Kamis, 10 September 2015

ADIK BARU MEREBUT KASIH SAYANG ... yws

Bayangkan, anda tinggal di sebuah rumah bersama teman, pasangan atau pun keluarga. Anda sudah sangat merasa nyaman tinggal di rumah tersebut, sehingga merasa bebas untuk melakukan apa pun.

Tiba-tiba salah seorang anggota dalam rumah tersebut mengundang orang lain untuk tinggal di dalam rumah itu tanpa membicarakannya terlebih dulu dengan anda. Anda menjadi was-was, apakah orang baru ini nanti akan baik dan menyenangkan?

Ternyata orang baru ini betul-betul menarik perhatian semua orang. Dia lucu, imut, cantik dan manja. Semua orang memuji dan mengaguminya. Kemanjaannya membuat semua orang harus melayaninya. Tapi yang paling menyebalkan bagi anda adalah ketika anda harus berkorban memberikan tempat bagi orang baru ini. Anda sudah kehilangan kenyamanan, perhatian, dan sekarang merasa tersingkir pula. Anda mulai was-was, hingga timbul pemikiran "Jangan-jangan, aku bisa-bisa tersingkir nih gara-gara orang baru ini."

Berbagai pikiran yang terlintas mulai mengganggu dan perasaan pun menjadi campur aduk rasanya.
- Pemikiran bahwa, saya tidak menarik dan tidak diperhatikan menyebabkan rasa sedih luar biasa.
- Pemikiran bahwa, saya sekarang mulai tidak aman dan akan tersingkir, menyebabkan timbulnya rasa cemas
- Pemikiran bahwa apa pun yang saya lakukan tidak akan berhasil menarik kembali perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekitar saya, membuat saya frustrasi dan ingin marah
- Pemikiran bahwa saya harus merebut kembali perhatian dari orang-orang di lingkungan, membuat saya ingin mengusir orang baru ini.
- Pemikiran bahwa orang baru ini lebih baik dari saya, membuat saya cemburu luar biasa.

Saya betul-betul merasa tidak nyaman, insecure, merasa terbuang dan tersaingi. Apakah orang-orang masih peduli pada saya dan mengapa saya yang harus mengalah dan berkorban terhadap orang baru ini?

.........................

Pemikiran dan perasaan ini kerap timbul pada anak-anak yang memiliki adik baru. Orangtua seringkali merasa bahwa mereka sebagai orangtua punya sepenuhnya hak untuk melakukan apapun tanpa perlu memberi tahu apalagi meminta izin pada anak. Anak dipandang "pokoknya harus mau, nurut dan ikut." Urusan punya anak dipandang adalah urusan berdua antara ayah-ibu. Padahal yang juga merasakan dampak dari kehadiran adik baru adalah juga si kakak, yang selama ini mengira bahwa hanya dialah pusat kasih sayang orangtuanya bahkan keluarga besarnya.

Keluhan para orangtua karena si kakak yang jealous pada adik, terkesan tidak sayang dan bahkan bersikap kasar seringkali bukanlah karena "kesalahan murni" kakak. Tapi karena orangtua tidak mempersiapkan dan melibatkan kakak dalam kelahiran adik barunya. Orangtua juga tidak meyakinkan dan memberi kesan kepada kakak bahwa mereka tetap sayang dan memperhatikan kakak.

Saya kerap melihat keluarga yang kakak adiknya kurang rukun bahkan hingga mereka dewasa. Sering bertengkar, saling membully, dll. Mereka bersaudara tapi tak peduli keadaan saudaranya yang kesulitan. Iri pada keadaan saudaranya yang lebih baik. Konflik perebutan warisan. Atau bahkan saling menghindar saat harus mengurus orangtua yang sakit dan renta.

Betul bahwa kondisi itu tidak bisa disederhanakan. Bahwa ada masalah-masalah lain yang lebih kompleks yang mempengaruhinya. Akan tetapi kalau dirunut ke belakang, seringkali bermuara pada bagaimana orangtua memperlakukan dan memposisikan anak-anaknya. Anak-anak tidak dipandang sebagai orang yang layak dipertimbangkan pendapatnya sejak kecil. Dan bagaimana cara orangtua memanage sehingga tidak ada anak yang merasa diperlakukan tidak adil dan harus berkorban untuk saudara-saudaranya.

