Kamis, 31 Desember 2020

PERSIAPAN MASUK SEKOLAH BARU - yws


Dari mana datangnya rasa cemas?
Dari mengkhawatirkan hal-hal yang belum jelas dan belum terjadi.
Hampir semua anak, dalam ragam kadarnya mengalami kecemasan ketika akan memasuki sekolah baru. Entah itu perubahan level (dari SD ke SMP), atau memang pindah dari satu sekolah ke sekolah lain meskipun levelnya sama.
Tinggi rendahnya kecemasan berkait pada kesiapan seseorang menghadapi situasi yang baru. Dan kesiapan berkait dengan pengetahuan/ketrampilan seseorang dan juga pengalaman gagal/berhasil pada situasi yang mirip dengan yang akan dihadapi.
1. Maka tugas pertama setiap orang ketika menghadapi perubahan atau situasi baru adalah mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, hal-hal apa saja yang sekiranya akan terjadi, sehingga kita tahu apa yang perlu dipersiapkan. Dalam konteks anak, berarti orang tua lah yang perlu mengumpulkan informasi tersebut terlebih dahulu.
Misalnya, dari PAUD/TK akan masuk SD, kegiatannya nanti akan dibutuhkan belajar mandiri, sehingga anak perlu kemampuan minimal untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (makan, minum, berpakaian, BAK/BAB, merapikan barangnya).
2. TAHU tidak menjamin seseorang otomatis menjadi BISA
Oleh karena itu setelah mengetahui apa yang perlu dikuasai oleh seorang anak, ia perlu berlatih untuk menguasainya
Misalnya,
- Toilet training sudah dilakukan jauh sebelum anak masuk TK, sehingga tak layak anak TK masih mengenakan pampers.
- Semasa TK anak sudah mulai belajar berteman, sehingga saat SD, ia lebih mudah beradaptasi
- Saat SD, anak sudah tahu mengenai value dan tahu cara menunjukkan kesetujuan dan ketidaksetujuan dengan cara yang baik. Sehingga saat SMP ia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Sekali lagi, tidak hanya cukup tahu, tapi dipraktekkan dengan role playing bagaimana caranya menolak teman.
- Saat SMP, anak sudah bisa belajar mandiri (membaca buku, mencari sumber, memilah informasi, menulis dengan baik, berbicara mengutarakan idenya, berpikir kreatif, analisis, memecahkan masalah, dll), sehingga pada usia SMA dia tidak harus disuruh-suruh belajar atau selalu bergantung pada guru sekolah atau guru lesnya.
3. Mengelola emosi
Kecemasan seringkali mengacu pada pengalaman gagal atau pengalaman tidak menyenangkan pada situasi yang mirip.
Misalnya, anak yang pernah (atau sering) gagal dalam pertemanan menjadi cemas ketika masuk sekolah baru, karena akan bertemu dengan teman-teman baru yang sama sekali belum dikenalnya.
Oleh karena itu adalah penting bagi anak untuk belajar pengelolaan emosi dan penting bagi orang tua untuk mengajari anak mengelola emosinya terutama dalam situasi yang ia kurang perform.
Turunkan tuntutan orang tua yang melampaui batas kemampuan anak, karena hal ini juga salah satu penyebab kecemasan yang berlarut-larut.
4. Ada persiapan jangka panjang, ada juga persiapan jangka pendek. Jangka panjang seperti yang sudah diuraikan di atas.
Jangka pendek itu misalnya
- orientasi lapangan (memahami lingkungan sekolah, berkenalan dengan beberapa guru, karyawan, kakak kelas dan teman, ngecek toko/warung yang baik dan terjangkau, transportasi yang paling efektif efisien, pemahaman aturan/budaya sekolah)
- administrasi dan perlengkapan (seragam, buku-buku)
Sedapat mungkin, libatkan anak dalam semua persiapan ini, sesuai usia anak. Bila hanya orang tua yang menyiapkan, maka anak tidak merasa terlibat. Dan bila ada masalah, maka anak mudah menyalahkan orang tuanya dan tidak berusaha mengatasi sendiri.
Pola mengantisipasi, mempersiapkan dan melatih diri menghadapi perubahan ini berlaku juga dalam hal-hal lain yang lingkupnya lebih kecil, misalnya menyiapkan anak balita ke dokter gigi, mengunjungi arisan, mengajak anak pertama kali ke mall, dll.
Apapun situasinya, mempersiapkan diri akan menurunkan tingkat kecemasan ...
Yeti Widiati 010718

