Senin, 30 Januari 2017

KETIKA ANAK MENYELESAIKAN MASALAH DENGAN KETAGIHAN BERMAIN VIDEO GAMES - yws
(Konteks Ego State Therapy)

Sebentar ..... jangan langsung ngebul ketika melihat anak kecanduan main video games. Boleh jadi ada informasi yang bisa kita peroleh dari games apa yang dipilih anak (atau bahkan orang dewasa) yang mereka mainkan berulang-ulang. Informasi ini akan berguna bagi kita para orang dewasa untuk membuat rencana penanganan yang lebih efektif, daripada hanya sekedar melarang atau membatasi penggunaan video games.

Menurut saya (dari hasil pengamatan), semua kecanduan, entah itu kecanduan games, merokok, minuman keras, belanja, belajar, bekerja, narkoba, seks, bahkan makan sekalipun berkait dengan adanya hal yang "kurang" pada diri seseorang. Perilaku adiksi/kecanduan yang dilakukan, sebetulnya adalah upaya untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya alih-alih berhasil menyelesaikan masalah malah memperburuk masalah atau bahkan menimbulkan masalah baru. Menimbulkan masalah kesehatan, fokus, managemen waktu, relasi sosial, emosi, dll. Akhirnya jadilah seperti lingkaran setan yang tidak berakhir.

"Kekurangan" yang menjadi latar belakang terjadinya kecanduan video games, bisa berupa
  • Kurang perhatian, penghargaan dan kasih sayang dari orangtua
  • Kurang pengaturan sistem, managemen waktu, disiplin dan pengkondisian positif yang disusun oleh orangtua
  • Anak kurang memiliki kemampuan kendali diri, emosi dan dorongan
  • Anak kurang luas minatnya dan kurang memiliki alternatif kegiatan produktif (dipengaruhi orangtua)
  • Anak kurang percaya diri, konsep diri rendah, kurang berteman
  • Dan kurang-kurang lainnya

Ragam jenis video games itu luar biasa banyak dengan karakteristik yang berbeda. Dari mulai untuk balita sampai dewasa, perempuan atau laki, yang fun, berpikir, petualangan, olah raga, kekerasan, dll. Jadi ada yang memang dibuat serius dengan tujuan spesifik, dan ada yang lebih ringan dari itu.

Yang jelas, hampir semua games dirancang sedemikian rupa agar orang tertarik memainkannya. Melibatkan semua sensori (multimedia). Oleh karena itu mengapa games dibuat dengan warna yang menarik, suara yang exciting, menyita perhatian dan kinestetik.

Hal-hal semacam ini yang justru tidak dilakukan oleh para orangtua dan guru, dalam proses belajar mengajar di rumah maupun di sekolah, sehingga metode pembelajaran cenderung minimalis dan searah. Tak ayal, anak menjadi bosan dan mencari cara lain yang menurut mereka lebih menyenangkan dan mengasyikkan. Kalau guru dan orangtua marah-marah karena anak tidak belajar, semakin kekal-lah asosiasi bahwa belajar itu adalah kegiatan yang tidak menyenangkan.

Games yang relatif paling cepat membuat kecanduan biasanya adalah games online. Karena rancangannya yang dibuat "menggantung". Tidak pernah jelas kapan bisa menang. Seperti konsep peluang kemenangan dalam berjudi. 1 kali kebetulan menang, selanjutnya kalah terus. Tidak ada pola yang bisa diikuti supaya peluang menang lebih besar. Karena sering kalah namun pernah menang, maka hal ini akan mendorong anak-anak untuk memainkannya lagi dan lagi. Bagi anak2 dengan ragam "kekurangan" tadi, maka merekalah yang akan paling rentan terjebak oleh 'permainan' games.

Seperti saya sampaikan di atas, maka pilihan jenis atau tema games bisa menjadi informasi bagi para orangtua, mengenai apa sebetulnya "kekurangan" yang dialami anak.

Untuk analisis mendalam, memang dibutuhkan orang yang profesional. Tapi sebagai orangtua atau pun guru, juga bisa melakukan sesuai dengan kemampuannya untuk mengambil tindakan awal.

