Sabtu, 31 Desember 2016

REVIEW KASUS 2016 - yws
(Konteks Psikologi Perkembangan dan Parenting)

Pada tahun 2014, saya pernah melakukan review kasus, dan menemukan bahwa mayoritas kasus yang saya terima berkait dengan
1. Acceptance
2. Komunikasi
3. Pengetahuan Psikologi Perkembangan dan Ketrampilan Praktis Parenting https://www.facebook.com/yetiws/posts/10203974541256314

Berdasarkan review tersebut, maka saya mengulas lebih banyak topik-topik tersebut di tahun 2015 dan 2016.

Tahun 2016, meskipun tema-tema di atas masih ada secara kasuistis, namun secara umum ada perbaikan signifikan.
1. Ditandai dengan dimilikinya kesadaran akan pentingnya penerimaan/acceptance terhadap apa yang Allah berikan kepada kita. Dan adanya keinginan untuk memperbaiki pendekatan-pendekatan yang dilakukan menjadi lebih efektif.

2. Hal yang menarik pada tahun ini juga adalah mulai munculnya "kesadaran" untuk memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu (bukan hanya menuntut anak/orang lain berubah) agar lebih baik dalam mendampingi anak dan membina keluarga. Di sadari bahwa ternyata pola asuh yang dilakukan orangtua kepada anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua dulunya dididik dalam keluarganya.

Oleh karena itu bahasan mengenai Inner Child Healing, Forgiveness, Self Healing, dan bentuk-bentuk Self Therapy lainnya menjadi tema populer di tahun 2016.

3. Kesadaran yang bersifat masif mengenai pentingnya pengetahuan dan ketrampilan Psikologi Perkembangan serta Parenting juga mendorong munculnya ragam komunitas parenting. Komunitas ini rajin berdiskusi di media sosial dan juga melakukan kopdar sambil belajar tema-tema Parenting yang happening dan menarik bagi mereka.

Ada komunitas Parenting yang terdiri dari FTM (Full Time Mother) yang sebelumnya adalah WM (Working Mother). Ada komunitas yang hanya terdiri dari WM saja. Ada pula komunitas yang terdiri dari Pekerja Migran/TKI.

Ada komunitas Parenting yang terbatas satu perusahaan, satu agama/value, satu kota, satu negara, dan ada pula yang lintas provinsi bahkan lintas negara.

Sebagai narsum cabutan, komunitas-komunitas ini menjadi menarik karena tema-tema yang dibahas menjadi sangat variatif. Ada tema umum yang terjadi pada setiap orang, dan ada tema khusus yang terjadi pada komunitas tertentu saja.

Dari sini saya belajar lebih banyak, bagaimana konflik, dilema dan problema yang dihadapi para ibu ini berimbas pada anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi yang tidak selalu ideal. Sekalipun demikian, para orangtuanya tetap memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin menghasilkan anak-anak dengan kualitas terbaik.

4. Ragam informasi yang berkembang kerapkali dihayati sebagai memojokkan, menyalahkan, membuat frustrasi dan bahkan ketakutan menghadapi masa depan. Sehingga ada kebutuhan fleksibilitas dalam melakukan pendekatan dan tetap mendorong optimisme sekalipun kondisi yang dihadapi tidak selalu ideal dan sempurna.

5. Tema yang cukup signifikan di tahun 2016 juga adalah terkait dengan konsekuensi memasuki Era Digital.

Para orangtua ini dihadapkan pada dilema perkembangan Digital Teknologi yang sangat pesat dan berpengaruh pada pendidikan anak di rumah dan sekolah.

Lemahnya fondasi pendidikan yang dibentuk saat di rumah dan sekolah menjadi berlipat pengaruhnya pada masalah anak yang awalnya wajar saja.

Masalah pornografi, cyberbully, adiksi games, dll bila ditelusuri juga berangkat dari orangtua yang masih belum adaptif menghadapi perkembangan teknologi digital. Kasus-kasus yang bermunculan terkait hal ini, menunjukkan bahwa Smart and Wise Digital, urgensinya bertambah besar di 2017.

