Kamis, 31 Desember 2020

BELAJAR MEMAHAMI BAHASA PERILAKU DARI KUCING - yws

 

Kucing kami, Astari (dipanggil Tari) sudah berada di rumah kami sejak ia masih berusia sekitar 3 bulan. Ia diselamatkan anak saya ketika tercebur di selokan depan rumah. Sejak itu kami pun memutuskan merawatnya.
Sepanjang usia mudanya, Tari adalah kucing yang aktif, suaranya keras dan lantang. Menjadi semakin tenang dan matang ketika ia mempunyai anak. Tari termasuk ibu yang telaten, anak-anaknya tumbuh sehat, bersih dan lincah.
Hingga sekarang, mungkin sudah hampir 25 anak yang dilahirkannya. Semuanya sudah menyebar di berbagai tempat, ada yang diberikan, pergi atau hilang. Ada juga yang mati.
Suatu hari setahun lalu, Tari hilang berhari-hari. Kami mengira ia mati. Sampai tiba-tiba ia pulang dalam keadaan kotor, lemas, terpincang dan luka terbuka di perutnya. Dokter hewan mengatakan, ada kemungkinan Tari tertabrak motor. Perlu waktu beberapa minggu hingga ia sehat kembali.
Yang berbeda setelah sehat kembali adalah, Tari tidak lagi mengeong dengan suara keras. Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi saya menduga pita suaranya terganggu setelah kecelakaan. Tari juga tidak bisa melompat terlalu tinggi seperti sebelumnya. Tulang pinggulnya tidak lagi simetris.
Biasanya Tari meminta makan dengan mengeong keras dan menggosok-gosokkan tubuhnya. Semenjak suaranya berkurang, ia mengubah caranya. Ia memandang kami dengan tajam. Bila kami tidak paham, maka beberapa menit kemudian dia "mencolek" kami dengan berdiri di atas dua kaki belakangnya. Bila kami mengabaikannya atau tidak segera memberi makan, maka ia akan berjalan ke arah meja tempat makanan lalu berusaha naik ke atasnya. Dan kalau kami tetap tak menyadari, maka ia mulai mengacak-ngacak tempat makanan.
Apakah saya segera memahami bahasa isyaratnya? Tidak. Saya perlu waktu untuk memahami hal itu.
Saya pun teringat pada bayi-bayi atau balita yang memiliki pola komunikasi yang kurang lebih sama. Bayi-bayi yang menangis keras, atau balita yang tantrum tidak lah tiba-tiba demikian. Mereka pun mengawali mengkomunikasikan kebutuhannya secara bertahap. Mulai dari perilaku gelisah. Bila ibu/pengasuhnya tidak peka, maka mereka mulai merengek. Masih tidak peka juga mulai menangis lebih keras. Tetap diabaikan, maka mereka akan menangis plus mengamuk lebih keras lagi. Di titik itu protes dan kemarahan sudah bercampur dengan rasa frustrasi karena tidak dipedulikan.
Bagaimana respon ibu/pengasuh?
- Ada yang menjadi kesal dan marah, karena merasa terganggu.
- Ada yang frustrasi, putus asa dan kecewa karena merasa gagal.
- Ada yang bingung dan panik.
- Ada yang menyadari hak anak yang terabaikan, meminta maaf dan memenuhi kebutuhan emosinya (catat: kebutuhan emosi tidak selalu sama dengan keinginan anak).
Terus terang, ini pertanyaan yang lumayan sering ditanyakan oleh banyak ibu. "Bila anak tantrum, apakah permintaannya harus diikuti, atau diabaikan saja?"
Ini juga jawaban yang cukup sering saya berikan. Sedapat mungkin, cegah anak menjadi tantrum, dengan;
- Peka terhadap bahasa ekspresi dan perilaku anak. Termasuk membedakan mana mengamuk karena kebutuhan emosi tidak terpenuhi dan mana mengamuk karena kebiasaan buruk.
- Memenuhi kebutuhan emosinya (kasih sayang, perhatian, rasa aman, penghargaan, dll).
- Ajari anak berbicara untuk mengatakan kebutuhannya. Karena bahasa ekspresi dan perilaku tidak selalu bisa dipahami orang lain.
Bahasa perilaku bayi dan balita kurang lebih mirip dengan pola bahasa perilaku kucing. Bedanya adalah, karena anak kita makhluk hidup yang memiliki fungsi luhur, maka ia bisa kita ajari berpikir dan berbahasa.
Yeti Widiati 180619

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...