Senin, 24 April 2017

BALADA AMOY - yws

Ini cerita 19 tahun lalu. Ketika itu Ghina masih berusia 1 tahun dan masih mondar mandir mendatangi beragam dokter untuk pemeriksaan dan mencari diagnosis.

Satu hari saya mengunjungi seorang dokter spesialis syaraf anak yang berpraktek di bilangan Jakarta Pusat. Saya datang bertiga bersama mbak-nya Ghina, tidak bersama ayahnya yang saat itu masih di kantor.

Pukul 19 dan semua kursi ruang tunggu sudah penuh sehingga saya mencari tempat duduk di halaman. Seorang ibu keturunan Tionghoa tersenyum dan memberi saya tempat di sampingnya yang hanya cukup untuk satu orang. Saya tersenyum dan berterima kasih sekali. Karena saya bisa memangku Ghina daripada menggendongnya sambil berdiri.

Saya tidak melihat anaknya yang rupanya sedang diajak jalan-jalan oleh pengasuhnya.

Ibu itu bertanya pada saya, "Dik, bapaknya gak ikut?"

"Oh gak. Sekarang masih di kantor ada pekerjaan yang harus di selesaikan. Janjinya nanti pulang di jemput."

"Oh ...... kirain ....... Tapi bapaknya baik-baik aja kan"

"Maksudnya bagaimana, Bu .... ?"

"Iya bapaknya baik-baik, mau nerima anak ini kan?"

Saya agak bingung dengan arah pertanyaannya. "Iya bu .... Alhamdulillah"

"Kalau keluarga suami gimana? Mertua, ipar-ipar mau terima anak ini ... "

"Alhamdulillah juga bu, keluarga saya dan keluarga besar suami saya bisa terima. Kan ini anak lahir, Tuhan yang kasih termasuk semua kondisinya juga Tuhan yang kasih"

"Enak ya kalau bisa ngerti begitu ... " ibu itu kemudian memalingkan mukanya dan menghela nafas panjang ....

Radar curious saya langsung menyala ... "Errrr .... bapak gak nganter, Bu ....? "

"Ah suami saya sih gak bakalan nganter-nganter. Saya sudah pisah"

"Oooo ... maaf ... "

"Hati-hati ya Dik. Suami itu baiknya waktu bahagia saja. Pas kita dapat susah, eh malah dia pergi. Gak tanggung jawab sekali." katanya sambil bersungut-sungut.

"Maksudnya gimana bu?"

"Iya kayak gini nih kayak saya. Waktu Amoy lahir, suami saya nyalahin saya. Soalnya katanya di keluarganya gak ada yang begini. Jadi ini pasti karena saya. Eh ibunya dia juga bilang begitu. Nyalahin saya juga. Gimana coba? Saya juga bisa aja nyalahin dia. Soalnya kan kita gak tahu ini salah siapa. Tapi kalau saya juga nyalahin dia terus pergi. Lah si Amoy sapa yang ngurusin, emang mau dibuang?"

Saya mengangguk-angguk .... "Iya bu ... bukan salah siapa-siapa. Errrrr .... terus bapak masih ngasih uang bu?"

"Boro-boro ngasih uang. Pergi malah cari perempuan lain. Untungnya saya masih punya toko di Tenabang, dari situlah makan hari-hari sama ngurus ni anak ke dokter. Kalau buat nanti-nanti gimana nanti ajalah. Saya juga pinginnya cari laki lain. Tapi mana ada laki yang mau sama saya dengan anak cacat begini?"

Pembicaraan terputus ... Amoy datang. Gadis 12 tahun penyandang Down Syndrome dengan mental age balita. Tampak rewel dan mengantuk seiring dengan malam yang bertambah larut.

Setelah membujuk dan mencoba menidurkan Amoy, perbincangan saya masih berlanjut mengenai usaha sang ibu membanting tulang sendirian mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan Amoy, hadiah Tuhan yang membuat hidup jadi lebih bernilai.

Pembicaraan terhenti karena Amoy dipanggil masuk ke ruangan dokter pada jam 21. Meninggalkan saya yang termangu dengan pelajaran penting dalam hidup. Saya peluk Ghina yang sedang terlelap, mengusap keningnya sambil berucap dalam hati, "Mama sayang kamu. Ya Allah, saya percaya pada Mu, saya terima pemberian Mu"

*For my hubby ... Budi Dar
dan juga untuk saudara-saudaraku yang luar biasa, Mbak Iis, Mas Dodi , Mbak Yus, Mas Hari , Lufti. Terima kasih atas doa dan dukungannya selalu :)

Note: Cerita tidak mengandung unsur SARA. Fokus pada membahas pentingnya dukungan keluarga. Ini terjadi pada siapapun dari suku, etnis, agama apapun. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.

Yeti Widiati S. 050914

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...