*Nggak masalah menyadari kesalahan hari ini, kita berusaha perbaiki saja. Sehingga tahun-tahun mendatang bisa menjadi lebih baik. Semoga Allah selalu membantu dan membimbing kita, aamiin ...

Yeti Widiati 311216

Rabu, 28 Desember 2016



RUMAH KACA DENGAN DINDING 'ONE WAY MIRROR' - yws
(Konteks Smart digital)


Saya pernah tinggal di perumahan dengan pagar rumah hanya setinggi 1 meter. Saya juga pernah berkunjung ke rumah-rumah darurat di daerah bencana, yang terbuat dari kayu dan tripleks dengan pembatas yang tak penuh sampai ke langit-langit. Sehingga pembicaraan dan suara apapun di "rumah" kita, akan terdengar baik di "rumah" tetangga sebelah. Saya juga pernah berkunjung ke rumah teman-teman saya yang berpagar 2 meter lebih dengan kawat berduri di atasnya. Rumah yang tak ketahuan bentuknya dan hanya terlihat atapnya dari luar. Rumah yang selalu terkunci dengan gembok besar. Kadang suara anjing menyalak terdengar ketika mendekati rumah tersebut.
- Rumah pertama, kita perlu mengetuk pintu untuk masuk.
- Rumah kedua, kita hanya perlu berteriak untuk masuk. Bahkan seringkali kita bisa langsung masuk karena pintu yang jarang terkunci.
- Rumah ketiga, kita harus menekan bel dari luar pagar. Pemilik rumah belum tentu akan keluar. Hanya pembantu yang mengintip dengan curiga dari balik pintu yang menyambut, atau melalui interkom berkamera.

Semakin terbuka sebuah rumah, maka semakin besar peluang orang luar untuk mengetahui banyak hal mengenai apa yang terjadi dalam rumah tersebut. Masalah bisa terjadi di mana pun. Rumah yang padat berdesakan dengan sekat yang tak memadai, berpeluang membuat masalah karena informasi rahasia bisa menyebar begitu mudah. Orang kehilangan privacy-nya. Hal yang selayaknya ditutup bisa terbuka dan diketahui banyak orang.

Sebaliknya rumah yang sangat tertutup, berpagar tinggi, berteralis kuat juga dapat menimbulkan jarak bagi orang lain. Orang enggan datang kecuali betul-betul terpaksa. Apalagi kalau si pemilik tak pernah keluar rumah dan berbaur dengan tetangganya.

Bagaimana pun rumah kita, tapi di era digital ini, kita seolah berada dalam rumah kaca. Sekalipun tebal namun tembus pandang, sehingga semua orang bisa melihat isi rumah kita.

Media sosial itu seperti rumah kaca. Ketika kita posting apa pun tulisan, gambar, video, memberikan komentar atau bahkan sekarang sekedar klik "like" sekalipun, orang bisa melihatnya.

Rumah yang ditutupi pagar setinggi apa pun akan nampak bila foto-foto kita di dalam kamar kita posting di medsos. Pikiran dan perasaan apapun yang kita miliki juga bisa tampil dan "tercium" ketika menulis atau share informasi apa pun. Masalahnya adalah bahwa kita tidak bisa mengendalikan pikiran, perasaan dan interpretasi orang lain. Ada terlalu banyak variabel yang mempengaruhi interpretasi orang lain.

- Ketika kita posting kebahagiaan, maka selalu mungkin ada orang yang menilainya sebagai kesombongan.
- Ketika kita posting kesedihan, maka juga selalu mungkin ada orang yang menilainya sebagai kelemahan.
- Ketika kita posting keberpihakan, mereka yang berbeda pandangan dengan kita berpeluang menjadi tidak nyaman.

Apapun itu selalu ada resiko yang perlu ditimbang-timbang.

