Sabtu, 28 Oktober 2017

TENTANG DIAGNOSIS GANGGUAN PSIKOLOGIS - yws

"Aku ngerasa mual nih, Mam, pusing-pusing juga, mau ke dokter ..." keluh seorang gadis muda pada ibunya.

"Iya, ibu juga mual dan pusing-pusing, nih ... Kita gejalanya sama, kamu aja deh yang ke dokter, nanti obatnya beli dua sekalian buat Mama. Biar irit ... " tukas ibunya.

"Oke, Mam ...."

Selang beberapa jam kemudian, anak gadisnya pulang, dan berkata, "Mam, ini obatnya, dokter bilang aku hamil. Berarti Mama juga hamil ..."
..............................

Lelucon itu saya baca di majalah Femina, puluhan tahun lalu. Berselang puluhan tahun dari situ saya sekarang melihat situasi yang mirip.

Sekitar 3-4 tahun lalu saya pernah memperoleh klien yang menyatakan bahwa dirinya mengalami gangguan psikologis. Dia menyebutkan nama gangguannya tersebut persis seperti nama yang ada di DSM (Diagnostic and Statistic Manual), "buku sakti"nya para psikiater dan psikolog klinis dalam menetapkan diagnosis gangguan psikologis.

Saya tanya, dari mana ia memperoleh diagnosa tersebut, dan bagaimana ia begitu yakin dengan kesimpulannya. Ia mengatakan bahwa ia membaca di sebuah website mengenai gejala-gejala dari sebuah gangguan, dan gejala-gejala itu persis seperti yang ia rasakan. Saya tanya lagi, apakah ia datang ke psikiater atau psikolog klinis untuk membahas mengenai hal ini. Dia bilang tidak, karena ia sudah begitu yakinnya.

Saya sampaikan padanya, bahwa untuk menetapkan diagnosis, seorang psikolog atau psikiater, harus melalui proses asesmen yang seksama dan membutuhkan waktu. Diagnosis berpengaruh terhadap tindakan yang diambil. Gejala yang sama pada beberapa orang belum tentu memiliki diagnosis yang sama persis. Sehingga setiap orang sangat mungkin memperoleh treatment atau saran yang berbeda.

Menyampaikan diagnosis (terutama diagnosis psikologis) kepada klien atau pasien perlu dilakukan sangat berhati-hati. Karena dalam banyak kondisi penyampaian diagnosis membuat klien menjadi merasa tidak berdaya, tidak mau berubah, membuat excuse dan ini semua kontraproduktif dengan apa yang diharapkan dari klien untuk bersikap kooperatif terhadap perubahannya.

Saya ambil contoh begini, ketika seorang dokter mengatakan bahwa pasiennya terkena Flu, maka bila pasien memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang 'penyakit' ini, ia bisa cukup kooperatif untuk menyembuhkan dirinya. Ia bisa beristirahat, mengurangi aktivitas, minum banyak, makan vitamin, dsb.

Tapi ketika dokter mengatakan bahwa seseorang terkena Kanker, maka penerimaan dan keterlibatannya dalam menyembuhkan dirinya bisa sangat berbeda. Saya menemukan banyak kondisi ini pada relasi psikolog dan kliennya.

Agak berbeda antara masalah psikologis dan medis. Masalah psikologis umumnya berkaitan dengan orang lain. Maksudnya begini, masalah anak bisa disebabkan karena orangtuanya, pengasuhnya, gurunya, atau bahkan temannya. Sehingga penyelesaiannya akan melibatkan banyak pihak. Pengetahuan tentang kenyataan ini, ternyata kerap menimbulkan rasa frustrasi pada beberapa orang, terutama pada mereka yang memang memiliki kesulitan melakukan approach pada orang-orang tersebut. Ada juga klien yang "berlindung" di balik diagnosis untuk melakukan excuse atas tindakan-tindakannya. Misalnya, "Saya kan memang orangnya introvert, maka saya tidak bisa bergaul ..."

