Sabtu, 31 Oktober 2015

APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN UNTUK MELINDUNGI ANAK KITA DARI MEMBULLY DAN DIBULLY? (Bagian-2) - yws

Ini adalah tulisan lanjutan. Oleh karena itu untuk memperoleh kesatuan pemahaman, tulisan Bagian-1 pun perlu dibaca terlebih dahulu.

3. KENDALI DIRI,
Emosi itu terkait dengan fisiologis, antara lain kematangan syaraf dan hormonal. Oleh karena itu mengapa biasanya anak-anak, masa pubertas, orang sakit, perempuan saat menstruasi & menopause dan orang yang sudah tua, lebih rentan, sensitif dan mudah terpicu emosinya. Namun kendali emosi bergantung pada bagaimana pola pengasuhan, pendidikan dan pengalaman yang terjadi dalam hidupnya.
- Apakah orangtua lebih banyak mengikuti keinginan anak?
- Atau sebaliknya apakah orangtua lebih banyak melarang keinginan anak?
- Apakah anak laki-laki tidak boleh menangis tapi lebih diterima kalau dia memukul, melawan dan berkelahi?
- Sebaliknya, apakah anak perempuan boleh menangis tapi tidak boleh memukul, melawan dan berkelahi?
- Apakah orangtua memberi kesempatan anak mengungkapkan perasaannya dengan berbicara?
- Apakah anak berolah raga?
- Apakah anak belajar bela diri?
- Apakah orangtua menceritakan perasaan-perasaannya pada anak apa adanya? Atau orangtua lebih suka menyembunyikan perasaannya pada anak?
- Apakah orangtua mengajarkan dengan jelas, hal-hal apa yang perlu dilakukan anak untuk mengelola emosinya?
- Apakah orangtua memberi tahu dengan jelas perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan?
- Apakah ada konsekuensi yang diberikan saat perilaku buruk diperlihatkan?
- Apakah ada apresiasi yang diberikan saat perilaku baik diperlihatkan?

4. KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING
Kalaulah masalah adalah adanya gap/jurang antara harapan dan kenyataan, maka banyak hal di dunia ini yang bisa kita anggap menjadi masalah. Ada masalah yang tidak bisa kita ubah, misalnya, kondisi fisik, ras, kelahiran, dll. Namun ada masalah yang bisa kita ubah, seperti kedisiplinan, pengetahuan, perilaku, kemiskinan, dll.

Bila seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, maka ia biasanya menjadi mudah emosi. Dan semakin seseorang mampu menyelesaikan masalahnya, maka emosinya semakin stabil. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa anak kecil yang masih bergantung pada orangtuanya, ia menjadi mudah emosi. Hal yang sama bisa terjadi pada orang yang lemah secara psikologis, misal, anak yang dimanja, orang yang kurang percaya diri, orang yang lemah secara fisik dan tidak menemukan kelebihannya. (Lihat bahasan saya tentang konsep diri).
- Apakah orangtua membiasakan diri segera mengatasi masalahnya saat masalah masih ringan dan tidak menunda dan menumpuknya?
- Apakah orangtua memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan masalah sendiri?
- Apakah orangtua ikut campur atau mengambil alih dalam penyelesaian masalah anaknya?
- Apakah orangtua mengajak anak untuk mendiskusikan masalah dan mencari alternatif penyelesaian masalah bersama?

5. CONTOH PERILAKU ORANG DEWASA
Bagi anak, tak cukup menasihati dengan bicara. Ketika apa yang ditampilkan orang di sekelilingnya tidak sesuai, maka menyerap secara visual (melihat perilaku orangtua atau film) jauh lebih mudah daripada menyerap secara auditori (nasihat)
- Apakah perkataan orangtua dan perbuatannya selaras?
- Apakah orangtua memperlihatkan kemampuan kendali diri?
- Apakah orangtua mendampingi anak saat menonton TV, video, membeli komik dan main games, serta menjelaskan mana perilaku yang pantas dan yang tidak?
- Bagaimana orangtua berespon terhadap kejadian yang tidak menyenangkan, misalnya saat kemacetan, saat diperlakukan tidak sopan di depan umum, saat tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, atau saat menuliskan keluhan di media sosial.
- Apakah orangtua mengira apa yang mereka lakukan tidak akan terbaca oleh anak? Mungkin tidak sekarang, tapi kelak ...
- Apakah orangtua memperlihatkan proses problem solving yang baik? (Karena anak meniru pola perilaku dan penyelesaian masalah orangtuanya)

6. PAPARAN MEDIA
Betul, bahwa perkembangan teknologi digital dan internet meningkatkan secara signifikan penyebaran informasi melalui televisi, video, media sosial, gadget, dll. Banyaknya orang-orang yang kurang/tidak peduli dengan pendidikan anak memperparah kondisi ini. Pihak berwenang yang memiliki otoritas untuk membuat regulasi dan menentukan kebijakan tidak cukup bertanggung jawab. Dorongan mencari keuntungan sebesar-besarnya, kompetisi rating, perhatian dan popularitas sungguh menyesakkan, penyebaran value tertentu. Video kekerasan diputar terus-menerus di televisi, diunggah di youtube dan dishare habis-habisan oleh banyak orang yang mengira bahwa itu akan membantu.

Bagaimana pun tetap ada yang bisa kita lakukan sebagai orangtua. Seperti yang pernah saya bahas di status "Menyerahkan Pengasuhan Anak kepada TV, Komik dan Gadget"
- Apakah orangtua menjelaskan dan berdiskusi mengenai efek baik dan buruk gadget, internet, games, dll.
- Apakah orangtua melakukan pendampingan saat anak menonton film (televisi atau video) atau bermain games dan melakukan review?
- Apakah orangtua membuat pengawasan, pembatasan dan pengaturan untuk menggunakan gadget, internet, televisi, dll?
- Apakah orangtua sudah menanamkan value yang tepat, sehingga anak bisa mengambil keputusan sendiri dengan baik.

Boleh jadi masih ada yang perlu kita lakukan sebagai orangtua untuk melindungi anak-anak kita. Dan yang saya uraikan di atas terutama ditujukan pada diri saya sendiri.

Yeti Widiati S. 141015
APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN UNTUK MELINDUNGI ANAK KITA DARI MEMBULLY DAN DIBULLY? (Bagian-1) - yws

Tahun lalu saya membahas tentang kasus bullying, spesifiknya kekerasan fisik pada anak-anak. Saya mengemukakan bahwa paling tidak ada 6 hal yang perlu dikelola oleh orangtua, guru, masyarakat dan otoritas yang berwenang. 6 hal tersebut adalah konsep diri, senstivitas, kendali diri, kemampuan problem solving, contoh perilaku orang dewasa dan paparan media. Selalu ada kemungkinan lebih banyak dari 6 hal yang perlu kita kelola. Namun 6 hal ini yang saya simpulkan dari kasus-kasus yang saya terima. Yang jelas penyelesaian masalah bullying dan kekerasan tidak pernah tunggal, perlu proses dan tidak bisa instan. Sama seperti dokter yang mengobat penyakit, ia juga tidak memberikan resep hanya satu obat saja. Semakin kompleks masalahnya, maka semakin banyak hal yang harus diselesaikan.

Untuk menentukan 'obat' dari suatu penyakit, maka yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan identifikasi masalah atau mencari akar/latar belakang masalah itu muncul. Hal ini agar kita dapat menentukan apa yang perlu kita lakukan. Pada kenyataannya, hampir setiap masalah tidak sederhana. Boleh jadi ada keterbatasan bagi kita untuk menyelesaikan pada area tertentu, misalnya terkait kebijakan, budaya, atau sistem. Namun di sisi lain juga selalu ada yang bisa kita lakukan. Saya lebih suka mengajak kita untuk berfokus pada apa yang bisa kita lakukan daripada pada apa yang tidak bisa kita lakukan. Berfokus pada kelemahan akan membuat kita pesimis. galau, kesal, marah dan frustrasi, dan biasanya memperburuk masalah. Sementara berfokus pada kekuatan akan membuat kita fokus dan lebih optimis. Banyak kejadian, hal positif yang dilakukan secara konsisten dan konsekuen ternyata memiliki pengaruh yang luar biasa yang tidak diduga sebelumnya.

Saya mengajak kita semua untuk bertanya pada diri sendiri, apa hal minimal yang sudah kita lakukan terkait 6 hal yang saya sebutkan di atas

1. KONSEP DIRI
Pada umumnya baik pelaku maupun korban bullying, memiliki konsep diri yang rendah. Pembentukan konsep diri diawali dengan bagaimana penerimaan orangtua terhadap anak.
- Apakah anak merasa dicintai? (Pertanyaannya bukan, 'Apakah orangtua mencintai anak?')
- Apakah orangtua sering memberikan label negatif pada anak?
- Apakah orangtua menghargai pencapaian anak?
- Apakah orangtua senang membandingkan anak dengan saudaranya, anak lain atau bahkan dengan dirinya (maksudnya dengan orangtua saat mereka anak-anak)
- Apakah orangtua lebih berfokus pada kesalahan dan kekurangan anak, daripada pada prestasi dan mencari kelebihan anak?

Kalau semua itu masih dilakukan, paling tidak kurangi atau hilangkan hal itu, sebelum sibuk memikirkan nasihat apa yang harus diberikan pada anak.

2. SENSITIVITAS
Sensitivitas adalah dasarnya empati, atau kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain. Anak yang memukul, menusuk, membakar anak lain, tidak peduli pada rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain. Jangankan merasakan perasaan yang sifatnya psikologis, seperti kecewa, sedih, takut, bahkan perasaan yang sifatnya fisik pun mereka tak merasakannya.
Pertanyaannya
- Apakah orangtua suka memukul atau mencubit anak anda ketika mereka melakukan kesalahan?
- Apakah anak senang menonton film, animasi, main games action?
- Apakah orangtua menjelaskan pada anak bahwa perilaku agresif dalam film adalah trick dan tidak boleh dilakukan dalam keseharian?
- Apa respon orangtua ketika anak jatuh, teriris pisau, lelah, sakit, mengantuk, dan kondisi fisik lainnya?
- Apakah orangtua bisa menangkap saat anak merasa sedih, kecewa, marah, takut?
- Apa respon orangtua ketika menangkap anak sedang berada dalam kondisi emosi negatif?
- Dan bagaimana juga respon orangtua ketika menangkap anak sedang berada dalam kondisi emosi positif?
- Sejak balita, apakah anak diberikan semua stimulus sensori? Gambar atau film, ragam musik, benda-benda dan tekstur yang disentuh, bau-bauan, ragam makanan untuk dikecap, bergerak (lari, lempar, loncat, memanjat, merangkak, dll)
- Apakah anak diberi kesempatan untuk menekuni seni? Seni apapun, musik, seni suara, lukis, gambar, menari, kriya/crafty, dll.

Kalau orangtua lebih berfokus pada perasaannya sendiri, daripada perasaan anak, misalnya ketika anak melakukan kesalahan, orangtua langsung marah dan memukul tak peduli bagaimana perasaan anak, maka mekanisme itu juga yang akan ditiru oleh anak.

Bukan berarti saya mengatakan bahwa orangtua tidak boleh marah. Tentu saja boleh, karena emosi adalah hal yang wajar dan alamiah. Yang saya ajak adalah agar kita bisa mengendalikan diri. Tahu kapan dan bagaimana mengekspresikan kemarahan. Dan fokus pada perilaku yang ingin diperbaiki, bukan pada emosi kita sendiri.

Ups, ternyata panjang juga membahas semua 6 aspek. Insya Allah saya lanjutkan di status berikutnya.

Yeti Widiati S. 141015
SING WARAS, NGALAH - yws

"Heran, sudah diajarin kok gak ngerti-ngerti juga ... !"

Familiar dengan kalimat seperti itu atau yang mirip seperti itu?


Saya sering mendengarnya.
- Majikan yang membicarakan pembantu yang berulangkali salah memahami perintah.
- Guru yang mengajari siswa dan tetap saja tidak mengerti
- Boss yang mengeluh tentang bawahannya
- Orangtua yang kehilangan akal menasihati anaknya
- Para Ilmuwan dan profesional yang kebingungan menjelaskan konsep-konsep teknis kepada orang awam
- dan banyak lagi, (silakan diteruskan)

Kecerdasan manusia (seperti juga aspek-aspek lainnya) memiliki rentang yang cukup panjang,
- Mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks
- Mulai dari yang konkrit-praktis hingga yang abstrak-analisis
- Mulai dari yang berpikir parsial hingga yang komprehensif
- Mulai dari yang loadingnya lama hingga yang sangat cepat memahami.
- Mulai dari yang antisipasinya pendek, hingga yang memiliki kemampuan antisipasi panjang
- Mulai dari yang sulit mengingat dan mudah lupa hingga yang memiliki kemampuan ingatan jangka panjang yang kuat.
- Mulai dari yang imitatif hingga yang kreatif

Analoginya, jika yang satu adalah orang yang pendek dan satunya lagi adalah orang yang tinggi, maka mana yang paling mungkin, memaksa orang yang pendek "memanjangkan tubuhnya" agar menjadi lebih tinggi atau orang yang tinggi mengubah posisi menjadi duduk agar tingginya menjadi sama?

Jadi, majikan, guru, boss, orangtua, ilmuwan dan profesional sebagai orang yang "lebih tinggi" dari sisi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu berempati dengan kemampuan berpikir pembantu, siswa, karyawan, anak, dan orang awam.

Mereka yang "lebih tinggi" ini, alih-alih mengeluh, mencerca apalagi menertawakan, perlu mencari strategi untuk membuat orang lain memahami dengan lebih mudah pesan yang ingin disampaikannya.

Pepatah Jawa mengatakan, "Sing waras ngalah" menunjukkan kebesaran jiwa dari orang yang "lebih tinggi" untuk memahami mereka yang masih berproses untuk menjadi lebih tinggi.