Lebih menyedihkan adalah ketika rumah kaca kita ternyata terbuat dari 'one way mirror'. One way mirror adalah sejenis kaca yang hanya bisa dilihat dari satu sisi. Orang yang berada dalam rumah tidak bisa melihat keluar tetapi orang di luar bisa melihat ke dalam. Kaca jenis ini biasa dipakai di ruang interogasi, ruang terapi atau ruang lain yang membutuhkan pengamatan tanpa disadari oleh orang yang diamati.

Bayangkan orang yang berada dalam rumah yang terbuat dari 'one way mirror'. Ia berbicara, menulis dan bertindak dengan bebas. Tidak menyadari bahwa sejuta pasang mata mengamatinya dan menilai dirinya. Ia tak mengindahkan "komentar-komentar" yang masuk. Dia tidak melihat dan tidak menyadari kekecewaan dan kemarahan pada sebagian orang yang terluka dengan perkataannya. Yang ia pikir adalah bahwa ia boleh mengatakan dan melakukan apapun sesukanya.

Saya melihat ada beberapa karakteristik para "pemilik rumah kaca" ini.
1. Mereka yang tidak menyadari bahwa mereka terlihat oleh orang lain. Biasanya mereka ini adalah para pengguna pemula, baik para orang tua maupun anak yang terlalu muda. Atau mereka yang betul-betul tidak paham cara kerja media sosial dan memperlakukannya seperti chatting di media privat.
2. Mereka yang menyadari cara kerja media sosial. Memiliki pertimbangan, melakukan antisipasi dan kesantunan saat posting, berkomentar, berdiskusi dan juga saat berbagi (share) informasi.
3. Mereka yang menyadari cara kerja media sosial dan dengan sengaja serta sadar memanfaatkan media ini untuk mencapai tujuannya.

Nah, pencapaian tujuannya ini bisa dilakukan dengan santun atau tidak, tergantung pada value dan karakteristik ybs.
- Ada yang begitu bersemangat sehingga terkesan memaksa.
- Ada yang kreatif dan tidak menggiring serta menggurui.
- Ada yang menghalalkan cara dengan menggunakan data tak memadai untuk mencapai tujuannya
- Dan ada pula sekian banyak cara-cara lain yang digunakan yang bisa diterima oleh sekelompok orang namun tidak disukai bahkan dibenci oleh lainnya.

Bila dalam berinteraksi di dunia nyata kita memiliki etika dan etika ini yang membuat kita bisa berinteraksi dengan nyaman. Maka demikian pula dalam interaksi di dunia maya. Keleluasaan begitu rupa yang kita miliki juga membutuhkan etika dan batasan.

Nampaknya kesadaran awal yang perlu kita miliki adalah bahwa sekali kita menggunakan media sosial, maka kita berada dalam rumah kaca tembus pandang yang begitu jernih. Kita tidak bisa memperlakukan media sosial sebagai rumah bertembok tebal dan berpagar tinggi lagi.

*Yang paling sengsara adalah bila kita memperlakukan media sosial seperti rumah dengan dinding terbuat dari 'one way mirror'. Kita tertawa, sedih, marah dan tak menyadari betapa ada jutaan orang yang menertawakan, kasihan dan bahkan kesal melihat polah kita.


Yeti Widiati 281216

Selasa, 20 Desember 2016

PENJUAL YANG JUJUR DAN PEMBELI YANG CERDAS - yws
(Konteks Cerdas Digital)


Ragam informasi di internet itu seperti pasar tradisional yang menjual berbagai barang. Para penjual itu seperti provider informasi, baik melalui link berita, blog, status di medsos, dll. Para pembeli adalah pembacanya.

Saya menggunakan analogi pasar tradisional daripada supermarket, karena rasanya pasar tradisional lebih mewakili daripada supermarket.