Oleh karena itu banyak psikolog membuat pertimbangan cukup dalam untuk menyampaikan atau tidak menyampaikan diagnosisnya dengan melihat sejauh apa kliennya dapat cukup kooperatif melakukan perubahan.

Perkembangan teknologi sekarang dengan adanya internet, membuat situasi bertambah riskan. Orang sekarang bisa "menilai" dirinya sendiri melalui ragam website yang mengulas tema-tema tentang ini. Hal ini tentunya bagus sebagai introduction, namun tetap tidak bisa menjadi rujukan utama. Orang tetap perlu datang langsung pada ahlinya bila ingin memperoleh pengetahuan yang lebih komprehensif.

Saya pernah membaca pernyataan seorang dokter yang menolak memberikan saran melalui konsultasi online. Menurutnya, bagaimanapun dokter HARUS menyandarkan diagnosis pada observasi dan pemeriksaan secara langsung. Tidak bisa hanya melalui 'laporan' pasien yang belum tentu akurat.

Dengan alasan yang sama, saya pribadi pun membatasi memberikan saran yang terlalu spesifik pada kasus-kasus yang disampaikan secara tertulis. Saya lebih menyarankan ybs, untuk datang langsung ke psikolog di sekitarnya. Sayangnya, dibandingkan dokter, psikolog jauh lebih tidak merata penyebarannya hingga pelosok daerah.

Saya kuatir, kasus seperti di atas kejadian,
Misal (ini kejadian fiktif).
"Bu/Pak, anak saya nggak bisa konsentrasi waktu belajar"
Lalu, psikolognya atas hasil analisis terhadap klien tersebut, salah satu sarannya adalah, "Oh, sebelum belajar disuruh lari-lari saja dulu anaknya, supaya energinya bisa dialirkan."

Si ibu kemudian menceritakan saran tersebut kepada ibu yang lain yang anaknya juga sulit konsentrasi. Atau kalau saran tersebut disampaikan secara tertulis, maka segera saran tersebut di copas dan share kepada ibu lain yang anaknya juga sulit konsentrasi, "Kata psikolog, kalau anak nggak bisa konsentrasi waktu belajar, suruh lari-lari aja dulu sebelum belajar." Padahal jangan-jangan anak lain tidak bisa konsentrasi belajar diakibatkan karena emosinya yang terganggu masalah orangtuanya. Sehingga saran treatmentnya tentunya akan berbeda.

Jadi, belajar via internet, (belajar apa pun itu), tetap perlu dilengkapi dengan bertemu langsung dengan orang yang memiliki ilmunya, dan juga dengan membaca buku-buku rujukan. Sehingga kita bisa memperoleh pengetahuan yang lebih komprehensif. Dan syukur-syukur juga bila bisa memperoleh bimbingan dan pendampingan.

*Interaksi secara langsung tetap lebih bernilai

Yeti Widiati 79-281017

Rabu, 11 Oktober 2017

INDIKATOR REMAJA DENGAN HARGA DIRI RENDAH - yws

Berdasarkan obserasi klinis yang dilakukan oleh Diana-Lea Baranovich (Psikolog-Play Therapist), ia menemukan trait-trait yang diasosiasikan dengan remaja yang memiliki harga diri rendah.

- Merendahkan orang lain dengan mengejek, membuat julukan-julukan dan bergosip (membicarakan keburukan orang di belakang)
Remaja yang harga dirinya rendah tak berani bicara apa adanya dan menerima konsekuensi dari kejujuran. Ia juga cenderung menyerang terlebih dahulu (dengan merendahkan orang lain) sebagai reaksi terhadap hal yang dipandang ancaman.


- Menggunakan gesture/gerak tubuh yang berlebihan dan tidak sesuai konteks atau situasinya (out of context)
Berusaha untuk menunjukkan kelebihan diri sebagai cara menutupi kekurangannya.

