emosi, intelegensi, value, pengalaman, kondisi fisik, dll, itu menyebabkan R setiap orang menjadi berbeda untuk S yang sama. Bahkan bisa terjadi juga respons berbeda pada orang yang sama yang kondisi emosinya sedang berbeda.

Jadi ada orangtua yang memberikan perlakuan yang sama namun hasilnya bisa berbeda padahal untuk anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sama.

Biasanya orangtua datang berkonsultasi, sudah sampai di Cn dengan kondisi emosi yang campur baur. Keinginannya adalah, bagaimana mengubah O dan R agar C berubah positif.

Bila kita sudah tahu bahwa R dan C hanya bisa berubah karena S yang berubah, maka menurut saya, sungguh tidak adil bila hanya menuntut R dan C yang berubah. S lah yang harus berubah terlebih dahulu. Bagaimana dengan O, apakah tidak bisa berubah? Dalam banyak hal O adalah yang paling sulit diubah, karena ada hal-hal yang bersifat given yang dibawa sejak lahir (intelegensi, karakter tertentu, kondisi fisik, pengalaman yang sudah terjadi, dll). Sehingga untuk O, sikap menerima atau acceptance lebih dibutuhkan daripada memaksa berubah.

Menariknya ketika orangtua menyadari bahwa S atau perilaku dirinya lah yang perlu berubah, beberapa orangtua bersikap defensif. Hal ini juga terjadi pada kasus-kasus pernikahan ketika seorang istri/suami mengeluhkan perilaku pasangannya yang dipandang kurang sesuai. "Kenapa saya yang harus berubah? Kan dia yang nggak bener" Itu adalah ungkapan yang kerap disampaikan.

Menjadi tantangan juga ketika menguraikan dan menjelaskan rangkaian stimulus-respons ini hingga yang terjauh, yang seolah-olah 'nggak nyambung' dengan Cn.

Misalnya,
- bagaimana menjelaskan bahwa perilaku anak berbohong (Rn) adalah karena anak sering dituntut menjadi yang terbaik (S).
- bagaimana menjelaskan perilaku remaja enggan terbuka pada orangtua (Rn) adalah karena orangtua enggan menyimak saat anak masih kecil bicara/bercerita (S).
- bagaimana menjelaskan kesulitan anak berkonsentrasi (Rn), karena anak jarang dipeluk, ditimang dan dielus saat bayi.
Dsb.

Perlu digaris bawahi kembali bahwa Cn yang sama pada beberapa anak belum tentu S-nya sama persis. Artinya, tidak setiap perilaku berbohong pada anak, disebabkan karena alasan yang sama. Itulah mengapa dibutuhkan penggalian yang seksama oleh seorang psikolog untuk menemukan dinamika dan rangkaian S-O-R-C yang terjauh yang bisa berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

Ah, baiklah. Sebelum kening bertambah berkerut, saya simpulkan saja. Jadi bila anak kita (menurut kita) bermasalah, cek perilaku kita, yang mana yang paling mungkin menjadi penyebab munculnya perilaku masalah pada anak, lalu ubahlah. Belum tentu langsung berhasil, lebih sering kita perlu melakukan trial error untuk melihat respons dan konsekuensinya. Jangan patah semangat, lakukan terus dan tetap belajar.

*Bila keluhan berlanjut, hubungi psikolog terdekat 😉

Yeti Widiati 43-150617

Selasa, 13 Juni 2017

MENANG - KALAH DALAM KELUARGA - yws

- Istri saya penghasilannya gak boleh lebih tinggi dari saya. Kalau dia lebih tinggi nanti dia nggak patuh dan berani melawan.

- Saya harus punya penghasilan sendiri. Kalau nggak punya penghasilan, suami saya nanti bisa semena-mena pada saya.

- Saya kumpulkan bukti bahwa dia berselingkuh. Lihat saja, kalau dia masih juga mengelak, saya punya kartu truf-nya dia pasti masuk penjara.

- Mulai berani ngelawan kamu sama orangtua ya? Kalau kamu nggak suka aturan di rumah, sudah pergi saja sana.

- Nggak bisa, ini anak saya. Mertua saya nggak berhak ngasih hadiah macem-macem sama anak saya. Nanti anak saya lebih dekat dan nurut pada neneknya daripada saya orangtuanya.

