Kamis, 15 Juni 2017

KURSI PRIORITAS DAN EMPATI YANG MENJADI HABIT - yws

Tetiba pingin cerita tentang kursi prioritas. Terinspirasi dari kisah (berulang) gadis belia versus ibu hamil di kereta gerbong wanita. Fokus bahasan saya dalam tulisan ini adalah mengenai empati yang menjadi habit.

Tahun 2002, saya mendampingi si Nona pertama operasi di Adelaide, ibu kota Australia Selatan. Sekalipun ibu kota, tapi kotanya tidak sebesar dan sepadat Jakarta. Kota ini terkenal karena memiliki pelayanan kesehatan untuk kasus-kasus Craniofacial yang kebetulan disandang oleh putri saya.

Saya hanya berdua dengan anak saya dan selama tinggal di sana, saya perlu memenuhi kebutuhan hidup saya dan juga anak saya. Saya berbelanja di Central Market, pasar besar yang menyediakan bahan makanan Asia dan juga makanan-makanan halal. Dari rumah sakit, saya sebetulnya bisa berjalan kaki, tapi membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Ada bis berbayar dan juga bis gratis. Semua melewati halte sesuai jadwal. Yaaa kadang terlambat juga sih, terutama bis gratis. Bis gratis ini biasanya dinaiki oleh orangtua, mahasiswa dan orang-orang seperti saya yang berhitung dan mencari cara hidup yang lebih ekonomis.

Suatu hari, saya bersama si Nona yang baru operasi 2 minggu, pergi ke pasar. Si Nona masih mengenakan perban di kepalanya. Menariknya di RS di sana, pasien untuk kondisi tertentu diperkenankan untuk jalan-jalan. Kebetulan juga memang tidak memungkinkan bagi saya untuk meninggalkan anak saya yang saat itu berusia 8 tahun dan baru operasi untuk tinggal sendirian di apartemen keluarga pasien. Jadi saya memutuskan membawanya untuk berbelanja.

Saya menunggu bis gratis di halte dekat gereja di seberang Woman and Children Hospital, rumah sakit tempat anak saya operasi. Saat naik, saya bersama anak saya langsung duduk dekat pintu persis di belakang supir. Supirnya diam saja, dan penumpang lain pun diam saja. Saya pun merasa nyaman.

Selang beberapa minggu kemudian saya pergi lagi ke pasar menggunakan bis gratis. Namun kali ini saya berangkat sendiri karena anak saya tinggal di ruang perawatan dijaga para perawat. Saat naik, saya (seperti kebiasaan naik bis dan angkot di Jakarta) kembali langsung duduk di dekat pintu persis di belakang supir. Nah, berbeda dari sebelumnya, kali ini supir menengok dan memandang saya dalam-dalam, tersenyum, lalu bertanya "Kamu bukan orang sini ya?" Saya mengangguk dan menjawab "Ya ..."

Saya duduk, tapi mulai merasa kurang nyaman, karena penumpang lain melirik tajam pada saya. Saya tak paham, apa yang salah dengan saya ...? Akhirnya saya pun mulai memperhatikan penumpang lain untuk mencari jawaban. Bis berkapasitas sekitar 24 orang itu hanya terisi sekitar 6 orang saja.

Bis kemudian berhenti di halte universitas, seorang mahasiswa Asia naik dan langsung berjalan ke bagian belakang bis dan berdiri di sana. Saya heran, kenapa dia masuk ke belakang dan tidak duduk, padahal ada sangat banyak kursi kosong?

Bis berjalan lagi dan berhenti di halte berikutnya. Masuk seorang nenek dan ia duduk di tengah. Masuk juga dua orang gadis Asia (lagi), mereka berjalan ke belakang lagi dan duduk di kursi paling belakang.

Setelah beberapa penumpang masuk dan tetap berdiri sekalipun ada banyak kursi kosong, akhirnya saya menyadari "kesalahan" saya dan arti tatapan tajam para penumpang. Saya pun segera berdiri dan berpindah tempat duduk ke bagian belakang.

Tak ada tulisan dan himbauan apapun, tapi semua penumpang tahu, bahwa kursi di bis diprioritaskan untuk orangtua, orang sakit dan ibu hamil. Mereka yang tidak masuk kategori tersebut banyak yang tetap berdiri, sekalipun ada banyak kursi kosong. Empati ini sudah jadi habit, sehingga otomatis begitu saja, para pemuda dan gadis yang sehat ketika masuk akan langsung berjalan ke bagian belakang, untuk memberi ruang penumpang lain masuk lebih mudah. Mereka juga tidak duduk meski ada kursi kosong.

Ah, tulisan saya ini nggak usah didebat ya, dengan mengatakan, "Jakarta kan beda, penumpang kendaraan umum banyak sekali dan perjalanannya panjang". Saya sangat tahu itu. Saya juga pengguna kendaraan umum. Cukup sering naik bis, KRL dll. Saya hanya ingin bercerita bahwa ketika empati sudah ditanamkan maka ia akan menjadi habit dan terjadi otomatis begitu saja tanpa perlu himbauan lagi ...

*PS semoga para gadis belia lebih berempati pada para wanita hamil

Yeti Widiati 44-150617

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...