Sebetulnya yang dibutuhkan si kakak ini sangat sederhana, yaitu jaminan kasih sayang. Bahwa sekalipun ada adik baru, ia tetap akan memperoleh kasih sayang yang sama dari kedua orangtuanya. Bahwa ada perhatian, waktu dan bahkan tempat yang terbagi itu sangat mungkin dan juga perlu proses adaptasi. Tapi keyakinan bahwa ia disayang itu sudah cukup menenangkan.

Bagi yang berencana punya anak kedua-ketiga-keempat dst. nampaknya sudah perlu berpikir jauuuuh ke depan. Agar di akhir masa hidupnya ia bisa tenang dan bahagia bersama anak-anak yang rukun dan saling membantu satu sama lain.

Yeti Widiati S. 090915
IBU SETENGAH CENAYANG
(Konteks Perkembangan Bicara Anak) - yws

Anak : Blmbrlh ... kaforh .... fiprtli .... icjw
Ibu : Ooo iya sebentar yaaa ... bunda ambilkan


Banyak ibu (dan juga mbak2 pengasuh) dengan ajaibnya memahami bahasa "planet" bayinya. Interaksi dan kedekatan yang intens antara ibu dan bayi, seringkali membuat mereka hanya dengan bertatapan atau mendengarkan rengekan/tangisan, sudah memahami apa yang diinginkan. Kepekaan terasah ketika ada bonding (ikatan) yang begitu kuat. Para ibu ini sudah seperti setengah cenayang.

Menariknya adalah, bahwa hal ini tidak terjadi pada semua ibu. Karena ada cukup banyak juga ibu-ibu yang salah-salah ketika menginterpretasi keinginan anak. Sok tahu yang berujung memaksa, atau tebak-tebakan yang berujung emosi kerap terjadi pada ibu-ibu ini.

Beruntungnya, kemampuan cenayang bukanlah indikator untuk menentukan apakah seorang perempuan adalah ibu yang baik atau bukan. Kalau ya, bisa-bisa sebagian besar ibu-ibu muda akan kecewa mengira dirinya tidak layak menjadi ibu.

Baik para ibu yang punya kepekaan tinggi, para ibu yang "sok tahu" maupun para ibu yang sering salah menangkap pesan anak, semuanya punya tanggung jawab dan amanah yang sama yaitu mengajarkan anak untuk berbicara dengan jelas (artikulatif) dan runtut sehingga dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya dan dipahami dengan baik oleh orang lain.

Ibu setengah cenayang justru yang kerap luput pada tanggung jawab ini, Merasa sudah paham anaknya, mereka jadi lupa mendorong dan membimbing anak untuk berbicara dan mengungkapkan keinginannya dengan jelas. Akibatnya si anak tumbuh besar dengan ketrampilan berkomunikasi yang tidak optimal. Kebiasaan di rumah terbawa ke lingkungan saat ia ngambek, tidak mau bicara dan menuntut guru atau temannya paham apa yang diinginkannya. Dan dia frustrasi serta tak mengerti mengapa gurunya tidak seperti ibunya yang selalu memahami dirinya.

Bayangkan bila hal ini terbawa hingga anak menikah. Ketika ada masalah dia tidak mau berkomunikasi karena menuntut pasangannya bisa memahami sendiri tanpa perlu diberi tahu. "Mestinya kamu ngerti dong, salah kamu itu apa ...!" (Familiarkah dengan kalimat ini? smile emotikon )

Kembali lagi pada relasi ibu dan anak. Adalah baik, seseorang ibu memiliki kepekaan dan kemampuan untuk memahami orang lain hanya dengan melihat ekspresi atau gestur tubuh anaknya, atau dari bahasa tersirat yang disampaikannya. Namun dalam konteks pendidikan anak, maka para ibu setengah cenayang ini perlu menahan diri dan lebih berfokus pada kepentingan pengembangan anak.