CINTA PERLU DIINDRA DAN 'DICERNA' - yws


"Mbak, saya marah betul pada anak saya. Dia umur 17 tahun. Kebangetan. Masa dia bilang begini pada saya, 'Bunda nggak pernah merhatiin aku! Bunda nggak sayang aku! Bunda cuma mikirin pekerjaan aja. Aku ditinggal-tinggal terus sama nenek ...!'
Tega betul dia bilang begitu. Sakit hati saya. Saya tuh mbak, kalau bukan karena ayahnya anak-anak tidak bisa kerja, saya nggak akan kerja. Kerja ini bukan maunya saya. Saya terpaksa. Saya punya 3 anak. Suami saya sakit parah karena kecelakaan ketika anak2 kecil. Saya nggak mungkin membiarkan anak saya nggak makan, nggak sekolah. Siapa lagi yang harus mengambil tanggung jawab ekonomi keluarga kalau bukan saya ibunya. Saya masih beruntung karena neneknya bersedia dititipi cucu ketika saya tugas keluar kota. Ini berat mbak. Ketika saya keluar kota, saya kepikiran anak-anak. Apalagi kalau mereka sakit. Bolak-balik saya telpon ibu saya dan saya ngasih instruksi untuk makan obatnya.
Kok tega anak saya sekarang bilang begitu pada saya ... "
"Mbak, pernah nggak mbak bilang pada anak, apa yang menyebabkan mbak harus bekerja?"
"Yaaa ... dulu sih waktu anak-anak kecil, dan mereka menangis ditinggal kerja, saya suka bilang, Bunda pergi kerja cari uang biar bisa beli susu buat kamu."
"Oke, tapi setelah anak umur 12-13 tahun apakah pernah duduk bareng anak dan membicarakan hal-hal ini?"
"Nggak sih, karena saya pikir mereka sudah paham. Karena sudah besar."
"Iya, boleh jadi ada anak yang sudah paham dan menerimanya, tapi sangat mungkin juga anak belum paham sehingga sulit menerima. Apalagi kalau dulu waktu dia kecil mungkin pernah ada satu atau dua atau beberapa kali kejadian dia sangat membutuhkan ibunya dan pas kebetulan ibunya tidak ada karena tugas luar kota.
Kita perlu memastikan apakah dia paham atau tidak dengan ngobrol dari hati ke hati dengannya."
"Aduh belum pernah itu ngobrol dari hati ke hati. Selain karena saya juga sibuk bekerja juga karena anak2 kelihatannya malas juga ngobrol dengan saya. Mereka sudah punya kegiatannya sendiri."
"Nah, sekarang si Abang ini kan sedang emosi, marah juga kecewa. Nggak efektif kalau kita, sekalipun kita benar, untuk menyalahkan anak, memarahi dan menasihati.
Dengarkan saja apa yang disampaikan anak. Tak perlu dijawab. Karena orang marah itu minta didengarkan bukan dijawab. Sesudah ia mengungkapkan semua, minta maaf lah pada anak."
"Tapi saya nggak salah, kenapa saya yang minta maaf?"
"Minta maaf tidak selalu karena berbuat salah. Minta maaf juga bukan karena mbak memilih bekerja untuk anak. Tapi minta maaf karena luput memahami perasaan dan memenuhi kebutuhan emosinya. Sampaikan juga pada anak bahwa mbak sayang pada dia. Tak perlu bersikap defensif dengan misalnya mengatakan, 'Kalau bunda nggak kerja, gimana kamu bisa makan dan sekolah?' Perasaan itu subyektif sehingga perlu didengar dan diterima dulu."
"Tapi apakah dia jadi mengerti?"
"Belum, yang dilakukan di atas itu lebih pada membuat anak diterima kebutuhan emosinya. Untuk bisa paham apa yang dilakukan ibunya, hanya mungkin bila ia sudah tenang emosinya. Boleh saja mbak yang bercerita betapa berat sebetulnya mbak memutuskan untuk bekerja dan meninggalkan anak-anak. Tapi kadang kita tidak nyaman mengatakan kebaikan-kebaikan kita sendiri. Dalam hal ini saya menyarankan ada orang lain yang bisa menyampaikannya. Misalnya, neneknya, Oom Tantenya, teman ibunya, gurunya atau siapa pun yang bisa membantu membuat anak tahu bahwa apa yang dilakukan ibunya adalah justru karena cinta dan tanggung jawab.
Anak tidak serta merta tahu betapa orang tuanya mencintainya kalau ia tidak mengindranya (melihat, mendengar, merasakan) dan mengolahnya dengan berpikir.
Abang sudah 17 tahun, Insya Allah sudah memiliki kemampuan berpikir yang lebih baik. Dia akan menyadari bahwa hidup tidak selalu hitam putih. Bahwa keputusan tidak selalu bisa menyenangkan semua pihak."
"Begitu ya, mbak. Bisa nggak ya?"
"Kita tak akan pernah tahu bila tidak mencoba ..."
Yeti Widiati 080718

MOM SHAMING, BULLYING VERSI EMAK-EMAK - yws

 

