Sabtu, 25 November 2017

SENSITISASI DAN DESENSITISASI - yws

Suara kereta api, seringkali mengagetkan dan membuat tidak nyaman bagi beberapa orang, terutama bagi bayi dan anak-anak kecil. Tapi ternyata mereka yang rumahnya di pinggir jalan kereta api tidak seperti itu. Mereka tetap bisa nyenyak tidur sekalipun kereta lewat. Dan bahkan saking seringnya kereta lewat, mereka tidak menyadari kereta itu lewat.

Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang tinggal di dekat tempat pembuangan sampah, pabrik, gunung berapi yang mengeluarkan bau belerang, dll. Lama kelamaan mereka menjadi kebal dengan bau-bauan tersebut.

Indra yang awalnya tidak nyaman terhadap suatu stimulus sensori, lalu lama kelamaan menjadi terbiasa dan bahkan tidak menyadari kehadiran stimulus tersebut, itu lah yang disebut proses "desensitisasi/desensitization". Atau kalau disederhanakan dapat disebut juga proses menjadi "kebal".

Sebaliknya adalah, proses ketika diri kita lebih menyadari kehadiran suatu stimulus. Saya pernah mengalaminya setelah ibu saya meninggal dunia. Melihat roti di toko roti, dulu rasanya biasa-biasa saja. Tapi setelah ibu saya meninggal, tampilan roti itu memicu memori saya terhadap pengalaman saya bersama ibu, dan membuat rasa sedih pun muncul kembali. Mencium bau pakaian dan lemari pakaian pun bisa membangkitkan memori dan rasa sedih, karena ada bau kapur barus yang biasa dipakai ibu saya. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk bisa melakukan desensitisasi terhadap roti dan bau kapur barus.

Bila contoh barusan itu berkait dengan stimulus visual dan olfactory (bau), maka hal yang sama bisa juga terjadi pada stimulus sensori berupa rasa, suara, bahkan sentuhan.

Apakah proses sensitisasi dan desensitisasi ini proses yang baik atau buruk?

Tak ada yang baik atau buruk dari keduanya. Keduanya adalah proses logis dan alamiah yang bisa terjadi kapan pun, di mana saja dan pada siapa pun. Tapi bahwa proses ini bisa berakibat baik atau buruk memang ya, tergantung konteks dari pengalaman tersebut.

Menyadari bahwa kedua proses ini bisa berakibat baik dan buruk, maka para ahli psikologi memanfaatkannya untuk proses psikoterapi dan bahkan juga pendidikan.

Pemanfaatan proses sensitisasi dan desensitisasi dalam psikoterapi dan pendidikan, antara lain, untuk menghilangkan phobia, mengurangi kecemasan, rasa takut, trauma, menimbulkan empati, kepekaan, keberanian, termasuk treatment sensory integration bagi ABK.

Bagaimana pun tetap ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah, bahwa tubuh kita memiliki ambang batas tertentu terhadap stimulus-stimulus sensori yang diterimanya. Ibaratnya seperti dokter yang menyuntikkan obat bius kepada pasien sebelum melakukan operasi. Betul, memang pasien tidak merasa apapun ketika kulitnya diiris dengan pisau operasi, akan tetapi bukan berarti kulitnya menjadi tidak bisa luka. Dia tetap terluka sekalipun tidak merasakan sakitnya.

Ambang batas fisik bisa terlihat dari seberapa parahnya luka. Ambang batas psikis lebih tidak mudah mengukurnya. Karena luka psikis seringkali baru terlihat akibatnya dalam jangka panjang.

- Anak-anak yang mengalami kekerasan di masa kecil, bisa saja ia tampak kuat dan tegar tapi sebetulnya ada mental yang rapuh di dalamnya.
- Istri atau suami yang disakiti pasangannya sepanjang pernikahan, mungkin dia tampak tenang dan sabar, padahal sebetulnya menyimpan luka yang dalam.
- Karyawan yang bekerja pagi hingga sore di tempat-tempat beresiko tinggi (terlalu panas, dingin, radiasi, rawan celaka, stresful, dll). Terlihat biasa-biasa saja. Tapi fisiknya menurun dalam jangka panjang dan mengundang ragam penyakit.
- Anak-anak kita yang belajar di sekolah dari pagi hingga sore, lalu mengikuti les dan mengerjakan PR pada malam hari. Baru terlihat gangguan fisik, emosi dan perilakunya di kemudian hari.