Yeti Widiati S. 101015


HANYA PERLU TELINGA .... - yws

- Bu, saya ingin curhat nih. Gimana ya, ada masalah tapi gak juga sih ...

+ Apa yang ingin disampaikan?


- Ini lho bu, suami saya itu pelit sekali.

+ Oh, suami ibu pelit, bagaimana pelitnya?

- Ah enggak juga sih, sekarang sudah berkurang.

+ Oh sudah berkurang ...

- Tapi dia gak percaya sama saya

+ Bagaimana gak percayanya?

- Mmmmh tapi gak juga ya. Itu dulu, kemudian saya banyak doa, sekarang sudah tidak begitu lagi.

+ Oke ...

- Tapi itu suami saya keras kepala sekali

+ Keras kepala?

- Eh, tapi kalau saya kasih tahu baik-baik kadang-kadang mau dengar juga.

+ Mmmh ....

- Cuma saya suka merasa tidak dihormati di depan anak-anak. Masa kalau saya ngasih tahu anak-anak langsung disalahkan oleh suami di depan anak. Anak-anak kan jadinya tidak menghormati saya.

+ Lalu apa yang ibu lakukan?

- Ya saya sabar saja bu, sekarang anak-anak sudah mulai menghormati saya.

+ Berarti ibu sudah mengatasi masalah-masalah ibu

- Iya sih ya .... tapi ....

*Sesi menemani dan mendengar selama 1 jam dengan pola pembicaraan yang sama, menceritakan masalah lalu disangkal kembali, demikian bolak balik ...

Yeti Widiati S 081015
MENEMUKAN BAKAT - yws

Pertama kali menemukan bakat Ghina adalah sekitar usia 2 tahun. Saat itu Ghina diajak tante dan oomnya ke Kebun Binatang Ragunan bersama kakak dan saudara-saudara sepupunya. Sepulang dari Ragunan, Ghina bersama kakaknya duduk di lantai, mengambil kertas dan dengan pensil warna kakaknya ia tampak tekun membuat coretan-coretan. Tak lama kemudian ia menyerahkan kertas gambarnya pada saya.

"Maaah .... jah .... " katanya sambil menunjukkan coretan yang dibuatnya.
Saya melihat gambarnya dan bertanya, "Ini gajah?" Ghina mengangguk dengan yakin. Saya terpana melihat coretan gajah yang dibuatnya. Goresannya memang masih belum terkoordinasi dengan baik, namun saya bisa mengidentifikasi bentuk gajah dari proporsi badan, letak belalai dan kuping gajah yang tepat, jumlah kaki yang ada empat (padahal belum bisa berhitung) dan juga letak ekornya.

Saat itu saya menyimpulkan, bahwa anak saya memiliki kemampuan menangkap detail visual dengan tepat. Koordinasi visual-motoriknya memang belum sempurna karena memang saat usia itu syaraf-syarafnya belum mencapai kematangan.

Saya mulai merancang pengembangan bakatnya. Ini menjadi penting karena dengan kondisinya maka mengembangkan bakat menjadi salah satu cara untuk juga mengembangkan konsep dirinya, selain pengetahuan dan ketrampilannya. Di samping itu menggambar akan membantu saya untuk berkomunikasi yang masih terkendala karena kemampuan Ghina mendengar kurang optimal. Menggambar, menurut psikologi juga adalah cara untuk mengembangkan kepekaan dan meregulasi emosi.

Atas saran seorang teman yang memahami tentang pengembangan kreativitas melalui seni rupa, maka saya membelikan 1 rim kertas HVS A4. Saya juga membelikan ragam alat gambar, spidol, crayon, pensil warna dan cat air. Saya membebaskan Ghina menggambar apapun. Tidak membatasi pilihan bentuk, warna dan termasuk juga cara, Ketika dia menggambar langit warna ungu, daun warna coklat atau muka orang warna kuning, saya membiarkannya. Ketika garisnya masih belum lurus, warnanya belum halus, saya pun membiarkannya. Karena point utama kreativitas adalah kebebasan dan keberanian untuk mengeluarkan ide, bukan kerapiannya.

Seiring waktu, curiosity-nya mendorongnya untuk berani, kompetitif dan mengembangkan diri. Ini menjadi momen penting, karena awalnya Ghina seorang yang pemalu dan cenderung pasif.

Saat usia SD kelas 5, dia meminta dibelikan buku seni padahal buku itu untuk SMA. Usia SMP saat dia ingin bisa menggambar air dan bulu, ia sengaja mendatangi guru gambarnya dan meminta advis untuk gambar yang dibuatnya. Beberapa kompetisi yang diikutinya adalah karena inisiatifnya sendiri. Tidak selalu menang, tapi ia ingin menjajal kemampuannya sendiri dan melihat bagaimana anak lain menggambar. Ia mengatakan, "Kata orang gambarku bagus, tapi setelah aku lihat gambar orang lain, ternyata ada banyak gambar orang lain yang lebih bagus."

Saya mengatakan, "Kamu perlu bersyukur dengan kemampuan yang kamu miliki, tapi kamu tidak boleh sombong, karena di atas langit masih ada banyak langit ... "

Yeti Widiati S. 071015
BELAJAR BERPIKIR DARI IBRAHIM ...
(Konteks Perkembangan Religius) - yws

Salah satu kisah dalam Al Qur'an yang menginspirasi saya adalah ketika Ibrahim AS. "mencari" Tuhan. Ia bertanya pada ayahnya, bertanya pada dirinya sendiri, mengamati alam dan lingkungan, berpikir kritis dan melakukan analisis hingga sampai pada kesimpulan dan keputusan yang ternyata membuat ia harus berseberangan dengan kaumnya saat itu.

Dalam psikologi, setiap orang akan melalui fase bertanya mengenai hal-hal yang abstrak, filosofis, transenden dan/atau spiritual. Ini semua termasuk dalam aspek perkembangan relgius seseorang. Kemampuan ini diiringi juga dengan perkembangan kognitif dan perkembangan moral.

Umumnya, pertanyaan-pertanyaan ini memuncak pada saat anak berusia 13 tahun hingga 17 tahun. Bisa kurang atau lebih bergantung pada seberapa besar lingkungan merangsang kemampuan berpikir anak. Setelah periode itu berlalu, seharusnya seseorang sudah memiliki kesimpulan dan mengambil keputusan, sistem value yang mana yang akan dianutnya, apakah sama dengan orangtuanya ataukah justru berseberangan dengan orangtuanya.

Saya menyadari kekuatiran orangtua saat anak mengajukan pertanyaan yang dianggap sensitif tentang agama dan termasuk juga implikasinya dalam keseharian yang tidak selalu paralel dengan konsep yang diajarkan. Orangtua yang kuatir anak mengambil kesimpulan yang salah seringkali mengambil jalan short cut dengan melarang anak bertanya atau justru memaksa anak untuk mengikuti apa yang diyakini orangtuanya. Di titik ini saya melihat bahwa cara yang dilakukan itu sama dan sebangun dengan apa yang dilakukan ayahnya Ibrahim AS. ketika ia kebingungan menjawab dan akhirnya menyuruh Ibrahim untuk mengikuti apa yang sudah dilakukannya selama ini secara turun-temurun.

Kita mungkin berkilah, "Tapi kan yang kita ajarkan pada anak kita adalah yang benar, bukan seperti yang diajarkan bapaknya Ibrahim"

Sah-sah saja bila kita berpendapat seperti itu. Namun ada hal yang jauh lebih penting menurut saya, adalah bahwa kita perlu membimbing dan mengajarkan anak untuk bisa mengambil keputusan dan memilih mana yang baik dan benar berdasarkan pertimbangan dan kemampuan analisisnya sendiri. Ini adalah bagian dari kemandirian yang perlu kita ajarkan yaitu kemandirian untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan.

Transfer value dari orangtua pada anak menurut saya juga dipengaruhi oleh, seberapa terbukanya orangtua, untuk membahas hal-hal yang bersifat transenden ini. Betul, adalah sangat baik bila orangtua bisa menjawab semua pertanyaan anak. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah, keterbukaan yang ditunjukkan orangtua dengan mendengar, menyimak, mencarikan jawaban dan menahan diri untuk tidak mematikan rasa ingin tahu anak. Anak tidak akan kehilangan rasa hormatnya kepada orangtua, hanya karena orangtua tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh anak.

*Kita berhenti menyuapi anak makan, dan mengajarinya menggunakan sendok dan garpu agar suatu hari ia dapat makan sendiri.
Oleh karena itu, kita juga perlu sedikit demi sedikit mengurangi menyuapi anak dengan doktrin dan dogma lalu mulai mengajarinya berpikir dengan bertanya, menjawab pertanyaan, memberi persoalan dan memberi kesempatan untuk mengambil kesimpulan agar suatu hari ia dapat berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpihak pada yang baik dan benar.

Wallahu'alam

Yeti Widiati S. 021015
'PAHITNYA' USAHA MEMBUAT HASIL TERASA 'MANIS' - yws

- Karena kehidupan ekonomi kami yang sulit, dulu ibu kami membuka warung. Saya membantu menjaga warung setelah pulang sekolah. Yang bikin saya sakit hati adalah beberapa teman di sekolah mengejek saya, bu. Sakit hati saya, bahkan masih terasa sampai sekarang. Mereka mengejek saya karena miskin. Tapi saya tidak bisa curhat pada siapa pun. Saya hanya bisa menyimpan rasa sakit itu sendiri. Saya tidak mungkin bilang pada ibu saya yang sudah begitu repot dan susah dengan hidupnya. Ayah sudah meninggal dan adik-adik saya masih kecil.

Sekarang saya bingung pada anak-anak saya. Saya berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak saya, karena saya tidak ingin anak-anak saya mengalami kesulitan yang sama dengan yang saya alami dulu. Saya belikan pakaian yang baik agar mereka tidak diejek oleh teman-temannya. Saya juga bantu mereka dalam banyak hal agar mereka tidak merasa kesulitan. Tapi kok kenapa anak saya jadi manja ya? Anak saya tidak mau berusaha dan maunya hanya menuntut saja dari saya. Sakit sedikit dan sulit sedikit langsung mengeluh. Padahal sekarang mereka sudah usia SMA lho bu.

+ Apa ibu pernah cerita bagaimana ibu dulu berusaha waktu kecil?

- Gak lah bu, itu bukan pengalaman yang baik untuk diceritakan. Saya tidak mau anak-anak saya mengalami hal yang sama, jaga warung dan diejek oleh teman-temannya.

+ Tahukah ibu bahwa ada hal luar biasa di balik pengalaman hidup yang ibu rasa menyakitkan itu?

- Apa itu?

+ Dengan menjaga warung, pertama, ibu menunjukkan sikap ibu yang baik, mau membantu orangtua yang kesulitan. Kedua, dengan menjaga warung ibu juga mengembangkan kemampuan untuk menghadapi ragam orang dan belajar melayani mereka dengan baik. Ketiga, keberhasilan ibu menghadapi bully dari teman-teman ibu, menunjukkan ibu memiliki kekuatan secara emosi.

Nah, sekarang ibu berhasil menjadi seorang pengusaha yang hebat. Bisa mengenali orang sehingga dapat memberikan penawaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Ibu juga bisa membedakan mana orang yang jujur dan mana yang culas. Dan yang jelas, ibu juga adalah seorang yang ringan tangan mudah membantu orang lain.

Pelajaran dan hikmah itu yang perlu ibu ceritakan kepada anak-anak ibu, sehingga mereka tahu bahwa pengalaman hidup ibu dengan bekerja keras ternyata memberikan hikmah dan manfaat yang luar biasa sekarang.

Kalau ibu mengubah cara pandang ibu, bahwa "kesulitan" bukanlah masalah melainkan jalan untuk meningkatkan kualitas diri, maka ibu akan "merancang kesulitan" yang terkontrol bagi anak ibu. Sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan berusaha yang sekarang tidak berkembang. Yang ibu lakukan sekarang adalah kebalikannya. Dengan membelikan pakaian yang baik, selalu membantu dan melayani membuat anak kehilangan rasa bahwa "berpahit" dalam berusaha justru yang membuat mereka dapat merasakan "manisnya" keberhasilan.

- Aduh bu, saya tidak menyadari bahwa kesulitan hidup saya dulu ternyata memberi efek luar biasa pada keberhasilan saya sekarang ...

+ Ya, apakah rasa sakit hati karena diejek teman itu masih ada?

- Jauh berkurang, karena sekarang saya melihat, 'ah teman-teman saya kan masih anak-anak yang belum mengerti'

Yeti Widiati S. 270915
INNERCHILD YANG KECEWA .... - yws

Berulang kali menyimak curhatan dan menelusuri masalah individu ternyata masalah seringkali bermuara pada masa lalu, terutama masa lima tahun pertama dalam kehidupan seorang individu.

Seorang ibu yang kesulitan untuk menghandle putranya yang berusia 5 tahun datang pada saya. Ia selalu emosi dan sulit untuk menahan diri untuk tidak memukul dan mencubit putranya terutama saat putranya tidak menurut apa yang diperintahkan atau mengganggu adiknya yang masih bayi.


Sampai pada suatu hari, ketika si putranya menyikat toilet setelah BAB (tanpa disiram) sikat, toilet, lantai juga badan si anak pun menjadi kotor. Sang ibu pun marah besar. Ia memukul dan mencubit anaknya. Sementara sang anak memandang dengan bingung, marah dan kesakitan. Apa yang salah dengan saya? Padahal saya bermaksud untuk menolong bunda membersihkan toilet?

Melihat tatapan mata anaknya, ibu ini tersentak kaget. Ia menyadari bahwa kemarahannya salah tempat. Pukulan dan cubitannya salah alamat. Ia kuatir, anaknya akan menyimpan dendam dan kebencian padanya sebagai seorang ibu.

