Kamis, 27 April 2017

TUGAS UMUM PERKEMBANGAN - yws
Kehamilan - Remaja, Tinjauan Psikologi Perkembangan

1. PRENATAL (masa kehamilan)
Kesehatan janin hingga kelahiran.
Pada masa ini, maka semua apa yang dilakukan seorang ibu di masa kehamilan adalah menjaga asupan gizi dan mengelola emosi, agar janin dalam rahimnya dapat berkembang secara optimal organ-organ vitalnya.

Tantangan pada orangtua adalah dalam mengelola hal-hal yang tidak terduga dan berpotensi mengganggu kesehatan dan keselamatan janin.

2. INFANCY (0 - 2 minggu)
Bertahan hidup di luar rahim.
Pada 2 minggu pertama kelahiran, bayi baru lahir belajar untuk hidup dengan mengatur metabolisme tubuhnya sendiri setelah selama ini "hanya" menerima asupan melalui placenta ibunya. Oleh karena itu bayi belajar bernafas, mengisap ASI, menelan, dsb. Ini adalah tugas berat untuk masanya. Mengacu pada hierarki needs Maslow, maka kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar yang perlu terpenuhi paling awal dalam hidup manusia. Maka dalam konteks perkembangan manusia, kemandirian pertama adalah ketika seorang manusia bisa memenuhi kebutuhan dasar fisiologisnya sendiri.

Tantangan pada orangtua adalah dalam ketelatenan menunggu dan membersamai usaha bayi. Karena dalam hal ini intervensi orangtua nyaris minimal. Orangtua tidak bisa membantu bagaimana bayi harus bernafas, atau mengisap puting, menelan ASI, selain memotivasi dan menyediakan fasilitas yang memudahkan untuk itu (menyediakan ASI, memeluk dengan nyaman, dll).

3. BAYI (2 minggu - 1 tahun)
Attachment dan bonding.
Hingga usia 1 tahun pertama, maka bayi perlu memperoleh perasaan aman/secure bergantung pada pengasuhnya. Mengapa bayi perlu memperoleh rasa aman? Karena kebutuhan akan rasa aman adalah kebutuhan kedua setelah kebutuhan fisiologis dari hierarki needs Maslow. Dan karena bayi belum bisa memenuhinya sendiri, maka ia bergantung pada pengasuhnya untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Rasa aman itu terasa dari bagaimana cara pengasuhnya memeluknya, memberi makan, membersihkan, menatap, mengajak bicara, dan semua perlakuan lain. Rasa aman ini juga yang akan menjadi dasar terbentuknya trust/rasa percaya, bonding/ikatan emosional yang kuat, kepatuhan dan kesediaan berkomunikasi di kemudian hari.

Tantangan pada orangtua di masa ini adalah menyediakan waktu dan mengorbankan kepentingan lain untuk memprioritaskan bayinya. Serta siap menerima konsekuensi bila orangtua tidak bisa menyediakan waktu dan memprioritaskan bayinya.

4. TODDLER (1-3 tahun)
Koordinasi sensomotorik (motorik kasar) dan kognitif.
Pada usia ini kemandirian yang dicapai mulai bergerak pada kemandirian melakukan aktivitas sendiri dan terbentuknya dasar kognitif. Anak semakin mandiri dan melepaskan diri dari pengasuhnya. Ia bisa berjalan, berlari, makan (dengan alat), berbicara sendiri.

Bahkan ia mulai belajar dasar kognitif dengan berpikir dan memecahkan sendiri masalah sederhana yang diawali dengan pengamatan terhadap lingkungan dan menghubungkan antara satu hal dengan hal lain.

Tantangan pada orangtua adalah karena anak aktif bergerak dan aktif berbicara serta bertanya. Ketidaksabaran orangtua seringkali membuat anak kehilangan kesempatan untuk memenuhi target perkembangannya. Melarang berlari, memanjat, bertanya, dll adalah beberapa bentuk ketidaksabaran tsb.

5. ANAK PRA SEKOLAH (4-6 tahun)
Koordinasi sensomotorik (motorik halus) dan kognitif.
Sekalipun masih berkait dengan motorik (halus) namun titik berat target perkembangan mulai bergeser pada area kognitif. Urusan berkait kemandirian fisik (makan, minum, buang air, mandi, pakai baju, dll), harus sudah selesai semuanya. Bila tidak, akan mengganggu aktivitas lain yang seharusnya dicapai pada masa ini.

Seiring juga dengan bertambahnya sinaps (sambungan) syaraf di otak, maka aktivitas yang dilakukan semakin rumit dan kemampuan kognitif sudah semakin berkembang. Inilah saat yang tepat untuk mengajarkan konsep-konsep dasar dengan cara yang menyenangkan. Bermain yang mengandung nilai edukatif.

Tantangannya adalah pada kreativitas orangtua mengajarkan ragam konsep sehingga bisa dipahami dengan baik oleh anak. Orangtua tidak selalu trampil menggunakan 3 pendekatan belajar (visual, auditori dan kinestetik) sehingga seringkali hanya menggunakan satu cara berbicara atau menasihati (auditori) saja. Atau bahkan cukup banyak orangtua yang luput mengajarkan karena mengira anak akan bisa sendiri. Dalam kasus ini akhirnya orangtua terkejut ketika menyadari bahwa ternyata anaknya tidak paham mengenai sopan santun atau perbedaan laki-laki perempuan, misalnya.