- Kebutuhan akan sentuhan yang berlebihan atau bahkan sebaliknya menghindari kontak fisik.
Merupakan kelanjutan dari problem attachment yang berlangsung saat masa bayi hingga masa anak.

- Menyombongkan prestasi, ketrampilan dan penampilan berlebihan
Usaha pertahanan diri untuk menutupi kelemahan

- Merendahkan diri secara verbal (self-depriciation)
Secara berlebihan dan terus-menerus mendegradari kekurangan diri atau sesuatu yang dipersepsi sebagai kekurangan diri.

- Berbicara terlalu keras, kasar dan memaksa
Sama seperti kesombongan, ini juga bentuk reaksi menyerang terhadap hal yang dipandang sebagai ancaman

- Berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain untuk mencari tempat yang paling cocok
Identitas diri belum terbentuk, sehingga masih mencari teman dan tempat yang dianggap sesuai.

- Beresiko menjadi penyendiri dan menghabiskan waktu sepanjang hari di kamarnya
Tak berani mencoba dan mengeksplorasi hal baru, dan takut terhadap konsekuensi dari pertemanan dan kegagalan.

- Beresiko menjadi adiktif di media sosial
Kelanjutan dari menyendiri, namun tetap memiliki kebutuhan berinteraksi. Sehingga akhirnya melakukan stalking dan penjelajahan di dunia maya.

- Riskan untuk bergabung dengan kelompok yang kurang baik
Tidak trampil memilih dan kebutuhan diterima lingkungan yang cukup besar berpeluang membuatnya salah memilih teman dan kelompok.

- Mengubah penampilan dan gaya rambut terlalu sering sebagai usaha untuk mencari jati diri.

*Pertanyaan-pertanyaan mengenai cara atau tindakan untuk menghindari harga diri rendah silakan mengacu pada ragam tulisan saya tahun kemarin di blog terutama mengenai bahasan perkembangan psikososial pada anak. https://yws-paradigma.blogspot.co.id/
*Sumber tulisan: Understanding and Mentoring the Hurt Teenager, Diana Lea Baranovich (terjemahan dengan tambahan penjelasan)

Yeti Widiati 78-111017
CIRI-CIRI REMAJA YANG MEMILIKI HARGA DIRI TINGGI - yws

Self Esteem atau harga diri berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menampilkan diri dan berfungsi di lingkungannya. Mereka yang memiliki harga diri tinggi berpeluang untuk menampilkan diri lebih baik daripada mereka yang harga dirinya rendah.

Berikut ini adalah perilaku yang ditampilkan pada remaja yang memiliki harga diri tinggi:
- Mengungkapkan pendapat dengan penuh percaya diri.
Remaja dengan harga diri tinggi, umumnya merasa aman dan nyaman untuk mengungkapkan pendapatnya, karena ia memperoleh dukungan dari lingkungannya. Mereka yang sering disalahkan, cenderung kurang berani dan takut salah berbicara.

- Tekanan suara dan pilihan kata (bahasa) yang sesuai untuk situasi yang dihadapi.
Harga diri yang tinggi akan tertangkap dari bagaimana seseorang berbicara, dari tekanan suara, volume, pilihan kata, dll.

- Duduk dan bergabung bersama teman seusianya dalam aktivitas sosial.
Orang yang sudah memiliki identitas diri yang mantap, akan tahu di mana tempatnya berada dan memilih berinteraksi dengan teman seusianya. Tidak memilih berteman dengan yang lebih muda agar terasa lebih tinggi/hebat. Tidak juga memilih bergaul dengan yang lebih tua.

- Bersedia dan dengan gembira mengeksplorasi aktivitas-aktivitas baru untuk mengetahui apakah mereka akan menyukainya atau tidak.
Mereka yang memiliki harga diri tinggi, siap untuk mencoba hal-hal baru dan mengembangkan wawasannya lebih luas. Mereka tidak skeptis dan menghindari hal-hal baru, atau lebih menyukai hal yang stabil dan sama terus-menerus.