Saat ditelusuri ke belakang ke masa lalunya. Nyatalah bahwa ternyata ada "anak kecil" yang marah dan kecewa di dalam jiwa si ibu. Kemarahan dan kekecewaan yang belum tuntas dan terbawa hingga dewasa. Yang secara tidak sadar menyebabkan si ibu mengulangi kejadian yang sama persis seperti saat ia dimarahi orangtuanya dulu, padahal ia bermaksud baik untuk membantu.

Unfinnished bussiness ini yang perlu diselesaikan, karena bila tidak, maka akan menjadi "lingkaran setan tak berujung" dan terus diturunkan dan berlanjut kepada anaknya.

Yeti Widiati S 250915
“KEHILANGAN” YANG MEMBAWA 'ARTI'
(Mengubah Paradigma dalam menghadapi masalah) - yws

Saya mengetahui anak saya hanya mampu mendengar sekitar 60-70 persen pada saat ia berusia 1,5 tahun, sekitar tahun 1996. Saat itu saya menjadi bingung, apa yang saya harus lakukan?

Menurut buku teks psikologi perkembangan anak, gangguan pendengaran akan mengakibatkan gangguan bicara. Gangguan bicara akan mempengaruhi kendali emosi dan mengakibatkan kesulitan bersosialisasi dan juga proses belajar. Gangguan sosialisasi akan mempengaruhi pengembangan konsep diri. Sementara gangguan proses belajar akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan penguasaan akademik. Apalagi di Indonesia yang saat itu nyaris tak ada sekolah yang peduli dengan keunikan individu. Pendekatan mengajar dibuat untuk kelas yang homogen. Anak-anak yang unik, orangtuanya harus bekerja lebih keras untuk memberikan pendidikan yang akomodatif bagi anaknya.

Semakin tahu resiko justru membuat saya semakin cemas. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk meredakan kecemasan saya sendiri. Namun ada satu hal yang selalu saya yakini, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan suatu alasan dan meaning tertentu. Meaning yang tidak segera diperoleh tapi akan datang pada orang yang mencarinya. Pemikiran ini yang membuat saya tercenung, apa meaning yang saya bisa peroleh dari kondisi ini?

Ketika menyadari bahwa anak saya tidak bisa berbicara dengan baik karena gangguan pendengarannya, saya mempertanyakan hal yang sebelumnya saya tidak pernah pertanyakan. Dan saya menjawabnya sendiri.

“Apa bicara itu?” – Bicara adalah salah satu bentuk komunikasi

“Kenapa manusia harus berkomunikasi? – Supaya ia bisa dipahami

“Apakah hakikat komunikasi?” – Komunikasi itu penyampaian pesan dari sender dan menerima feedback/umpan balik dari receiver

“Kalau begitu untuk berkomunikasi apakah harus dengan berbicara?” – Tidak, tapi memang lebih mudah bila dengan bicara

“Cara apa lagi untuk berkomunikasi selain dengan berbicara agar kita bisa dipahami?” – Berkomunikasi bisa dengan bahasa tubuh (gerakan, gestur, ekspresi), tulisan maupun gambar. Intinya ada banyak ragam komunikasi selain berbicara.

Kesimpulan ini yang membuat saya kemudian mengubah paradigma/cara pandang tentang komunikasi. Anak saya masih tetap terganggu pendengarannya. Saya pun memang masih tetap membawa anak saya ke tempat terapi wicara, agar ia bisa berbicara dengan artikulasi dan juga susunan kata dan kalimat yang baik. Saya juga membelikannya hearing aid, agar ia dapat mendengar suara lebih keras.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah, bahwa saya tidak lagi stres dengan kenyataan bahwa anak saya hanya bisa mendengar 70 persen saja. Saya tidak kesal karena anak saya membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengolah stimulus dan memberikan respon. Saya bisa memaklumi ketika suaranya hanya lirih saja.

Saya berfokus pada tujuan, bagaimana ia bisa memahami saya dan bagaimana saya bisa memahami dia. Karenanya, saya mengubah cara bicara, memperbesar volume, memperlambat bicara, membuat jeda, melakukan cross check, bicara dengan mata bertatapan, berbicara dengan ekspresi dan gerak tubuh, memberinya kesempatan menggambar, mengobservasi lingkungan, dan mengajarkan membaca dan menulis.

Mencari meaning (menurut Logoterapi), melakukan reframing (menurut NLP), mencari hikmah (menurut agama Islam), apapun istilahnya untuk menggambarkan perubahan paradigma berpikir, ternyata menurunkan tingkat stres. Terbukti bahwa stres diakibatkan oleh pemaknaan terhadap situasi atau lingkungan. Situasi bisa sama, tetapi pemaknaan yang berbeda mengakibatkan libatan emosi yang berbeda pula. Stress, cemas, ataupun bahagia adalah pilihan kita.

Cara seperti ini juga yang biasanya saya lakukan kepada klien yang stres dan mengeluh terhadap hal-hal given atau hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Hal-hal yang sudah “dari sananya” begitu.

- Ketika kita lahir dengan kondisi fisik tidak sempurna
- Ketika anak kita ternyata tidak sepintar, secantik, atau memiliki minat seperti yang kita harapkan
- Ketika pasangan kita memiliki kebiasaan, sifat, atau lingkungan yang tidak kita sukai
- Ketika kita berada dalam lingkungan yang tidak seideal seperti yang kita bayangkan
- Ketika kita mengalami kehilangan orang-orang yang dicintai
- Ketika kita mengalami musibah yang tak bisa dihindari
Dan lain-lain.

Maka mencari meaning, melakukan reframing atau mencari hikmahnya adalah cara yang lebih realistis dan masuk akal untuk mempertahankan kesehatan mental dan kebahagiaan diri kita.

Memang ada saja yang mengatakan, “Tapi kan kita kasusnya beda, ibu tidak mengalami kondisi seperti saya,” Ya memang kasusnya berbeda, namun tetap ada rumus yang sama, sekalipun diperoleh dengan jalan yang berbeda.

Lihatlah sekeliling kita, ada banyak orang berbahagia hanya dengan mengubah cara pandangnya. Kenyataan memang tidak akan berubah, tapi sikap mental kita yang berubah 180 derajat. Kalau orang lain bisa, Insya Allah anda juga bisa ....

Yeti Widiati S. 160915

SEPERTI MEMBELI KUCING DALAM KARUNG
(Tentang mengenal calon pasangan) - yws

Saya tahu bahwa tema ini cukup sensitif. Sensitif dalam artian berpeluang menimbulkan perdebatan yang cukup tajam. Kalau memikirkan perdebatannya, sungguh saya merasa malas mengangkat tema ini, karena saya tak suka perdebatan yang tak berujung dan tak menyumbang manfaat. Tapi ketika saya melihat 'ke hilir' ke akibat yang terjadi, maka saya serta-merta akan menengok 'ke hulu' dan bertanya "Di mana letak miss-nya?"

Sudah beberapa kali, saya menerima kasus-kasus pernikahan yang umurnya belum juga seumur jagung tapi sudah penuh dengan konflik dan keinginan berpisah yang begitu kuat dari kedua belah pihak. Beragam pasangan namun masalahnya bermuara pada hal yang sama yaitu, "Saya tidak tahu kalau pasangan saya ternyata seperti itu dan saya tak menyukainya"
- Ternyata pasangan saya gampang tersinggung
- Ternyata pasangan saya keras kepala
- Ternyata pasangan saya pemalas
- Ternyata ibu mertua saya cerewet sekali
- Ternyata kakak ipar saya suka iri
Dst.

Saya tanya, "Berapa lama anda mengenal pasangan anda sebelum menikah?"
Jawabannya beragam, ada yang 1 bulan, 3 bulan, 1 tahun, bahkan ada yang sudah berpacaran selama 5 tahun. Saya tidak menemukan pola di sini. Lama perkenalan ternyata tidak menentukan seberapa besar kita mengenal calon pasangan kita.

Saya tanya, "Bagaimana anda mengenal pasangan anda sebelum menikah"
Jawabannya pun beragam, ada yang menjawab kenal karena berpacaran, ada yang diberitahu oleh orang lain tentang calon pasangannya. Saya pun tidak menemukan pola di sini. Ternyata, dari mana sumber informasi' apakah diri sendiri, kerabat, teman, guru, ustadz, dll. juga tidak menjamin kita mengenal calon pasangan dengan baik.

Sehingga dalam hal ini, saya tidak bisa menyimpulkan, apakah orang yang berpacaran sangat lama dan intens, itu kelak akan menjalani pernikahan yang bahagia atau tidak. Karena ada orang yang berpacaran lama dia langgeng dan bahagia tapi ada juga yang berpacaran lama tapi hanya menikah sebentar saja.

Sebaliknya, saya juga tidak bisa menyimpulkan, apakah pernikahan dengan dijodohkan, tanpa proses pengenalan yang memadai itu pasti pernikahannya tidak bahagia? Karena banyak orang yang dijodohkan tapi bahagia, dan sebaliknya banyak juga yang dijodohkan tapi tak bahagia seperti yang dihayati Siti Nurbaya di masa lalu.

Saya akhirnya sampai pada pemikiran, intinya bukan pada 'bahwa ternyata pasangan kita berbeda setelah pernikahan' tapi seberapa besar kemampuan kita untuk bisa menerima perbedaan yang kita temukan dari pasangan.

Karena yang namanya pasangan, baik itu suami maupun istri memang pasti akan membuat kita shock dengan kebiasaannya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, keluarga yang berbeda, dll.

Mengapa mereka yang berpacaran lama bahkan yang hubungannya sudah terlalu jauh belum tentu mengenal pasangannya dengan baik?
Karena pacaran bukanlah pernikahan. Pacaran tidak memiliki komitmen dan tanggung jawab sebesar pernikahan. Pacaran, lebih seperti kepalsuan yang ditampilkan dengan sengaja. Dan bisa putus kapan pun tanpa harus bertanggung jawab.

Oleh karena itu mereka yang berpacaran lama tetap shock setelah pernikahan, karena kelelahan dalam kepalsuan akan terbuka juga saat pernikahan. Kecuali bagi mereka yang memang selalu tampil apa adanya, maka setelah pernikahan, guncangan keterkejutan tidak lah terlalu besar.

Tapi saya kira, tetap ada hal penting yang perlu diketahui dari calon pasangan. Karena pernikahan adalah komitmen kuat yang perlu dipelihara dan dijaga sekuat mungkin. Direncanakan akan dijalani dalam jangka waktu lama. Sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan besar dan melahirkan generasi baru yang lebih baik.

Kita perlu tahu value yang dimiliki calon pasangan kita. Apa harapan-harapannya, cita-citanya dan rencana-rencananya ke depan.

Kita juga perlu mengenal keluarga besarnya. Karena pernikahan bukan hanya tentang bersatunya 2 (dua) orang melainkan bergabungnya 2 (dua) keluarga besar.

Kita memang perlu tahu juga apa yang menjadi kesukaan dan kebiasaan calon pasangan kita, untuk memudahkan proses adaptasi yang berlangsung.

Mengenal adalah seperti melakukan orientasi. Ketika kita akan pergi ke suatu tempat, maka kita akan membuka google map dan membayangkan rutenya. Ketika kita akan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, kita akan cari tahu terlebih dahulu segala macam hal tentang perusahaan tersebut dan pekerjaan yang ditawarkan. Ketika seorang dosen akan mengajar maka ia memberikan gambaran secara umum materi kuliah yang akan diberikan dalam satu semester.

Maka menjadi luar biasa gambling, jika seorang yang akan menempuh perjalanan hidup bersama seorang laki-laki/wanita tidak melakukan orientasi terlebih dahulu untuk hal yang begitu penting dan dipertanggung-jawabkan di depan Tuhan.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan. Pilih yang sesuai dengan value. Namun jangan biarkan cara yang justru menjadi ganjalan dalam mencapai tujuan. Yang crucial kita kembangkan pada diri adalah kemampuan untuk menerima orang lain dan beradaptasi dengan situasi yang baru, yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Bagi para orangtua, maka mengajar dan membimbing anak (laki-laki ataupun perempuan) untuk bisa beradaptasi dengan situasi yang berbeda adalah penting. Karena berpengaruh terhadap bagaimana mereka kelak menjalani pernikahan.

Wallahu'alam

Yeti Widiati S. 150915
WITING TRESNO JALARAN SOKO KULINO - yws

Cinta datang karena sering bertemu. Saya yakin pepatah Jawa ini tidak muncul tanpa sebab. Entah kapan munculnya, dan mungkin tak perlu menggunakan statistik ketika orang Jawa menyimpulkan bahwa cinta dan rasa sayang itu tumbuh karena intensitas dan frekuensi bertemu yang semakin besar.

Saya membuktikannya dari berbagai kasus perselingkuhan dan perceraian. Perselingkuhan hampir selalu diawali dan diiringi dengan menurunnya kualitas hubungan antara suami istri terlebih dahulu. Ada jarak yang memisahkan antara suami dan istri, baik itu jarak imajiner maupun jarak real.

Jarak imajiner adalah ketika suami istri tidak lagi memiliki pandangan, cita-cita, harapan dan tujuan besar yang sama. Perbedaan ini bisa muncul sejak awal pernikahan. Ketika masing-masing laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak sungguh-sungguh membicarakan dan mempersiapkan rencana masa depan dengan rinci dan terbuka. Entah itu karena romantisme yang membutakan atau bahkan karena mereka tidak sungguh-sungguh saling mengenal calon pasangannya.

Perbedaan juga bisa muncul di tengah pernikahan. Pada dasarnya perubahan adalah alamiah, namun jika pasangan mengalami perubahan tidak dalam kecepatan yang sama, misalnya yang satu menjadi lebih luas pergaulannya, sementara pasangannya hanya berteman dengan orang yang sama, atau yang satu menjadi lebih luas wawasan dan minatnya sementara yang lain terjebak dalam rutinitas yang sama. Maka di titik ini pun akan timbul perbedaan. Biasanya perbedaan itu mulai terasa jelas setelah pernikahan berlangsung beberapa tahun.