Anak-anak yang memiliki konsep diri rendah (dan ini cukup banyak). Jarang atau bahkan tidak pernah berprestasi, berpeluang mencari games yang murah hati memberikan "reward". Tidak judging, selalu memberi semangat. "Gak ada matinya". Kalau salah boleh main lagi tanpa batasan. Kata-kata, Excellent, Good Job, Superb, dll yang "diucapkan" dengan suara bersemangat oleh games, akan menjadi kepuasan tersendiri bagi anak dan juga "memberikan" pengakuan kepada kemampuan dirinya.

Anak-anak yang di dunia nyata tidak memperoleh prestasi atau membuat pencapaian, akan mencari pengakuan itu di dunia maya melalui games yang royal memberikan hadiah dan pujian maya baginya. Sedikit banyak, cara ini membuat anak memperoleh kepuasan sementara dari kenyataan hidup yang membuatnya kurang nyaman.

Dan ketika ketidak-nyamanan itu muncul lagi, misalnya, saat ia dimarahi guru karena tidak buat PR. Dimarahi orangtua karena nilai pelajarannya rendah, dst, akan mendorong anak untuk kembali terjerat dalam jebakan lingkaran setan Video Games. Menikmati candu pujian, skor yang meningkat, kepuasan yang bersifat maya. Anak memunculkan "ego state" menghargai dan mengapresiasi dalam wujud games. Sekaligus juga skema untuk menyelesaikan masalah. Dilematis, di satu sisi skema ini menyelesaikan masalah untuk jangka pendek, namun di sisi lain tidak menyelesaikan bahkan memperburuk masalah. Sehingga boleh dikatakan bahwa cara ini adalah menyelesaikan "masalah dengan masalah".

Dengan keterbatasan kemampuan berpikir anak, maka sebetulnya hal ini bisa dipahami. Sehingga sebetulnya orangtua lah yang berperan untuk mencontohkan dan mengajarkan bagaimana cara penyelesaian yang lebih tepat.

Ketik anak masih balita, maka penyelesaian masalah alami yang mereka lakukan adalah dengan bermain peran. Mereka membuat percakapan antara cangkir dan gelas mainannya, atau antar boneka-bonekanya, atau antara dirinya dengan kucing, misalnya. Personifikasi benda (membuat benda menjadi manusia hidup) adalah hal umum dan alamiah pada usia ini. Melarang anak bermain peran menjadi kontraproduktif dengan tujuan besar yang diharapkan.

Dalam Psikodrama, bermain peran disusun menjadi teknik terstruktur untuk pencapaian tujuan terapi dengan mengelola ego state-ego state yang saling berkonflik. (Ego state adalah mini personality yang ada pada setiap orang)

Nah, pada anak yang usianya sudah lewat balita, ego state bisa "didamaikan" dengan cara yang lebih variatif.

Setiap manusia akan mencari pengakuan dan penerimaan dari orang-orang di sekitarnya. Anak yang beruntung memperoleh pengakuan dan penerimaan itu, dari orangtuanya yang mengekspresikan penerimaan dalam bentuk ucapan, ekspresi, sentuhan atau perilaku secara konvergen (match dengan perasaan).

Sebagian anak yang lain, harus berusaha keras untuk memperoleh pengakuan dan penerimaan orangtua, misalnya dengan sikap selalu patuh, pencapaian prestasi akademik atau prestasi lainnya yang dikira anak akan membuat orangtua senang dan bangga, sehingga memberikan pujian.

Dan sisanya adalah anak-anak yang frustrasi karena merasa tidak memperoleh pengakuan dan penerimaan dari orangtua. Baik secara fisik, sifat, pilihan maupun prestasi. Sudah belajar habis-habisan pun mereka tidak pernah mendapat peringat 3 terbesar di kelas.