Semakin banyaknya orangtua yang kurang trampil, luput atau bahkan tak punya waktu mendampingi dan mengajarkan anak konsep-konsep dasar menyebabkan orangtua bergantung pada lembaga pendidikan non formal (TK, TPA, RA, PAUD). Plus tambahan yang merumitkan adalah ketergesaan. Ingin anak mencapai kompetensi yang belum waktunya dengan mengabaikan kompetensi lain yang seharusnya sudah dicapai pada usianya.

6. ANAK USIA SEKOLAH (6-12)
Kreativitas, menemukan minat bakat, pencapaian prestasi.
Pada tahap ini, anak semakin menyadari keunikannya baik dari sisi fisik, kemampuan maupun juga minat atau kecenderungannya. Ragam ilmu dan ketrampilan dasar yang mereka terima akan semakin menunjukkan keunikan tersebut. Pengakuan dan penerimaan/acceptance atas keunikan tersebut baik oleh diri sendiri maupun oleh orang di lingkungannya menjadi dasar konsep diri yang positif dan fondasi penting pada keberanian anak untuk melakukan ragam eksplorasi. Kreativitas yang muncul awalnya pada usia toddler akan semakin berkembang dan menguat. Pencapaian/prestasi apapun (tanpa membandingkan dengan orang lain) menjadi hal penting pada masa ini.

Tantangan pada orangtua adalah acceptance. Membandingkan anak dengan anak lain, membuat standar ukuran yang tidak adil atau bahkan memaksakan keinginan orangtua pada anak berseberangan dengan acceptance.

7. PUBERTAS DAN REMAJA (12 tahun - 16 tahun)
Pembentukan identitas diri dan kemandirian sosial.

Pada usia ini, anak sudah beres dengan identitas dirinya. Dia mengetahui, menerima dan mengembangkan dirinya dalam hal fisik, bakat, minat, kemampuan, keterbatasan, lingkungan sosial, value, dll. Oleh karena itu ia juga sudah mulai siap untuk menerima tanggung jawab yang lebih tinggi.

Beres dengan diri sendiri membuat anak lebih siap dan lebih nyaman berinteraksi di lingkungan sosial. Dasar-dasar sosialisasi yang sudah mulai dilakukan di tahap sebelumnya, akan diterapkan pada lingkungan yang lebih luas. Kemampuan berpikir kognitif yang lebih matang diuji dengan mempertanyakan hal-hal yang lebih rumit, abstrak dan filosofis. Termasuk value yang sudah dipegang selama ini.

Tantangan para orangtua adalah, ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa anak mulai mandiri secara sosial, sehingga "meninggalkan" kebergantungan pada orang dewasa bukan hanya secara fisik tapi juga secara value. Selalu ada kemungkinan anak memiliki pilihan gaya hidup, value, minat, dll yang berbeda dengan pilihan orangtuanya.

Anak juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan berinteraksi dengan teman-temannya lebih banyak daripada dengan orangtuanya.

Beberapa orangtua yang lebih berfokus pada hasil daripada mendampingi proses akan terkejut menyadari ketika menemukan ternyata anaknya tidak menguasai ketrampilan tertentu yang seharusnya sudah dikuasai. Misalnya, ketika ternyata anak tidak patuh/senang membantah, komunikasi minimal/banyak rahasia, tidak trampil mengelola emosi, canggung bersosialisasi, bingung memilih jurusan di perguruan tinggi, ragam adiksi, hubungan seks bebas, dll.
-------------------------

Hal-hal yang saya uraikan di atas, saya ramu dari berbagai sumber baik teori maupun pengalaman praktis. Saya berharap "benang merah" target atau tugas perkembangan setiap tahap bisa diperoleh. Hal ini saya tuliskan mengacu pada ragam kasus yang muncul dalam menyikapi perkembangan anak.

Setiap tahapan memiliki karakteristik dan target yang lebih rinci lagi. Para orangtua yang tertarik untuk menggali lebih dalam bisa mencari rujukan lain di berbagai sumber.

Yeti Widiati 29-270417

Senin, 24 April 2017

BELAJAR DARI BABY ALBERT - yws

Alkisah pada tahun 1920 seorang bayi bernama Albert (bukan nama sebenarnya) menjadi objek percobaan proses belajar (conditioning). John B. Watson, seperti juga para behaviorists lainnya ingin membuktikan bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan perilaku manusia. Ia melanjutkan eksperimen conditioning yang terkenal dari Pavlov dengan anjingnya.

Baby Albert berusia hampir 9 bulan saat percobaan dilakukan. Ia diperlihatkan beberapa benda yaitu tikus putih, kelinci, monyet, topeng dan koran yang dibakar dan diamati reaksinya. Albert kecil tidak memperlihatkan rasa takut pada semua benda yang diperlihatkan tersebut.

Eksperimen berikutnya, dipilihlah tikus putih sebagai stimulus. Setiap tikus putih dimunculkan, Watson membuat suara nyaring dengan memukul pipa logam dengan palu. Suara keras tiba-tiba ini mengagetkan Albert, sehingga ia menangis. Percobaan ini diulang beberapa kali. Setiap dimunculkan tikus putih, disertakan pula suara nyaring pipa logam yang dipukul. Bayi Albert akhirnya membuat asosiasi dan belajar bahwa kemunculan tikus putih akan membuatnya tidak nyaman. Perasaan cemas ini yang akhirnya membuatnya menangis setiap melihat tikus putih, sekalipun tidak ada suara nyaring pipa logam yang mengiringinya. Dan parahnya rasa cemas dan takut ini digeneralisasikan pada segala hal yang berwarna putih dan berbulu. Albert malang akhirnya takut pada mantel bulu berwarna putih dan juga jenggot putih Santa Claus.