Di pasar tradisional, ada banyak penjual yang menjajakan dagangannya. Ada produk yang sama ada juga yang berbeda, dengan kualitas barang yang beragam. Ada barang berkualitas ada juga yang bisa dikategorikan sebagai "sampah". Masing-masing penjual memiliki ragam cara untuk mempengaruhi pembeli agar membeli barang dagangannya.

Ada penjual yang begitu ramahnya menyapa pembeli, menawarkan barang dagangan dengan senyum manis, dengan menjelaskan keunggulan barangnya, bahkan tidak jarang yang dengan cara memburukkan "toko sebelah". Ada yang memberikan diskon, dan ada pula yang memberi hadiah bonus. Pernah juga sih saya menemukan penjual yang menjajakan dengan cara "mengancam", 'Kalau tidak beli barang saya, maka ibu akan rugi dan menyesal'. Tapi tetap ada sih, penjual yang hanya diam saja menunggui barangnya. Kadang sambil bermain hp, duduk terkantuk-kantuk atau duduk diam dengan mata menerawang. Mereka ini tampak seperti 'tak peduli' ada atau tidak pembeli atau pengunjung yang datang.

Ada penjual yang nothing to loose, maksudnya, dia senang saja ada pengunjung yang datang dan hanya melihat barang dagangannya. Menawar bolak-balik tapi tetap tak jadi membeli. Tapi ada penjual yang senyumannya hilang, dan langsung tak acuh ketika tahu pengunjung ini hanya berniat melihat tanpa bermaksud membeli.

Sekarang tentang karakteristik pembeli. Ada pembeli yang tak punya tujuan saat datang ke pasar. Atau dia punya tujuan, membawa catatan tapi teralih perhatiannya ketika melihat ragam barang yang menarik dan terhipnosis oleh rayuan penjual. Yang paling efektif dan efisien tentunya pembeli yang punya tujuan, tahu apa barang yang akan dibeli, tahu di mana tempat yang baik untuk membeli, kritis dan tidak mudah terkecoh oleh rayuan dan jebakan penjual.

Ada kalanya pembeli sudah punya penjual langganan. Pembeli yang sudah memiliki "ikatan emosional" seperti ini akan enggan beralih ke penjual lain. Bahkan ia melakukan free marketing dengan mempromosikan barang penjual langganannya kepada orang-orang lain dengan bersemangat.

Para provider informasi sebagai "penjual informasi" ini juga melakukan ragam cara untuk "memasarkan" informasi atau opininya. Prinsip membujuk pembeli tetap digunakan, sekalipun tidak menggunakan senyuman. Informasi yang membuat penasaran, pilihan kata yang menarik, gambar yang menggoda, menyalahkan/memburukkan pendapat berbeda, perintah menyebarkan, sindiran dan bahkan ancaman bila tidak menyebarkan, adalah ragam bentuk cara mempengaruhi yang digunakan.

Para pembeli juga unik. Ada yang terombang-ambing dengan ragam informasi yang saling bertolak belakang. Ada pula yang sangat teguh memegang satu atau beberapa provider informasi yang mereka percayai. Mereka seperti para pelanggan fanatik, yang hanya mengakses informasi dari penjual pilihannya. Mereka hanya mau mendengar dan mendukung apa yang mereka ingin dengar. Segera menolak, menyerang, menuduh bohong, tidak mau membaca, bahkan mendelete informasi yang tidak disukainya. Mereka juga yang melakukan free marketing dengan bersemangat share/membagikan informasi ke berbagai tempat. Tak merasa perlu kritis dan recheck karena sudah begitu yakin dengan apa yang disharenya. Mereka juga memaafkan jika ada informasi yang disukainya tapi didukung data yang jelas salah. "Pokoknya maksudnya baik" adalah dalih sakti yang digunakan.