Akhirnya, short cut yang dilakukan adalah memunculkan perasaan berharga melalui pengakuan dan apresiasi yang lain. Dan video games yang "murah hati" memuji, memberikan itu semua. Anak pun terbius dengan skor yang semakin meningkat, pujian Good, Excellent, Extraordinary. Anak boleh salah dan "mati". Ia selalu boleh "membeli" kembali nyawanya. Ada harapan yang selalu diberikan.

Itu kan semua maya? Betul, tapi bagi anak-anak ini semua dirasakan seolah nyata. Memberikan kesenangan sementara, melupakan kedukaan, sakit hati, dan kepedihan karena kegagalan dan pengabaian sehari-hari. Ketika mereka dipaksa menghadapi kenyataan yang menyakitkan, maka mereka akan kembali mengharapkan kesenangan maya ini. Mirip dengan cara kerja narkoba ya.

Nah, bila kita ingin menolong anak-anak kita untuk tidak larut dengan video games dan mengabaikan hal-hal lain, maka saya mengajak kita untuk mengecek lagi,
  • apa sebetulnya yang dihayati anak terhadap hubungan dengan orangtuanya?
  • bagaimana penerimaan kita terhadap anak apa adanya?
  • apakah kita menunjukkan penghargaan dan pengakuan pada anak kita?
  • apakah kita menawarkan alternatif aktivitas beragam terutam "We Time" bersama anak yang berkualitas?
  • apakah kita memiliki konsep pendidikan yang jelas dan konsisten serta konsekuen melaksanakannya?
  • apakah kita mencontohkan, membantu dan membimbing anak agar dapat mengembangkan strategi pengendalian diri dan pengaturan waktu yang lebih efektif
  • dll.

Jadi, tak cukup menghentikan adiksi games hanya dengan melarang/membatasi anak bermain games, bukan?

Note:
*Video games juga memiliki hal positif. Bahasan saya lebih kepada anak2 atau orang yang kurang bisa memanage waktu dan menggunakan video games secara berlebihan sehingga mengakibatkan ketidak-seimbangan dalam hidup.

Yeti Widiati 16-300117

Kamis, 26 Januari 2017

RESILIENSI - yws
(Konteks sembuh dari kejadian buruk dan trauma)

Coba kita lemparkan bola tenis ke lantai yang keras, maka ia akan memantul lebih tinggi dibanding kita melemparkan buah jeruk misalnya. Kemampuan benda untuk memantul kembali (bounce back) setelah terbentur/dibenturkan itu di sebut dengan istilah "daya lentur". Daya lentur ini yang dalam konteks psikologi disebut sebagai "resiliensi" (resilience).

Jadi pengertian sederhana dari resiliensi adalah, kemampuan seseorang untuk kembali ke keadaan semula atau bahkan lebih baik dari sebelum ia mengalami kejadian buruk.

Bila kita analogikan dengan bola tenis tadi, maka bola yang paling lentur adalah yang ketika dibenturkan bisa memantul lebih besar dari tingginya semula. Sehingga orang yang memiliki daya lentur yang baik adalah mereka yang bukan saja bisa bertahan dari kejadian buruk, namun lebih dari itu justru dapat mengambil hikmah dan memanfaatkan kejadian buruk dalam hidupnya untuk menampilkan performa yang lebih baik, dalam keseharian, bekerja, akademik, sosial, maupun dalam hal-hal yang sifatnya lebih spiritual seperti kebijaksanaan, keluasan pemikiran, dll.

Mereka yang berhasil maju kembali setelah kejadian buruk dikatakan anak muda sekarang, sudah "move on" sebaliknya yang masih juga terpuruk dan berkutat dengan kesedihan dan kehancurannya disebut "gagal move on".

Kalau istilah "move on" mengacu pada penggambaran situasinya, maka resiliensi lebih berbicara pada seberapa lentur seseorang untuk bisa segera move on.

Dalam tulisan saya LUKA DI KAKI, LUKA DI HATI, saya berbicara mengenai analogi penanganan luka fisik dan luka psikologis untuk menghindari terjadinya trauma. Maka di sini saya mencoba menguraikan mengenai hal-hal apa yang dapat kita lakukan untuk membuat kita memiliki resiliensi/daya lentur yang lebih baik, sehingga lebih cepat pulih, bahkan menampilkan performa lebih baik dari kondisi sebelum terkena kejadian buruk.

