Minggu, 28 Mei 2017

STIMULASI SENSORI, KEBUTUHAN BAYI DAN BALITA - yws

- Bayangkan kita berada di atas jembatan tali yang bergoyang. Bagaimana rasanya? Apakah kita merasa takut jatuh?

- Bayangkan kita melempar bola ke sebuah ring basket. Dan heran, mengapa kok tidak bisa masuk juga. Sementara bagi orang lain aktivitas ini "piece of cake" (begitu mudahnya)

- Bayangkan kita harus mencari buku di sebuah toko buku atau perpustakaan dengan ribuan buku di dalamnya (bukan perpustakaan digital)

- Bayangkan kita datang ke sebuah daerah atau negara yang asing. Dan memakan makanan yang sama sekali baru. Teksturnya, rasanya dan tampilannya.

Semuanya itu terkait dengan sensory integration. Bagaimana seseorang mengintegrasikan sensorinya sehingga dapat berfungsi dan melakukan aktiviatas sehari-hari dengan baik.

Dalam bahasan sensory integration, maka tidak hanya 5 indra (penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan) yang dibahas, melainkan ada 7, yaitu ditambah dengan vestibular atau keseimbangan dan proprioceptive, yang berkait dengan kendali tulang dan sendi atau motorik.

Proses sensory integration ini berlangsung sejak bayi. Ada beberapa sensori yang berkembang lebih cepat daripada sensori lain, misalnya pendengaran lebih cepat daripada penglihatan. Namun semuanya perlu distimulasi agar berkembang baik dan terintegrasi.

Integrasi sensori ini yang menjadi fondasi dasar perkembangan kemampuan berikutnya. Yaitu kemampuan kendali emosi dan juga kemampuan kognitif (berpikir) dan berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi dan relasi sosial.

Bagaimana ceritanya bisa nyambung dan berpengaruh sejauh itu?

Saya ambil contoh sederhana.
- Bayi perlu diayun secara ritmis ke atas, ke bawah, ke samping kiri dan kanan atau bahkan depan belakang. Ibu atau pengasuhnya yang perlu melakukan itu secara perlahan sambil bermain, sehingga bayi menghayatinya sebagai hal yang menyenangkan.

Diayun sedemikian rupa akan mengintegrasikan vestibular. Sehingga bayi dapat menyeimbangkan dirinya dalam kondisi gerakan tersebut.

Bayi2 yang hanya digeletakkan di tempat tidur tanpa memperoleh stimulasi vestibular akan merasa gamang dan takut saat balita mulai mencoba aktivitas fisik yang menuntut kemampuan vestibular. Misalnya seperti meniti, memanjat, main ayunan, naik turun tangga, dll. Ia menjadi rewel, ragu, menangis, dll.

- Bayi perlu sentuhan
Dibelai, dikecup, dielus, dipeluk. Sebetulnya ini bukan hanya sekedar aspek taktil/sentuhan, tapi juga bisa berkait dengan auditori, bila sambil diucapkan kata-kata lembut. Bisa juga berkait dengan vestibular bila sambil diayun. Bahkan bisa berkait dengan penciuman dan pengecapan, bila sambil menyusu dan menghirup aroma wangi tubuh ibu.

Semua ini juga akan menimbulkan emosi tertentu. Apakah ia merasa nyaman, atau tidak nyaman (bila yang menggendong canggung, sambil menelpon, sambil memarahi orang lain, dll).

Bila anak dibimbing serta dilatih di area sensori yang ia mengalami kesulitan, dengan baik (tidak dipaksa, diejek, dimarahi, dll), maka ia akan mengembangkan rasa percaya pada lingkungan dan dirinya sendiri. Sebaliknya bila tidak dilatih dan dibimbing, maka ia menjadi insecure (merasa tidak aman) dan takut mencoba hal baru.

Kondisi akan lebih buruk bila pola asuh yang diterapkan tidak efektif. Baik yang terlalu memaksa maupun yang terlalu longgar (permisif) membuat anak berpeluang besar mengalami masalah dikemudian hari.

Orangtua yang terlalu memaksa membuat anak double stres. Stres karena apa yang dihadapi dan stres karena tekanan orangtua. Sementara orangtua yang permisif mengajarkan anak untuk selalu menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Kembali lagi tentang berayun yang berkaitan dengan memanjat dll. Maka bila tidak teratasi di masa kecil berpeluang melebar ke situasi sosial. Membuat anak kurang bisa bertoleransi terhadap situasi yang baru. Enggan masuk sekolah baru, enggan berkunjung ke tempat yang dipandang kurang nyaman. Tak berani pergi atau mengekplorasi hal baru di tempat baru, dll. Semua ini bisa menghalanginya untuk mengembangkan diri. .