Seperti seorang pembeli yang datang ke pasar, saya perlu membawa catatan daftar belanjaan. Saya hanya membeli apa yang sudah saya rencanakan dan saya butuhkan. Saya perlu kritis memilih agar memperoleh yang terbaik. Saya tidak layak terpaksa membeli hanya karena penjual menawarkan baik dengan cara manis maupun dengan sindiran dan ancaman. Atau karena banyak sekali orang yang membeli barang yang sama. Kecuali saya tak peduli, apakah barang yang saya beli berkah atau tidak. Dan kecuali kalau saya merasa harus selalu konform dan tak berani berbeda pilihan.


*Penting sekali untuk cerdas membeli barang, eh cerdas memilih, memilah dan membagi informasi digital ...
*Penting sekali untuk tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu penjual barang yang nyata maupun yang maya.
*Ngingetin diri sendiri .....


Yeti Widiati 201216

Jumat, 16 Desember 2016

MENGAYAK PERTEMANAN - yws
(Konteks bahasan Sociometry - Locmotion)


Beberapa pekan lalu saya sempat belajar sekilas mengenai Psikodrama. Ada bahasan mengenai Sosiometri yaitu suatu cara untuk memetakan dan mengukur derajat kedekatan seseorang dengan orang lainnya. Ada ragam cara, dan salah satunya adalah Locomotion. Bagaimana orang mengelompokkan dirinya dalam beberapa kelompok tertentu.

Dengan cara experiential dan fun kami mengubah-ubah kelompok. Misalnya ketika pengelompokkan berdasar warna, A memilih masuk kelompok merah. B memilih biru. C memilih warna hijau. Tapi ketika pengelompokkan berdasarkan hobi, ternyata A dan B satu kelompok sementara C berada dalam kelompok lain. Dan ketika pengelompokkan berdasarkan aktivitas, B dan C yang satu kelompok, A berada dalam kelompok lain. Ada satu waktu sekelompok orang merasa tidak sesuai bergabung dengan kelompok yang ada, dan fasilitator kemudian membentuk kelompok baru untuk mereka yang tidak bisa terwadahi dalam kelompok yang ada. Kadang ada beberapa anggota yang merasa orang lain masuk kelompoknya, dan kemudian menarik-narik orang tersebut untuk masuk. Sebaliknya ada orang yang merasa satu anggota bukan berada dalam kelompoknya, dan "mengusir" orang tersebut yang dianggap salah tempat.

Saat belajar itu, saya lebih banyak merasakan senang. Ada sih analisis tapi rasanya belum cukup mendalam. Sampai kemudian saya melihat keadaan sekarang, dan saya pun tercenung. Ternyata sosiometri begitu bernilai dan powerful dalam "mengukur kekuatan" hubungan.

Bahwa ternyata kita selalu memiliki anggota kelompok yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dalam konteks jenis kelamin, saya akan bergabung dengan kelompok perempuan. Tapi dalam kelompok profesi, saya akan memiliki kelompok berbeda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Saya juga bisa membuat kelompok dalam kelompok, yaitu ketika saya membuat batasan lagi yang lebih spesifik, misalnya dengan atribut jenis kelamin, profesi, minat, kekhususan, jenis kelamin, domisili, suku, agama, hobi, karakter, dll. Semakin bertambah batasan saya, maka semakin kecil kelompok yang saya masuki.

Dalam keluarga, saya sekelompok dengan suami saat bicara tentang pendidikan anak. Tapi saya akan bersekutu dengan anak-anak perempuan saya ketika belanja baju. Saya memiliki irisan minat yang sama dengan anak lelaki saya saat membahas mengenai sejarah.

Bersekutu dan berseteru berjalan sangat dinamis. Saya bisa berpihak dan membela pendapat suami pada satu waktu. Namun di kesempatan lain saya berpihak dan membela pendapat anak saya. Pernah juga saya terisolir sendirian ketika anak - anak punya pendapat yang sama dengan ayahnya. Biasanya sih ketika urusan yang terkait dengan teknologi.

Menyadari bahwa kita begitu plastis dan memiliki perubahan irisan kelompok yang cepat dan variatif, maka jika kita sangat kaku dan memaksa saat berada dalam satu kelompok, peluang emosi terpicu menjadi sangat besar dan akan mengganggu relasi dan pembentukan kelompok lainnya.