Hal-hal yang mempengaruhi resiliensi seseorang, di antaranya adalah;

1. Karakeristik kejadian buruk yang dialami
- Ada kejadian buruk yang secara OBYEKTIF memang berat
Misalnya, mengalami kecelakaan yang menyebabkan hilangnya beberapa orang tercinta atau mengakibatkan kecacatan. dll.

- Ada kejadian buruk yang secara SUBYEKTIF dipersepsi sebagai hal berat.
Misalnya, kematian hewan peliharaan, kehilangan barang. dll. Bisa sangat berat bila ada meaning penting pada objek2 tertentu.

- Ada kejadian buruk kecil/besar dan berlangsung lama (sejak kecil)
Misalnya, pola asuh yang salah yang diterapkan sejak kecil, kdrt, pelecehan seksual, bullying yang dialami sejak kecil, situasi perang.

- Ada kejadian buruk kecil/besar yang berlangsung hanya satu kali dalam hidup.
Misalnya, bencana alam, kecelakaan, dll.

Semakin berat suatu kejadian buruk, apalagi bila menjadi traumatik, maka kemampuan untuk bangkit kembali membutuhkan usaha lebih besar.

2. Konsep diri
Konsep diri membuat membentuk cara pandang apakah seseorang merasa mampu atau tidak mampu menghadapi tekanan. Bila dalam konteks fisik, daya tahan dan kebugaran itu adalah sesuatu yang obyektif dan dapat diukur, maka dalam konteks psikologis, banyak kasus, kemampuan ini lebih banyak bersifat subyektif dan sulit diukur serta dibandingkan.

Pola asuh dan pendidikan, adalah hal yang crucial dan sigifikan berpengaruh terhadap konsep diri. Terkait bagaimana orang-orang di lingkungan membentuk diri seorang anak.

Orangtua yang sering melakukan judging/labelling negatif terhadap anak dan senang membandingkan satu anak dengan anak lainnya, berpeluang menghasilkan anak yang memiliki konsep diri negatif pula.

Orangtua yang bersikap permisif, selalu membantu anak dan
orangtua yang melakukan kekerasan, memperlakukan anak sebagai obyek yang bisa diperlakukan sekehendak hati, secara tidak langsung membentuk dan 'menempelkan' konsep "korban" pada anak. Sehingga anak selalu merasa bahwa ia tak mampu, tak boleh melawan dan tak layak berpikir kritis. Ketika ia mengalami kejadian buruk ia pun akan bersikap sebagai korban dengan menyalahkan pihak2 lain di sekitarnya.

Saya menganalogikan pola asuh yang buruk, itu seperti akar pohon yang digerogoti rayap, sehingga rapuh dan kapanpun angin kencang datang, maka ia akan jatuh dan rubuh.

3. Support system lingkungan
Ini adalah orang-orang penting di lingkungan kita. Bisa orangtua, saudara, pasangan, guru, teman, boss, atau siapa pun orang yang Allah datangkan dan menjadi figur support bagi diri kita. Mereka yang membantu, memberikan dukungan dan dorongan. Kadang mereka tidak terlihat ketika kita begitu fokus pada kesedihan kita. Padahal tanpa mereka kita tidak bisa berdiri.

Analogi dengan pohon yang digerogoti rayap, maka support system ini bisa berupa pagar yang menopang pohon, pupuk yang ditaburkan, tanah yang subur, hujan yang turun, obat pembunuh rayap, dlsb. Tugas kita adalah mengumpulkan sebanyak mungkin support system ini. Dalam konteks konseling dan terapi, maka salah satu tugas konselor dan terapis (termasuk psikolog di dalamnya) adalah mendorong klien menemukan sumber-sumber yang dapat menguatkan dirinya. Sehingga ia dapat bangkit kembali.