*Kepekaan seorang ibu baik sekali dimiliki untuk menjadi resources dalam memahami anak. Namun perlu dikelola agar tidak mendorongnya mengambil kesempatan anak mengembangkan dirinya sendiri secara mandiri.

Yeti Widiati S
TAKUT
(Pengelolaan Emosi) - yws

Dari pengamatan dan analisis terbatas terhadap case-case yang dihadapi, saya menemukan bahwa kebanyakan masalah ternyata berakar dari perasaan takut dan bila tidak dikelola dengan baik, maka berbuah menjadi perilaku yang mengganggu.

Misalnya, takut kehilangan perhatian, takut kehilangan kasih sayang, takut kehilangan harga diri, dll. Siapa pun bisa merasakan takut, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Dan semua perasaan takut itu bersifat subyektif, artinya, hal yang menakutkan bagi seseorang bisa tidak menakutkan bagi orang lain. Karena semua perasaan takut berangkat dari pengalaman yang berbeda-beda.

Ketika takut diiringi dengan perasaan tidak berdaya, maka kecemasan dan kegelisahan datang menyiksa.

Ketika takut direspon dengan usaha perlawanan, maka kemarahan dan agresivitas membakar jiwa.

Ketika ketakutan benar-benar menjadi nyata, maka kesedihan menjadi depresi dan putus asa.

Ada takut yang nyata dan alamiah, misalnya seperti takut binatang buas, takut jatuh, takut bencana alam, takut suara keras, takut tenggelam, dll. Menghadapi takut yang seperti ini, maka yang perlu dilakukan adalah melatih dan menguatkan diri, sehingga dapat mengurangi risiko menghadapi stimulus ketakutan itu.

Tapi ada ketakutan yang dibentuk oleh pikiran negatif kita. Ketakutan yang tidak real yang bertambah buruk karena prasangka dan pikiran subyektif.
- "Saya tidak mau bergabung dengan kelompok itu, jangan-jangan nanti saya dibully"
- "Saya tidak mau mengerjakan pekerjaan ini, jangan-jangan nanti saya gagal"
- "Saya tidak mau bicara di depan orang banyak, gimana nanti kalau saya ditertawakan"
- dll.

Ketakutan seperti ini kerap disebut dengan istilah kecemasan (anxiety). Kecemasan berulang dan terus-menerus bahkan bisa menyerang diri kita secara fisik. Migrain, maag, gatal-gatal, asma, sariawan, sakit punggung adalah sebagian kecil kondisi fisik yang seringkali memiliki kaitan dengan kecemasan.

Ketakutan jenis kedua ini biasanya tidak muncul begitu saja, tapi didasari oleh pengalaman ketakutan yang tidak tuntas di masa lalu (biasanya terjadi di masa anak terutama 5 tahun pertama). Karenanya betapa penting orangtua membimbing dan mengajarkan anak bagaimana mengelola rasa takutnya dengan baik, sehingga tidak terbawa hingga dewasa.

Namun bila sudah kepalang terbawa hingga dewasa, maka masih tetap ada
hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi ketakutan ini antara lain dengan "MENANTANG dan MEMPERTANYAKAN" semua pikiran-pikiran negatif tersebut.
- Apa betul kalau saya bergabung dengan kelompok itu saya akan dibully? Mana buktinya? Apa yang membuat saya layak dibully? Kalau dibully pun apa yang saya akan lakukan?

- Bagaimana saya bisa gagal? Kalau gagal pun apa salahnya, saya bisa belajar lagi.

- Apa yang membuat tidak mau bicara depan orang banyak? Kalau orang lain menertawakan siapa yang salah? Apa untung dan ruginya kalau saya tidak berani bicara?
- Dll.

*Dan jauhilah prasangka buruk, karena sebagian dari prasangka buruk itu adalah dosa QS 49:12

Maka takutlah pada Sang Maha Kuat
Mintalah perlindungan dari-Nya
Terimalah keterbatasan diri
Dan maafkan mereka yang dirasakan melanggar

Ketika jelas semua akar rasa takut tersebut,
maka pola menghadapinya pun menjadi jauh terasa lebih sederhana.
Orang menjadi lebih optimis
bahwa dia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

*Mengingatkan paling dulu untuk diri sendiri.