--------------------

Semua manusia punya harga diri. Virginia Satir, (Family Therapist) menyebut dengan istilah Self Worth. Tak ada seorang pun yang suka bila harga dirinya terlanggar, bahkan sekalipun ia seorang anak yang masih kecil.

Reaksi orang yang harga dirinya terlanggar biasanya adalah kemarahan. Entah itu ditampilkan melalui ekspresi, kata-kata atau pun perilaku. Kewaspadaan akan perilaku orang lain yang berpotensi melanggar harga diri akan muncul dalam bentuk prasangka buruk, kesalahan berpikir dan juga emosi cemas yang beranak-pinak.

Kalau saya ambil contoh yang pertama tentang suami yang kuatir harga dirinya terlanggar oleh istri berpenghasilan tinggi, maka pilihan tindakannya akan mengarah pada upaya bagaimana caranya agar istrinya tidak bisa berkembang pengetahuannya, ketrampilannya, usahanya, dll.

Orangtua yang kuatir harga diri dan kewibawaannya jatuh di hadapan anak, cenderung menggunakan pendekatan represif. Menekan, memaksa anak untuk patuh, bahkan tak jarang menggunakan kekerasan. Anak mempertanyakan perintah saja ia tak siap, apalagi yang benar-benar menentangnya.

Padahal, kalau ditanya, apakah suami istri saling mencintai? Boleh jadi masih ada rasa saling cinta.
Atau, apakah orangtua mencintai anak? Umumnya jawabannya pun adalah "Ya, tentu saja saya cinta, tapiiii .... anak harus menurut"

Ada yang masalahnya insidental saja. Misalnya, saat lelah tak ingin diganggu. Ia berada dalam kondisi Low Self Worth. Dalam konteks ini, observasi dan empati sudah cukup bisa meredusir dan mengurangi peluang masalah.

Lebih rumit adalah bila harga diri dan konsep dirinya memang sudah rendah cukup lama. Sehingga nyaris segala macam hal dipandang sebagai ancaman. Untuk kondisi ini, dibutuhkan usaha lebih besar untuk meningkatkan harga diri dan memperbaiki kesalahan berpikirnya.

Prinsipnya (menurut saya), hubungan dalam keluarga, baik itu hubungan suami-istri, orangtua-anak, anak-orangtua, yang paling nyaman adalah bila dibangun dengan trust dan kasih sayang. Bukan dengan keinginan menguasai atau merasa lebih dari pihak lain. Bukan bicara siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Kalaupun seorang suami merasa menang dan merasa lebih tinggi dari istrinya namun istrinya merasa tidak nyaman. Relasi yang terjalin pun menjadi penuh ketidak-puasan.

Kalaupun orangtua merasa menang setelah berhasil memaksa anaknya melakukan keinginan orangtua, dan anak melakukan dengan kurang ikhlas. "Bom waktu" biasanya akan meletus saat anak beranjak remaja atau saat anak merasa sudah memiliki kekuatan untuk melawan.

Dalam keluarga, MENANG dengan merendahkan harga diri pasangan, anak atau orangtua adalah sama dengan KEKALAHAN. Alih-alih membahagiakan relasi yang dijalin dengan menang-kalah akan menimbulkan luka yang menyakitkan.

*Menyimpulkan dari ragam kasus

Yeti Widiati 42-130617
TANTANGAN PERNIKAHAN 10 TAHUN KE-3 dst (PENURUNAN FISIK) - yws

Umumnya mereka yang sampai pada usia pernikahan dekade ke-3 ini sudah berusia 50 tahunan (bisa kurang atau lebih). Pada usia ini, kondisi fisik pun sudah semakin menurun. Daya tahan tubuh menurun sehingga peluang cepat lelah bahkan mudah sakit menjadi lebih besar. Level energi menurun menyebabkan aktivitas tidak sebanyak dahulu lagi. Kemampuan reproduksi menurun terutama pada perempuan, karena mengalami menopause. Bahkan bentuk tubuh (kalau masih berbentuk) sudah berbeda dari sebelumnya.

Kondisi penurunan secara fisik ini, ditanggapi berbeda oleh setiap orang. Ada yang tak peduli, sehingga terus merusak diri dengan pola hidup tak sehat. Ada yang sangat terganggu dan sulit menerima, sehingga mencari cara agar "tidak menjadi tua". Ada pula yang lebih realistis dan melakukan acceptance dengan mengatur pola hidup yang lebih sehat dan aktivitas yang lebih seimbang.