Seringkali, mereka yang merasa tidak memiliki siapa pun, merasa harus bangkit sendiri, meyakini bahwa orang lain akan mengejeknya kalau minta bantuan, tidak ingin kelihatan lemah sehingga tidak minta bantuan, membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih kembali.

Sebaliknya, mereka yang menuntut bantuan orang lain tapi minimal melakukan usaha pun juga kerap ditinggalkan banyak orang yang lelah mendengarkan keluhannya.

4. Kemampuan menangkap meaning dari setiap kejadian buruk atau pun baik dalam hidup
Pengalaman hidup Victor Frankl di beberapa kamp konsentrasi NAZI yang kemudian dirumuskan menjadi pendekatan Logoterapi, menurut saya adalah hal luar biasa. Mereka yang bisa menemukan meaning/arti positif atau hikmah dari kejadian yang dialaminya, biasanya memiliki resiliensi lebih tinggi.

Seringkali orang-orang yang memiliki resiliensi tinggi juga memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi karena bisa "keluar" dari masalahnya dan melihat masalahnya dalam konteks cara pandang yang lebih utuh dan komprehensif. Mereka bisa menemukan "rahasia" dari kejadian-kejadian yang dialaminya. Mereka memperoleh ilham, mengalami pencerahan/enlightment.

Kemampuan menangkap meaning ini adalah kemampuan yang subtil/halus. Rumus mengajarkannya tidak sederhana. Namun saya kira anak-anak yang dibiasakan berpikir kritis, antisipatif, abstrak problem solving dan boleh bertanya banyak hal dan boleh berpendapat, juga dikembangkan sensitivitasnya serta kemampuan empati, berpeluang lebih besar untuk bisa mengembangkan kemampuan menangkap meaning ini.

Oh ya, saya tidak membahas mengenai karakteristik pribadi yang bersifat given, meskipun boleh jadi hal itu juga berpengaruh terhadap kelenturan seseorang dalam menghadapi hidupnya. Mengapa? Karena saya ingin berfokus pada apa yang bisa kita usahakan. Sesuatu yang given lebih baik kita terima/accept sebagai keunikan kita dan cara mencari strategi daripada sebagai penghalang dan sumber frustrasi.

Beruntungnya adalah, Allah Maha Pengasih dan Maha Adil. Ia memang memberikan keunikan pada kita di satu sisi, namun memberikan resources positif di sisi yang lain. Tugas kita adalah mengumpulkan sebanyak mungkin resources positif tersebut, sehingga menjadi kekuatan kita dalam menghadapi segala kesulitan dalam hidup.

*Seorang mukmin adalah mereka yang berprasangka baik kepada Tuhannya.

Yeti Widiati 14-260117

Rabu, 25 Januari 2017

REINFORCEMENT DALAM MEMBANGUN HUBUNGAN - yws
(Konteks komunikasi dengan anak)

C: Anak saya nggak mau terbuka dan cerita apa-apa sama saya.


Q: Kapan terakhir anaknya mau cerita?

C: Dulu waktu masih TK, SD sudah mulai berkurang. Sekarang SMP gak mau cerita sama sekali. Ditanya pun malah marah.

Q: Dulu waktu TK, anaknya cerita apa?

C: Ah gitulah anak-anak, gak penting-penting amat sih. Paling cerita dia gambar gunung di sekolah. Cerita temannya ada yang ulang tahun. Gitu-gitu lah, Mbak.

Q: Dan waktu anak masih TK cerita tentang dia gambar gunung, di sekolah, cerita teman yang ulang tahun, apa yang dikatakan Mbak kepadanya?

C: Ya, saya cuma bilang, "Oooh gambar gunung, kok gak gambar orang?"

Q: Dan bagaimana menurut Mbak perasaan anak, saat Mbak berkata "Oooh gambar gunung, kok gak gambar orang?'

C: (Terdiam agak lama) "mmmhhh .... gak enak ya .... "

Q: Dan ... apakah setelah itu anak akan mau cerita lagi?

C: ..... aduh berarti anak malas cerita gara-gara saya respon seperti itu ya ...?