Selanjutnya, Watson berencana untuk menghilangkan rasa takut Albert terhadap objek putih berbulu. Sayangnya hal itu tidak berhasil dilakukan karena Albert mengikuti ibunya yang pindah ke daerah lain dan tidak terlacak kembali keberadaannya. Kita tidak pernah tahu bagaimana hidup Albert dengan membawa phobia-nya terhadap benda putih berbulu. Kita sulit membayangkan bagaimana kecemasan luar biasa yang muncul setiap ia menemukan benda-benda serupa. Apakah dia berhasil terbebas dari phobianya, ataukah hidupnya semakin menderita.

***
Albert malang menjadi phobia karena kesengajaan. Namun dalam banyak kasus-kasus traumatis bila ditelusuri kejadian awal pemicunya, pada umumnya terjadi saat masa kanak-kanak terutama usia 5 tahun pertama. Kondisi ketidakberdayaan anak untuk melakukan coping behavior (perilaku mengatasi masalah) menyebabkan peningkatan kadar emosi saat menghadapi obyek yang membuatnya tidak nyaman dan menimbulkan kecemasan tinggi.

Orangtua yang peka akan membimbing anaknya untuk belajar mengatasi rasa takut dan cemas anak terhadap berbagai obyek yang secara rasional tidak menimbulkan rasa takut. Adalah wajar bila anak takut melihat anjing yang menggonggong keras, mendengar suara petir menggelegar, berada di tempat tinggi, dll. Sayangnya kadang orangtua tidak menyadari hal tersebut dan menganggap hal tersebut sepele, sehingga luput mengajarkan kemampuan coping behavior.

Pada saat tingkat kecemasan dan rasa takut begitu tinggi, yang dibutuhkan anak adalah rasa aman. Bila Watson mengaitkan tikus putih dengan suara keras sehingga menimbulkan rasa cemas. Maka untuk menghilangkan rasa cemas, kaitkan objek pemicu rasa cemas dengan kenyamanan. Pelukan yang erat, tepukan lembut di punggung, elusan di kepala atau kata-kata yang menenangkan jauh lebih memberikan rasa nyaman daripada nasihat apalagi celaan.

*Note: Eksperimen Baby Albert merupakan eksperimen yang ironis, di satu sisi memberikan kontribusi besar dalam bidang psikologi namun di sisi lain secara etis dipertanyakan dari sisi moral dan kelayakan.

Yeti Widiati 130814
BALADA AMOY - yws

Ini cerita 19 tahun lalu. Ketika itu Ghina masih berusia 1 tahun dan masih mondar mandir mendatangi beragam dokter untuk pemeriksaan dan mencari diagnosis.

Satu hari saya mengunjungi seorang dokter spesialis syaraf anak yang berpraktek di bilangan Jakarta Pusat. Saya datang bertiga bersama mbak-nya Ghina, tidak bersama ayahnya yang saat itu masih di kantor.

Pukul 19 dan semua kursi ruang tunggu sudah penuh sehingga saya mencari tempat duduk di halaman. Seorang ibu keturunan Tionghoa tersenyum dan memberi saya tempat di sampingnya yang hanya cukup untuk satu orang. Saya tersenyum dan berterima kasih sekali. Karena saya bisa memangku Ghina daripada menggendongnya sambil berdiri.

Saya tidak melihat anaknya yang rupanya sedang diajak jalan-jalan oleh pengasuhnya.

Ibu itu bertanya pada saya, "Dik, bapaknya gak ikut?"

"Oh gak. Sekarang masih di kantor ada pekerjaan yang harus di selesaikan. Janjinya nanti pulang di jemput."

"Oh ...... kirain ....... Tapi bapaknya baik-baik aja kan"

"Maksudnya bagaimana, Bu .... ?"

"Iya bapaknya baik-baik, mau nerima anak ini kan?"

Saya agak bingung dengan arah pertanyaannya. "Iya bu .... Alhamdulillah"

"Kalau keluarga suami gimana? Mertua, ipar-ipar mau terima anak ini ... "

"Alhamdulillah juga bu, keluarga saya dan keluarga besar suami saya bisa terima. Kan ini anak lahir, Tuhan yang kasih termasuk semua kondisinya juga Tuhan yang kasih"

"Enak ya kalau bisa ngerti begitu ... " ibu itu kemudian memalingkan mukanya dan menghela nafas panjang ....

Radar curious saya langsung menyala ... "Errrr .... bapak gak nganter, Bu ....? "

"Ah suami saya sih gak bakalan nganter-nganter. Saya sudah pisah"

"Oooo ... maaf ... "

"Hati-hati ya Dik. Suami itu baiknya waktu bahagia saja. Pas kita dapat susah, eh malah dia pergi. Gak tanggung jawab sekali." katanya sambil bersungut-sungut.

"Maksudnya gimana bu?"

"Iya kayak gini nih kayak saya. Waktu Amoy lahir, suami saya nyalahin saya. Soalnya katanya di keluarganya gak ada yang begini. Jadi ini pasti karena saya. Eh ibunya dia juga bilang begitu. Nyalahin saya juga. Gimana coba? Saya juga bisa aja nyalahin dia. Soalnya kan kita gak tahu ini salah siapa. Tapi kalau saya juga nyalahin dia terus pergi. Lah si Amoy sapa yang ngurusin, emang mau dibuang?"

Saya mengangguk-angguk .... "Iya bu ... bukan salah siapa-siapa. Errrrr .... terus bapak masih ngasih uang bu?"