Saya berpikir beberapa kali untuk menuliskan tentang ini. Terus terang ada kekuatiran bahwa jangan-jangan saya pun pernah melakukan 'mom shaming' sadar atau pun tidak sadar. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap menuliskan, dengan niat terutama adalah untuk mengingatkan diri.
'Mom shaming', istilah trend saat ini mengacu pada kecenderungan untuk mengritik cara ibu lain dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Mereka yang sering menjadi obyek mom shaming diantaranya adalah para selebritis, karena kehidupannya sering dibuka di media sehingga orang bisa menilai mereka dengan terbuka. Juga para ibu muda, karena pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya dalam pengasuhan anak masih terbatas, sehingga kecanggungannya dalam mengasuh anak menjadi makanan empuk untuk dikritik.
Era digital memberikan peluang lebih besar untuk melakukan 'mom shaming' karena bisa melakukan share dan copas besar-besaran. Sehingga obyek 'mom shaming' menjadi lebih luas.
Ada banyak hal yang bisa dijadikan obyek 'mom shaming'
- Jadi ibu hamil itu jangan manja, mual harus dilawan, jangan tiduran melulu. Saya dulu tetap kerja tuh meskipun hamil.
- Kok cara nggendong bayinya aneh banget sih.
- Usaha dong makan daun katuk, jadi bisa ngasih ASI eksklusif, bukan sufor apalagi MPASI
- Anak masih kecil kok ibunya kerja.
- Sekolah tinggi-tinggi kok jadinya cuma ngurus anak.
- Kok pakai pembantu sih, saya ngurus anak banyak nggak pakai pembantu, tapi kerjaan beres semua.
- ....
Silakan dilanjut dengan ragam versus lain, lahir normal versus SC, Vak versus Nonvak, Realfood versus Unrealfood, dll.
Mom shaming yang dilakukan oleh orang lain, mudah dihindari. Nggak usah didengar atau kalau dari medsos, tinggal hide atau blokir. Yang lebih challenging adalah mom shaming yang dilakukan oleh diri sendiri. Omongan orang atau omongan diri yang mendegradasi diri sendiri diamplify (diperbesar) dengan diulang-ulang dan dibuat lebay. Ini yang perlu dihentikan. STOP mempengaruhi diri dengan kata-kata yang tidak memberdayakan. Mulailah mengisi kepala dengan kata-kata yang memberdayakan dan membuat semangat.
- Bersyukur dan percayalah pada Allah yang sudah mengamanahi kita dengan buah hati. Berarti Allah percaya pada kita untuk menjadi orang tua bagi anak-anak kita.
- Kenali diri, keterbatasan dan kelebihan diri kita.
- Bila kita memiliki keleluasaan dan kemudahan, itu adalah karena rahmat dan kasih sayang Allah
- Bila kita memiliki kesempitan dan kesulitan, itu adalah cara Allah memberi kesempatan kita untuk lebih membaguskan kualitas diri
- Wajar salah dalam belajar. Tak ada yang sempurna, dan tak perlu memaksa diri menjadi sempurna.
- Setiap ibu berbeda, setiap anak berbeda, setiap situasi berbeda. Sehingga tak aneh bila memilih cara yang berbeda sesuai kondisi masing-masing.
- Tak ada yang baku dan harus persis sama dalam parenting
- Bila menemukan ibu lain canggung dalam melakukan pengasuhan, ajari dengan cara yang baik, tak perlu melakukan 'Mom shaming', apalagi menyombongkan diri bahwa kita lebih baik darinya.
'Mom shaming', sama seperti juga bullying menunjukkan, masih ada PR terkait harga diri dan skema perilaku yang perlu dievaluasi kembali.
Yuk, senang dan menikmati menjadi ibu ...
Yeti Widiati 090818

ALLAH MAHA BAIK - yws


Allah itu Maha Baik
Sekalipun seseorang dibesarkan dalam keluarga yang tidak ideal, namun dalam perjalanan hidupnya selalu akan dihadirkan orang-orang yang membuat ia berpeluang untuk memperbaiki diri.
Orang-orang itu mungkin orang tuanya, tapi juga mungkin kerabatnya, pengasuhnya, gurunya, sahabatnya, pasangannya atau lainnya. Sehingga pertemuan kita dengan orang-orang di sekitar kita sebetulnya juga adalah ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah.
Seberapa besar perubahan untuk menjadi lebih baik, akan bergantung pada seberapa besar kita menyadari value dari orang-orang tsb dan juga seberapa besar usaha kita memanfaatkan kesempatan perubahan tersebut.
Ganjalan seringkali adalah pada kebiasaan mencari hal-hal buruk dari orang lain, sehingga kita tidak menangkap value dari orang-orang di sekitar kita.
Dan ganjalan lebih besar adalah ketika kita mengekalkan 'keyakinan yang salah'
Misal:
- Saya memang begini orangnya, tak mungkin bisa berubah
- Ini terjadi karena kesalahan orang lain, maka orang lain yang harus berubah.
- Saya sudah berusaha, tapi semuanya sia-sia.
Dst.
Ingatlah, bahwa selalu ada harapan.
Awali dengan keyakinan bahwa Allah sayang pada kita.
Seperti menikmati perjalanan, maka nikmati juga usaha dan proses perubahan.
Hargai dan syukuri setiap pencapaian ...
Yeti Widiati 110818

RAGAM KELUHAN PENGASUHAN DI ERA DIGITAL - yws

Keluhan 1: 

Keluhan seorang ibu dan bapak tentang anaknya yang berusia 3 tahun.
"Ibu, anak saya nggak bisa diam, nggak bisa dilarang. Kalau dilarang ngamuk-ngamuk. Saya minta tolong anak saya dihipnotis"
(Saya melihat anak menendang ibunya yang menggendong adik bayi. Ibunya salah tingkah dan kemudian memberikan gadget agar anak tenang)
"Ibu, pertanyaan saya yang pertama nih. Apakah ibu sanggup untuk tidak memberikan gadget pada anak ibu?"
(Mata ibu berkaca-kaca)
"Nggak sanggup, Bu. Anak saya benar-benar bisa ngamuk, melempar barang. Bahaya buat adiknya, dan saya repot ngurusnya. Saya sendirian di rumah, Bu."
(Saya menengok pada bapaknya)
"Bapak, apakah Bapak bersedia membantu kesulitan Ibu?"
(Dan bapaknya menunduk), "Harusnya kan itu tugas ibunya. Kan ibunya yang di rumah"
*Balita belum bisa mengendalikan diri.
*No gadget atau gadget dengan pendampingan untuk balita
*Pendidikan anak adalah tanggung jawab bapak dan ibu, bukan hanya salah seorang.
*Problem era digital
Yeti Widiati 230918

