Selasa, 13 Juni 2017

MENANG - KALAH DALAM KELUARGA - yws

- Istri saya penghasilannya gak boleh lebih tinggi dari saya. Kalau dia lebih tinggi nanti dia nggak patuh dan berani melawan.

- Saya harus punya penghasilan sendiri. Kalau nggak punya penghasilan, suami saya nanti bisa semena-mena pada saya.

- Saya kumpulkan bukti bahwa dia berselingkuh. Lihat saja, kalau dia masih juga mengelak, saya punya kartu truf-nya dia pasti masuk penjara.

- Mulai berani ngelawan kamu sama orangtua ya? Kalau kamu nggak suka aturan di rumah, sudah pergi saja sana.

- Nggak bisa, ini anak saya. Mertua saya nggak berhak ngasih hadiah macem-macem sama anak saya. Nanti anak saya lebih dekat dan nurut pada neneknya daripada saya orangtuanya.

--------------------

Semua manusia punya harga diri. Virginia Satir, (Family Therapist) menyebut dengan istilah Self Worth. Tak ada seorang pun yang suka bila harga dirinya terlanggar, bahkan sekalipun ia seorang anak yang masih kecil.

Reaksi orang yang harga dirinya terlanggar biasanya adalah kemarahan. Entah itu ditampilkan melalui ekspresi, kata-kata atau pun perilaku. Kewaspadaan akan perilaku orang lain yang berpotensi melanggar harga diri akan muncul dalam bentuk prasangka buruk, kesalahan berpikir dan juga emosi cemas yang beranak-pinak.

Kalau saya ambil contoh yang pertama tentang suami yang kuatir harga dirinya terlanggar oleh istri berpenghasilan tinggi, maka pilihan tindakannya akan mengarah pada upaya bagaimana caranya agar istrinya tidak bisa berkembang pengetahuannya, ketrampilannya, usahanya, dll.

Orangtua yang kuatir harga diri dan kewibawaannya jatuh di hadapan anak, cenderung menggunakan pendekatan represif. Menekan, memaksa anak untuk patuh, bahkan tak jarang menggunakan kekerasan. Anak mempertanyakan perintah saja ia tak siap, apalagi yang benar-benar menentangnya.

Padahal, kalau ditanya, apakah suami istri saling mencintai? Boleh jadi masih ada rasa saling cinta.
Atau, apakah orangtua mencintai anak? Umumnya jawabannya pun adalah "Ya, tentu saja saya cinta, tapiiii .... anak harus menurut"

Ada yang masalahnya insidental saja. Misalnya, saat lelah tak ingin diganggu. Ia berada dalam kondisi Low Self Worth. Dalam konteks ini, observasi dan empati sudah cukup bisa meredusir dan mengurangi peluang masalah.

Lebih rumit adalah bila harga diri dan konsep dirinya memang sudah rendah cukup lama. Sehingga nyaris segala macam hal dipandang sebagai ancaman. Untuk kondisi ini, dibutuhkan usaha lebih besar untuk meningkatkan harga diri dan memperbaiki kesalahan berpikirnya.

Prinsipnya (menurut saya), hubungan dalam keluarga, baik itu hubungan suami-istri, orangtua-anak, anak-orangtua, yang paling nyaman adalah bila dibangun dengan trust dan kasih sayang. Bukan dengan keinginan menguasai atau merasa lebih dari pihak lain. Bukan bicara siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Kalaupun seorang suami merasa menang dan merasa lebih tinggi dari istrinya namun istrinya merasa tidak nyaman. Relasi yang terjalin pun menjadi penuh ketidak-puasan.

Kalaupun orangtua merasa menang setelah berhasil memaksa anaknya melakukan keinginan orangtua, dan anak melakukan dengan kurang ikhlas. "Bom waktu" biasanya akan meletus saat anak beranjak remaja atau saat anak merasa sudah memiliki kekuatan untuk melawan.

Dalam keluarga, MENANG dengan merendahkan harga diri pasangan, anak atau orangtua adalah sama dengan KEKALAHAN. Alih-alih membahagiakan relasi yang dijalin dengan menang-kalah akan menimbulkan luka yang menyakitkan.

*Menyimpulkan dari ragam kasus

Yeti Widiati 42-130617

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...