"Boro-boro ngasih uang. Pergi malah cari perempuan lain. Untungnya saya masih punya toko di Tenabang, dari situlah makan hari-hari sama ngurus ni anak ke dokter. Kalau buat nanti-nanti gimana nanti ajalah. Saya juga pinginnya cari laki lain. Tapi mana ada laki yang mau sama saya dengan anak cacat begini?"

Pembicaraan terputus ... Amoy datang. Gadis 12 tahun penyandang Down Syndrome dengan mental age balita. Tampak rewel dan mengantuk seiring dengan malam yang bertambah larut.

Setelah membujuk dan mencoba menidurkan Amoy, perbincangan saya masih berlanjut mengenai usaha sang ibu membanting tulang sendirian mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan Amoy, hadiah Tuhan yang membuat hidup jadi lebih bernilai.

Pembicaraan terhenti karena Amoy dipanggil masuk ke ruangan dokter pada jam 21. Meninggalkan saya yang termangu dengan pelajaran penting dalam hidup. Saya peluk Ghina yang sedang terlelap, mengusap keningnya sambil berucap dalam hati, "Mama sayang kamu. Ya Allah, saya percaya pada Mu, saya terima pemberian Mu"

*For my hubby ... Budi Dar
dan juga untuk saudara-saudaraku yang luar biasa, Mbak Iis, Mas Dodi , Mbak Yus, Mas Hari , Lufti. Terima kasih atas doa dan dukungannya selalu :)

Note: Cerita tidak mengandung unsur SARA. Fokus pada membahas pentingnya dukungan keluarga. Ini terjadi pada siapapun dari suku, etnis, agama apapun. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.

Yeti Widiati S. 050914
BELAJAR DARI MOLLY - yws

Molly gadis kecil usia 4 tahun. Dia tak punya engsel di rahangnya. Sehingga rahangnya kaku sejak lahir. Karenanya ia tak bisa makan dan minum melalui mulut, Untuk memenuhi nutrisinya, sejak bayi dokter melubangi lehernya, dan memberi tutup seperti tutup botol yang mudah dibuka. Per 2 jam, ibunya akan membuka tutup tersebut, memasang corong dan memasukkan cairan makanan dan minuman ke dalamnya. Biasanya ibu memberi makan/minum sambil bercerita.

Molly tak bisa bicara seperti layaknya orang lain. Meskipun dapat mengeluarkan suara, namun ia tidak bisa mengucapkan kata. Ia berkomunikasi dengan tatapan matanya.

Karena rahang yang tak bisa digerakkan, maka ia juga tak bisa mengontrol liurnya. Sehingga ia selalu mengenakan tadah liur di dadanya. Ibunya menyediakan 70 tadah liur setiap hari.

Sayangnya Molly juga tak bisa menggunakan tangan dan kakinya dengan baik. Tangannya kaku dan kedua telapak kakinya bengkok menyebabkan ia sulit berjalan. Jalannya tertatih. Molly menggunakan kereta dorong apabila ia diajak keluar rumah.

Molly kecil adalah tetangga kami di rumah sakit. Kamar kami terdiri dari 6 tempat tidur. Tempat tidur Molly ada di seberang tempat tidur putri kami. Molly akan menjalani operasi rekonstruksi di kepalanya. Ia akan dibuatkan "engsel" pada rahangnya, agar rahangnya bisa digerakkan sehingga ia bisa makan dan minum juga berbicara seperti orang lain. Kakinya pun akan dioperasi agar ia bisa berjalan lebih baik. Selain itu ia juga harus mengikuti berbagai terapi. Terapi bicara (termasuk menelan dan aktivitas mulut lainnya) dan fisioterapi untuk tangan dan kaki agar ia dapat melakukan jauh lebih banyak aktivitas untuk perkembangannya.

Apa yang kami pelajari dari Molly?

Kami belajar menjadi orangtua. Kami belajar bagaimana memperlakukan anak apa adanya sekalipun ia memiliki perbedaan dari anak-anak lainnya. Keinginan kami untuk mendidik dan memperlakukan putri kami sebaik-baiknya, ditunjukkan Allah dengan mempertemukan kami dengan Molly beserta keluarganya.

Apa yang dilakukan dan ditampilkan oleh ibunya Molly?

1. Orangtua dan kerabat Molly memperlakukan Molly dengan wajar sebagai seorang anak usia 4 tahun. Cara bicara, bercanda, membelikan pakaian, mainan, atau barang-barang lain, menghias tempat tidur dengan balon dan lukisan menunjukkan bahwa ia dipandang sebagai seorang manusia yang "hidup" bukan orang sakit yang harus dikasihani, diabaikan dan dianggap pasif tak berdaya.

2. Ibunya rajin memberikan stimulasi melalui beragam cara. Ia membacakan buku cerita atau majalah, mengajak ngobrol (sekalipun hanya dijawab dengan tatapan mata), bernyanyi, memperdengarkan musik, menonton TV sambil menjelaskan, berjalan-jalan (menggunakan kereta dorong) dan memperlihatkan berbagai macam hal sambil juga bercerita, menggambar, membuat prakarya, memijat, bermain di play room, berbelanja, dlsb. Ibunya hanya beristirahat saat Molly tidur.

Ibunya pernah berkata, dia berikan stimulasi sebanyak-banyaknya sekalipun Molly belum memberikan respon signifikan, agar satu saat nanti ketika Molly sudah bisa menggerakkan rahangnya untuk berbicara, maka dia sudah punya banyak hal yang bisa dibicarakan.