Keluhan 2:
Keluhan seorang ibu
"Anak saya nggak nurut dibilangin nggak boleh main komputer. Sudah saya matikan wifinya, sudah saya kasih hukuman, tetap saja curi-curi main gadget."
"Kenapa anak nggak diizinkan menggunakan gadget?"
"Kan gadget itu bisa menyebabkan kerusakan otak, Bu."
"Bapak kerja apa, Bu?"
"Eh, disain grafis. Di rumah kerjanya."
"Pakai lap top dong ya. Kenapa bapak boleh pakai laptop tapi anak nggak boleh pakai laptop kalau begitu?"
"Yaaaaa .... tapi kan bapaknya buat kerja, Bu"
"Sayangnya, anak nggak tahu tentang itu, Bu. Yang dia rasakan, sederhana saja, "TIDAK ADIL". Bapak ibu boleh bergadget kapan saja sementara anak tidak boleh/dibatasi, bahkan dapat hukuman kalau tidak menurut.
*Anak mencontoh orang tuanya
*Problem era digital
Yeti Widiati 230918

Keluhan 3:
Keluhan seorang ibu
"Saya takut anak saya terpengaruh oleh teman-teman yang nggak bener. Jadi saya lebih suka anak saya main di rumah saja."
Keluhan ibu yang sama beberapa tahun kemudian.
"Gimana ya bu, anak saya main game melulu di rumah. Apalagi kalau libur, dari pagi sampai malam main game melulu."
*Memilih menghindar kesulitan bersosialisasi, namun permisif dalam menggunakan gadget.
*Problem era digital
Yeti Widiati 230918

Keluhan 4:
Keluhan seorang anak SMP:
"Aku nggak mau sekolah, takut ada orang nyegat di jalan ..."
"Kamu kenal orangnya?"
"Nggak tau, nggak kenal, belum pernah ketemu"
"Gimana kamu bisa yakin kalau dia bakal nyegat kamu?"
"Dia yang bilang di instagram. Aku suka komen di instagram. Ada orang nggak suka sama komen aku, dan kita debat. Terus dia bilang, "Jangan macem-macem lu. Lu ke sekolah, gua cegat lu. Gua tau lu, sekolah di mana ...!"
*Ketika yang 'maya' dirasa 'nyata'
*Problem era digital
Yeti Widiati 230918

Keluhan 5:
Keluhan orang tua dulu:
"Bu, anak-anak saya sering bertengkar rebutan remote TV untuk nonton film favoritnya"
Keluhan orang tua sekarang:
"Bu, anak-anak saya nggak mau main bareng, mereka sibuk nonton Youtube di gadgetnya masing-masing"
*Era digital mengubah perilaku
Yeti Widiati 230918

 

PENGALAMAN BERAGAMA SEPERTI APA YANG KITA TANAMKAN PADA ANAK? - yws


Apa makanan kesukaan kita pada waktu kecil yang ngangenin dan kalau kita makan, maka akan mengingatkan kenangan indah saat kecil?
Saya suka rujak ulek dekat rumah saya dulu waktu usia SD. Rasanya enak banget. Hingga sekarang, saya belum menemukan rasa rujak yang sama persis dengan itu. Bahkan sekalipun sekarang ada rujak mahal yang buahnya apel, jambu Bangkok, jambu air Cincalo, belimbing, jeruk Bali, dll, masih tetap belum bisa mengalahkan rujek ulek murah meriah dari masa kecil saya.
Lho, kenapa pagi-pagi saya bahas rujak?
Beberapa waktu lalu, saya mendengar tausiyah Syaikh Yasir Qadhi di Youtube, tentang bahasan remaja dan agama.
Banyak orang tua mengeluh bahwa remajanya mulai berkurang ketaatannya pada ibadah, dan menjadi sangat kritis mempertanyakan berbagai hal terkait agama. Kondisi ini membuat orang tua khawatir, dan beranggapan bahwa lingkungan memberikan pengaruh buruk pada anak. Anak yang asalnya rajin beribadah, menurut tanpa banyak bertanya, sekarang men-challenge orang tuanya dengan perilaku dan pertanyaan-pertanyaan rumit.
Syaikh Yasir Qadhi mengatakan bahwa anak kita, pada satu titik (biasanya usia remaja dan dewasa awal) akan mencoba-coba ragam value dan pandangan dari lingkungannya. Itu hal yang biasa, wajar dan sangat bisa dipahami sebagai bagian proses yang memang perlu dialami sebelum mereka memegang teguh suatu value.
Mereka akan mencoba hal-hal yang biasanya tidak mereka peroleh di rumah (keluarga). Ada masa-masa di mana mereka begitu gandrung dengan hal-hal yang baru dan unik. Ada kegagalan dan ada keberhasilan. Ada suka dan tidak suka. Ada pertentangan dan persetujuan. Semuanya adalah proses yang wajar yang membuat mereka, ketika mengambil keputusan memilih value tertentu menjadi lebih kuat karena memiliki alasan yang didasari oleh pengalaman.
Namun, (menurut Syaikh Yasir Qadhi juga) pada akhirnya, sekalipun seorang remaja/dewasa muda sudah malang melintang mencoba ragam pemikiran, pada akhirnya ia akan kembali memegang value yang ditanamkan orang tuanya saat kecil. Syaratnya adalah, bila value tersebut ditanamkan orang tuanya dengan rasa positif (bahagia, semangat, ikhlas, dll). Sesuatu yang berasosiasi/berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan akan melekat dalam memori lebih kuat, membuat nyaman dan memberikan dorongan untuk mengulang serta mempertahankannya.
Anak-anak yang memperoleh pengalaman beragama saat kecil yang positif dan menyenangkan, berpeluang sangat besar untuk menghidupkan kembali pengalaman tersebut pada masa dewasa, terutama pada saat ia menghadapi tanggung jawab untuk mendidik anaknya sendiri. Sekalipun boleh jadi saat remaja, ia mencicipi ragam pemikiran yang beragam.
Saya pun merenung. Jika rujak dekat rumah saya dulu, sudah menjadi "standar rasa rujak yang enak" bagi saya. Sehingga ketika saya makan rujak, maka saya mengacu pada rujak di masa lalu. Maka, apakah saya sudah menanamkan pengalaman beragama yang baik yang menjadi acuan bagi anak-anak saya untuk kembali sekalipun mereka menghadapi ragam tawaran value di lingkungannya?
Dan itu membuat saya deg-degan ...
Yeti Widiati 270918