Jarak imajiner juga bisa terjadi ketika pasangan yang karena kesibukan salah satu atau keduanya, memang benar-benar jarang bertemu. Suami dan/atau istri yang bekerja dari pagi hingga malam, dan hanya bertemu beberapa jam saja sehari. Atau suami istri yang ritme kerjanya berbeda, sehingga nyaris tidak bertemu meski satu rumah. Istri yang bekerja siang hari sementara suami bekerja pada malam hari.

Pertengkaran hebat yang terus-menerus, keengganan untuk saling melayani, mengejek pasangan (termasuk menceritakan keburukan pasangan di FB) dan bahkan ketidak-pedulian atas pasangan, adalah beberapa gejala dari relasi yang berjarak. Kondisi ini kerap berlanjut menjadi kemalasan untuk berbicara dan bersikap terbuka, mulai berbohong, timbulnya prasangka, dan akhirnya trust (rasa saling percaya) pun tergerogoti. Kualitas hubungan pun menjadi semakin kritis.

Jarak real adalah ketika pasangan memang terpisah tempat sehingga harus melakukan LDR (Long Distance Relationship). Pasangan LDR membutuhkan komitmen yang sangat tinggi termasuk kesepakatan berapa lama hubungan seperti ini akan dijalani. Karena bagaimana pun ada ambang batas kemampuan orang melakukan LDR, sekalipun itu berbeda-beda pada setiap orang.

Risiko tinggi pada saat terpisahkan oleh jarak imajiner ataupun real, adalah ketika di tempat dan waktu yang berbeda justru ada orang lain yang mengisi kekosongan dan bahkan kebutuhannya. Misalnya saja, seorang suami yang jarang bertemu istrinya karena kesibukan bekerja justru intens bertemu dengan perempuan lain di tempat kerjanya. Demikian juga bisa terjadi sebaliknya, istri bertemu dengan laki-laki lain lebih intens daripada ia bertemu suaminya.

PIL atau WIL biasanya sulit masuk dalam pernikahan yang kualitas hubungannya baik. Hubungan yang baik terbentuk dari pernikahan yang memiliki;
1. Cita-cita, value dan cara pencapaian yang sama.
2. Komunikasi yang terbuka dan berimbang
3. Adanya trust
4. Kuantitas dan kualitas pertemuan yang baik. Bila kuantitas tidak memungkinkan (karena LDR atau sebab lain) maka kualitas menjadi sangat penting.

Yeti Widiati S. 140915

IBU LULUSAN SD VERSUS IBU SARJANA
(Kecerdasan Majemuknya seorang Ibu) - yws

Seperti biasa tulisan ini didasarkan pada observasi lapangan dan kasus-kasus yang diterima.

Pernahkah kita mengenal, melihat atau mengetahui seseorang yang menjadi luar biasa, baik itu dalam bidang akademik maupun dalam bidang lainnya, dan ternyata ibunya "hanya lulusan SD"? Pernahkan kita juga mengenal, melihat atau mengetahui ibu yang sarjana namun anaknya penuh masalah dan tidak berkembang optimal?

Pertanyaan pun terlintas pada benak saya, apakah "syarat" menjadi ibu yang baik itu adalah tingginya pendidikan formal? Atau kalau di buat lebih luas, apa saja syarat untuk menjadi ibu yang baik?

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seolah-olah perempuan tidak perlu bersekolah atau berpendidikan tinggi. Tetap saja ada keuntungannya bersekolah tinggi, karena pendidikan pada dasarnya adalah membentuk cara berpikir yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada cara bertindak dan mengambil keputusan. Orang yang berpendidikan tinggi diajari untuk berpikir logis, analitis, sintesis, filosofis, kreatif, antisipatif, problem solving, dll. Kemampuan-kemampuan ini yang dilatihkan dan dibiasakan selama ia kuliah, mengumpulkan data, membuat hipotesis dan mengujinya, membuat kesimpulan dan menyusunnya dalam bentuk karya ilmiah lalu mempresentasikannya. Kemampuan berpikir ini, bagaimanapun akan mendukungnya saat ia mengasuh dan mendidik anaknya.

Dengan kelengkapan berpikir yang dimiliki, seorang ibu dapat melakukan antisipasi secara logis bahwa bila terjadi peristiwa A maka akan muncul B. Kemampuan ini yang membuatnya dapat melakukan perencanaan dan tindakan yang tepat. Ia juga tidak menghindar ketika ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan "ajaib dan tak terduga" dan berusaha menjawab dengan logis sesuai kemampuan berpikir anak. Termasuk dengan kemampuan berpikir kreatifnya ia akan memikirkan ribuan cara untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kerewelan, kemanjaan, metode belajar, variasi kegiatan dll.

Orang yang memiliki kelengkapan berpikir ini apalagi dengan nilai yang tinggi, biasanya disebut cerdas (secara kognitif). Namun, kecerdasan tidak serta merta hanya milik orang-orang berpendidikan tinggi. Ada banyak orang cerdas yang tidak berpendidikan tinggi. Mereka tidak bersekolah bukan karena mereka tidak mau, tapi ada sejumlah alasan yang menyebabkannya, entah itu ekonomi, budaya, kesempatan dan penyebab lainnya.

Bagaimana pun adalah menguntungkan memiliki ibu yang cerdas secara kognitif. Tapi, apakah hanya kecerdasan secara kognitif saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu yang baik? Tidak juga ternyata.

Ada kepekaan, kepedulian dan kemampuan berespon (kecerdasan interpersonal) yang juga dibutuhkan dan sayangnya ini tidak dipelajari di sekolah dan pendidikan tinggi. Sehingga juga tidak ada gelar atau titel bagi orang-orang yang memiliki kepekaan yang tinggi dan kemampuan berespon dan berinteraksi yang baik. Bagaimana pun kepekaan ini yang membuat seorang ibu bisa membedakan tangis anaknya, apa keinginan anak hanya dengan melihat ekspresi dan gestur wajah anak. Dan yang lebih penting dari itu bukan hanya bisa membaca saja, akan tetapi juga bisa berespon terhadap kebutuhan anak yang tidak tersampaikan. Bagaimana ia bisa mengusap, memeluk dan menggendong anaknya dengan nyaman.

Biasanya kepekaan terasah karena interaksi yang intens sementara kemampuan berespon terbentuk karena pola asuh dan pendidikan dalam keluarga si ibu sebelumnya.

Kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, selalu berusaha dan tidak mudah putus asa (kecerdasan intrapersonal) adalah juga modal penting menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang memiliki kecerdasan ini, selalu berusaha sekalipun menghadapi kesulitan. Ia mungkin jatuh, tapi ia akan bangkit lagi untuk mencapai tujuannya. Ia akan berusaha mencari makna dari apa yang dialaminya dan menjadikannya pembelajaran untuk memahami dirinya sendiri.

Saya yakin ada kemampuan-kemampuan lain yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang pintar masak (kecerdasan kinestetik), ibu yang pintar mendongeng (kecerdasan verbal), ibu yang pintar merapikan rumah (kecerdasan visual) adalah kecerdasan-kecerdasan yang luar biasa dan menyempurnakan "kebaikan" seorang ibu.

Sayangnya, tak ada orang yang sempurna. Ada saja yang kurang pada diri seseorang, meskipun pasti ada lebihnya. Yang jelas, bahwa kita tidak bisa menyederhanakan "kebaikan" dan "kelayakan" seorang perempuan untuk menjadi ibu hanya dari pendidikan formalnya atau seberapa panjang gelar akademik yang disandangnya.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan sederhana yang tak lulus SD dan tinggal di pelosok negeri.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang tak dikaruniai anak kandung.

Potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga atau baby sitter.

Dan tentu saja potensi menjadi ibu yang baik, bisa saja ada pada diri seorang perempuan yang berpendidikan tinggi.

Mau bukti? Saya punya contoh untuk semuanya. Dan saya yakin anda juga, kalau anda lebih cermat melihat ke sekeliling anda.

*Syukuri bila anda perempuan berpendidikan tinggi, sehingga berpeluang mendidik anak lebih baik. Tapi jangan rendahkan para perempuan yang berpendidikan rendah, karena boleh jadi dari tangan mereka lahirnya orang-orang yang luar biasa.

Yeti Widiati S. 130915

Kamis, 10 September 2015

ADIK BARU MEREBUT KASIH SAYANG ... yws

Bayangkan, anda tinggal di sebuah rumah bersama teman, pasangan atau pun keluarga. Anda sudah sangat merasa nyaman tinggal di rumah tersebut, sehingga merasa bebas untuk melakukan apa pun.

Tiba-tiba salah seorang anggota dalam rumah tersebut mengundang orang lain untuk tinggal di dalam rumah itu tanpa membicarakannya terlebih dulu dengan anda. Anda menjadi was-was, apakah orang baru ini nanti akan baik dan menyenangkan?

Ternyata orang baru ini betul-betul menarik perhatian semua orang. Dia lucu, imut, cantik dan manja. Semua orang memuji dan mengaguminya. Kemanjaannya membuat semua orang harus melayaninya. Tapi yang paling menyebalkan bagi anda adalah ketika anda harus berkorban memberikan tempat bagi orang baru ini. Anda sudah kehilangan kenyamanan, perhatian, dan sekarang merasa tersingkir pula. Anda mulai was-was, hingga timbul pemikiran "Jangan-jangan, aku bisa-bisa tersingkir nih gara-gara orang baru ini."

Berbagai pikiran yang terlintas mulai mengganggu dan perasaan pun menjadi campur aduk rasanya.
- Pemikiran bahwa, saya tidak menarik dan tidak diperhatikan menyebabkan rasa sedih luar biasa.
- Pemikiran bahwa, saya sekarang mulai tidak aman dan akan tersingkir, menyebabkan timbulnya rasa cemas
- Pemikiran bahwa apa pun yang saya lakukan tidak akan berhasil menarik kembali perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekitar saya, membuat saya frustrasi dan ingin marah
- Pemikiran bahwa saya harus merebut kembali perhatian dari orang-orang di lingkungan, membuat saya ingin mengusir orang baru ini.
- Pemikiran bahwa orang baru ini lebih baik dari saya, membuat saya cemburu luar biasa.

Saya betul-betul merasa tidak nyaman, insecure, merasa terbuang dan tersaingi. Apakah orang-orang masih peduli pada saya dan mengapa saya yang harus mengalah dan berkorban terhadap orang baru ini?

.........................

Pemikiran dan perasaan ini kerap timbul pada anak-anak yang memiliki adik baru. Orangtua seringkali merasa bahwa mereka sebagai orangtua punya sepenuhnya hak untuk melakukan apapun tanpa perlu memberi tahu apalagi meminta izin pada anak. Anak dipandang "pokoknya harus mau, nurut dan ikut." Urusan punya anak dipandang adalah urusan berdua antara ayah-ibu. Padahal yang juga merasakan dampak dari kehadiran adik baru adalah juga si kakak, yang selama ini mengira bahwa hanya dialah pusat kasih sayang orangtuanya bahkan keluarga besarnya.

Keluhan para orangtua karena si kakak yang jealous pada adik, terkesan tidak sayang dan bahkan bersikap kasar seringkali bukanlah karena "kesalahan murni" kakak. Tapi karena orangtua tidak mempersiapkan dan melibatkan kakak dalam kelahiran adik barunya. Orangtua juga tidak meyakinkan dan memberi kesan kepada kakak bahwa mereka tetap sayang dan memperhatikan kakak.

Saya kerap melihat keluarga yang kakak adiknya kurang rukun bahkan hingga mereka dewasa. Sering bertengkar, saling membully, dll. Mereka bersaudara tapi tak peduli keadaan saudaranya yang kesulitan. Iri pada keadaan saudaranya yang lebih baik. Konflik perebutan warisan. Atau bahkan saling menghindar saat harus mengurus orangtua yang sakit dan renta.

Betul bahwa kondisi itu tidak bisa disederhanakan. Bahwa ada masalah-masalah lain yang lebih kompleks yang mempengaruhinya. Akan tetapi kalau dirunut ke belakang, seringkali bermuara pada bagaimana orangtua memperlakukan dan memposisikan anak-anaknya. Anak-anak tidak dipandang sebagai orang yang layak dipertimbangkan pendapatnya sejak kecil. Dan bagaimana cara orangtua memanage sehingga tidak ada anak yang merasa diperlakukan tidak adil dan harus berkorban untuk saudara-saudaranya.

Sebetulnya yang dibutuhkan si kakak ini sangat sederhana, yaitu jaminan kasih sayang. Bahwa sekalipun ada adik baru, ia tetap akan memperoleh kasih sayang yang sama dari kedua orangtuanya. Bahwa ada perhatian, waktu dan bahkan tempat yang terbagi itu sangat mungkin dan juga perlu proses adaptasi. Tapi keyakinan bahwa ia disayang itu sudah cukup menenangkan.

Bagi yang berencana punya anak kedua-ketiga-keempat dst. nampaknya sudah perlu berpikir jauuuuh ke depan. Agar di akhir masa hidupnya ia bisa tenang dan bahagia bersama anak-anak yang rukun dan saling membantu satu sama lain.

Yeti Widiati S. 090915
IBU SETENGAH CENAYANG
(Konteks Perkembangan Bicara Anak) - yws

Anak : Blmbrlh ... kaforh .... fiprtli .... icjw
Ibu : Ooo iya sebentar yaaa ... bunda ambilkan


Banyak ibu (dan juga mbak2 pengasuh) dengan ajaibnya memahami bahasa "planet" bayinya. Interaksi dan kedekatan yang intens antara ibu dan bayi, seringkali membuat mereka hanya dengan bertatapan atau mendengarkan rengekan/tangisan, sudah memahami apa yang diinginkan. Kepekaan terasah ketika ada bonding (ikatan) yang begitu kuat. Para ibu ini sudah seperti setengah cenayang.