Dan masih banyak contoh lainnya ...

Nah, kita sebagai orangtua, pendidik, karyawan dan bahkan diri sendiri, sangat mungkin sudah melakukan proses sensitisasi dan desensitisasi ini secara alamiah dalam keseharian kita. Sekarang setelah kita tahu, maka mungkin kita bisa memanfaatkannya dalam pendidikan dan untuk pengelolaan diri dengan lebih sistematis dan dengan tujuan yang jelas.

Sekaligus kita juga bisa lebih jujur pada diri sendiri, apakah dalam mendidik kita sudah memberikan 'tekanan' yang sesuai dan bertahap untuk anak-anak/siswa kita. Atau apakah selama ini kita berpura-pura kuat terhadap tekanan-tekanan yang kita terima atau sebaliknya kita terlalu manja dan mudah mengeluh terhadap tekanan yang sebetulnya kita sanggup hadapi?

Bila kita mengembangkan kepekaan minimal terhadap diri sendiri, maka kita akan lebih peka terhadap sinyal tubuh, emosi dan juga perilaku kita.

Yeti Widiati 82-241117

Minggu, 19 November 2017

TAHAPAN HUBUNGAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN - yws

Tahapan ini dibuat secara umum. Detail tentunya akan berkaitan dengan aturan dan kebiasan berdasar sosial, budaya dan juga agama. Oleh karena itu perlu kebijakan dalam memahami dan juga menerapkannya dalam realita. Setiap orang sangat mungkin untuk memilih caranya sendiri berdasar apa yang diyakininya benar.

1. Saling tertarik
Adalah hal yang alamiah, bila ada ketertarikan antar laki-laki dan perempuan. Ketertarikan ini biasanya lebih didasarkan pada apa yang terlihat. Ketertarikan ini juga bersifat subyektif berdasarkan pengalaman masing-masing orang.

Sekalipun ketertarikan antar lawan jenis ini bersifat alamiah, namun tidak semua kelompok atau budaya mengizinkan proses ini berjalan tanpa monitoring. Hal ini biasanya berkait dengan upaya menghindari hubungan antar lawan jenis yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan aturan.

Oleh karena itu kita mengenal ada beberapa bentuk hubungan lawan jenis, mulai dari yang paling dibatasi hingga yang paling longgar.
- Perjodohan yang diatur sejak masih kanak-kanak. Perjodohan diatur orangtua dan anak tidak memiliki hak untuk memilih dan menolak.
- Mirip dengan poin sebelumnya, yaitu bentuk perjodohan di dalam komunitas dan masih memiliki hubungan. Misal, antar saudara jauh atau antar anggota kelompok.
- Pemisahan berdasar jenis kelamin, terutama pada usia remaja. Hubungan antar jenis kelamin tidak diizinkan sebelum terjadi pernikahan.
- Pendampingan dan pengawasan terhadap hubungan laki-laki dan perempuan dengan batasan tertentu
- Sistem yang lebih terbuka, sehingga perempuan dan laki-laki memiliki otonomi yang relatif lebih besar untuk memilih pasangan dan melanjutkan hubungan sesuai dengan keinginannya.

2. Mengenal lebih jauh
Saling ketertarikan akan mendorong orang untuk mengenal lebih jauh. Dan sama dengan poin pertama, maka proses mengenal lebih jauh ini pun dibatasi oleh aturan dan kebiasaan sosial, budaya dan agama.
- Ada yang memperoleh informasi dari orang lain (orangtua, kenalan, teman, guru spiritual, dll)
- Ada yang memperoleh informasi dengan melakukan penggalian sendiri.

Apapun caranya, maka memperoleh informasi mengenai calon pasangan adalah hal penting. Karena hal ini akan berkait juga pada sejauh mana antisipasi terhadap proses adaptasi dan penanganan masalah yang berpeluang muncul di kemudian hari.

Prinsip umum, kecemasan dan ketakutan akan timbul bila sesuatu tidak terprediksi atau berada di luar kemampuan. Oleh karena itu sekalipun pada saat pernikahan kejutan selalu ada, namun kejutan yang terprediksi umumnya menurunkan tingkat kecemasan.