- Dapat mengembangkan hubungan/rapport yang sesuai dengan orang dewasa.
Remaja yang harga dirinya tinggi, tahu bagaimana bersikap yang sesuai pada orang yang lebih tua. Sopan santun, menolong dan kepedulian pada orang yang lebih tua, menunjukkan hal tersebut.

- Dapat bekerja sama dalam kelompok
Dapat memberi dan menerima. Peka terhadap kebutuhan orang lain dan tahu keterbatasan diri, adalah beberapa perilaku yang membuat orang bisa bekerja sama dengan baik

- Bisa menjadi pengikut (follower) sebagaimana juga bisa menjadi seorang pemimpin (leader)
Pemahaman bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan keterbatasan membuat seseorang tahu kapan dan bagaimana menempatkan diri sebagai follower dan leader. Saat ia menjadi pengikut ia bersedia mematuhi aturan dan saat mejadi leader ia tahu cara berkomunikasi dan memimpin anggotanya.

- Menghadap pada orang saat berbicara atau saat orang berbicara kepadanya.
Tidak memalingkan muka, menghindar dan duduk/berdiri menghadapi orang yang berkomunikasi dengannya adalah salah bentuk harga diri tinggi.

- Menatap mata orang (eye contact) dengan wajar saat bercakap-cakap.
Tidak mengalihkan atau menghindari tatapan mata ke arah lain saat bercakap-cakap.

- Tidak ragu meminta pertolongan saat membutuhkan
Tahu keterbatasan diri dan berani menyatakannya dalam bentuk permintaan tolong. Bukan bergantung sepenuhnya kepada orang lain.

- Berani mengatakan kebenaran sekalipun hal itu berpeluang membuatnya menghadapi masalah
Remaja yang memiliki harga diri tinggi, berani menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Sehingga ia berani menyatakan suatu kebenaran.

- Berani mengakui bahwa ia tidak paham suatu hal
Dorongan untuk belajar dan mengembangkan diri lebih besar daripada rasa gengsi.

- Berinisiatif berkenalan dengan orang baru dengan cara yang wajar.
Masih berkait dengan keinginan untuk memperluas cakrawala dan pergaulan, membuatnya senang berkenalan dengan orang baru dalam ragam situasi.

- Menjaga jarak yang wajar dan nyaman antara dirinya dengan orang lain.
Bila ia menemukan bahwa ia perlu menjaga jarak dengan orang-orang tertentu (misal yang membawa pengaruh buruk), remaja dengan harga diri tinggi tahu cara yang wajar untuk melakukannya. Tidak membuat dirinya resah dan orang lain tidak nyaman.

- Bicara tanpa ragu dan lancar
Perasaan tidak nyaman, membuat otak berpikir (korteks) kurang bekerja optimal. Hal ini tampil pada bagaimana seseorang berbicara dan mengungkapkan pikirannya melalui bahasa.

- Bersedia belajar dari kesalahan-kesalahannya
Keterbukaan untuk memperbaiki diri, didasari oleh pemahaman atas keterbatasan dan dorongan untuk meningkatkan diri.

Poin-poin di atas dapat membantu kita para orangtua dan guru untuk memahami remaja. Hal-hal apa yang masih perlu diatasi dan apa yang dapat kita lakukan untuk membantu remaja mengembangkan dirinya dan memasuki level perkembangan berikutnya (dewasa muda) dengan kesiapan yang lebih baik.