Menariknya adalah, bahwa hal ini tidak terjadi pada semua ibu. Karena ada cukup banyak juga ibu-ibu yang salah-salah ketika menginterpretasi keinginan anak. Sok tahu yang berujung memaksa, atau tebak-tebakan yang berujung emosi kerap terjadi pada ibu-ibu ini.

Beruntungnya, kemampuan cenayang bukanlah indikator untuk menentukan apakah seorang perempuan adalah ibu yang baik atau bukan. Kalau ya, bisa-bisa sebagian besar ibu-ibu muda akan kecewa mengira dirinya tidak layak menjadi ibu.

Baik para ibu yang punya kepekaan tinggi, para ibu yang "sok tahu" maupun para ibu yang sering salah menangkap pesan anak, semuanya punya tanggung jawab dan amanah yang sama yaitu mengajarkan anak untuk berbicara dengan jelas (artikulatif) dan runtut sehingga dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya dan dipahami dengan baik oleh orang lain.

Ibu setengah cenayang justru yang kerap luput pada tanggung jawab ini, Merasa sudah paham anaknya, mereka jadi lupa mendorong dan membimbing anak untuk berbicara dan mengungkapkan keinginannya dengan jelas. Akibatnya si anak tumbuh besar dengan ketrampilan berkomunikasi yang tidak optimal. Kebiasaan di rumah terbawa ke lingkungan saat ia ngambek, tidak mau bicara dan menuntut guru atau temannya paham apa yang diinginkannya. Dan dia frustrasi serta tak mengerti mengapa gurunya tidak seperti ibunya yang selalu memahami dirinya.

Bayangkan bila hal ini terbawa hingga anak menikah. Ketika ada masalah dia tidak mau berkomunikasi karena menuntut pasangannya bisa memahami sendiri tanpa perlu diberi tahu. "Mestinya kamu ngerti dong, salah kamu itu apa ...!" (Familiarkah dengan kalimat ini? smile emotikon )

Kembali lagi pada relasi ibu dan anak. Adalah baik, seseorang ibu memiliki kepekaan dan kemampuan untuk memahami orang lain hanya dengan melihat ekspresi atau gestur tubuh anaknya, atau dari bahasa tersirat yang disampaikannya. Namun dalam konteks pendidikan anak, maka para ibu setengah cenayang ini perlu menahan diri dan lebih berfokus pada kepentingan pengembangan anak.

*Kepekaan seorang ibu baik sekali dimiliki untuk menjadi resources dalam memahami anak. Namun perlu dikelola agar tidak mendorongnya mengambil kesempatan anak mengembangkan dirinya sendiri secara mandiri.

Yeti Widiati S
TAKUT
(Pengelolaan Emosi) - yws

Dari pengamatan dan analisis terbatas terhadap case-case yang dihadapi, saya menemukan bahwa kebanyakan masalah ternyata berakar dari perasaan takut dan bila tidak dikelola dengan baik, maka berbuah menjadi perilaku yang mengganggu.

Misalnya, takut kehilangan perhatian, takut kehilangan kasih sayang, takut kehilangan harga diri, dll. Siapa pun bisa merasakan takut, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Dan semua perasaan takut itu bersifat subyektif, artinya, hal yang menakutkan bagi seseorang bisa tidak menakutkan bagi orang lain. Karena semua perasaan takut berangkat dari pengalaman yang berbeda-beda.

Ketika takut diiringi dengan perasaan tidak berdaya, maka kecemasan dan kegelisahan datang menyiksa.

Ketika takut direspon dengan usaha perlawanan, maka kemarahan dan agresivitas membakar jiwa.

Ketika ketakutan benar-benar menjadi nyata, maka kesedihan menjadi depresi dan putus asa.

Ada takut yang nyata dan alamiah, misalnya seperti takut binatang buas, takut jatuh, takut bencana alam, takut suara keras, takut tenggelam, dll. Menghadapi takut yang seperti ini, maka yang perlu dilakukan adalah melatih dan menguatkan diri, sehingga dapat mengurangi risiko menghadapi stimulus ketakutan itu.

Tapi ada ketakutan yang dibentuk oleh pikiran negatif kita. Ketakutan yang tidak real yang bertambah buruk karena prasangka dan pikiran subyektif.
- "Saya tidak mau bergabung dengan kelompok itu, jangan-jangan nanti saya dibully"
- "Saya tidak mau mengerjakan pekerjaan ini, jangan-jangan nanti saya gagal"
- "Saya tidak mau bicara di depan orang banyak, gimana nanti kalau saya ditertawakan"
- dll.

Ketakutan seperti ini kerap disebut dengan istilah kecemasan (anxiety). Kecemasan berulang dan terus-menerus bahkan bisa menyerang diri kita secara fisik. Migrain, maag, gatal-gatal, asma, sariawan, sakit punggung adalah sebagian kecil kondisi fisik yang seringkali memiliki kaitan dengan kecemasan.

Ketakutan jenis kedua ini biasanya tidak muncul begitu saja, tapi didasari oleh pengalaman ketakutan yang tidak tuntas di masa lalu (biasanya terjadi di masa anak terutama 5 tahun pertama). Karenanya betapa penting orangtua membimbing dan mengajarkan anak bagaimana mengelola rasa takutnya dengan baik, sehingga tidak terbawa hingga dewasa.

Namun bila sudah kepalang terbawa hingga dewasa, maka masih tetap ada
hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi ketakutan ini antara lain dengan "MENANTANG dan MEMPERTANYAKAN" semua pikiran-pikiran negatif tersebut.
- Apa betul kalau saya bergabung dengan kelompok itu saya akan dibully? Mana buktinya? Apa yang membuat saya layak dibully? Kalau dibully pun apa yang saya akan lakukan?

- Bagaimana saya bisa gagal? Kalau gagal pun apa salahnya, saya bisa belajar lagi.

- Apa yang membuat tidak mau bicara depan orang banyak? Kalau orang lain menertawakan siapa yang salah? Apa untung dan ruginya kalau saya tidak berani bicara?
- Dll.

*Dan jauhilah prasangka buruk, karena sebagian dari prasangka buruk itu adalah dosa QS 49:12

Maka takutlah pada Sang Maha Kuat
Mintalah perlindungan dari-Nya
Terimalah keterbatasan diri
Dan maafkan mereka yang dirasakan melanggar

Ketika jelas semua akar rasa takut tersebut,
maka pola menghadapinya pun menjadi jauh terasa lebih sederhana.
Orang menjadi lebih optimis
bahwa dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

*Mengingatkan paling dulu untuk diri sendiri.

Yeti Widiati S.

*Repost dengan editing
MANA YANG PRIORITAS?
(Konteks Aspek Perkembangan Anak) - yws

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis mengenai dorongan orangtua untuk berlomba-lomba dalam perkembangan anak. Seolah apabila anak kita sekolahnya lebih cepat setahun, lebih cepat bisa bicara, lebih banyak hafalannya, bisa membaca saat bayi, lebih dahulu bisa shalat/berdoa, maka dia akan lebih baik dari anak yang lain.

Tulisan saya yang berjudul "KITA, ORANGTUA YANG TERGESA-GESA DAN SUKA MEMAKSA" memperoleh respon beragam, baik itu sepakat maupun tidak sepakat. Menariknya adalah, meskipun pada umumnya banyak orangtua sepakat untuk "tidak tergesa dan tidak memaksa" anaknya, namun ketidak-sepakatan adalah pada contoh-contoh yang saya berikan. Tentu hal itu adalah sah saja, karena setiap orang memiliki hak untuk menentukan sendiri mana yang prioritas bagi diri dan keluarganya.

Pertumbuhan dan perkembangan anak, bukan seperti memasang lego warna warni. Di sambung kiri kanan dan ... jreng .... jadilah rumah-rumahan, mungil, lucu dan menarik. Cepat dibuatnya, tidak sulit dan juga menarik. Tapi ia rentan hancur, dan kehilangan fungsi sebagai rumah yang bisa dijadikan tempat bernaung.

Pertumbuhan dan perkembangan anak, lebih seperti membangun sebuah rumah. Kita perlu membuat disain terlebih dahulu berdasarkan gambaran ideal yang kita miliki. Tanah perlu digali untuk membuat fondasi. Kemudian kita membuat tiang-tiang. Perlahan dan penuh kesabaran kita memasang batubata satu persatu, merekatkan dengan semen untuk membuat tembok. KIta juga membuat atapnya dari rangka yang kuat, dst. Semuanya membutuhkan proses yang lama dan menuntut kesabaran. Itu semua belum termasuk ketika ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, misalnya, ternyata kita kekurangan bahan, ternyata struktur tanahnya tidak sesuai dengan disain yang akan kita bangun, ternyata tukangnya sakit, dst. sementara pembangunan tetap harus berjalan terus.

Intinya dapat disimpulkan bahwa untuk mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka kita perlu memiliki tujuan besar yang jelas. Dan perlu menyusun perencanaan yang detail dan fokus pada hal-hal prioritas pada setiap tahapan usia.

Ada paling tidak 11 aspek yang semuanya perlu dikembangkan pada anak. Bila salah satu aspek lebih cepat atau lebih lambat perkembangannya dari yang lain maka akan terjadi ketidak-seimbangan dan yang paling terpengaruh terlebih dahulu oleh ketidak-seimbangan ini biasanya adalah aspek emosi. Di sinilah kerap muncul keluhan dari para orangtua yang juga menjadi terpengaruh emosinya oleh anaknya. Saya menyebutnya "ongkos emosi". *Ongkos emosi itu bisa berupa marah, kecewa, sedih, stress, cemas, takut, minder, unmotivated, dll.

Cepat atau lambatnya aspek perkembangan, bisa disebabkan karena faktor bawaan, misalnya, anak yang memiliki perbendaharaan kata, nama, doa yang jauh lebih banyak dari teman-temannya bisa disebabkan karena ia memang
memiliki daya tangkap dan daya ingat yang lebih cepat, jauh di atas usianya. Atau bisa juga disebabkan karena latihan dan pembelajaran yang intensif.

Sebaliknya, ada anak yang mengalami keterlambatan bicara karena ia memiliki gangguan fungsi organ bicara, atau karena orang-orang di lingkungannya kurang memberikan stimulasi bicara, sehingga ia kurang terdorong untuk berbicara.

Apapun kondisinya, kebijaksanaan dan penerimaan orangtua terhadap anak sangat dibutuhkan untuk melihat anak dengan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya menjadi resource dan kelemahannya menjadi tantangan untuk mencari strategi pembelajaran yang berbeda.

11 ASPEK PERKEMBANGAN ANAK yang perlu diperhatikan semuanya adalah;

1. ASPEK FISIK
Anak perlu sehat sehingga dapat melakukan aktifitasnya dengan senang dan bersemangat. Bahasan tentang kesehatan, berat dan tinggi badan, penyakit, dll. Orangtua lebih banyak merujuk pada dokter untuk aspek ini.

2. ASPEK MOTORIK
Anak perlu bergerak, baik secara keseluruhan (motorik kasar), seperti berlari, loncat, berjalan, merangkak, menendang maupun melakukan koordinasi visual motorik (motorik halus), seperti menulis, menggunting, menggambar, menjahit, meronce, dll.

3. ASPEK EMOSI
Anak perlu belajar untuk melakukan pengelolaan emosi. Mulai dari mengenali emosinya, memberi nama, melakukan penyaluran dan pengendalian pada waktu dan cara yang sesuai.

4. ASPEK BICARA DAN BAHASA
Anak perlu belajar untuk mengkomunikasikan dengan jelas pikiran dan perasaannya, sehingga orang lain mengerti apa yang ia sampaikan.

5. ASPEK KOGNITIF
Pada akhirnya, kemampuan ini dibutuhkan untuk penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Namun sebelum itu ia perlu belajar memahami, mengingat, menganalisis dan mengantisipasi terlebih dahulu.

6. ASPEK SOSIAL
Pada masa dewasa, anak akan bergaul dan berinteraksi dengan beragam orang. Maka saat kecil ia mulai belajar memahami diri, memahami orang lain, berinteraksi dengan teman sebaya, berinteraksi dalam kelompok kecil. dst.

7. ASPEK BERMAIN
Semua tujuan pembelajaran pada anak dilakukan dengan bermain yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan. Maka orangtua perlu mencari strategi pencapaian tujuan dengan cara bermain.

8. ASPEK KREATIVITAS
Anak adalah gudangnya kreativitas. Otak anak masih plastis (fleksibel) dan ini adalah kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan berbagai situasi. Alih-alih terpelihara dan berkembang, pendidikan dan pola asuh lebih sering membuat potensi ini hilang. Sebetulnya aspek ini adalah bagian dari aspek kognitif, namun karena begitu pentingnya pada masa anak hingga dibahas tersendiri.

9. ASPEK MORAL
Anak perlu memahami benar salah, baik buruk dengan pemahaman yang baik bukan karena dogmatis. Aspek ini juga berbicara tentang penanaman value hingga ia dapat menerapkannya dengan bijaksana di kemudian hari.

10. ASPEK RELIGIUS
Ada hal yang konkrit dan ada yang abstrak serta transenden. Anak pada satu titik akan sampai pada hal-hal ini, dan orangtua perlu menyiapkan diri untuk membicarakan mengenai konsep-konsep tentang Tuhan, Makaikat, Nabi, penciptaan alam, dsb. Mengajarkan ritual ibadah (saja) tidak serta merta mencerminkan pemahaman religius.

11. ASPEK PERAN SESUAI JENIS KELAMIN (SEX ROLE)
Marak dan meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak-anak ditengarai karena aspek ini tidak menjadi perhatian memadai oleh orangtua, guru dan masyarakat. Kecanggungan dan menganggapnya tabu masih menjadi kendala untuk membicarakan hal ini dengan anak secara lugas. Aspek ini adalah aspek yang paling diabaikan (secara sadar) oleh orang dewasa. Dan sekarang kita melihat akibat pengabaian ini dari maraknya kasus kekerasan seksual, pornografi dan LGBT.