CERITA TENTANG 'ANTRI' - yws


Antri (1)
Seorang anak laki-laki usia 6 tahun belajar mengantri saat akan membayar buku yang dibelinya. Ibunya mengamati dari kejauhan. Ketika antrian maju, ia bingung dan ragu untuk maju. Tiba-tiba seorang bapak di belakangnya menyerobot anak laki-laki itu dan membayar lebih dulu. Anak ini bingung, dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa benar dan tak paham kenapa seorang bapak yang seharusnya lebih paham cara mengantri ternyata menyerobot.
Antri (2)
Seorang anak perempuan 10 tahun disuruh membayar oleh orang tuanya. Antrian nampak cukup panjang. Anak perempuan ini mengeluh, "Panjang banget ...". Ayahnya kemudian berkata, "Kamu nyerobot aja, kamu kan anak kecil, pasti dikasih."
Antri (3)
Sekelompok ABG perempuan membeli kartu isi ulang di food court, satu orang temannya tertinggal dan antri agak jauh dari kelompoknya. Ibunya yang melihat dari jauh berkata, "Kamu maju aja bareng sama teman-teman kamu." Anaknya menjawab, "Nggak ah, itu kan ada orang yang sudah ngantri duluan." Ibunya kemudian berkata lagi, "Gimana sih, ya nggak apa-apa kamu maju kan ada teman-teman kamu di depan. Kalau kamu tetap di situ, kan lama jadinya." Anaknya tak mematuhi perkataan ibunya, dan tetap berdiri sesuai antrian.
Antri (4)
Seorang ibu mengantri untuk membeli makanan. Anaknya 2 orang berusia 5 dan 6 tahun maju terlebih dahulu dan mulai memilih-milih menu. Mereka berteriak-teriak, "Ayo mama kasihkan uangnya, aku mau beli ini sama ini." Ibunya dengan wajah datar tanpa emosi, berkata, "Mama masih antri di sini, nanti kalau sudah sampai situ mama bayar."
Antri (5)
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun belajar mengantri. Di depannya ada seorang ibu-ibu. Ibu tersebut menengok pada anak tersebut, dan sambil tersenyum ia berkata, "Kamu pinter banget belajar antri. Tante duluan ya ..." Ibu anak tersebut dari jarak sekitar 2 meter memberi contoh jawaban pada anaknya, "Iya tante silakan ..."
----------------------
Ada banyak cerita dari luar negeri tentang pentingnya mengajarkan mengantri pada anak. Konon katanya mengajarkan mengantri sejak dini jauh lebih baik daripada akademik.
Dari cerita antri 1-5, kita termasuk yang mana? Apakah kalau anak masih kecil, maka dia boleh menyerobot orang dewasa?
Yeti Widiati 121018