3. Memilih pasangan
Ketertarikan memang berpengaruh terhadap pemilihan pasangan (kecuali bagi pasangan yang dijodohkan tanpa perkenalan memadai). Akan tetapi agak berbeda dengan ketertarikan yang lebih didasari oleh perasaan, maka memilih pasangan lebih banyak melibatkan pemikiran dan pertimbangan logis.

Dalam konteks ini, maka banyak orangtua yang ikut terlibat dalam memilih pasangan bagi anaknya, salah satunya adalah agar pemilihan lebih didasari oleh pertimbangan yang lebih matang. Terutama pada pasangan yang terlalu muda yang pertimbangannya dikuatirkan masih lebih banyak didasari dorongan-dorongan perasaan yang belum tentu bertahan lama. Orangtua biasanya memutuskan berdasarkan pengalaman mereka.

Patut dicatat, bahwa pertimbangan orangtua, sekalipun didasari oleh tujuan yang baik, adakalanya juga belum tentu sesuai. Karena pengalaman orangtua belum tentu sesuai dengan anak.

Oleh karena itu duduk bersama dan semua pihak (anak dan orangtua) berbicara secara terbuka, merupakan pilihan yang dipandang lebih baik, daripada masing-masing memaksakan keinginannya. Terlebih dalam budaya Indonesia, ketika pernikahan tidak hanya dipandang sebagai penggabungan dua orang melainkan menggabungkan dua keluarga besar.

Pertimbangan memutuskan pasangan (untuk menikah) selain ketertarikan, biasanya didasarkan pada:
- Ras, bangsa, suku.
Kecenderungan ini masih dimiliki pada banyak orang. Meskipun untuk individu yang tinggal di lingkungan heterogen, maka penerimaan heterogenitas dalam hal ras ini semakin longgar. Misalnya, orang yang tinggal di Jakarta, relatif tidak lagi memaksakan harus menikah dengan orang yang sukunya sama.

- Agama/sistem value
Mayoritas orang memilih menikah dengan orang yang beragama sama. Hal ini juga karena agama merupakan hal yang mendasar dan memiliki perangkat aturan yang ketat.

- Kelas sosial,
Mencakup juga di dalamnya adalah pendidikan, pekerjaan, latar belakang sosial, pengalaman hidup dan peluang pengembangan. Pada umumnya kesamaan dalam kelas sosial, lebih memudahkan proses komunikasi dan adaptasi.

- Rentang usia
Perbedaan usia ini juga akan berpengaruh pada bentuk relasi antar pasangan. Sekalipun pada umumnya suami lebih tua dari istri namun tidak jarang juga istri yang lebih tua dari suami. Semakin jauh perbedaan jarak usia, maka bentuk relasinya pun akan berubah.

Apapun kondisi dan pilihannya, maka seorang yang telah dewasa, bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya dan mengantisipasi tantangan yang mungkin dihadapinya.

*Sumber Marriage and Family Development, Duvall & Miller

Yeti Widiati 81 - 191117
TEST OF MARITAL READINESS (Tes Kesiapan Menikah) - yws

Kesiapan menikah ditunjukkan, antara lain oleh:
- Kematangan (emosi) dalam menghadapi perasaan orang lain secara tepat.


- Mampu bergaul dan berinteraksi dengan sebanyak mungkin orang.

- Memiliki keinginan dan mampu menjadi exclusive sexual partner. Tidak berganti-ganti pasangan seksual atau mudah tertarik orang lain selain pasangannya.

- Memiliki dan mampu menunjukkan rasa kasih sayang kepada pasangannya.

- Peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain (terutama pasangan).

- Mampu mengkomunikasikan dengan bebas dan jelas pikiran, perasaan dan keinginannya. Tidak ragu dan canggung berbicara, namun dengan cara yang baik.

- Siap untuk mendiskusikan dan menggabungkan rencana pribadinya dengan orang lain. Terbuka menerima perubahan, penyesuaian dan berfokus pada tujuan bersama (bukan ingin menang atau senang sendiri).

- Siap menerima keterbatasan orang lain/pasangan.

- Realistis terhadap karakteristik atau kondisi orang lain/pasangan.

- Memiliki kapasitas untuk secara efektif menghadapi masalah ekonomi.

- Siap untuk menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab (melakukan peran sesuai dengan value dan tuntutan sosial/budaya)

*Sumber Marriage and Family Development, Duvall & Miller

Yeti Widiati 80-191117

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...