Setiap aspek ini memiliki waktu dan target pencapaian yang berbeda untuk setiap tahapan usia. Oleh karena itu pula dalam tulisan saya sebelumnya, saya mengkritisi beberapa aspek yang didahulukan/diprioritaskan oleh orangtua, sementara aspek lain yang seharusnya sudah dicapai pada tahap usia itu justru belum dicapai dan malah terabaikan.

Bagaimanapun, saya tahu, bahwa kita semua menginginkan anak kita tumbuh dengan "BAIK".

Yeti Widiati S. 260815

Kamis, 20 Agustus 2015

Berulang kali saya ditanya tentang kontroversi penggunaan kata JANGAN dan TIDAK. Ada sebagian orang mengatakan agar para orangtua menghindari mengatakan JANGAN dan TIDAK kepada anak, sementara di sisi lain kitab-kitab suci termasuk Al Qur'an banyak menggunakan kata JANGAN dan TIDAK dalam berbagai ayatnya.
Ini pendapat saya;
-------------------------------------------------------

IKUTI BAGAIMANA AL QUR'AN DAN ASSUNNAH "BERBICARA"
(Terkait kata JANGAN dan TIDAK dalam konteks pendidikan anak)

1. Cek ayat-ayat dalam Al Qur'an atau sabda nabi yang menggunakan kata JANGAN atau TIDAK. Lihatlah bahwa sekalipun ada kata JANGAN dan TIDAK, diikuti dengan:
- Alasan atau reasoning kenapa perilaku itu dilarang, dan/atau
- Ada perilaku alternatif yang disarankan.

Misalnya, saya ambil contoh ayat dari surat Luqman, "Wahai anakku, JANGANLAH engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar.” atau contoh lain, "maka sekali-kali JANGANLAH kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan JANGANLAH kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan."

Pertanyaan saya (harap dijawab jujur dalam hati saja), apakah setiap kita melarang dengan kata JANGAN pada anak, kita (orangtua atau guru) mengiringi dengan penjelasan atau menunjukkan perilaku yang diharapkan?
Yang saya lihat dalam keseharian adalah, orangtua hanya bilang JANGAN tapi kemudian tidak menjelaskan kenapa perilaku itu tidak boleh dan juga tidak menyampaikan perilaku apa yang diharapkan. Bahkan dalam banyak kasus melanjutkan dengan labelling, misalnya, "JANGAN ribut, kamu ini bandel banget sih ... "

2. Anak berbeda dengan orang dewasa.
Orang dewasa sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk bertindak dan mengambil keputusan. Anak, pengetahuannya masih terbatas. Ketika ada ayat "Dan JANGANlah kamu mendekati zina.." maka orang dewasa tahu apa pilihan lain yang bisa dilakukannya selain zina. Menikah, menundukkan pandangan, shaum, dll.

Tapi anak tidak begitu. Sehingga ketika anak dilarang, maka perlu diberitahu apa yang bisa ia lakukan. Tidak cukup hanya berkata, "JANGAN ribut!". Lalu kalau tidak boleh ribut, bolehnya ngapain? Yang terjadi adalah anak akan trial error melakukan banyak hal, yang seringkali membuatnya bingung, karena seolah tak ada yang bisa dilakukan. Dalam kondisi seperti ini baik orangtua maupun anak berpeluang menjadi emosi. Kenapa tidak dikatakan, "JANGAN ribut, adik sedang tidur nanti bangun. Gimana kalau kamu main di luar, atau gimana kalau kamu baca buku dulu."

JANGAN itu seperti rem pada kendaraan. Ketika ada bahaya, maka kita mengerem. Tapi setelah itu kita tidak bisa diam di situ terus, kita harus maju lagi. "Maju lagi" itu analogi dari "apa yang perlu dilakukan anak"

3. Hukum bagi anak berbeda dengan hukum bagi orang dewasa.
Ada banyak hal yang dilarang dilakukan oleh orang dewasa tapi dimaafkan apabila dilakukan anak. Oleh karena itu cara memberi tahu anak menjadi berbeda karena konsekuensi hukumnya juga berbeda.

4. Dalam banyak hal, ammar ma'ruf didahulukan daripada nahi munkar. Dahulukan mengajak pada kebaikan daripada melarang. Itu pendapat saya.

5. Cara kerja otak itu unik, karena lebih mudah bagi otak untuk menyimpan stimulus visual. Kalau saya bilang "JANGAN membayangkan gajah warna pink" maka otomatis kita akan membayangkan gajah warna pink. Itu kenapa beberapa ahli menyarankan kita (untuk mempercepat proses penerimaan stimulus) adalah dengan menyampaikan kata atau kalimat yang lebih cepat diterima otak, misalnya, 'Bayangkan gajah yang berwarna coklat." maka otomatis gajah pink tidak akan terbayang.

Saya pernah buktikan itu dan silakan teman-teman melakukan sendiri percobaan kecil-kecilan. Ada seorang balita sedang disuapi. Di sebelahnya ada TV menyala menyiarkan film kartun. Matanya melirik terus ke TV sehingga mulutnya tidak mengunyah. Ibunya kesal, sehingga menegur, 'JANGAN nonton TV ..." Yang terjadi adalah anak itu terus menerus menengok ke TV dan ibunya menjadi kewalahan karena proses makan menjadi lama.

Singkatnya, kata JANGAN dan TIDAK, efektif bila orang yang dilarang sudah memiliki sistem value yang kuat dan tahu apa alternatif perilaku apa yang bisa dilakukan selain yang dilarang.

Silakan katakan JANGAN dan TIDAK pada anak. Tapi PASTIKAN bahwa anak tahu apa perilaku lain yang BOLEH dilakukan. Kalau tidak, anak akan bingung dan stress.

*Tidak mungkin ada kata JANGAN dan TIDAK kalau tidak ada gunanya ...

Wallahu'alam
PSIKOLOG JUGA MANUSIA ....
(Dibaca dengan nada lagu "Rocker juga Manusia" yang dinyanyikan Candil saat masih bergabung dengan Seurieus) smile emotikon

Perkataan itu kerap saya ucapkan ketika ada saja orang yang terheran-heran menemukan ternyata psikolog juga punya masalah dalam hidupnya. Atau ketika ada orang yang berkata, "kamu gak mungkin bisa merasakan apa yang saya rasakan, karena kamu gak punya masalah kayak saya."


Masalah itu Sunnatullah, dia akan selalu datang dalam hidup manusia seiring dengan bertambah usia (psikologi perkembangan), bertambahnya pengetahuan dan ketrampilan (psikologi pendidikan), bertambah luasnya relasi (psikologi sosial), bekerja (psikologi industri), termasuk juga adanya benturan dorongan dan keinginan yang ingin dicapai (psikologi klinis).

Salah satu hal yang saya syukuri dari sekian banyak keberkahan yang tak terhitung adalah karena saya sempat belajar agama dan psikologi secara paralel pada waktu yang relatif sama. Agama menanamkan kesadaran pada saya adanya Zat yang Maha Kuasa, di sisi lain psikologi mengajarkan saya kenisbian manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya sebagai makhluk.

Bekal ini yang saya gunakan ketika saya menghadapi berbagai tantangan dan kondisi dalam hidup.

Seorang teman psikolog pernah berkata pada saya, bahwa psikolog dan psikoterapis yang baik bukan mereka yang hidupnya selalu mudah. Psikolog dan psikoterapis yang baik adalah mereka yang menghadapi tantangan dan dapat mengatasinya. Mereka ini berpeluang lebih besar untuk dapat berempati pada kesulitan orang lain. Karena mereka pernah merasakan stress, cemas dan bahkan mungkin depresi atau bentuk-bentuk emosi lainnya. Mereka tahu usaha sebesar apa yang perlu dilakukan. Mereka juga tahu bagaimana lelahnya menghadapi ini semua. Termasuk mereka juga tahu bagaimana caranya "beristirahat" dan memotivasi diri. Mereka tak mudah merendahkan masalah orang lain.

Setiap masalah biasanya terkait dengan kelemahan diri kita. Dan kalau kita memandang dengan cara pandang Tuhan. Maka masalah adalah cara Tuhan menunjukkan kelemahan kita dan mengajarkan bahwa, itu lho titik di mana kita perlu meningkatkan diri dan mencapai level manusia yang lebih baik.

Ada orang yang lahir dan dibesarkan pada keluarga yang kurang ideal sehingga ia kehilangan kesempatan untuk belajar hal-hal mendasar yang pada umumnya dikuasai orang lain yang tumbuh dari keluarga ideal. Maka pada satu titik di masa depan ia akan dihadapkan pada kekurangannya tersebut. Dan Tuhan selalu punya cara untuk "memaksa" kita mendorong diri melampaui batas standar yang kita miliki selama ini. Tuhan punya standar sendiri yang ingin agar kita mencapainya.

- Sulit memahami orang lain, Tuhan akan hadapkan kita pada kondisi di mana kita "harus" memahami dan bahkan melayani orang lain.
- Tidak sabar mengajari orang lain, Tuhan akan kirimkan orang yang menantang kesabaran dan ketelatenan kita untuk mengajarinya.
- Cenderung egois dan mementingkan diri sendiri. Tuhan akan membenturkan diri kita pada situasi di mana kita harus mendahulukan orang lain.
- Dlsb (Daftar ini bisa kita perpanjang)

Karena masalah dan tantangan adalah Sunnatullah, maka bergantung pada kesediaan kita untuk coping dan solving the problem. Stress dan libatan emosi saat menghadapi tantangan tersebut lebih banyak disebabkan kesediaan kita untuk menerima kondisi (acceptance). Semakin kita menolak, semakin kita tidak adaptif semakin tinggi libatan emosinya.

*Pahit dan manis sama saja. Selama itu semua datangnya dari Tuhan, maka pasti baik adanya.

KESUKSESAN VERSI ORANG INTROVERT
(Konteks acceptance dan adaptasi terhadap anak)

- Anak saya introvert banget bu, dia tidak mau mendengarkan kalau saya bicara. Tertutup sekali dan banyak rahasianya. Dia sampai bilang, 'Udah deh mama jangan nanya-nanya melulu, pusing'

+ Putri ibu senang main sama teman-temannya gak?

- Ya itu juga masalahnya, dia kalau sama teman-temannya sih gak masalah. Rame banyak ngomong. Tapi kalau sama saya nggak. Mau jadi apa dia nanti kalau introvert begitu.

----------

Istilah introvert dan ekstrovert kerap disederhanakan menjadi pendiam dan banyak bicara. Padahal tidak sesederhana itu. Introversi dan ekstroversi adalah berkaitan dengan bagaimana seseorang mengarahkan energi mentalnya.

Orang introvert lebih banyak mengarahkan energi mentalnya ke dalam diri, sehingga ia lebih sering melakukan refleksi. Ia membutuhkan waktu soliter lebih banyak untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu orang introvert senang melakukan aktivitas soliter seperti, membaca, menulis, menggunakan komputer, memancing. Seniman, penulis, pematung, insinyur, komposer dan para penemu seringkali adalah seorang introvert. Mereka lebih menyukai fokus pada satu aktivitas. Mengamati terlebih dahulu sebelum terlibat dalam suatu kegiatan. Dan berpikir serta menganalisis terlebih dahulu sebelum berbicara. Berbeda dengan seorang pemalu yang memiliki kecemasan dalam berinteraksi sosial. Orang introvert yang sehat, tidak memiliki kecemasan tersebut, namun memang lebih suka situasi soliter.

Sementara orang yang ekstrovert lebih banyak mengarahkan energi mentalnya ke luar diri. Ia merasa lebih terbangkitkan bila berada dalam kelompok atau melakukan relasi sosial yang intens. Sehingga ia nampak mudah terlibat dan beradaptasi dalam lingkungan baru. Bidang marketing, politik dan aktivitas-aktivitas sosial lebih menarik bagi mereka.

Ada satu istilah lagi yang relatif kurang dikenal, yaitu ambievert. Orang ini dapat berubah-ubah antara ekstrovert dan introvert.

Pada dasarnya tidak ada orang yang 100 persen introvert dan 100 persen ekstrovert. Dan sekalipun seseorang itu dominan pada satu kutub, maka tak ada salahnya juga menjadi orang seperti itu.

Oleh karena itu menjadi menarik ketika menyimak keluhan para orangtua mengenai anak-anaknya yang "dicurigai" introvert hanya karena mereka enggan berbicara dengan orangtuanya. Menurut saya di sini ada beberapa kesalahan berpikir.

Kesalahan berpikir yang pertama adalah menganggap bahwa introvert itu salah dan bermasalah sehingga mempunyai anak introvert menjadi "patut disesali."

Kesalahan berpikir yang kedua adalah menganggap bahwa introvert terkait dengan kemampuan bicara dan kesediaan mendengar. Padahal kemampuan bicara tidak ada hubungan dengan introvert. Dan karena orang introvert senang menyimak dan berpikir, maka kemampuan mendengar justru relatif lebih menonjol.

Kesalahan berpikir yang ketiga adalah mendefinisikan kesuksesan dengan paradigma ekstrovert, yaitu orang sukses adalah orang yang mudah bergaul, menarik ketika berbicara, asertif, dll.

Jadi kalau anak tidak mau berbicara dan mendengarkan orangtua, itu lebih karena situasi itu tidak menyenangkan atau bahkan mengancam baginya. Tidak ada hubungannya dengan introvert ataupun ekstrovert. Kalau setiap anak berbicara, langsung di-judge/dihakimi atau disalahkan, maka aktivitas berbicara dengan orangtua menjadi aktivitas yang kurang menarik dan anak akan enggan melakukannya.

Dan kalaupun anak adalah benar introvert, terima saja, dan ada banyak cara memanfaatkan kecenderungan introvertnya tersebut untuk menjadi sukses.