Mengacu pada Diane Pappalia (Human Development), maka pada usia ini banyak orang yang secara alamiah mulai mengalihkan orientasi dan pemikirannya dari hal-hal yang bersifat fisik dan praktis menjadi lebih ke mental dan pemikiran filosofis.

Mereka yang memiliki kemampuan acceptance atau penerimaan diri lebih baik, akan lebih mampu dan cepat beradaptasi dengan perubahan fisik ini. Tapi mereka yang masih terpaku pada "ukuran-ukuran" fisik, denial dengan perubahan yang dihadapi, berpeluang merasa cemas, tidak bahagia dan melakukan tindakan-tindakan reaktif yang justru menimbulkan masalah baru.

Dalam konteks pernikahan, relasi dengan romantisme cinta dan hingar-bingar gairah, yang khas mewarnai pernikahan 10 tahun pertama berganti menjadi pertemanan dan kasih yang lembut. Cinta tidak lagi melulu pada kenikmatan fisik, namun lebih pada kualitas mental. Kebaikan hati, kesabaran, ketulusan, sekarang terasa lebih nyata dan stabil.

Tantangan ada pada mereka yang sulit menerima perubahan dirinya sendiri. Sehingga memaksakan diri mengenakan "topeng" untuk menutupi kenyataan. Berdandan lebih heboh, bergaya untuk menarik perhatian dan memikat lawan jenis, menggunakan obat-obatan yang beresiko, dst. adalah beberapa cara yang mungkin menjadi pilihan.

Tantangannya menjadi berganda dalam pernikahan karena juga berbicara tentang saling menerima perubahan fisik pasangannya.

Mungkin ada yang mengalami hal-hal di bawah ini:
1. Pasangan tidak lagi secantik/seganteng dulu. Sehingga tidak lagi menawan hati.
2. Pasangan tidak lagi bisa melayani hubungan intim suami-istri dengan memuaskan seperti dulu.
3. Pasangan sakit keras atau lumpuh, sehingga tidak bisa berfungsi optimal bahkan bergantung pada pasangannya yang lain.
4. Pasangan mengalami depresi atau gangguan emosi karena sulit menerima kondisi penurunan fisiknya sendiri.

Saya jadi ingat cerita seorang teman (konselor) yang memberikan konseling pra nikah di sebuah lembaga agama. Ia suka bertanya pada para calon mempelai, "Apakah kamu cinta pada pasanganmu?"
"Cinta ...!" jawab tegas bersemangat
"Kalau suatu saat di masa depan, suami atau istri kamu kecelakaan hingga lumpuh, atau kena kanker hingga botak, atau terkena stroke yang membuatnya pelo berbicara, air liurnya menetes terus, buang air besar/kecil tak terkendali, apakah kamu akan tetap mendampinginya?"
"Eh .... aduh gimana ya .... ?"

Sungguh ... kekuatan cinta dan tujuan menikah kembali diuji di tahap ini.

Yeti Widiati 41-130617
TANTANGAN PERNIKAHAN 10 TAHUN KE-2 (RUTINITAS) - yws

Adaptasi sebagian besar sudah terlewati. Kita sudah paham kebiasaan pasangan, tahu maunya apa, tahu kekurangan, kelebihan dan "selah"nya di mana. Sehingga kita juga tahu kapan timing yang tepat untuk bicara dari hati ke hati, kapan bercanda, kapan waktunya memberi kesempatan dia untuk menyendiri. Tahu kapan mood-nya sedang down, tahu juga kapan dia 'ada maunya', dlsb. Plus kita juga sudah merasa nyaman dengan diri kita. Tampil apa adanya dasteran, kaos oblong, sarungan di rumah, sudah tak ada rasa jengah. Tak perlu jaim lah pokoknya ketika bersama dia.

Suami biasanya sibuk dan asyik dengan urusan pekerjaannya. Istri (sekalipun mungkin punya pekerjaan di luar rumah) juga sibuk dengan urusan domestik dan anak-anak.