BAHASA INDONESIA VERSUS BAHASA INGGRIS - yws


"Mommy ... mommy I want this ... Please ..... one for me and one for Kakak."
"Nggak, mami just buy one. Kalian bagi berdua."
"In English please ....."
Percakapan ini terjadi beberapa hari lalu di sebuah mal di Tangerang Selatan antara seorang anak perempuan usia sekitar 6 tahun dengan ibunya saat berbelanja. Kalau melihat tampilannya, saya percaya mereka keluarga Indonesia asli. Anaknya berbahasa Inggris dengan sekali-kali diselip bahasa Indonesia. Dan ibunya berbahasa Indonesia dengan sekali-kali diselip bahasa Inggris.
Gaya berbahasa campur-campur seperti ini beberapa tahun terakhir semakin sering saya dengar dilakukan oleh anak-anak hingga remaja. Bahkan di kalangan remaja, menyumpah pun sudah dengan bahasa Inggris.
Saya ingat ketika saya SD di Bandung. Masih banyak teman-teman saya yang berbahasa Sunda baik di rumah maupun di sekolah. Mereka yang berbahasa Indonesia di rumah dan keseharian, saat itu masih dipandang aneh. Biasanya mereka yang berbahasa Indonesia adalah pendatang (bukan asli orang Sunda).
Tahun berjalan, konsekuensi dari pernikahan campur suku, menyebabkan orang tua memutuskan menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Sekarang semakin banyak anak tidak lagi bisa atau canggung berbahasa daerah orang tuanya.
Penguasaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah yang justru sekarang semakin besar. Cukup banyak sekolah yang memberlakukan bahasa pengantar belajar dengan menggunakan bahasa Inggris, bahkan sejak usia TK. Pihak sekolah juga mendorong orang tua agar menggunakan bahasa Inggris di rumah agar anak lebih mudah memahami paparan guru di sekolah yang menggunakan bahasa Inggris.
Beberapa kali saya memperoleh klien anak dan remaja yang lebih fasih dan lebih nyaman curhat dengan menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Saya tetap berbahasa Indonesia, sekalipun saya paham bahasa Inggris.
Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran? Kemajuan karena anak-anak kita akan lebih mudah berinteraksi secara global. Ataukah ini suatu kemunduran karena anak-anak kita kurang fasih dan kurang bangga berbahasa Indonesia, bahasa nasionalnya sendiri. Bahasa yang menjadi identitas pribadinya?
Nah, bisa sih ini kita diskusikan atau kita perdebatkan.
Sementara ini saya memberlakukan "aturan" tidak tertulis pada anak-anak saya. Berbahasa Indonesialah dengan benar, saat kita harus berbahasa Indonesia. Dan berbahasa Inggrislah juga dengan benar saat kita memang perlu berbahasa Inggris. Hindari berbicara campur aduk, kecuali bila memang tidak ada kata-kata yang bisa mewakili atau memiliki arti yang sama dengan kata tersebut.
Yeti Widiati - 131018

MENDORONG ANAK TERBUKA - yws


Apakah remaja kita mau bercerita atau tidak tentang pikiran, perasaan dan pengalamannya?
Tergantung bagaimana selama ini kita sebagai orang tua berespon kepadanya ketika mereka bercerita.
Respon terlalu heboh dan lebay, marah, sedih, kecewa, menyelidik, tidak percaya, memperbaiki, menasihati, mengkritik, dan semua respon yang membangkitkan mekanisme defensif (bertahan), cenderung akan membuat anak kapan-kapan tidak mau bercerita lagi.
Jadi harus bagaimana? (Pertanyaan otomatis yang sering muncul)
Ketika anak bercerita,
- fokuslah pada mendengar
- bertanya untuk mengumpulkan data, memperoleh gambaran masalah dan menggali sejauh mana pemahaman anak
- dorong anak yang menyimpulkan sendiri
- dorong anak untuk mencari solusi
- tunjukkan bahwa kita berpihak pada anak
Kadang memang ada hal-hal yang dirahasiakan anak. Itu hal wajar. Percayalah pada anak. Jauh lebih penting kita mengajarkan cara menyelesaikan masalah daripada memaksa mereka menceritakan semua hal yang ingin kita ketahui.
Apakah kita juga menceritakan semua hal pada orang tua/mertua kita?
Yeti Widiati 151018

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA PRASEKOLAH - yws


Keterampilan sosial adalah seperangkat kemampuan yang perlu dimiliki seseorang untuk dapat beradaptasi, bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan ini berawal dari rumah. Yaitu dari bagaimana orang tua atau orang-orang yang berada di rumah (saudara, pengasuh, kerabat, dll) memperlakukan anak.
Bila anak diterima keberadaannya, didengar bicaranya, diperlakukan sebagai seorang yang memiliki harga diri, maka ia berpeluang lebih besar untuk dapat bergaul dan berinteraksi dengan baik di lingkungannya.
Kemampuan ini juga perlu dikembangkan secara bertahap mulai dari kecil. Berikut ini adalah sejumlah keterampilan sosial yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak usia prasekolah (untuk usia sekolah dasar ada di status berikutnya) yang disarikan dari buku "How to Help Children with Common Problems" yang disusun oleh Schaefer dan Millman.
Pada umumnya, anak prasekolah perlu mempelajari dan menguasai aturan-aturan dasar dalam berinteraksi, antara lain:
1. Bergiliran/mengantri.
Hal ini berkait dengan kemampuan untuk bersabar dan mengendalikan diri. Kemampuan ini cukup menantang bagi anak usia prasekolah yang cenderung spontan dan mengikuti keinginan dan dorongannya.
2. Berbagi dengan teman
Kemampuan ini adalah dasar dari kemampuan berempati di kemudian hari. Kesediaan untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi dirinya tidak mudah bagi anak yang masih bersifat egosentris.
3. Memuji orang lain
Tidak mudah bagi seorang anak prasekolah untuk bisa memuji orang atau anak lain. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk menilai dan menghargai apa yang dimiliki atau ditampilkan orang lain. Juga secara tidak langsung berkait dengan kemampuan menerima kekurangan diri.
4. Menyumbangkan ide dalam bermain.
Kemampuan ini berkait dengan keberanian untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya, dan secara bertahap juga belajar mempengaruhi orang lain. Dan bersiap menerima resiko penerimaan dan penolakan dari teman.
Yeti Widiati 231018

KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA SD - yws


Bila keterampilan usia Prasekolah sudah dikuasai, maka pada usia SD diharapkan anak sudah bisa:
1. Mengawali pembicaraan dengan orang baru
Tidak semua anak mengetahui bagaimana cara mengawali pembicaraan dengan orang baru. Mulai dari mendekati, tersenyum, menyapa, memperkenalkan diri, bertanya, dst. Semuanya perlu dicontohkan dan dibimbing.
2. Membuat teman
Anak akan membutuhkan teman dalam setiap kesempatan. Hal ini akan membantunya mengembangkan kemampuan lainnya. Oleh karena itu ia perlu belajar bagaimana cara untuk membentuk pertemanan.
3. Mempertahankan teman
Bersama orang lain dalam jangka panjang, misalnya di sekolah atau dalam kehidupan bertetangga, maka anak akan berinteraksi terus-menerus dengan orang-orang tertentu. Ia perlu belajar bagaimana caranya bisa hidup berdampingan dan berinteraksi dengan baik untuk dapat mempertahankan hubungannya. Terus-menerus berkonflik, bukanlah sesuatu yang nyaman, sehingga anak perlu belajar mempertahankan pertemanannya.
4. Memberi dan menerima
Kemampuan ini didasari pengenalan dan kesadaran akan kelebihan dan kekurangan diri. Kemampuan memberi akan memperkuat harga diri, sementara kemampuan menerima membuat anak menyadari dan menghargai kemampuan orang lain tanpa merasa perlu merasa rendah diri.
5. Membuka diri pada hal-hal baru
Cara berpikir, kebiasaan dan value setiap orang berbeda-beda. Kemampuan membuka diri berkait dengan kesediaan untuk menerima hal-hal baru dan percaya pada orang lain dengan didasari pula oleh pertimbangan untuk memilih mana yang paling sesuai dengan dirinya. Kesediaan membuka diri ini biasanya juga akan membuat anak memiliki lebih banyak teman, karena teman-temannya merasa welcome dan diterima anak.
Yeti Widiati 231018

FREEZE DAN UNFREEZE - yws


Coba perhatikan kucing ketika bertemu dengan lawannya. Ia akan "membeku" melirik dengan waspada ke arah lawannya. Kadang ada suara geraman muncul dalam suaranya. Bila lawannya benar-benar menyerang, ada 2 (dua) cara yang akan digunakan menghadapi ancaman tersebut, menyerang balik (fight) atau berlari kabur (flight). Sebaliknya bila ancaman itu hilang, maka perlahan kucing akan melemaskan tubuhnya dan tenang kembali.
Mekanisme tersebut terjadi pada banyak binatang dengan ragam keunikannya. Ada yang benar-benar seperti mati, ada yang mengeluarkan bau tertentu, dll.
Mekanisme yang sama terjadi pada manusia juga. Manusia secara fisik memiliki mekanisme kerja yang kurang lebih sama dengan binatang. Sehingga ketika manusia merasa terancam, maka tubuhnya pun menegang. Mereka pun mengalami freeze. Dalam kondisi normal, ketika ancaman tersebut hilang, maka tubuh pun secara alamiah akan menjadi rileks. Helaan nafas panjang biasanya menjadi penanda bagaimana seseorang membuat rileks tubuhnya yang tegang.
Nah, sekarang bagaimana bila perasaan terancam itu terjadi terus-menerus setiap waktu, setiap hari, setiap minggu, dst? Ini terjadi pada mereka yang mengalami stres/ketegangan tinggi dalam aktivitasnya sehari-hari. Misalnya, anak yang orang tuanya marah atau mengancam terus-menerus, anak yang dibully di sekolah, anak yang merasa harus selalu memperoleh nilai baik/tidak boleh salah. Mereka yang mengalami kejadian luar biasa, juga mengalami ketegangan yang cukup intens.
Sebetulnya stres atau ketegangan dalam batas wajar itu terjadi dalam keseharian dan dibutuhkan oleh kita. Tapi bila terjadi terus-menerus maka ini menjadi tidak sehat. Seperti mobil yang melaju sangat cepat, maka ia harus mampir di pom bensin untuk mengisi bensinnya. Bila tidak, maka pada satu titik ia akan mogok sama sekali.
Freeze atau tegang terus-menerus akan mempengaruhi fisik, emosi, berpikir dan juga bergaul.
Bila binatang melakukan unfreeze (melemaskan tubuh dan bergerak kembali) secara normal ketika ancaman hilang dan ia merasa sudah aman. Manusia pun tentu saja bisa melakukannya.
Bergerak secara ritmis, berolah raga, menari, bersantai, adalah beberapa contoh ragam cara untuk melakukan unfreeze. Carilah cara yang paling tepat untuk melakukan unfreeze. Berikan hak tubuh untuk beristirahat dari ketegangan karena aktivitas sehari-hari.
Ketika seseorang mengalami ketegangan yang sangat tinggi setelah kejadian luar biasa, maka mereka perlu dibimbing untuk melakukan proses unfreeze.
Sementara untuk situasi di mana seseorang mengalami ketegangan terus-menerus setiap hari, maka ia perlu mencari cara agar stimulus yang menegangkan atau mengancam itu bisa hilang atau berkurang, sebelum ia kehilangan daya (sakit fisik dan bahkan depresi) sama sekali.
Sayangi diri kita, sayangi tubuh kita, penuhi haknya. Karena tubuh bukan milik kita. Bila ia rusak atau kehilangan kemampuannya, kita pun kesulitan mewujudkan harapan dan keinginan kita.
Yeti Widiati 041118

ANPANMAN, PAHLAWAN YANG KUAT DENGAN KELEMAHANNYA - yws

 