3. Ibunya Molly menerapkan disiplin dan aturan yang jelas pada Molly. No excuse sekalipun dia masih kecil dan memiliki keterbatasan. Salah satu aturan dan value yang ditanamkan pada Molly kecil adalah bagaimana menghargai privacy orang lain.
Satu saat, saya menutup tirai pembatas tempat tidur karena akan shalat. Saya terpaksa shalat di rumah sakit karena tak berani meninggalkan putri saya. Tirai yang pendek menyebabkan Molly bisa melihat saya ketika saya bersujud dan itu rupanya menimbulkan rasa ingin tahunya. Saya memang mendengar suara-suara ayah dan ibu Molly yang agak keras tapi saya tak tahu kenapa. Setelah saya selesai shalat dan membuka tirai. Ternyata Molly sudah berada di balik tirai dan mengulurkan tangannya mengajak bersalaman pada saya. Mata birunya menatap saya. Saya tak paham, meskipun saya juga mengulurkan tangan saya untuk bersalaman. Ibunya berkata bahwa Molly meminta maaf karena ia menyingkap tirai saya. Saya menjawab, "Ooo it's Ok, I just pray ... " Tapi ibunya Molly berkata lagi, "Tidak, anak saya salah karena melanggar privacy orang lain, dan ia harus minta maaf"
Tentu saja saya memaafkan Molly, tapi pelajaran penting yang saya peroleh adalah bahwa value menghargai privacy orang lain ditanamkan oleh ibunya Molly sejak kecil tak peduli apapun keadaan Molly.

Saya benar-benar belajar secara nyata bahwa menyayangi dan melindungi bukanlah dengan mengasihani, selalu berwajah sedih, menyembunyikan dan melarang anak ke luar rumah agar tidak dibully. Bukannya dengan memberi segala keinginan dan membiarkannya melakukan apapun yang diinginkan.

Menyayangi dan melindungi adalah dengan berbahagia, memberi bekal dan penguatan pengetahuan, ketrampilan dan value agar anak memiliki konsep diri positif dan juga mandiri serta dapat melindungi dirinya sendiri.

*Cerita yang tercecer dari tahun 1996

Bersama dengan Budi Dar juga ...

Yeti Widiati 070414
BERBURU VITAMIN OTAK - yws

Menunggu antrian panggilan dokter di rumah sakit pemerintah itu perlu strategi. Karena kalau kita tidak punya kreatifitas untuk menyenangkan diri kita sendiri maka akan menjadi penderitaan dalam penantian yang tak jelas kapan berakhir (hehe lebay .... maaf ya buat para dokter yang sudah berjuang habis-habisan ... )

Hal yang paling sering saya lakukan adalah mengobrol dengan teman sebelah. Mendengarkan bagaimana orang-orang berjuang untuk mengatasi ujian dalam hidupnya adalah pelajaran penting yang tidak bisa saya peroleh setiap saat.

Menonton berita atau sinetron di TV sudah menghilangkan separuh kepercayaan saya. Karena berita dan sinetron sudah hampir sama ceritanya, disusun secara terstruktur, sistematis dan masif untuk mempengaruhi cara berpikir dan perasaan orang.

Status ini saya buat, terinspirasi dari status-status rekan saya, seorang psikiater yang getol mempromosikan "vitamin otak."

-------------------

Jam 5 ba'da shubuh saya berangkat dari rumah di Pamulang menuju Jakarta. Jam 7 saya sudah duduk di kursi ruang tunggu sebuah rumah sakit negeri terkemuka di Jakarta. Masih menunggu loket pendaftaran yang baru dibuka jam 7.30, itupun kami sudah mengantri. Sebagiannya sudah datang sejak jam 6 pagi. Masih harus menunggu lebih lama lagi, karena ruang konsultasi dokter menurut jadwal dibuka pada jam 8, tapi dokternya baru akan datang antara jam 9 atau jam 10.

Seorang ibu duduk di samping saya dengan anak gadisnya berusia sekitar 12 tahun. Manis, duduk dengan tenang. Kadang terkesan bingung dan salah tingkah. Melihat tampilan dan perilakunya saya tidak bisa menerka, apa yang terjadi pada dirinya sehingga ibunya ikut mengantri di depan ruang tunggu dokter syaraf anak bersama saya.

"Lumayan ya Bu, kita harus lama menunggu. Ibu sudah sarapan?" Saya mulai membuka pembicaraan.

"Iye lama, ni ibu dah bawa bekel"

"Wah, udah siap nih ibu. Lengkap bawaannya. Ibu sudah sering ke sini, ya?"

"Biasanya ya Neng, ibu ke sini tiap 2 minggu. Ni udah beberapa bulan baru sempat lagi."

"Oooh tiap 2 minggu? (membayangkan setiap 2 minggu harus menjalani ritual yang sama, menunggu dan menunggu ...)

"Cape sama males juga sebenernya tiap 2 minggu harus ke sini. Ngabisin waktu. Seharian ibu ilang waktu di sini. Padahal kan ibu harus usaha. Ngandelin gaji bapaknya gak cukup. Makanya ni telat dateng beberapa bulan. Ada aja yang harus dikerjain, yang pesenan lah yang jualan lah. Macem-macem dah"

"Ibu konsultasi tiap dua minggu sama dokter?"

"Nggak, cuma minta resep doang buat si Enok" (sambil menengok pada anak perempuannya yang tersipu)

"Cuma minta resep saja harus ke sini?"

"Ya gitu aturannya, kalau mau murah, minta resep di sini, ambil obatnya di sini juga"

"Nggak bisa pakai copy resep saja, Bu?"

"Nggak ngerti ibu yang kayak gitu-gitu , Neng... "

"Kata dokter berapa lama lagi anak ibu harus pakai obat ini?"