Seperti roda yang berputar, rutinitas harian sudah bisa diduga. Jadwal ulang tahun, jadwal ujian anak, jadwal wisuda pun nyaris terprediksi. Karena jadwal terprediksi ini, maka masalah pun bisa diantisipasi. Kapan jadwal stres (ketika anak mau ujian), kapan jadwal rempong (saat mudik lebaran), kapan pula jadwal bahagia (saat kelulusan, piknik dan liburan). Yaaaa ... gitu deh, sekalipun katanya "gembira-sedih" itu kita yang pilih, tapi ternyata bisa diprediksi juga. Itu tentunya tidak termasuk emosi insidental yang berkait dengan kejadian luar biasa, sakit, kecelakaan, dll.

Apakah ketika semuanya berjalan dengan rutin maka tidak ada lagi tantangan dalam hidup berumah tangga? Eh, ternyata tidak juga. Menilik kasus-kasus rumah tangga dari pasangan yang rumah tangganya pada dekade ke-2, justru rutinitas itulah yang menjadi tantangan. Sama seperti kendaraan yang berjalan di jalan lurus dan berjalan dengan kecepatan sama, membuat awareness dan kontrol orang pun menurun.

Dalam dekade ke-2 ini juga terjadi "pembiaran" terhadap masalah-masalah tertentu yang dipandang sulit diubah. Umumnya hal itu dilakukan karena pasangan sudah sampai pada titik bosan berkonflik dan memilih tak peduli. Yang cukup sering terjadi, misalnya, ketika seorang anggota keluarga mencoba bicara atau membuka masalah, lalu terjadi keributan tajam dan makan waktu lama. Atau ketika salah seorang melakukan kekerasan baik itu fisik maupun verbal. Atau bahkan ketertutupan, salah seorang sehingga tak mau bicara sama sekali untuk masalah-masalah tertentu.

Pasangan-pasangan di atas itu memilih penyelesaian dengan cara "flight" atau menghindar dari masalah. Dengan cara ini mereka sebetulnya menciptakan "bom waktu" yang bisa meledak kapan saja.

Kasus-kasus masuknya orang ketiga dalam pasangan ini, banyak diantaranya disebabkan "bom waktu" yang tak terdeteksi.

Ketika suami bosan melihat istrinya berdaster ria dan sibuk dengan urusan rumah, dan mulai sambil lalu melayani suami, tapi suami malas menegur dan menyampaikan permintaannya. Eh, tahunya di kantor ia menemukan perempuan lain yang "selalu" rapi, wangi, ramah dan perhatian. Maka belasan tahun suka duka bersama istri setia ini pun sirna karena perempuan wangi yang datang sekejap.

Ketika istri jenuh dengan suami yang "meninggikan dirinya", merasa paling benar, mau menang sendiri, harus selalu diikuti kemauannya, tak menghargai pendapat istri, dll. Dan kemudian melihat kenyataan ada banyak laki-laki lain yang lebih sesuai dengan gambaran idealnya yaitu yang perhatian, romantis, suka membantu, dll. maka tak heran bila perhatiannya pun menjadi teralih.

Pernyataan yang sering saya dengar dari pasangan-pasangan usia ini adalah, "Apa salah saya? Saya sudah melakukan hal yang sama dari dulu ..." Itu dia, "melakukan hal yang sama" justru adalah kunci masalahnya. Manusia perlu variasi dalam hidupnya.

Kalau lah pernikahan itu seperti sebuah perjalanan, maka ketika perjalanan sudah mulai terasa membosankan, kita perlu berhenti sejenak. Kita kenang apa yang sudah kita lalui. Kita nikmati apa yang kita jalani. Dan kita buat rencana baru untuk melanjutkan perjalanan. Boleh jadi ada variasi yang perlu dilakukan. Boleh jadi ada pengetahuan yang ditambah. Trial error lagi, kali ini untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru dan memunculkan diri sebagai "orang baru" yang lebih menarik dan membuat penasaran.

Wallahu'alam

Yeti Widiati 40-120617

Minggu, 11 Juni 2017

TANTANGAN PERNIKAHAN 10 TAHUN PERTAMA (ADAPTASI) - yws

Saya ini maju mundur mau membahas tentang ini. Menyadari bahwa saya sendiri masih berproses dalam pernikahan yang baru berjalan 25 tahun dan tak lepas dari dinamika sebagaimana layaknya pernikahan pasangan yang lain. Saya bertanya kepada hati yang paling dalam, atas dasar apa saya membuat tulisan ini?