*Prinsip reinforcement/penguatan adalah,
- perilaku diulang apabila mendapat penguatan positif
- perilaku menghilang apabila tidak mendapat penguatan atau mendapat penguatan negatif.

*Tabungan hubungan dikumpulkan bertahap sejak anak kecil. Dibuka saat anak beranjak remaja

Keterangan:
C = Curhat
Q = Question

Yeti Widiati 13-250117

Minggu, 22 Januari 2017

Pertanyaan: Apa kejadian yang paling menyedihkan dalam hidup ummi selama ini?

Jawaban Ummi 1
Ketika anak pertama saya lahir dalam kondisi prematur dan membutuhkan perawatan panjang. Saya tidak bisa membantu karena saya dalam kondisi masih sangat lemah.


Jawaban Ummi 2
Ketika anak saya yang ketiga jatuh sakit. Ia juga perlu perawatan lama. Saya sedih melihatnya kesakitan.

Jawaban Ummi 3
Ketika anak saya sedih dan trauma melihat kejadian buruk. Saya berusaha membantunya tapi kelihatannya anak saya masih saja mengingat kejadian buruk tersebut. Saya sedih tak bisa melindunginya.

Jawaban Ummi 4
Melihat anak-anak saya bertanya terus mengapa abi tak pulang-pulang juga. Anak-anak saya diganggu oleh temannya karena katanya tak punya bapak.
--------------------

Sekali lagi, bertambah yakin, bahwa bagi banyak ibu, hidup anak adalah jauh lebih penting daripada hidupnya sendiri. Seorang ibu mungkin sedih dengan apa yang dialaminya. Tapi kesedihan pribadi itu menjadi tidak sebanding ketika melihat kesedihan yang dialami anak-anaknya.

Ibu, memiliki "ego state penyayang" yang terbentuk saat berinteraksi dengan anak yang memiliki ketergantungan penuh padanya. Dan ego state penyayang ini sebetulnya dapat digunakan juga untuk membantu ibu "menyayangi" dirinya sendiri.

Yeti Widiati 09-210117

Rabu, 11 Januari 2017

"MAMA SEDANG MARAH ... " - yws
(Konteks Mengajarkan Empati)

Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Sehingga dapat berespon dengan tepat terhadap perasaan orang lain tersebut. Ini termasuk kemampuan pengelolaan emosi yang lebih tinggi, karena bukan hanya berkait dengan perasaan sendiri, namun juga perasaan orang lain.

Anak tidak serta merta memiliki kemampuan empati ini. Perlu proses belajar baik dari sisi mengembangkan kepekaan perasaan/emosi sendiri maupun juga menunjukkan respon kepada orang lain.

1. TAHAP PENGELOLAAN EMOSI 1 s/d 3
Sebelum memahami perasaan/emosi orang lain, maka anak perlu bisa memahami perasaan/emosinya sendiri. Oleh karena itu tahapan2 pengelolaan emosi yang saya uraikan di tulisan sebelumnya juga perlu dilakukan. Anak yang peka dengan perasaannya sendiri, bisa mengidentifikasi dan memberi nama perasaanya serta tahu apa yang dibutuhkan perasaannya, memiliki fondasi yang cukup kuat untuk bisa berempati pada perasaan orang lain.

2. KEMBANGKAN KEMAMPUAN IDENTIFIKASI PERASAAN/EMOSI ORANG LAIN
Setelah anak memahami perasaannya sendiri, maka bimbing anak untuk mengenali dan memahami perasaan orang lain dari orang terdekat anak terlebih dahulu. Ibu, ayah, kakak/adik, pembantu, tetangga, dll. Bahkan juga bisa melalui film, dengan mengidentifikasi perasaan melalui ekspresi wajah para aktor/aktrisnya. Film kartun atau animasi masih dapat digunakan untuk balita apalagi sekarang semakin halus penggambaran emosinya. Namun untuk anak yang lebih besar, lebih baik menggunakan film real (bukan animasi).