*Sumber: Understanding and Mentoring the Hurt Teenager, Diana Lea Baranovich (terjemahan dengan tambahan penjelasan)

Yeti Widiati 77-111017

Kamis, 05 Oktober 2017

PERTENGKARAN DALAM DIRI - yws
(Konteks bahasan Ego State, Innerchild, dan fungsinya dalam penyelesaian masalah)

"Kamu nggak boleh gitu, itu dosa lho ...!"
"Tapi nggak bisa, masa aku seenaknya aja diejek dan dibikin malu di depan orang banyak ..."
"Iya sih, tapi kamu juga yang salah, kan. Kamu yang bikin dia jadi marah ..."
"Habisnya dia nyebelin sih ..."
"Udah ... udah ah ... aku pusing ... aku nggak mau lagi dengar kata-kata ini ... aku mau tiduran aja ..."
"Eh, tapi kalau tiduran, masalahnya nggak selesai lho ... "
"Biariiiiin ....."

Percayakah kita bahwa "dialog" di atas itu dilakukan oleh diri kita sendiri? Di dalam kepala kita sendiri? Mereka yang menyadari, menghayati dan bahkan sering mengalami hal ini, tentunya bisa segera merasakannya.

Sesungguhnya setiap hari kita melakukan percakapan semacam ini dalam pikiran kita. Saat kita sedih, saat kita marah, takut, dan bahkan saat kita sedang memecahkan masalah dan ingin mengambil keputusan. Seolah kita berada di situasi rapat/pertemuan yang riuh dan semuanya ingin didengarkan pendapatnya.

Dalam bahasan Teori Ego State, maka setiap "suara" tersebut mewakili sebuah state. Setiap state memiliki masa 'kelahiran', biasanya terkait dengan suatu peristiwa tertentu. Untuk mempermudah saya akan memberi nama state tersebut dengan nama sifat. Misalnya, state marah muncul saat kita pertama kali merasa marah.

Biasanya pengalaman pertama itu terjadi di masa kita kecil. Saat mainan kita direbut saudara kita, lalu kita mulai melawan, maka pada saat itu ada state marah dan juga state melawan yang terbentuk. Di kesempatan lain, kita kesal kepada ibu kita yang menyuruh belajar padahal kita masih ingin main. Maka juga terbentuk state kesal pertama kali. Ketika kita (saat kanak-kanak) kasihan melihat kucing kedinginan karena tersiram air, lalu kita mengeringkannya dengan handuk dan menyelimutinya dengan selimut, maka terbentuk pula state kasihan dan state menyayangi.

Demikianlah kita memiliki banyak state yang terbentuk dari pengalaman hidup kita. Ada state yang tersembunyi, karena jarang digunakan. Namun ada juga state yang sering muncul karena terus-menerus terpicu oleh stimulus di lingkungannya.

Ego state-ego state ini ada yang bersifat netral, ada yang mengganggu namun juga ada yang mendukung diri kita. Semuanya bergantung pada seberapa dominan state tersebut menguasai diri kita.

Masalah terjadi ketika seseorang memunculkan state yang kurang tepat pada suatu situasi. Misalnya, ketika seorang ibu melihat anaknya menjatuhkan vas kesayangannya. State yang muncul adalah state si ibu ketika dulu kecil melihat mainannya dirusak temannya. Dulu ketika si ibu masih anak-anak dan mainannya dirusak teman, ia pun marah dan mengamuk. Tanpa disadari state marah dan mengamuk ini yang muncul kembali, terpicu ketika anaknya menjatuhkan vas kesayangannya. Padahal perilaku anak menjatuhkan vas sangat berbeda dengan perilaku teman merusak mainannya.

Kadang kita perlu membentuk state baru yang tidak kita miliki. Caranya salah satunya adalah dengan mengajari diri kita mencontoh orang lain yang sudah memiliki state ini. Kita juga bisa memperkuat state yang sudah ada yang rupanya selama ini tidak termanfaatkan dengan baik. Misalnya, seorang remaja yang kesulitan untuk peduli pada orang lain, karena selama ini di keluarga dan lingkungannya, ia selalu dibully. Sehingga ia "tidak" memiliki state kepedulian selain merendahkan orang yang memiliki kekurangan.