Itu baru tentang vestibular dan taktil. Belum tentang sensori lainnya.
- masalah sensori visual berkait dengan gangguan konsentrasi
- masalah sensori taktil (sentuhan) berkait dengan kemampuan pengelolaan emosi
- masalah sensori penciuman dan pengecapan berkait dengan gangguan makan, bicara dan lebih jauh pasa komunikasi
- masalah proprioceptif bisa berkaitan dengan keluwesan gerak, konsentrasi, kepercayaan diri.
Dst

Ada anak yang mudah mengintegrasikan sensorinya dengan melakukan aktivitas sehari-hari yang variatif dengan dukungan orangtua. Ada yang menuntut kesabaran lebih besar dari orangtuanya. Dan ada pula yang membutuhkan bantuan profesional dengan melakukan terapi SI.

Anak yang membutuh2kan terapi terstruktur karena kondisi bawaan, biasanya tidak terlalu banyak namun tetap perlu memperoleh perhatian khusus.

Tantangan yang saya lihat saat ini adalah justru pada anak yang sebetulnya normal dan sehat, namun kurang terstimulasi optimal, entah karena ketidak-tahuan atau keengganan orangtua/pengasuh memberikan stimulasi atau alasan lainnya.

Era digital saat ini juga cukup berpengaruh karena membuat sementara orangtua tergoda memberikan games dan gadget yang membuat anak "tenang" namun di sisi lain mengurangi kesempatan anak mengembangkan dan mengintegrasikan seluruh sensorinya secara seimbang.

Saya tidak terlalu surprise dengan meningkatnya keluhan orangtua bahwa anaknya sulit fokus, gampang rewel sulit beradaptasi, dlsb.

Preventif itu lebih baik. Jadi bagi mereka yang putra/putrinya masih bayi dan balita baik sekali bila memberikan stimulasi dan kesempatan anak untuk melakukan variasi kegiatan. Lelah? Ya. Ribet? Mungkin ya. Tapi bila kita paham bahwa ini semuanya bernilai, maka Insya Allah kita lebih ikhlas menjalaninya dan yang jelas mengurangi kesulitan lebih besar di masa depan.

Lalu bagaimana yang sudah kepalang terlewat kurang stimulasi? Ya perbaiki saja dengan melakukan hal yang belum dilakukan secara bertahap. Mulai dari yang paling ringan. Apresiasi terhadap usahanya adalah yang paling penting dibandingkan dengan hasilnya.

Yeti Widiati 36-280517

Kamis, 25 Mei 2017

STRATEGI MENJADI ORANGTUA DI ERA DIGITAL - yws

1. Adaptasi
Anak kita Digital Native, kita para orangtua yang Digital Immigrant. Anak-anak kita lahir di saat teknologi digital sudah begitu canggih. Mereka sangat absorb (mudah menggunakan) dengan teknologi ini. Maka kita sebagai Digital Immigrant lah yang perlu beradaptasi dengan situasi saat ini bila kita tetap ingin bisa 'terhubung' dengan anak-anak kita.

2. Reframming
Ubah cara pandang (reframming) terhadap gadget. Mungkin selama ini kita memandang gadget sebagai alasan timbulnya ragam masalah pada anak. Menghabiskan waktu, membuat adiktif, dll. Bagaimana bila sekarang kita melihat gadget sebagai cara atau alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik? Karena gadget sebagai alat, sama juga seperti pisau, bisa dimanfaatkan untuk hal baik dan juga hal buruk. Orang yang menggunakannya lah yang perlu trampil dan memiliki kemampuan kendali yang baik.

3. Kembangkan SEMUA Aspek Perkembangan Anak
Fisik, Motorik, Kognitif, Bicara dan Bahasa, Kreativitas, Bermain, Sosial, Emosi, Moral, Religius, Sex Role

- Bayi titik berat pengembangannya pada sensori
Maka banyaklah disentuh, suara lembut, musik lembut, tatap wajahnya sambil tersenyum, dll. Tak perlu terpapar gadget pada usia ini. Termasuk orangtuanya, simpanlah gadget saat sedang berinteraksi dengan bayi.