- "Tuh adek nangis soalnya jarinya kejepit pintu. Gimana ya rasanya kejepit pintu?"
- "Papa baru pulang kantor, badannya lemas, Papa capek tuh ..."
- "Mama agak kesal nih, soalnya cabe mahal bener harganya ..."
- "Peter Parker-nya kayaknya sedih ya waktu pamannya meninggal." (dari film Spiderman). Dll.

Meskipun tidak mudah, terutama untuk para orangtua yang terbiasa menutupi perasaannya, usahakan menghindari sedapat mungkin menampilkan ekspresi emosi yang tidak kongruen antara apa yang dirasakan dan diperlihatkan dengan apa yang dikatakan.
- "Bagus, Mama senang ..." tapi suara Mamanya datar atau berkata sambil melihat gadget.
- "Bapak itu sayang sama kamu ...!" tapi diungkapkan dengan suara keras dan tajam, dan mata melotot.
- "Aduh kasihan anak Mama ..." ketika anak kesal dan cemberut, tapi ibu mengatakan sambil tersenyum geli.

3. MEMBIMBING MEMAHAMI KEBUTUHAN EMOSI ORANG LAIN
Setiap emosi ada pesan yang disampaikan dan kebutuhan yang ingin dipenuhi. Karena anak berpikir konkrit, maka jelaskan dengan konkrit pula dan apa adanya. Saya gunakan contoh di atas.
- "Tuh adek nangis soalnya jarinya kejepit pintu. Gimana ya rasanya kejepit pintu? Bantu mama tiupin jari adek yuk ..." (Kalau tidak parah)
- "Papa baru pulang kantor, badannya lemas, Papa capek tuh. Kalau Papa diambilin minum teh hangat, kayaknya lebih enak"
- "Mama agak kesal nih, soalnya cabe mahal bener harganya. Mama mau duduk dulu 5 menit ya ... "
- "Peter Parker nya kayaknya sedih ya waktu pamannya meninggal. Kalau ada orang sedih karena ditinggal meninggal. Kira-kira dia maunya diapain ya?"

4. MENCONTOHKAN DAN MEMBERI PENGUATAN TERHADAP PERILAKU EMPATI
Nah, bagian ini yang saya anggap cukup menantang. Karena sangat mungkin orangtua (termasuk saya) belum memadai menunjukkan kemampuan respon empati yang baik kepada orang lain.

Misalnya, boleh jadi saya terbiasa berkata, "Sabar aja, itu kan takdir Tuhan" ketika melihat orang bersedih. Padahal ternyata ketika saya sendiri yang sedih, bukan respon itu yang saya butuhkan pertama kali.

Bagaimanapun sambil kita belajar dan menemukan model-model perilaku empati yang baik, kita sebagai orangtua tetap perlu mencontohkan sesuai kemampuan kita.
- Contoh yang pertama adalah dengan menunjukkan empati kita pada perasaan anak. Tanya apa yang diinginkan anak, dan berikan.

- Berikutnya adalah meminta anak memenuhi kebutuhan perasaan kita. "Mama sedang capek, Mama mau istirahat dulu. Tolong jangan ganggu Mama 30 menit."

- Berikan penguatan atau reinforcement ketika anak menunjukkan perbuata empatik. Kita perlu lebih cermat menemukan dan berfokus pada kebaikan anak daripada mencari-cari kesalahan anak.
Segera puji ketika anak menolong adiknya yang menangis, membawakan air minum ketika ayahnya kepanasan dan perilaku empatik lainnya.

- Menengok dan menghibur orang sakit, takziah saat ada yang meninggal, membantu korban bencana alam, dlsb, adalah beberapa perbuatan empatik yang perlu ditunjukkan pada anak untuk menjadi contoh. Kebaikan memang ada yang perlu ditutupi namun juga ada yang perlu diperlihatkan.

*Orang tidak bisa memberikan apa yang tidak dimilikinya.
Oleh karena itu bila orangtua atau orang2 di sekitar anak tidak/kurang berempati kepada perasaan anak, maka anak juga tidak/sulit berempati pada perasaan orang lain.