"Kata dokternya sih seumur hidup harus minum obat"

"Oooo .... sakit apa bu, kalau saya boleh tahu?"

"Si Enok ini suka kejang-kejang gitu, apa dokter bilang, ayan gitu"

"Sering kumat kejang-kejangnya bu?"

"Ya kalau pakai obat mah enggak, Neng"

"Sekarang Enok kelas berapa?"

"Udah gak sekolah. Gak naik kelas 2 kali. Harusnya sih kelas 6 sekarang masih kelas 4"

"Ooooh ... "

"Dulu ya, Neng, waktu kelas 1 si Enok ini pinter di sekolah. Nilai-nilainya bagus. Sampe dipuji sama guru-gurunya. Eh terus dia kumat di sekolahan, sampai bebusa-busa mulutnya. Abis deh dikatain sama diketawain orang. Ya bukan die doang yang malu. Kite juga ibunya jadi sakit ati digituin. Biar kata gimana ini kan anak kite. Abis itu si Enok ngadat gak mau sekolah lagi. Ibu mau bilang apa lagi ..."

"Ahhhhh ..... (saya menghela nafas panjang). Jadi rencananya Enok ke depan mau gimana bu kalau gak sekolah"

"Biar dia bantu-bantu ibu usaha aja. Lagian mau sekolah juga udah gak bisa, udah lupa. Dulu sudah bisa itung-tungan, eh sekarang lupa semua. Pelajaran-pelajaran lain juga dah pada lupa semua. Masih untung kalau ada yang mau ngawinin dia nanti"

"Itu ya, kenapa dokter nyuruh si Enok makan obat rutin supaya gak kejang-kejang dan gak tambah lupa"

"Harusnya sih gitu Neng. Ibu juga tau, kalau makan obat si Enok gak kejang. Tapi repot banget dapat obat ini. Biar kata obatnya murah, tapi kan ongkos ibu dari Tangerang ke sini lumayan gede Neng. Belum lagi waktunya seharian. Sebenernya rugi gede nih hari ini, tapi kalau inget si Enok yang kejang melulu, ya udah. Biar kata rugi barang yang penting si Enok gak tambah bodo.

*Cerita yang tercecer dari tahun 1995

Yeti Widiati S. 090914
KESIAPAN MASUK SEKOLAH DASAR - yws

Mempersiapkan anak usia TK untuk masuk sekolah dasar bukanlah semata dengan drilling latihan menulis, membaca dan berhitung. Tingkat kecerdasan yang tinggi juga bukan jaminan keberhasilan beradaptasi di SD. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk masuk ke situasi belajar di sekolah dasar.

1. Kemandirian
Ketrampilan bantu diri untuk hal-hal yang mendasar, seperti memakai pakaian sendiri, makan, buang air kecil dan besar, harus sudah selesai sebelum anak memasuki sekolah dasar. Sehingga anak tidak lagi bergantung kepada guru atau orang dewasa lainnya.

2. Kesediaan mengikuti perintah
Di SD, intensitas tugas-tugas akan lebih tinggi dibanding saat belajar di TK. Tuntutan prestasi juga lebih besar. Maka sebelum anak masuk sekolah dasar, anak perlu dipersiapkan untuk mau dan bisa mengikuti perintah dan aturan yang diberikan.

3. Belajar dalam kelompok
Di TK jumlah siswa dalam satu kelas relatif sedikit sehingga memungkinkan guru memberikan perhatian individual lebih intens. Di SD apalagi SD negeri, jumlah siswa dalam kelas lebih banyak. Sehingga anak perlu belajar mengembangkan ketrampilan belajar dalam kelompok. Tetap fokus meskipun teman berisik, membantu teman yang kesulitan, menghargai teman yang lebih pintar, bersedia berbagi, dll.

4. Kemampuan memusatkan perhatian
Atensi dan konsentrasi adalah hal penting dalam proses belajar. Dalam proses belajar di SD, anak dituntut untuk fokus selama beberapa jam untuk menguasai berbagai pengetahuan dan ketrampilan. Ini bukan hal mudah apabila anak tidak dibiasakan untuk belajar fokus.

5. Kemampuan mengendalikan diri dan emosi
Tuntutan belajar yang tinggi, konsentrasi dan juga belajar dalam kelompok berpeluang untuk memicu emosi pada anak. Stress, kelelahan, sedih karena kegagalan, malu karena berbeda, marah karena diganggu teman, kecewa karena tidak diperhatikan. Adalah emosi-emosi yang berpeluang memunculkan agresifitas atau bahkan apatisme. Karenanya anak juga perlu berlatih ketrampilan mengendalikan diri dan problem solving.

6. Penguasan konsep-konsep dasar,
Konsep-konsep dasar bentuk, ukuran, jumlah, perbandingan akan dibutuhkan untuk penguasaan materi belajar membaca, menulis dan berhitung. Juga penguasaan ketrampilan lainnya.
Konsep-konsep dasar yang terkait value, mana yang benar dan salah, baik dan buruk. Akan dibutuhkan untuk pengambilan keputusan, bertindak dan berinteraksi dengan orang lain.
Konsep-konsep dasar sehari-hari, akan dibutuhkan anak untuk penguasaan berbagai mata pelajaran dan penyelesaian masalah sehari-hari.

7. Kebugaran dan ketrampilan motorik kasar
Dibutuhkan untuk menunjang konsentrasi dan daya tahan agar anak dapat tetap fit mengikuti proses belajar yang berlangsung cukup lama. Termasuk juga untuk ketrampilan bermain dan olah raga (lari, loncat, lempar, dll).