Ego state yang muncul di masa kecil saat kita kanak-kanak, sekarang dipopulerkan dengan istilah "innerchild". Dengan membaca ulasan di atas, kita jadi bisa memahami bahwa innerchild tidak selalu berkait dengan kelemahan, penderitaan atau hal-hal negatif. Innerchild juga bisa berupa state yang fun, kreatif, curious, senang belajar, aktif dan ragam khas sifat alamiah anak lainnya. Semuanya bisa kita manfaatkan dengan efektif.

Mereka yang pernah menonton film "Inside Out" mungkin bisa lebih mudah memahami mengenai state ini. Dalam film tsb, 5 karakter kartun itu mewakili state yang dikaitkan dengan emosi. Dalam kenyataannya, tentunya tidak sesederhana itu. State marah tidak hanya satu namun bisa sangat beragam. Sangat marah, kesal, ngambek, agresi, dll. adalah beberapa bentuk state berkait emosi marah.

Ah sudahlah, kita tidak perlu memperumit diri dengan itu ya. Biar para ahli psikologi saja yang mengulik dan mengutak-atik hal tersebut. Yang lebih kita butuhkan adalah bagaimana kita lebih memahami diri dan kemudian memanfaatkan pengetahuan ini untuk membuat diri kita lebih baik.

Jadi, intinya ada banyak state dalam diri yang perlu kita dengarkan dan kita damaikan. Tak jauh berbeda dengan bagaimana kita hidup berinteraksi sosial. Mereka yang terlatih menghadapi ragam orang dengan segala macam sifatnya seringkali pengelolaan dirinya terinspirasi dari hal itu.

Anak-anak adalah contoh terbaik bagaimana mereka mendamaikan state-nya sendiri melalui cara konkrit yaitu bermain "pura-pura". Ketika mereka bercakap-cakap dan menjejerkan mainannya. Menghibur bonekanya yang "sakit", menasihati kucing yang tidak mau menurut, dsb.

Mekanisme penyelesaian masalah alamiah ini biasanya menurun dengan bertambahnya usianya. Seringkali karena lingkungan kurang mendukung hal tersebut, dengan mengomentari negatif, menertawakan atau menganggap permainan tersebut terlalu childish (kekanak-kanakan).

Remaja (dulu) menggunakan diary-nya sebagai ganti permainan pura-pura. Dia bercerita tentang ragam perasaan dan pikirannya di dalam diary tersebut. Mereka marah kalau sampai ada orang lain yang membaca diary-nya. Karena ini merupakan rahasia besar dirinya.

Orang dewasa menggunakan cara curhat. Baik kepada teman, kepada diri sendiri maupun yang lebih religius kepada Tuhan, dalam doa-doa kesendiriannya. Cara curhat sebetulnya adalah cara yang baik, bila dimaksudkan untuk mencari penyelesaian masalah. Namun cara ini kontraproduktif bila dilakukan terbuka kepada banyak orang (melalui medsos) sehingga hanya menjadi ajang "pamer masalah", dan tidak menjadi insight dan inspirasi dalam penyelesaian masalah.

Dalam ruang-ruang terapi, maka terapis mengajak klien untuk mengenali ragam ego state yang berkait dengan masalahnya. Mengidentifikasi, mendengarkan keinginan, mempertemukan kebutuhan dan bila tidak memungkinkan memenuhi kebutuhannya, maka accept dan forgive adalah cara yang lebih ditawarkan. Tidak selalu mudah untuk mengakui dan menerima kehadiran state-state ini. Terutama yang dinilai negatif oleh diri kita. Apalagi ketika state ngeles dan defensif juga ikut meramaikan.

Sangat beruntung bila state senang belajar dan berusaha tetap dominan dan terpelihara, sehingga semua proses ini, se-menantang apa pun akan dilihat sebagai cara untuk meningkatkan kualitas diri.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS 2:286)

Yeti Widiati 76-051017

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...