Fenomena bola AFF, menunjukkan dengan sangat baik. Bahwa orang bisa sejenak bersekutu sebagai satu bangsa. Saya juga melihat kita juga bisa bersekutu saat ada sesuatu yang dipersepsi sebagai "musuh bersama".

Dinamika berseteru dan bersekutu ini dimanfaatkan Virginia Satir dalam Family Therapy, untuk memperkuat ikatan keluarga. Sementara pemerintah Belanda di masa kolonial menggunakan prinsip ini dengan baik untuk memecah-belah bangsa Indonesia selama ratusan tahun dan akibatnya masih dirasakan sekarang.

Bangsa kita yang memiliki atribut beragam dibenturkan satu sama lain, sehingga ikatan sebagai satu kelompok besar dengan atribut yang sama, tidak terbentuk. Ketika kita mempersepsi penjajah sebagai musuh bersama barulah kita bersatu. Dan ketika musuh bersama itu hilang, kita pun "menciptakan" musuh di antara kita. Mereka yang awalnya satu kelompok dengan kita, kita keluarkan dari kelompok karena tidak memiliki satu atribut tertentu yang sama. Bahkan ada orang yang dikeluarkan hanya karena memiliki habit yang berbeda yang dianggap buruk.

*Dan ketika ayakan pertemanan semakin halus menyaring ....
maka kita semakin mendekati kesendirian dalam keramaian ....


Yeti Widiati 161216 (another 'pretty date' in December)

Senin, 05 Desember 2016

CINTA MEMBUAT HEBAT - yws

...............
Kau membuat ku mrasa HEBAT
Karna ketulusan CINTAMU
Ku merasa TERISTIMEWA hanyaaaaa ...
Hanya karna ... karna CINTA
Kau beri padaku SEPENUHNYA
Buatku slalu merasa
BERARTI ......"


Hebat - Tangga
-------------

Saat menyetir dalam kemacetan kota Jakarta, saya memiliki kesempatan untuk berpikir tentang ragam hal. Beberapa hari lalu saya memikirkan tentang bagaimana menginspirasikan, bahwa CINTA yang tulus dan diekspresikan akan membuat seseorang merasa diterima dan berarti. Selanjutnya penerimaan akan membuat seseorang berani menampilkan KEHEBATAN dirinya.

Bila dalam konteks cinta orangtua dan anak, anak yang merasa dicintai orangtuanya, maka ia akan merasa aman/secure untuk menampilkan dirinya apa adanya, karena ia tahu bahwa apapun yang ia tampilkan akan dihargai. Dengan mekanisme yang ajaib, rasa berharga ini yang justru membuat anak menjadi menampilkan kemampuannya lebih dari apa yang dibayangkan dan diharapkan orangtuanya. Bahkan termasuk pada anak-anak yang mungkin dinilai "kurang sempurna" oleh lingkungannya, maka ia pun akan memiliki peluang sangat besar untuk berprestasi "beyond expectation".

Dan sebetulnya hal itu tidak hanya terjadi pada konteks cinta orangtua-anak saja, namun juga bisa terjadi dalam konteks cinta antara suami dan istri, guru dan siswa, atasan dan bawahan, dll.

Mungkin saat berpikir ini, kening saya berkerut, dan tiba-tiba menjadi cair ketika sebuah bait lagu Tangga terdengar ....
"Betapa sempurna, dirimu di mata hatiku ...."

Telinga saya pun langsung menjadi lebih peka, dan pikiran saya fokus pada bait-bait selanjutnya dan terutama bagian reffrain-nya.

Betul, CINTA yang tulus dan diekspresikan akan membuat mereka yang dicintai menjadi merasa BERARTI, merasa HEBAT, dan mendorong untuk memberikan serta menampilkan yang TERBAIK.

Terima kasih Tangga ....

Yeti Widiati 051216

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...