Yeti Widiati S.

*Repost dengan editing
MANA YANG PRIORITAS?
(Konteks Aspek Perkembangan Anak) - yws

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis mengenai dorongan orangtua untuk berlomba-lomba dalam perkembangan anak. Seolah apabila anak kita sekolahnya lebih cepat setahun, lebih cepat bisa bicara, lebih banyak hafalannya, bisa membaca saat bayi, lebih dahulu bisa shalat/berdoa, maka dia akan lebih baik dari anak yang lain.

Tulisan saya yang berjudul "KITA, ORANGTUA YANG TERGESA-GESA DAN SUKA MEMAKSA" memperoleh respon beragam, baik itu sepakat maupun tidak sepakat. Menariknya adalah, meskipun pada umumnya banyak orangtua sepakat untuk "tidak tergesa dan tidak memaksa" anaknya, namun ketidak-sepakatan adalah pada contoh-contoh yang saya berikan. Tentu hal itu adalah sah saja, karena setiap orang memiliki hak untuk menentukan sendiri mana yang prioritas bagi diri dan keluarganya.

Pertumbuhan dan perkembangan anak, bukan seperti memasang lego warna warni. Di sambung kiri kanan dan ... jreng .... jadilah rumah-rumahan, mungil, lucu dan menarik. Cepat dibuatnya, tidak sulit dan juga menarik. Tapi ia rentan hancur, dan kehilangan fungsi sebagai rumah yang bisa dijadikan tempat bernaung.

Pertumbuhan dan perkembangan anak, lebih seperti membangun sebuah rumah. Kita perlu membuat disain terlebih dahulu berdasarkan gambaran ideal yang kita miliki. Tanah perlu digali untuk membuat fondasi. Kemudian kita membuat tiang-tiang. Perlahan dan penuh kesabaran kita memasang batubata satu persatu, merekatkan dengan semen untuk membuat tembok. KIta juga membuat atapnya dari rangka yang kuat, dst. Semuanya membutuhkan proses yang lama dan menuntut kesabaran. Itu semua belum termasuk ketika ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, misalnya, ternyata kita kekurangan bahan, ternyata struktur tanahnya tidak sesuai dengan disain yang akan kita bangun, ternyata tukangnya sakit, dst. sementara pembangunan tetap harus berjalan terus.

Intinya dapat disimpulkan bahwa untuk mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka kita perlu memiliki tujuan besar yang jelas. Dan perlu menyusun perencanaan yang detail dan fokus pada hal-hal prioritas pada setiap tahapan usia.

Ada paling tidak 11 aspek yang semuanya perlu dikembangkan pada anak. Bila salah satu aspek lebih cepat atau lebih lambat perkembangannya dari yang lain maka akan terjadi ketidak-seimbangan dan yang paling terpengaruh terlebih dahulu oleh ketidak-seimbangan ini biasanya adalah aspek emosi. Di sinilah kerap muncul keluhan dari para orangtua yang juga menjadi terpengaruh emosinya oleh anaknya. Saya menyebutnya "ongkos emosi". *Ongkos emosi itu bisa berupa marah, kecewa, sedih, stress, cemas, takut, minder, unmotivated, dll.

Cepat atau lambatnya aspek perkembangan, bisa disebabkan karena faktor bawaan, misalnya, anak yang memiliki perbendaharaan kata, nama, doa yang jauh lebih banyak dari teman-temannya bisa disebabkan karena ia memang
memiliki daya tangkap dan daya ingat yang lebih cepat, jauh di atas usianya. Atau bisa juga disebabkan karena latihan dan pembelajaran yang intensif.

Sebaliknya, ada anak yang mengalami keterlambatan bicara karena ia memiliki gangguan fungsi organ bicara, atau karena orang-orang di lingkungannya kurang memberikan stimulasi bicara, sehingga ia kurang terdorong untuk berbicara.

Apapun kondisinya, kebijaksanaan dan penerimaan orangtua terhadap anak sangat dibutuhkan untuk melihat anak dengan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya menjadi resource dan kelemahannya menjadi tantangan untuk mencari strategi pembelajaran yang berbeda.