*Definisi introvert dan ekstrovert mengacu pada Carl Gustaf Jung.
ZERO MISTAKE AND ZERO TOLERANCE
(Konsep pendidikan anak)

"Anak saya tidak boleh main games bu. Kalau main games akan saya hukum"
"Kok nilainya hanya 9, masih ada yang salah ini"
"Kamu ini musti rajin belajar, jangan main melulu ... " (note: anak sekolah fullday Senin-Jumat, Sabtu-Minggu les)
"Kenapa kamu lihat-lihat BF, kamu bikin malu orangtua saja ..."
Dll ...

Ada saja saya menemukan orangtua yang memiliki standar "zero mistake" untuk anak-anaknya. Orangtua seperti ini juga biasanya menjadi "zero tolerance" pada kesalahan yang dibuat anak. Konsekuensi ikutannya adalah, orangtua cerewet dan mudah emosi. Anak patuh tapi stres. Atau anak oposisional, berontak dan melawan.

Konsep zero mistake dan zero tolerance sebetulnya baik bila ditempatkan pada tempat yang tepat, misalnya ketika kita bicara tentang pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan keselamatan. Pilot, Masinis, Dokter bedah syaraf, teknisi nuklir, apoteker atau orang-orang dalam bidang teknik yang berkaitan dengan operasional peralatan.

Hal yang kerap lupa atau luput diingat oleh orangtua kelompok ini antara lain:
1. Anak bukanlah mesin atau benda mati. Anak adalah makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang.

2. Berbuat salah pada anak adalah cara anak belajar. Kadang agak berbeda dengan orang dewasa yang seringkali melakukan kesalahan karena intensi atau dengan kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.

3. Orangtua lupa kalau dia dulu pernah menjadi anak dan juga melakukan kesalahan yang sama.

4. Melakukan kesalahan itu berbeda dengan karakter buruk.

5. Anak berbuat kesalahan tidak selalu karena mereka sengaja melakukan, tapi boleh jadi karena mereka belum belajar bagaimana cara yang benar. Biasanya ini terjadi karena lebih banyak larangan daripada contoh perbuatan yang benar.

6. Berbeda dengan cara berpikir induktif dalam sains bahwa yang paling benar itu hanya satu, maka dalam kehidupan sosial, yang ditandai dengan cara berpikir deduktif, hal yang baik dan benar itu bisa banyak. Sehingga kalau kita ingin mencapai tujuan maka ada banyak cara yang bisa kita lakukan, bukan hanya satu cara. (Note: ini bukan konteks bahasan agama)

7. Kesalahan memang memiliki konsekuensi, tapi respon emosi berlebihan terhadap kesalahan apalagi diikuti dengan label, cenderung kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.

8. Melakukan kesalahan bukanlah "kiamat". Perbaiki saja dan kemudian cari cara yang lebih baik. Banyak orang sukses, sebelumnya melakukan banyak kesalahan. Alih-alih terpuruk, mereka mencari jalan atau alternatif lain untuk mencapai tujuannya.

9. Manusia itu tidak seragam. Anak tidak selalu sama dengan orangtuanya bahkan dengan saudaranya sekalipun. Sehingga cara yang efektif bagi seseorang belum tentu efektif buat orang lain.

10. Dan anak bukanlah nabi. Mereka manusia yang tidak sempurna. Ada kelemahan meskipun pasti ada kelebihannya juga.

Last but not least, kita sendiri sebagai orangtua menyadari penuh kelemahan kita sebagai manusia. Kalau kita ingin orang lain memahami dan berempati terhadap kesalahan-kesalahan yang kita buat, maka pahami dan berempatilah terhadap anak kita sendiri saat mereka melakukan kesalahan-kesalahan ....

Wallahu'alam

Note lagi: Tulisan ini berdasarkan observasi terhadap kasus-kasus real

THE POWER OF 'MODEL'
(Konteks pendidikan anak)

Model atau contoh itu memiliki kekuatan luar biasa. Kelihatannya semua orang sepakat dengan pernyataan tersebut. Baik dalam konteks keluarga, pekerjaan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Saking pentingnya, sehingga saat ada masalah, sangat sering orang menisbahkan kesalahan pada pemberi contoh. Anak yang berperilaku buruk, berarti orangtuanya tidak mencontohkan perilaku baik. Perilaku karyawan buruk, atasannya yang dituding. Dan bahkan ketika rakyat berperilaku buruk, pemimpinnya yang disalahkan.

Saya ingin bercerita tentang kekuatan contoh ini pada diri saya sendiri dalam konteks pengembangan putri saya yang memiliki kondisi khusus dan sangat jarang terjadi. Dulu saya mendapat info bahwa hanya 10.000 : 1 kondisi yang terjadi pada putri saya. Itu pun saya tidak bisa memperoleh informasi memadai, karena orangtua lebih suka menyembunyikan kondisi anaknya daripada bersikap wajar dan memperlakukan anaknya yang berkebutuhan khusus sama seperti anak-anak lainnya.

Sejak tahun 1994 hingga 1,5 tahun kemudian, saya betul-betul kebingungan bagaimana caranya untuk mengembangkan anak saya. Hal itu karena saya tidak memperoleh diagnosis dan informasi detail yang memadai. Baru pada tahun 1996 saya memperoleh titik terang saat memperoleh diagnosis dari seorang dokter 'bule' dan didukung pula oleh dokter anak saya. Sejak saat itu usaha saya untuk melakukan treatment menjadi lebih fokus berdasar data yang diperoleh.

Satu hal yang saya lakukan cukup intens adalah mencari website yang berkaitan dengan kondisi putri saya. Saya juga bergabung dengan mailing list support group yang anggotanya berasal dari seluruh dunia. Tujuan saya adalah belajar bagaimana caranya saya harus memperlakukan putri saya. Saya benar-benar tak punya model atau contoh di lingkungan saya.

Pada suatu hari saya menemukan website dari seorang penyandang. Ia dosen di sebuah universitas di Amerika dan memiliki keluarga bahagia dengan beberapa anak. Seperti sebuah keajaiban, percaya atau tidak, semangat saya tiba-tiba meningkat sangat pesat. Pada awalnya, saya mengira bahwa anak saya akan bergantung selama hidupnya pada saya sebagai orangtua. Tapi setelah membaca dan berkenalan dengan para penyintas (survivor) ini, saya menjadi yakin bahwa anak saya dapat memandirikan dirinya dan membuat pencapaian bernilai bagi diri dan lingkungannya.

Rencana pendidikan anak pun menjadi lebih tertata dan lebih fokus pada tujuan besar di masa depan.

Menyadari pengaruh luar biasa yang bisa diperoleh dari model/contoh, maka hal itu juga yang kerap saya lakukan, baik dalam konteks pengembangan anak maupun dalam konteks penanganan masalah orang lain. Ada beberapa cara pemanfaatan contoh yang saya lakukan:
1. Orang bisa mengambil contoh dari dirinya sendiri. Saya minta ia mencari dalam pengalaman hidupnya keberhasilan yang pernah ia lakukan dan kemudian ia saya minta mengikuti pola keberhasilan tersebut.
Misalnya, orang yang merasa kurang berhasil berkomunikasi dengan anak, saya minta untuk mencari kapan, di mana dan dengan siapa ia pernah berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Pola itu yang ditiru sehingga ia bisa berkomunikasi dengan baik dengan anaknya.

2. Mengambil contoh dari orang di lingkungan terdekat.
Misalnya, pernah ada seorang ibu yang kesulitan untuk mengekspresikan kasih sayangnya pada anak. Saya minta ia melihat di lingkungan, entah itu orangtuanya, saudaranya, sahabat, tetangga, dll. orang yang menurutnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengekspresikan perasaan. Pelajari dan ikuti polanya.

3. Belajar dari kisah-kisah orang-orang besar dulu dan sekarang, termasuk para nabi dan pemuka agama. Itulah mengapa saya senang membaca biografi. Saya berusaha menemukan hal-hal menarik dalam hidup banyak orang dan mengambil pelajaran dari situ. Perkembangan media sekarang yang luar biasa memudahkan hal ini. Orang bukan hanya belajar dari buku, koran, TV, radio tapi juga melalui media sosial, blog, website dan juga youtube. Elanto si pemberani itu juga sebetulnya sudah banyak contohnya di luar negeri (ada video-videonya di YT). Semoga ia menambah contoh di Indonesia sebagai orang yang berani menegur kesalahan dan menyadarkan orang pada hal yang benar.

4. Bagi para orangtua, saya lebih suka menyarankan mereka mengubah perilakunya sehingga menjadi contoh bagi anak, karena ini jauh lebih mudah dan berkekuatan daripada orangtua mencari cara menasihati anak atau "menyuruh" psikolog menggantikan tugas orangtua untuk menasihati anaknya.

Sungguh, bertaburan banyak contoh dalam diri maupun di lingkungan. Dari dulu hingga sekarang. Pilih yang baik dan manfaatkan ...

-----

*Putri saya menyandang Crouzon Syndrome, gangguan dalam perkembangan tulang tengkorak kepala yang mempengaruhi fungsi seluruh organ di kepalanya.


MENGAJARKAN *SUNNATULLAH PADA ANAK
(Konteks pendidikan anak di rumah)

- Anak saya itu kalau minta barang sama ibunya gak dikasih, dia akan minta sama saya, Mbak.

+ Lalu ...?

- Ya saya kasih lah. Cuma mainan harga segitu, saya ada uangnya pula untuk membelikan. Kita kan sayang sama anak. Jarang ketemu pula. Lagian kita cari uang kan buat anak.

+ Apakah anak jadi patuh?

- Ini masalahnya, anak saya susah kalau diberi tahu. Gak mau nurut. Kalau ibunya yang ngasih tahu suka cerewet. Dia gak mau mendengar. Saya sih kan memang jarang ketemu. Saya sering kerja di luar kota.

+ Sekarang usia berapa anaknya?

- 20 tahun bu

+ Bukan anak lagi dong ya. 20 tahun berarti sudah dewasa.

- Ya tapi kelakuannya masih seperti anak-anak. Manja, suka gelendotan dan gampang ngambek kalau keinginannya tidak dikasih.

+ Ada konsekuensi tidak kalau putri bapak melakukan kesalahan?

- Tidak ada

+ Dan kapan dia bisa mendapat apa yang diinginkan, selain kebutuhan primernya.

- Mmmmhhhh .... gak ada waktu tertentu bu. Dia selalu dapat apa yang diinginkan. Ya kita sampai sejauh ini tidak kesulitan untuk memberikan yang dia mau.

.................

Ketika kita bicara tentang anak, maka itu bukan hanya bicara tentang bagaimana menyenangkan anak. Kita juga mengajari anak tentang hukum atau aturan dalam kehidupan nyata. Beberapa orang menyebutnya sebagai Sunnatullah.

Dalam kehidupan nyata, maka apapun yang kita lakukan selalu ada konsekuensinya. Jika kita berbuat baik, maka akan memperoleh kebaikan. Dan jika kita berbuat buruk, maka akan memperoleh keburukan. Memang kadang tidak sesederhana itu, namun sebagian besar hal mengikuti "hukum" tersebut. Itulah yang kita ajarkan pada anak, ketika kita mengajarkan konsekuensi pada anak di rumah.

Sekalipun orangtua memiliki harta yang banyak, perlu dipilah dan dibedakan antara kebutuhan dan keinginan. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan, seperti misalnya, makanan, pakaian, kebutuhan sekolah, maka beberapa orangtua bisa memberikan tanpa kendala. Tapi untuk hal-hal yang berkaitan dengan keinginan, maka anak harus belajar bagaimana berusaha memperolehnya.

Apa yang diinginkan dijadikan sebagai cara untuk mendorong anak berusaha. Sementara mengurangi atau menghilangkan apa yang diinginkan adalah konsekuensi negatif dari kesalahan yang dibuat.
Misalnya, anak ingin menonton film. Kalau itu hanya bersifat entertain/hiburan, maka dia hanya bisa memperolehnya setelah berusaha. Misalnya setelah dia mengerjakan tugas baik rumah maupun sekolah. Tapi kalau dia tidak mengerjakan tugas, maka dia tidak mendapat apa yang diinginkan.

Ada kendali yang perlu diajarkan, ada kemampuan menunda kepuasan yang perlu dibiasakan dan itu semua diajarkan dengan alamiah. Orangtua adalah pemegang amanah sehingga memiliki otoritas untuk mengatur dan memimpin. Dan bicara tentang memimpin bukanlah bicara tentang memaksa. Akan tetapi bicara tentang kewibawaan, kompetensi, trust, dan kemampuan mempengaruhi.

Wallahu'alam

*Sunnatullah = Ketetapan Allah.
Sebagian orang berpendapat bahwa Sunnatullah hanya terkait hal-hal yang bersifat fisik.
Namun sebagian lagi berpendapat bahwa Sunnatullah melingkupi semua hal yang terkait ketentuan atau ketetapan Allah baik yang bersifat fisik maupun dalam kaitannya dengan sosial.


EMOSI YANG BERANAK-PINAK
(Konsep emosi dalam Emotion Focused Therapy)

Seorang anak menangis sedih karena bonekanya hilang.
Kesedihan ini adalah emosi primer yang disebabkan stimulus yang jelas, yaitu kehilangan boneka.


Tapi ketika seseorang membenci dirinya yang tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan, maka kebencian ini adalah emosi sekunder yang terjadi karena emosi yang lain (tidak berdaya).

Ada lagi ekspresi emosi yang diperalat atau dijadikan instrumen baik untuk mencapai tujuan sadar maupun tidak sadar. Emosi ini terjadi karena proses belajar atau latihan (conditioning) yang berulang, dan diperkuat ketika ia memperoleh konsekuensi yang sesuai dengan yang diharapkannya. Contohnya,
- Anak yang menggunakan tangisan untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
- Seorang suami yang melakukan kesalahan berulang, namun selalu minta maaf kepada istrinya dengan merayu dan membelikan barang mahal, sehingga istrinya luluh dan akhirnya menerima kembali suaminya.
- Sebaliknya dengan pola yang sama adalah istri yang merajuk (ngambek) kepada suaminya sehingga akhirnya suaminya mengalah mengikuti keinginan istrinya.
- Contoh yang dipandang bisa diterima oleh lingkungan, adalah seorang sales yang tersenyum dengan maksud agar orang mau membeli barang yang dijualnya.