- Balita titik berat pengembangannya pada fisik dan motorik kasar
Maka beri kesempatan balita untuk banyak berlari, melompat, berenang, berayun, dan aktivitas fisik motorik kasar lainnya. Bermain games dan gadget mengurangi kesempatan ini.

- Anak prasekolah titik berat pengembangannya pada motorik halus dan ketelitan. Ini juga mengajarkan kendali emosi
Lakukan aktivitas menggambar, melukis, prakarya, menggunting, dll. Bermain gadget apalagi yang canggih seperti touch screen membuatnya sulit mengembangkan ketrampilan motorik halus yang optimal.

- Usia sekolah titik berat pengembangannya pada kognitif
Banyak bertanya, menjawab pertanyaan, diskusi, dll adalah hal yang perlu dilakukan. Sekaligus juga melakukan ragam percobaan untuk menguji pemikiran-pemikirannya. Gadget dengan fitur terbatas sudah bisa digunakan dengan memastikan anak sudah memiliki kemampuan kendali diri yang lebih baik.

- Remaja titik beratnya pada sosialisasi
Maka remaja perlu melakukan banyak aktivitas organisasi, jalan-jalan, banyak berteman, club hobby, dll. Gadget sudah semakin luas digunakan, termasuk untuk berkomunikasi. Pada masa ini, maka tetap ada kesiapan mental yang dibutuhkan, antara lain, tanggung jawab, kemampuan antisipasi, kendali diri, dll. Sehingga tidak gampang terpicu hoax, tahu akibat dari mem-posting sesuatu termasuk share info, dll.

4. Komunikasi dengan Semua Indra
Berkomunikasi tidak cukup hanya secara verbal satu arah saja. Anak-anak sekarang dengan karakteristik mereka, membuat kita perlu mengembangkan komunikasi yang melibatkan semua indra. Bukan hanya dengan berbicara, tapi juga dengan contoh (visual) dan juga mempraktekkan (kinestetik). Melibatkan sebanyak mungkin sensori akan meningkatkan peluang pemahaman.

5. Buat Fondasi Karakter.
Semakin canggih alat yang kita gunakan, semakin tinggi ketrampilan yang dibutuhkan. Oleh karena itu dibutuhkan kendali diri yang lebih kuat, tanggung jawab, kemampuan antisipasi, dll yang lebih baik sebelum kita memberi kesempatan anak menggunakan gadget. Kebanyakan masalah yang timbul adalah karena fondasi karakter yang belum terbentuk plus pola asuh yang kurang tepat.

*Dirangkum dari seminar Menjadi Orangtua Bijak di Era Digital

Yeti Widati 35-250517

Rabu, 24 Mei 2017

Pendapat seseorang:
"Penulis dan pemikir masa lalu nggak pernah tuh buat copy right. Karena ilmu kan milik Tuhan. Jadi tulisan mereka boleh dicopy siapa saja. Apa hak manusia untuk meng-claim bahwa pengetahuan itu milik dia, sehingga orang lain harus menyebutkan sumbernya dari dia?"

Pendapat saya:
"Mas, boleh nggak mobilnya saya ambil dan saya pakai? Kan semua barang yang kita punya sejatinya milih Tuhan, bukan punya kita. Apa hak Mas meng-claim mobil itu sebagai milik Mas, sehingga orang lain tidak boleh menggunakannya?"


*Ilmu memang milik Allah. Ketika Allah mengilhamkan dan menitipkannya pada seseorang hingga menjadi suatu karya, maka orang lain perlu menghargainya dan tak layak mencuri apalagi menggunakan serta mengambil keuntungan yang bukan hak-nya, tanpa seizinnya.

Yeti Widiati 34-220517

Selasa, 09 Mei 2017

MULAI DARI UJUNG - yws
(Konteks memilih jurusan di perguruan tinggi)


"Coba kamu bayangkan, pada umur 35 atau 40 tahun, kamu ingin sudah punya apa dan ingin melakukan apa?"


"Aku pingin, aku sudah punya rumah, mobil, punya uang banyak buat menghajikan ayah dan bunda."


"Sudah nikah belum?"


"Sudah dong, sudah punya istri cantik dan pinter juga anak 2 laki-laki perempuan, hehe ..."


"Kalau ada video tentang diri kamu nanti usia 40 tahun, kira-kira filmnya seperti apa?"