Kegundahan saya adalah ketika menyimak curhatan teman-teman terkait dengan pernikahan. Ragam tantangan dan dinamika begitu unik dalam pernikahan yang "menyatukan" dua priibadi yang berbeda. Seperti puzzle, kekurangan yang satu diisi dengan kelebihan yang lain. Tak ada resep yang persis sama untuk setiap pasangan, karena keunikannya tersebut. Resep yang mujarab bagi satu pasangan belum tentu memberikan efek yang sama persis untuk pasangan yang lain. Rasanya, lebih banyak saya yang belajar dari para pasangan tersebut.

Pasangan-pasangan muda di 10 tahun pertama pernikahan, memang penuh dengan kejutan-kejutan. Baik yang manis, kecut bahkan pahit. Kejutan terutama adalah ketika menemukan kenyataan, baik kenyataan tentang diri sendiri maupun tentang pasangannya. Sesuatu yang tak muncul saat pacaran atau tak terberitakan ketika ta'aruf dan diperkenalkan.

Kejutan manis memang membahagiakan, misalnya, ketika menemukan bahwa pasangan kita ternyata memiliki kualitas diri yang melebih ekspektasi.

Kejutan pahit, membuat kening kita berkerut, "Kok gitu sih ...?" saat melihat kebiasaan yang menyebalkan, perilaku yang tak nyaman, pemikiran dan value yang sulit dikompromikan, dll.

Cinta pun mulai menghadapi tantangan pertama. Bertambah kuat atau bertambah lemah. Dinamika pernikahan pun menjadi menarik karena penuh dengan trial-error dan semangat eksplorasi dari kedua belah pihak dalam proses adaptasinya. Coba cara ini, coba cara itu. Menangis, marah, tertawa, adalah hal-hal lumrah yang terjadi.

Beberapa poin penting yang saya kira berpengaruh terhadap bagaimana pasangan menjadi semakin menguatkan atau bahkan saling melemahkan ikatan, di antaranya:

1. Kekuatan cinta, trust dan tujuan pernikahan
Mereka yang mencintai hal-hal yang hakiki, memiliki trust pada pasangan dan memiliki tujuan besar di masa depan, umumnya memiliki motivasi dan keinginan lebih besar untuk mempertahankan pernikahannya. Mereka ini juga lebih mau berusaha dan tidak mudah patah semangat saat menghadapi masalah.

Mereka yang menikah karena romantisme cinta, menjadi redup semangatnya dan memudar trust-nya saat menemukan kelemahan atau keburukan pasangannya. Atau saat menyadari bahwa harapannya akan sulit terpenuhi di kemudian hari.

Tantangan terbesar adalah pada mereka yang menikah karena keterpaksaan, dengan alasan apa pun. Atau tanpa persiapan memadai.

2. Kelenturan/fleksibiltas suami/istri baik dalam berpikir maupun berperilaku
Setiap orang berangkat dari keluarga dengan tatanan aturan dan kebiasaan yang berbeda. Bahkan kadang juga dengan value yang berbeda. Saya garis bawahi di sini mengenai value, bukan selalu berarti agama saja. Karena agama yang sama tapi dengan pemahaman yang berbeda pun berpeluang membuka konflik pula.

Sebetulnya konflik adalah hal yang sangat wajar. "Bumbu pernikahan" kata orang-orang tua dulu. Ketika konflik itu bisa diatasi dengan baik (win-win solution dan ikhlas kedua belah pihak), maka ini akan menjadi modal yang baik untuk memperkuat fondasi pernikahan yang dibangun. Tapi penyelesaian yang kurang tuntas, akan menyisakan lubang, dan semakin banyak lubang membuat bangunan pernikahan menjadi rapuh.

Hal-hal yang mempermudah penyelesaian konflik
- Ketika masing-masing memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan keinginan dan cara pandangnya.
Mereka yang diam saja, mengalah tapi tak ikhlas, berpeluang makan hati. Betul, menyampaikan juga berpeluang ribut, akan tetapi ribut untuk mencari penyelesaian masih lebih baik daripada diam tapi memendam kekecewaan (itu sih pendapat saya).