Yeti Widiati 05-110117

Kamis, 05 Januari 2017

BELAJAR DARI BUDAYA DISKUSI PARA PAKAR - yws

Beberapa hari lalu, beberapa orang dari komunitas Flat Earth/FE (komunitas yang meyakini bahwa bumi itu datar, bukan bulat/GE) mendatangi Bapak Thomas Djamaluddin, ketua LAPAN yang juga Profesor dan Guru Besar Astronomi ITB untuk meminta pembuktian dari sudut keilmuan beliau bahwa bumi itu bulat.

Bapak Djamal, dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman FE ini.

Ini di luar keilmuan saya, sehingga saya hanya menyimak dan menikmati saja diskusi tersebut yang ditayangkan dalam beberapa video di Youtube, di blog dan FB-nya. Saya sendiri sebetulnya sudah mengikuti bahasan ini, mungkin sekitar 1 tahun.

Sebagai seorang Psikolog Perkembangan, maka saya lebih fokus kepada perilaku dan tata cara diskusinya daripada contentnya itu sendiri. Ini adalah hal penting dalam pembelajaran dan pembentukan sikap ilmiah. Oleh karena itu di sini pun saya ingin membahasnya dalam konteks budaya diskusi.

Diskusi tidak selalu harus berujung pada kesepakatan. Saling memahami saja juga seringkali sudah merupakan pencapaian luar biasa. Ini biasanya terjadi pada diskusi antar dua kelompok yang memiliki cara pandang dan cara berpikir yang satu sama lain saling berbeda dan sulit dicari titik temunya.

Oleh karena itu mereka yang berusaha agar orang lain memahami apalagi mengikuti pendapatnya biasanya akan frustrasi ketika menghadapi kenyataan bahwa orang yang kita jelaskan, jangankan memahami bahkan bersedia mendengar yang kita sampaikan pun, tidak. Peluang frustrasi lebih besar ketika kita berdiskusi dengan tujuan untuk menyadarkan dan memaksa orang mengikuti pendapat kita.

Kalau sudah frustrasi, maka yang bermain adalah emosi. Dan ketika emosi, maka perkataan pun kadang menjadi tidak "lurus" lagi. Bentuk yang paling sering muncul adalah defence mechanism berupa tuduhan, ejekan, pengalihan, dll. yang malah kontraproduktif dengan diskusi itu sendiri.

Orang yang bertanya pun bisa memiliki ragam motivasi;
1. Karena keingintahuan, seperti pertanyaan yang diajukan anak2 atau orang yang ingin belajar.
2. Karena menguji, seperti dalam ujian yang dilakukan guru dan dosen, untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan penguasaan ilmu seseorang.
3. Untuk menimbulkan kesadaran, seperti pertanyaan2 filosofis dan juga pertanyaan yang diajukan dalam konteks coaching.
4. Dan ada juga pertanyaan yang diniatkan untuk didebat dan dijatuhkan. Jadi ketika pertanyaan itu diajukan, si penanya sudah "tahu" jawabannya dan bersiap-siap untuk mendebatnya baik dengan pernyataan maupun pertanyaan tambahan lain. Tidak heran, diskusi model seperti ini membuat orang meragukan kesungguhan dan niat baik si penanya. Sudah ada asumsi, bahkan keyakinan, sehingga jawaban apa pun yang diberikan itu pada dasarnya tidak akan diterima.

Dalam konteks keluarga dan sekolah, maka orangtua dan guru adalah contoh utama untuk berjalannya budaya diskusi yang sehat dan memberdayakan. Sementara di masyarakat, maka tugas itu ada pada para para pakar dan ulama.

Seorang komentator dalam diskusi FE, menyarankan agar tidak perlu meladeni diskusi semacam ini karena seolah tidak berujung. Namun saya sepakat dengan jawaban yang Pak Djamal berikan terhadap saran ini,

"(Diskusi ini) bukan untuk menyadarkan ... , tetapi untuk mencegah berkembangnya sikap anti-sains di kalangan anak muda." - Thomas Djamaluddin, Ketua LAPAN.

Yeti Widiati 050117

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...