8. Kecermatan dan ketrampilan motorik halus
Dibutuhkan untuk menunjang penguasaan ketrampilan atau aktivitas yang membutuhkan kemampuan visual motorik, seperti misalnya, menulis, menggambar, membuat ketrampilan, makan/minum, merapikan meja, mengancing baju, membuka halaman buku, dll.

Tidak terpenuhinya aspek-aspek di atas akan membuat anak berpeluang kurang efektif atau bahkan gagal pada area-area tersebut. Ongkos emosi yang ditimbulkan karena ketidakefektifan dan kegagalan ini akan menjadi lebih besar. Bisa dalam bentuk, rasa minder karena bullying, frustrasi karena gagal terus-menerus, mogok sekolah, insecure, manja, agresif, dll.

Beri kesempatan anak bermain, berlari, meloncat, melempar, berenang, memanjat, berguling, main puzzle, lego, menjahit, menempel, plastisin/tanah liat, dart, kartu, monopoli, berbelanja, main dalam kelompok, atau pun main sendiri. Karena bermain adalah cara belajar untuk anak TK. Ia belajar menguasai berbagai ketrampilan dengan senang.

*Seri Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Pra Sekolah (4-6 tahun)

Yeti Widiati S. 140914
HOMESCHOOLING, PILIHAN YANG MEMBUTUHKAN TANGGUNG JAWAB - yws

Dibanding 18 tahun lalu saat saya mempertimbangkan homeschooling untuk putri saya, maka istilah homeschooling sekarang sudah lebih dikenal. Banyak yang mengikuti dan bahkan sudah banyak provider homeschooling lokal yang menyediakan jasa kurikulum, buku, guru privat dan bahkan tempat belajar sendiri. Homeschooling yang saya lihat sekarang, menurut saya, sudah jauh bergeser dari semangat homeschooling seperti yang saya kenal pertama kali.

Hal yang menguntungkan sekarang adalah bahwa "lulusan" program homeschooling saat ini sudah diakui oleh Diknas sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan formal. Sesuatu yang mustahil dilakukan 18 tahun lalu, yang menyebabkan para orangtua homeschooler betul-betul adalah para pionir. Mereka berani menentang arus sistem pendidikan saat itu dan memberikan pendidikan pada anaknya dengan disain dan pendekatan yang mereka rancang dan lakukan sendiri. Mereka juga siap menerima konsekuensi dan risiko dari pilihan-pilihannya baik dari sisi pandangan masyarakat maupun dari sisi ketentuan formal sistem pendidikan.

18 tahun lalu (dan bahkan mungkin sebelumnya) sistem homeschooling didasari oleh semangat dan keinginan untuk memberikan pendidikan terbaik sesuai versi orangtua. Mereka (para orangtua) biasanya memandang bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga pendidikan formal kurang sesuai untuk anaknya dengan berbagai alasan. Umumnya karena orangtua memiliki value yang berbeda atau karena anak memiliki kekhususan. Perkembangannya sekarang, ada banyak orangtua yang melakukan homeschooling bukan karena alasan-alasan ideal tapi justru karena alasan praktis. Misalnya, karena anak tidak mau sekolah di sekolah formal dan merasa bebas serta nyaman jika belajar di rumah.

Program pendidikan homeschooling idealnya dilakukan sendiri oleh orangtua, bukan oleh orang lain atau lembaga lain. Oleh karena itu program ini sebetulnya mempersyaratkan kesiapan orangtua yang luar biasa, antara lain dalam hal:

1. Konsep pendidikan yang jelas. Orangtua perlu mencanangkan target pendidikan yang jelas baik jangka panjang maupun jangka pendek. Jangka pendek bukan hanya bicara tahunan, tapi juga semester, bulan dan bahkan turun kepada target harian. Semua target ini yang akan diturunkan ke dalam rencana belajar dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh orangtua dalam bentuk sistem pendidikan yang terpadu.
Target juga bukan hanya meliputi aspek kognitif (pengetahuan atau ketrampilan tertentu yang perlu dikuasai) namun juga menyangkut target perilaku dan karakter yang ingin dibangun. Karenanya pengetahuan dasar mengenai kurikulum menjadi penting oleh orangtua.

2. Peran aktif dan kesepakatan antar suami-istri
Sistem pendidikan homeschooling menuntut keterlibatan aktif dari ayah dan ibu. Keduanya perlu bersepakat dan mempersiapkan hingga hal-hal detail. Tidak akan berhasil apabila satu pihak terlibat habis-habisan sementara yang lain apatis dan tidak peduli.

3. Waktu
Orangtua sebagai perencana dan juga pelaksana program pendidikan, maka berarti ia perlu memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Semua kesempatan di rumah sebetulnya termasuk dalam pendidikan, bukan hanya pada saat belajar mata pelajaran tertentu. Karena ketika berbicara tentang pendidikan value dan karakter, maka seluruh aktivitas adalah proses pembelajaran.
Oleh karena itu adalah sangat riskan bagi para orangtua yang ayah ibunya sibuk bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore tapi memutuskan anaknya menjalani program homeschooling. Ada sementara orangtua yang sibuk, mengira bahwa dengan memanggil guru privat ke rumah dipandang sudah cukup memadai. Padahal yang namanya pendidikan bukan hanya penguasaan pengetahuan dan ketrampilan.