11 ASPEK PERKEMBANGAN ANAK yang perlu diperhatikan semuanya adalah;

1. ASPEK FISIK
Anak perlu sehat sehingga dapat melakukan aktifitasnya dengan senang dan bersemangat. Bahasan tentang kesehatan, berat dan tinggi badan, penyakit, dll. Orangtua lebih banyak merujuk pada dokter untuk aspek ini.

2. ASPEK MOTORIK
Anak perlu bergerak, baik secara keseluruhan (motorik kasar), seperti berlari, loncat, berjalan, merangkak, menendang maupun melakukan koordinasi visual motorik (motorik halus), seperti menulis, menggunting, menggambar, menjahit, meronce, dll.

3. ASPEK EMOSI
Anak perlu belajar untuk melakukan pengelolaan emosi. Mulai dari mengenali emosinya, memberi nama, melakukan penyaluran dan pengendalian pada waktu dan cara yang sesuai.

4. ASPEK BICARA DAN BAHASA
Anak perlu belajar untuk mengkomunikasikan dengan jelas pikiran dan perasaannya, sehingga orang lain mengerti apa yang ia sampaikan.

5. ASPEK KOGNITIF
Pada akhirnya, kemampuan ini dibutuhkan untuk penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Namun sebelum itu ia perlu belajar memahami, mengingat, menganalisis dan mengantisipasi terlebih dahulu.

6. ASPEK SOSIAL
Pada masa dewasa, anak akan bergaul dan berinteraksi dengan beragam orang. Maka saat kecil ia mulai belajar memahami diri, memahami orang lain, berinteraksi dengan teman sebaya, berinteraksi dalam kelompok kecil. dst.

7. ASPEK BERMAIN
Semua tujuan pembelajaran pada anak dilakukan dengan bermain yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan. Maka orangtua perlu mencari strategi pencapaian tujuan dengan cara bermain.

8. ASPEK KREATIVITAS
Anak adalah gudangnya kreativitas. Otak anak masih plastis (fleksibel) dan ini adalah kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan berbagai situasi. Alih-alih terpelihara dan berkembang, pendidikan dan pola asuh lebih sering membuat potensi ini hilang. Sebetulnya aspek ini adalah bagian dari aspek kognitif, namun karena begitu pentingnya pada masa anak hingga dibahas tersendiri.

9. ASPEK MORAL
Anak perlu memahami benar salah, baik buruk dengan pemahaman yang baik bukan karena dogmatis. Aspek ini juga berbicara tentang penanaman value hingga ia dapat menerapkannya dengan bijaksana di kemudian hari.

10. ASPEK RELIGIUS
Ada hal yang konkrit dan ada yang abstrak serta transenden. Anak pada satu titik akan sampai pada hal-hal ini, dan orangtua perlu menyiapkan diri untuk membicarakan mengenai konsep-konsep tentang Tuhan, Makaikat, Nabi, penciptaan alam, dsb. Mengajarkan ritual ibadah (saja) tidak serta merta mencerminkan pemahaman religius.

11. ASPEK PERAN SESUAI JENIS KELAMIN (SEX ROLE)
Marak dan meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak-anak ditengarai karena aspek ini tidak menjadi perhatian memadai oleh orangtua, guru dan masyarakat. Kecanggungan dan menganggapnya tabu masih menjadi kendala untuk membicarakan hal ini dengan anak secara lugas. Aspek ini adalah aspek yang paling diabaikan (secara sadar) oleh orang dewasa. Dan sekarang kita melihat akibat pengabaian ini dari maraknya kasus kekerasan seksual, pornografi dan LGBT.

Setiap aspek ini memiliki waktu dan target pencapaian yang berbeda untuk setiap tahapan usia. Oleh karena itu pula dalam tulisan saya sebelumnya, saya mengkritisi beberapa aspek yang didahulukan/diprioritaskan oleh orangtua, sementara aspek lain yang seharusnya sudah dicapai pada tahap usia itu justru belum dicapai dan malah terabaikan.

Bagaimanapun, saya tahu, bahwa kita semua menginginkan anak kita tumbuh dengan "BAIK".

Yeti Widiati S. 260815

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...