Anpanman adalah tokoh karakter kartun Jepang. Superhero yang berwujud unik. Kepalanya terbuat dari roti isi kacang merah (Anpan). Ia menolong orang dengan cara (literally) memberikan sebagian dirinya untuk dimakan orang lain. Oleh karena itu ia menjadi semakin lemah setelah menolong orang dan perlu mengganti kepalanya dengan yang baru agar menjadi kuat kembali. Kelemahan lainnya adalah 'air'. Karena air membuatnya menjadi lembek dan rusak. Oleh karena itu ia mengenakan helm untuk melindungi kepala rotinya.
Sebuah grup band Korea, BTS (Bangtan Soenyoendan), mengidentifikasikan diri mereka sebagai Anpanman. Dalam sebuah lagunya, para personil BTS ini menyatakan bahwa mereka ingin menjadi pahlawan yang membantu orang sekalipun mereka menyadari bahwa diri mereka lemah. Tak perlu menjadi orang besar dan
hebat
untuk menjadi pahlawan. Perawat, pemadam kebakaran, petugas kebersihan, montir, dlsb. adalah juga para pahlawan.
Pesan ini menurut saya sangat baik. Terutama untuk para remaja yang kerap kali merasa perlu tampil
hebat
agar diakui dan dihargai, yang merasa terganggu hanya karena jerawat kecil. Mereka diajak untuk menghargai pencapaian dan kontribusi dirinya kepada lingkungan sekalipun mungkin masih kecil. Ia hanya perlu berfokus pada hal yang kecil tersebut dan melakukannya terus-menerus. Karena sejatinya, yang besar pun adalah kumpulan dari komponen kecil.
Sementara tugas saya, yang kerap berhadapan dengan para orang tua adalah mengajak para orang tua untuk menghargai pencapaian sekecil apa pun yang diraih anak-anak kita. Hal ini menjadi challenging pada beberapa orang tua yang merasa bahwa ia harus berkompetisi di dunia ini. Merasa bahwa pencapaian anak adalah harga diri dan cap keberhasilannya sebagai orang tua.
Percaya deh, anak itu pada dasarnya ingin menyenangkan orang tua. Dan mereka merasa terpukul ketika usaha yang mereka lakukan tidak diapresiasi apalagi dianggap kurang oleh orang tuanya.
Anak kita (termasuk diri kita sendiri) tak harus menjadi Superhero dengan kekuatan
hebat
. Menjadi Anpanman pun luar biasa, karena berarti mereka memiliki hati yang lembut untuk menolong ... termasuk kelak, menolong orang tuanya sendiri ...
*Untuk anak-anakku, kalian semua adalah pahlawan bagi kami ...
Yeti Widiati 101118

BODY SHAMING, BOLEHKAH?

 

Menarik mencermati pendapat bahwa "Body Shaming" itu adalah becandaan, hal biasa dan tak perlu dilarang. Tak menyadari bahwa kebiasaan mempermalukan, menghina, merendahkan dan mempermainkan fisik orang lain adalah dasar dari bullying.

Kelakar yang dilakukan para pelawak di layar TV atau bioskop dipandang sebagai pembenaran oleh banyak orang yang memang senang melakukannya. Dan lebih buruk lagi, dipandang sebagai contoh dan pembentukan skema bergaul dan kesenangan bagi anak dan remaja kita.
Padahal, sangat banyak kasus berkait body shaming yang mempengaruhi konsep diri, cara berpikir juga perilaku seseorang. Membuat seseorang sulit bersyukur, menjadi lemah atau bahkan sebaliknya menjadi keras hatinya.
Padahal Allah menciptakan makhluknya dengan sempurna. Bila kita merendahkan fisik orang lain dan juga diri kita sendiri, apakah itu tidak sama dengan merendahkan ciptaan Allah?
Dan rasanya Rasulullah tak pernah mencontohkan merendahkan fisik orang lain, sekalipun saat bercanda ...
*Merenung di hari lahir seorang manusia mulia, yang menjadi teladan perilaku manusia sedunia.
Yeti Widiati 191118

BERI KESEMPATAN AGAR MENYADARI - yws

 

- Bayi belum menyadari kalau ia punya tangan dan kaki, sampai ia menggerakkannya dan ternyata gerakannya menimbulkan akibat tertentu.
Maka berikan ia kesempatan untuk bergerak agar ia dapat mengendalikan dan memanfaatkan tubuhnya dengan seimbang.
- Balita belum menyadari kekuatannya mempengaruhi orang tuanya, sampai ia berbicara dan orang tua berespon padanya (positif atau pun negatif).
Maka jika kita ingin anak kita terbuka dan membicarakan banyak hal dengan kita, beresponlah positif yang membuat ia terdorong berbicara ragam hal.
- Anak tidak menyadari ia memiliki minat dan bakat yang beragam, sampai ia mencoba ragam kegiatan.
Maka berikan kesempatan anak untuk melakukan ragam aktivitas. Sehingga ia bisa mengenali dirinya. Tak terpaku hanya pada satu aktivitas yang menyebabkan adiksi. Karena ia tahu ada banyak cara untuk menyenangkan diri.
- Remaja belum menyadari kalau ia bisa memecahkan masalah, sampai ia mengalami kejadian yang membuatnya harus memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
Maka berikan tanggung jawab pada remaja. Hindari untuk selalu menyelesaikan masalah mereka. Sehingga mereka tahu bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah dalam dirinya.
Yeti Widiati 240119

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...