4. Motivasi dan minat belajar orangtua
Karena anak adalah tanggung jawab kedua orangtua, maka untuk melaksanakan program ini, motivasi orangtua harus sangat besar. Mereka harus memiliki dorongan untuk mencapai target ideal jangka panjang yang cukup kuat yang membuat mereka bisa bertahan melakukan program ini dalam jangka panjang. Program yang berlangsung setiap hari setiap saat menguras energi cukup besar sehingga kerjasama dan motivasi yang kuat menjadi sangat penting dan merupakan "bahan bakar" utama berjalannya "mesin" pendidikan di rumah.
Curiousity atau rasa ingin tahu serta minat belajar pada orangtua juga perlu terus diasah. Sehingga seiring dengan berkembangnya anak, orangtua pun juga ikut berkembang dan tidak stagnan. Sumber-sumber belajar yang variatif perlu dicari dan dikembangkan terus-menerus.

5. Jaringan atau komunitas
Dukungan dari kelompok yang memiliki visi yang sama adalah penting. Selain untuk saling menguatkan secara psikologis juga untuk memperoleh berbagai sumber belajar yang lebih variatif. Program homestay bisa dilakukan di antara keluarga homeschooler sehingga mereka memperoleh pengayaan lebih luas dan juga belajar sosialisasi dalam kelompok yang terkendali dan sudah dipercaya. Sehingga kecurigaan sementara orang bahwa homeschooler kurang bisa bersosialisasi bisa ditepis.

6. Dukungan Materi
Keinginan untuk memberikan yang terbaik kadang (tidak selalu) perlu didukung dengan fasilitas yang memadai. Bisa berupa penyediaan media pembelajaran maupun biaya yang dibutuhkan untuk kunjungan ke berbagai tempat. Dari pengalaman beberapa homeschooler, justru biaya yang dikeluarkan untuk proses pendidikan bisa jauh lebih murah bila dibandingkan dengan menyekolahkan anak ke sekolah formal. Di sekolah formal ada biaya seragam, bangunan dan bahkan penyediaan materi belajar yang kadang di mark up.
Dulu, ketika program homeschooling belum diakui Diknas, maka orangtua homeschooler mau tidak mau harus menyediakan biaya bagi anak melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Karena saat itu hanya perguruan tinggi luar saja yang menerima anak "lulusan" homeschooling.

7. Antisipasi terhadap kondisi luar biasa
Ada konsistensi yang dibutuhkan agar anak memperoleh pendidikan secara optimal. Bagaimanapun selalu ada kondisi yang tidak terduga. Kendala yang perlu dipikirkan oleh orangtua meskipun tentunya tidak diharapkan, antara lain bila salah satu atau kedua orangtua tidak bisa melanjutkan melaksanakan program homeschooling ini. Entah karena sakit, perpisahan, perubahan konsep dan motivasi, kehilangan dukungan materi atau bahkan karena meninggal.
Bila hal yang tidak diharapkan terjadi maka orangtua sejak awal harus sudah mempersiapkan apa yang akan dilakukan. Apakah menghentikan program, dan anak masuk ke sekolah formal. Ataukah melanjutkan program dengan memilih orang yang akan menggantikannya.

*Bagaimanapun memilih melaksanakan homeschooling perlu didasari oleh pilihan yang bertanggung jawab dan keterlibatan yang tinggi. Bukan hanya sekedar pelarian karena anak tidak mau belajar di sekolah formal.

Yeti Widiati S. 150914

Kamis, 20 April 2017

KETIKA 'CINDERELLA' MENIKAH DENGAN 'PETER PAN' - yws

Nampaknya sudah banyak yang tahu kisah dongeng Cinderella dan Peter Pan. Cinderella merupakan cerita turun-temurun yang sudah ada sejak tahun 7 SM. Dengan pola yang sama meski detail berbeda, cerita semacam ini ada hampir pada setiap budaya. Dalam budaya kita, kisah yang polanya mirip dengan Cinderella adalah Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih.

Cinderella adalah cerita tentang perempuan yang menderita oleh perlakuan ibu tiri dan saudara tirinya dan kemudian akhirnya menikah dengan seorang pangeran.


Sementara Peter Pan adalah karakter yang diciptakan JM. Barrie seorang novelis Skotlandia pada tahun 1902. Peter Pan seorang anak laki-laki yang bisa terbang dan tak pernah tumbuh dewasa. Peter Pan yang menghabiskan waktu dalam hidupnya dengan bermain-main.

Karakteristik Cinderella dan Peter Pan menginspirasi para ahli sehingga memunculkan istilah Cinderella Complex dan Peter Pan Syndrome.

Cinderella Complex mengacu pada perempuan-perempuan yang menghayati hidupnya yang keras sebagai penderitaan dan akibatnya ia tetap merasa lemah. Ia mengira bahwa penderitaannya hanya bisa lepas atas bantuan pihak lain. Ia tetap berharap memperoleh bantuan, entah itu melalui uluran bantuan pihak lain, termasuk laki-laki yang kaya dan berkuasa (plus memiliki kesempurnaan fisik).

Sementara Peter Pan Syndrome adalah kondisi di mana seseorang tidak ingin tumbuh dan berkembang menjadi matang. Yang ditandai dengan keengganan untuk menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Mereka lebih senang disupport dan tak punya tujuan hidup yang jelas. Tubuh mereka dewasa namun berjiwa anak-anak. Sekalipun ada perempuan yang mengalami syndrome ini, namun lebih sering terjadi pada laki-laki.

Bayangkan bila perempuan yang merasa dirinya lemah dan merasa selalu harus dibantu oleh laki-laki, malah menemukan laki-laki yang enggan bertanggung menjadi dewasa. Keduanya akan saling menuntut pihak lain untuk berubah sementara dirinya sendiri merasa tak perlu mengubah diri.

Yeti Widiati 28-200417

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...