Respon emosi instrumen yang sering dipakai dan melekat begitu kuat pada diri seseorang, menjadi "topeng" yang kerap tidak lagi disadari oleh ybs.

Respon emosi primer perlu diterima (accept), terutama bila respon itu bersifat adaptif. Misalnya sedih karena kehilangan, marah karena menghadapi kekerasan, takut atas ancaman, dll. Emosi tersebut adalah wajar karena bertujuan untuk mempertahankan diri. Berikan kesempatan orang tsb. untuk mengungkapkan perasaannya,

Ada respon emosi primer yang maladaptif. Untuk bentuk ini, maka orang perlu dibimbing untuk dapat menemukan kebutuhannya yang tepat sehingga dapat menampilkan respon emosi yang adaptif.

Respon emosi sekunder lebih kompleks karena bisa merupakan rantai emosi yang panjang. Dibutuhkan kemampuan khusus untuk mengeksplorasi respon emosi sekunder sehingga diperoleh rangkaian emosi yang membentuknya sehingga muncul emosi sekunder.

Respon emosi instrumental juga membutuhkan kemampuan khusus untuk mengeksplorasi dan membuat seseorang menemukan kesadaran diri agar ia bisa berfungsi dengan tepat dengan memanfaatkan ekspresi emosinya dalam situasi sosial.

Dalam banyak kasus anak, kerap terjadi orangtua mengabaikan respon emosi primer anak, sehingga respon emosi berubah menjadi sekunder atau bahkan instrumental.

Sementara banyak kasus dewasa, melibatkan respon emosi sekunder dan instrumental.


ANAK KEDUA, ANAKKU JUGA

"Anak saya yang kedua itu kok beda banget sama kakaknya, ya bu ... "

Saya sudah tak asing dengan kalimat itu. Baik orangtua yang mengeluh tentang anak keduanya, maupun tentang anak pertamanya. Poin-nya adalah bahwa anak kedua berbeda dari anak pertama.


Statistik memang menunjukkan hal tersebut. Sampai-sampai tema karakter terkait urutan atau posisi anak dalam keluarga menjadi tema khusus yang dibahas saat saya dulu belajar Psikologi Perkembangan (Manusia). Karena memang urutan anak ternyata adalah salah satu yang berpengaruh terhadap karakter anak.

Ada keinginan dan dorongan yang sangat besar pada diri manusia untuk menjadi dirinya sendiri yang utuh dan unik. Mereka tak suka dibandingkan dengan orang lain, hatta itu saudaranya sendiri padahal mereka membawa gen yang sebagian besar sama.

Dengan mekanisme yang unik hal itu yang terjadi pada anak kedua. Bila kakaknya pendiam, maka si adik kedua lebih rame. Sebaliknya bila kakak rame, maka adiknya pendiam. Kakak dan adik seringkali memiliki hobi yang berbeda dan memiliki kekuatan/kelemahan yang berkebalikan.

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan perbedaan itu. Hanya saja entah mengapa orangtua senang sekali membandingkannya. Masalahnya dengan membandingkan adalah orang yang dibandingkan kerap merasa dia diukur. Dan ukuran berarti melibatkan nilai mana yang lebih baik, dan mana yang lebih buruk.

Yang membuat anak merasa tidak nyaman adalah, bila orangtua bukan hanya menilai dan membandingkan tetapi juga memiliki preferensi atau lebih suka pada karakter satu anak daripada karakter anak yang lain. Dan preferensi itu tampil pada perlakuan, ekspresi, pemihakan orangtua, yang terasa jelas bagi anak dan mendorong respon alamiahnya. Perasaan diterima akan mendorong respon kooperatif, sedangkan perasaan ditolak akan mendorong respon caper (cari perhatian) baik dengan cara positif (menunjukkan prestasi) maupun cara negatif (nakal atau melanggar aturan).

Anak dengan cara uniknya mengingatkan pada orangtua, bahwa mereka hanya perlu diterima apa adanya. Karena mereka hadir dalam hidup kita adalah atas pilihan Sang Maha Tahu. Apakah anak pendiam, rame, cepat belajar, sensitif, banyak makan, banyak bergerak, dll. semua adalah pilihan Allah untuk memberi peluang bagi orangtua meningkatkan kualitas dirinya. Sekaligus mengingatkan bahwa anak pada hakikatnya adalah 'milik' Allah, dan hanya titipan bagi orangtuanya ....

Wallahu'alam


LDR
(Konteks pendidikan keluarga)

LDR atau singkatan dari Long Distance Relationship, seringkali dinisbahkan pada pasangan remaja yang berjanji menjalin hubungan namun tinggal di tempat yang saling berjauhan. Jarang istilah ini dikenakan pada pasangan yang sudah menikah yang karena satu dan lain hal terpaksa berpisah dalam jangka waktu relatif lama.


Istilah LDR ini muncul begitu saja saat saya menghadapi klien-klien pasangan suami-istri yang bertahun-tahun hidup terpisah karena tuntutan pekerjaan. Hanya beberapa bulan sekali sang suami pulang untuk bertemu keluarganya untuk kemudian kembali lagi ke tempat kerjanya.

Menarik ketika menyimak keluhan-keluhan yang muncul dari para istri, terkait keputus-asaan mereka menghadapi anak yang tidak disiplin. Sementara keluhan dari para suami adalah mereka kecewa karena anak tumbuh besar tanpa rasa tanggung jawab dan kesadaran bahwa mereka sudah dewasa.

Saya tahu, adalah gegabah bila saya menggeneralisir bahwa pasangan LDR menghasilkan anak-anak yang kurang disiplin dan kurang bertanggung jawab. Dan memang bukan itu arah kesimpulan saya. Saya jadi teringat pernyataan seorang psikolog senior, Ibu Elly Risman, bahwa seorang ayah memiliki tugas antara lain menegakkan aturan/disiplin, mengajarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan serta menanamkan konsep-konsep agama. Sementara seorang ibu memberikan pendekatan afektif (kasih sayang) untuk menumbuhkan kepekaan.

Kasus-kasus LDR yang saya amati seolah memperkuat pernyataan bu Elly tersebut. Bahwa ketika seorang ayah tidak menjalankan fungsinya, dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak sepenuhnya kepada istri, maka peluang ketidakseimbangan perkembangan anak menjadi cukup besar terjadi. Karenanya seorang ayah, sekalipun ia memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja, namun ia juga tetap memiliki peran crucial dalam pendidikan anak dan keluarganya terutama dalam hal kedisiplinan, mengajarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan serta penanaman nilai dan konsep-konsep agama.

*Dari "Program Pensiun Gaul" Eastparc Yogyakarta 070815


INTEGRITY VERSUS DESPAIR
(Konteks Menyikap Masa Pensiun)

Pada usia 40 hingga sekitar 60 tahun, maka biasanya orang mengalami pencapaian dalam aktivitasnya. Karir bagi laki-laki dan perempuan bekerja dan mengasuh serta mendidik anak bagi ibu rumah tangga.


Bagi mereka yang bekerja, maka mereka masuk ke dalam masa persiapan pensiun. Pada saat itu mereka akan menghadapi banyak tuntutan perubahan. Baik itu dalam hal ragam aktivitas maupun relasi sosial. Bagi beberapa orang yang masih memiliki anak yang perlu dibiayai sekolahnya, maka hal ini kadang membuat cemas. Karena di satu sisi masih ada tuntutan untuk memiliki pendapatan yang memadai, bahkan lebih tinggi. Di sisi lain, sumber pemasukan terancam berkurang.

Situasi ini yang kerap menimbulkan tense atau ketegangan yang lebih tinggi yang juga bisa menyerang kesehatan. Ketegangan juga bisa disebabkan oleh kesadaran pada masalah-masalah yang sebelumnya tidak disadari keberadaannya karena perhatian yang lebih terfokus pada aktivitas lain.

Keluhan mengenai, anak yang ternyata sulit dikendalikan, pasangan yang "mengecewakan", kecemasan harus menurunkan standar gaya hidup sebelumnya, kecemasan mengenai berkurangnya pemasukan yang akan berimbas pada kelangsungan hidup, dan kecemasan karena menurunnya kondisi fisik dll. adalah hal yang kerap muncul pada masa ini.

Mereka yang memiliki fondasi kuat dalam hal mental hanya perlu waktu sebentar saja untuk beradaptasi dengan situasi ini. Sementara mereka yang hidupnya kurang seimbang, terlalu fokus pada satu hal dalam hidup dan abai pada hal lainnya akan mengalami despair atau kekecewaan terhadap banyak hal.

*dari program "Pensiun Gaul Executive" di Eastparc Yogyakarta 060815


BASIC TRUST VERSUS MISTRUST - yws

(Konteks Perkembangan Psikososial Anak)

Bagaimana seorang ibu atau ayah menggendong atau membuai bayinya? Canggung, bingung, tidak percaya diri, kesal, bosan?
- "Saya gak bisa nggendong bayi, kagok, anaknya suka rewel. Biar ibu saya saja yang nggendong."
- "Takut bu, takut bayinya jatuh, habis dia menggeliat-geliat begitu seperti ikan mas baru ditangkap."
- "Ah anak bayi kan masih tidur melulu bu, gak usah terlalu banyak digendong-gendong lah, taruh di tempat tidurnya saja."
- "Bosan bu dan pegel juga, kita kan banyak kerjaan, masa harus gendong-gendong bayi terus."
- "Nggak deh, biar si Mbak nya aja yang pegang, repot."

Perkataan itu kebanyakan keluar dari para ibu muda atau para bapak. Ada yang kecanggungan dan keengganannya hanya berlangsung sekitar beberapa hari saja, namun juga ada yang berlangsung lebih lama hingga bertahun-tahun hingga anak merasa 'jablai' oleh orangtua kandungnya sendiri.

Apa hubungannya menggendong dengan trust dan mistrust yang dituliskan sebagai judul di atas? Basic Trust versus Mistrust adalah istilah yang diusung oleh Erik Erikson (Psikolog Jerman kelahiran Amerika, bukan orang Sunda smile emotikon ) dalam Teori Perkembangan Psikososial.

Menurut Erikson, perkembangan psikososial itu seperti anak tangga. Setiap anak tangga memiliki kerentanannya masing-masing. Bila kerentanan bisa dilalui dengan baik, maka akan menjadi fondasi kuat untuk melangkah ke 'anak tangga' berikutnya. Sementara bila kurang berhasil, maka akan membuat 'limbung' di tahap perkembangan berikutnya. Oleh karena itu setiap level pencapaian selalu ada dua kutub pencapaian, berhasil atau kurang/tidak berhasil.

2 tahun pertama adalah pembentukan trust atau rasa percaya anak kepada orang-orang di lingkungannya, terutama kepada orang-orang yang paling penting dalam hidupnya yaitu orangtua atau pengasuhnya. Trust menjadi dasar dari perkembangan psikososial selanjutnya, seperti pembentukan konsep diri, kepercayaan diri, kemampuan empati, relasi sosial, dst. Pembentukan trust itu diawali dari bagaimana orangtua/pengasuh melakukan pengasuhan, menatap, menggendong, membersihkan, mengenakan pakaian, memberi makan/minum, mengajak bercakap, bermain, dll.

Bayi adalah sosok yang tidak berdaya secara fisik sehingga ia bergantung sepenuhnya kepada orang dewasa di sekitarnya. Ia dapat merasakan siapa yang ikhlas dan penuh kasih sayang hanya dari bagaimana mereka menyentuh atau memperlakukannya. Bayi pun berespon sesuai dengan bagaimana stimulus yang diterimanya. Bila ia diperlakukan tergesa-gesa atau kasar, maka ia tidak nyaman dan akan rewel. Bila ia diperlakukan lembut maka perasaan nyamannya akan membuatnya tenang.

Orang dewasa atau pengasuh yang kurang sabar, seringkali menganggap bahwa bayi yang rewel disebabkan karena 'kesalahan' bayi itu sendiri. Ia tidak menyadari bahwa bayi hanya berespon terhadap stimulus yang ia terima. Memang ada bayi yang lebih sensitif dibanding yang lain, bayi yang memiliki standar kenyamanan lebih tinggi. Bagaimanapun nature/sifat bayi itu tetaplah orang-orang di lingkungannya yang perlu menyesuaikan diri dan memberikan stimulus yang membuat aman dan nyaman bagi bayinya.

Remaja-remaja yang enggan curhat kepada orangtuanya hubungan anak-orangtua yang kurang hangat, atau anak yang rewel luar biasa, anak-anak yang underachievement (kurang berprestasi), dan berbagai problem lainnya dalam hubungan anak orangtua, ketika ditelusuri, kerapkali berawal dari pembentukan trust di 2 tahun pertama yang terganggu.

Ada sementara ibu muda yang berkata, "Ah ngurus anak sih nanti aja kalau anak sudah besar. Sekarang masih bayi kan belum ngerti dan belum bisa apa-apa." Nah, dengan paradigma bahwa pembentukan fondasi adalah sejak awal, maka problem justru akan semakin besar saat anak menjelang remaja.

Remaja yang bonding/ikatan emosinya kurang terbentuk sejak bayi dengan orangtuanya (bukan hanya ibu tapi juga ayah), tidak akan dengan mudah menerima dan percaya pada apa yang disampaikan oleh orangtuanya. Mungkin dia lebih menurut pada pengasuh atau kakek-neneknya jika trust yang terbentuk lebih kuat pada pengasuh atau orang-orang yang signifikan baginya.

Lebih mudah membangun di atas fondasi yang kuat daripada di atas fondasi yang lemah ...

Yeti Widiati

Sumber gambar: www.pinterest

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...