Kamis, 31 Desember 2020

(1) KONSEP 'SEBAB-AKIBAT' SEBAGAI AWAL PEMAHAMAN KONSEP 'PROSES' - yws

 Tulisan pertama dari 2 tulisan


Mengajarkan konsep "proses" pada anak dapat menjadi challenge tersendiri pada beberapa orang tua. Luputnya pengajaran mengenai 'proses' berpeluang membuat anak menjadi;
- dependen/bergantung/tidak mandiri
- berpikir pendek dan instan,
- kurang sabar dan kurang tabah,
- kurang mau berusaha, resiliensi rendah
- mudah frustrasi,
- pencemas,
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mari kita coba pahami bersama.
'Proses' adalah rangkaian sebab akibat. Jika A maka B maka C maka D maka E ... dst.
Usia Bayi
Mereka masih dalam tahap mengindra dan mengenali lingkungannya. Mereka belajar sifat dan karakteristik benda-benda di sekitarnya, melalui indra (melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, mencium) dan motorik. Bayi belum memahami konsep sebab-akibat.
Usia Balita
Mereka sudah mulai menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan mempengaruhi lingkungan. Dan mulai mencoba-coba (trial-error) memanfaatkan kemampuannya. Mulai menarik, melempar, menjatuhkan, menyobek, memukul dan ragam tindakan terhadap benda-benda di sekitarnya). Anak mulai mengembangkan asosiasi (hubungan). Setelah ratusan kali trial-error, akhirnya anak memahami hubungan sebab-akibat yang paling sederhana. Jika A maka B,
Misalnya;
Kalau saya jatuhkan bola ke lantai, maka dia akan memantul.
Kalau saya jatuhkan gelas plastik, dia tidak memantul.
Kalau saya jatuhkan gelas kaca, maka dia tidak memantul bahkan menjadi pecah.
Usia Anak (sampai 12 tahun)
Seiring dengan perkembangan kemampuan berpikir dan dipengaruhi oleh pengalaman/aktivitas kesehariannya, maka umumnya pada usia ini anak sudah mengembangkan kemampuan memahami rangkaian sebab akibat yang lebih panjang, namun tetap masih sederhana.
Jika A maka B maka C.
- Kalau saya tidak makan maka saya lapar maka perut saya sakit.
- Kalau saya tidak belajar maka saya tidak paham pelajaran maka saya tidak bisa menjawab pertanyaan guru.
Namun beberapa anak lain, belum tentu memahami rangkaian sebab akibat ini. Ada anak yang tidak mau mandi, tidak paham juga kenapa badannya menjadi gatal-gatal, misalnya. Atau ada anak yang senang mengganggu temannya tidak paham mengapa teman-temannya menjauhinya.
Dalam beberapa hal, kondisi ini bisa dipengaruhi oleh kecepatan dan kemampuan pemahaman anak terhadap situasi yang ia hadapi. Namun hal yang lebih berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman 'sebab-akibat' adalah pada bagaimana anak memperoleh kesempatan mengalami "akibat".
Memanjakan anak dengan terlalu mudah memberikan bantuan adalah cara pengasuhan yang paling beresiko terhadap kondisi ini. Anak bermain tapi mainannya dibereskan orang lain. Anak merengek langsung diberi apa yang diinginkan tanpa harus berbicara dulu.
Memanjakan kerap diiringi juga dengan abai terhadap akibat/resiko. Menyuapi anak supaya cepat dan banyak makannya. Abai terhadap hal yang lebih prioritas untuk dicapai/dikuasai anak.
Boleh jadi memang kita belum paham tentang pentingnya 'proses' dan bagaimana cara mengajarkannya, namun berharap anak sudah bisa dan mengeluh ketika anak tidak bisa, "Kamu ini sudah besar kok masih minta disuapi saja." Sementara anak tidak diberi kesempatan dan tidak dibimbing untuk bisa makan sendiri.
Hal lain adalah, tidak teganya orang tua jika anak mengalami 'akibat' dari suatu sebab, misal: Lebih baik anak digendong daripada jatuh dan terluka. Atau orang tua yang tidak mengizinkan anak untuk melakukan kesalahan, misal; Daripada anak nilainya jelek lebih baik dibantu mengerjakan PR-nya oleh orang tua.
Karena anak belajar dari pengalamannya, maka hilangnya kesempatan memperoleh pengalaman membuat ia menjadi tidak paham tentang 'sebab-akibat' yang merupakan dasar pemahaman terhadap 'proses'.
Yeti Widiati 020719

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...