- Ketika masing-masing memiliki kesediaan untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, bukan hanya dari sudut pandangnya sendiri saja, apalagi berkeras dengan pandangannya, dan merasa diri paling benar.
Oke lah, mungkin memang pandangan kita benar, tapi memaksakan kehendak sementara yang lain tidak ikhlas, sulit untuk menghasilkan hubungan yang nyaman. Menurut Virginia Satir, setiap orang memiliki Self Worth atau harga diri. Dan dalam pernikahan, menjadi tantangan menarik bagaimana tetap mempertahankan harga diri suami dan istri (bukan salah satu) sekalipun dalam perbedaan pendapat atau saat emosi. Konsep menang-kalah tak berlaku dalam hubungan pernikahan. Kalau kita menang, tetap saja kita kalah ketika harga diri pasangan kita terluka.

- Ketika masing-masing, bersedia menurunkan ekspektasinya.
Jika suami memiliki harapan sebesar 10, sementara istri hanya mampu 4, maka sulit bila memaksa suami menurunkan menjadi 4 atau istri dipaksa untuk mampu menjadi 10. Lebih masuk akal bila suami menurunkan menjadi 7 dan istri berusaha untuk menjadi 7 pula. Keduanya berusaha mencari titik keseimbangan, dan keduanya belajar ikhlas.

- Acceptance dan Forgiveness
Mereka yang bisa menerima pasangan apa adanya dan memaafkan kekurangannya dengan ikhlas biasanya lebih ringan langkahnya dalam mengarungi hidup.

-------------------------

Jangan-jangan itu mengapa dikatakan bahwa pernikahan adalah salah satu cara untuk menyempurnakan dan meningkatkan kualitas diri seseorang. Karena ia dikondisikan dan dilatih untuk mengembangkan kualitas mental (empati, toleran, trust, kasih sayang, menghormati, pelayanan, kesabaran, pemaaf, dll) yang kesempatannya dapat diperoleh melalui pernikahan.

Yeti Widiati 39-110617


MELEPAS KEPERGIAN - yws


Suatu hari, saya bersama ibu mertua, kakak ipar dan sulung saya yang masih berusia 6 bulan-an berbelanja di sebuah super market di dekat rumah.


Kami belanja sambil ngobrol dan bercanda. Seorang pramuniaga bertanya pada saya, "Mbak, ini anak atau mantu?"
Saya menjawab dengan keisengan saya, "Ayo tebak mbak, mana yang anak mana yang mantu, saya atau mbak yang satunya?"
Si pramuniaga lalu mulai melihat dengan lebih teliti. "Wah, saya jadi bingung."
Saya lalu menjawab, "Ini saya sama mbak yang itu, dua-duanya mantu mbak. Kalau anaknya ibu sih jangkung-jangkung, hehe ...."
"Bener serius? Tapi kok pada akrab gitu?"
"Ya memang begitu ibu mertua saya. Gak pernah beda-bedain anak sama mantu. Semua sudah jadi seperti anaknya. Makanya kita semua akrab."


Begitulah ibu ... Bukan hanya terasa oleh saya sebagai menantu tapi juga terindra oleh mereka yang mengenalnya bahwa ia tak memilih sayang dan hormat pada orang karena "baju" yang dikenakannya, karena status atau karena tampilannya. Tapi karena mereka semua adalah manusia.


Ibu mertua saya melengkapi skema yang tak saya miliki. Saya dibesarkan sendiri dalam keluarga saya, kemudian masuk dalam keluarga besar dengan 6 anak yang sangat guyub. Saya belajar banyak dari beliau. Ibu selalu berusaha terlibat dalam hal2 penting semua anak2, mantu, cucu hingga cicitnya. Saat sakit, wisuda, menikah, pindah rumah, dll. Saya merasakan betul kasih dan perhatiannya.


Ibu tak pernah lepas ibadah. Rajin mengaji, shadaqoh dan mengunjungi orang lain. Di masa2 akhir hidupnya, yang dipikirkan hanya ibadah dan orang lain. "Jam berapa sekarang? Ibu mau sholat." atau "Itu ada kue dan buah di meja, ayo dimakan ..."


Ibu mungkin memang bukan orang terkenal. Tapi ia meninggalkan kesan begitu mendalam bagi siapa pun yang mengenalnya.


Selamat jalan bunda Roekmiati binti Marzuki, kasih dan cinta Allah lebih besar. Kami, semua anak, mantu dan cucu berusaha menjalankan ajaran. Selalu mendoakan dan melanjutkan silaturrahim, agar amal beliau tak pernah putus sekalipun raganya tak bersama lagi ... Aamiin ya Robbal'aalamiin


يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).


Yeti Widiati 38-090617

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...