"Video waktu peresmian perusahaan yang aku buat. Ceritanya aku buat syukuran di rumahku yang besar. Ada ayah bunda. Mudah-mudahan ayah bunda masih sempat lihat aku sukses. Ada istri, anak-anak dan keluarga besar. Aku dan saudara-saudara ngobrol sambil makan di ruang tamu. Anak-anak bareng sepupunya ngobrol di kamar sambil nonton film dan main gitar. Semuanya senang sekali. Terakhirnya kita juga buat foto keluarga. Aku berdiri di depan rumah yang kubeli sendiri. Warna rumahnya biru muda, ada halamannya luas. Fotonya rame-rame, di tengah ayah bunda sambil duduk, aku sama istri dan saudara-saudara di samping kanan kiri, anak-anak berdiri di belakang ayah bunda, dan yang kecil-kecil duduk di depan. Semuanya tersenyum bahagia."


"Bagus sekali ... Tadi kamu bilang mau menghajikan ayah bunda. Uangnya dari mana?"


"Kerja dong, Tante. Sebelum bikin perusahaan sendiri, aku mau kerja dulu di perusahaan buat cari uang buat ayah bunda. Kan mereka selama ini sudah membiayai aku sekolah. Nanti awal-awal kerja, gaji dikumpulin buat biaya haji. Baru berikutnya buat beli rumah, mobil, nikah dll, hehe ... boleh ya Tante, aku ngelamun ..."


"Boleh dong. Tante mau ngajak juga supaya lamunan kamu ini bukan hanya angan-angan, tapi bisa direalisasikan juga. Lamunan kamu, kamu jadikan tujuan. Ibaratnya orang mau pergi naik mobil, kalau ada tujuan, maka sekalipun belok-belok, arahnya lebih jelas."


"Bisa ya, Tante ...?"


"Banyak orang bisa sampai pada apa yang dicapainya sekarang, adalah karena dia punya lamunan, mimpi, angan-angan, cita-cita. Semakin jelas gambaran lamunan kamu, semakin jelas juga tujuan kamu."


"Gitu ya ..."


"Ya ... Btw, kamu tadi bilang mau kerja cari uang buat menghajikan orangtua. Memang yang kebayang kamu, kamu mau kerja di mana?"


"Aku mau kerja di perusahaan minyak. Kata orang gajinya gede ..."


"Kerja di bagian apa-nya?"


"Keuangan, soalnya aku suka ngitung-ngitung."


"Kalau buat perusahaannya kapan?"


"Nanti kalau aku udah banyak uang dan punya banyak teman. Aku mau buat perusahaan sendiri. Belum kebayang sih perusahaannya apa."


"Kamu sukanya ngapain?"


"Makan .... hahaha ... aku suka makan ...."


"Ada kepikiran buat usaha yang berkait kesukaan kamu?"


"Hmmmm .... tapi aku nggak suka masak, tante ..."


"Gini, kan setiap orang nggak bisa menguasai semua hal sekaligus. Kamu jago akuntansi itu bagian kamu. Kamu perlu cari orang yang jago masaknya. Mungkin juga nanti kamu perlu orang untuk marketingnya. Nah, untuk bisa ketemu dengan orang-orang yang punya keahlian macam-macam itu, berarti kamu perlu apa?"


"Perlu banyak kawan ya Tante ...Wah, apa aku perlu ikut organisasi?"


"Bagus ikut organisasi. Yang jelas kamu perlu terbuka untuk bisa kenal banyak orang. Kan orang lebih senang kenalan sama orang yang ramah dan terbuka."


"Iya bener Tante ... aku nggak boleh baperan juga ya ... haha ..."


"Nah, iya ... Yuk, kita sekarang bahas perguruan tingginya ya ... "


"Iya tante ..."


*Diskusi sebenarnya lebih panjang dari itu.
-----------------------------------------------------


"Begin in the end in mind" itu kalimat terkenal dari Stephen Covey dalam buku best sellernya 7 Habits for Effective People, yang kemudian 'beranak cucu' menjadi buku untuk anak, remaja, orangtua, dll.


Intinya adalah mulai dari tujuan yang paling akhir, lalu diturunkan kepada apa yang akan kita lakukan hari ini.


Sebetulnya cara berpikir seperti ini bukan sesuatu yang baru sama sekali. Semua kitab suci memiliki cara pandang seperti ini juga. Mengajak manusia membayangkan, bagaimana akhir hidupnya kelak bahkan kehidupan sesudah mati. Lalu diturunkan kepada bagaimana ia akan hidup sekarang agar hasil akhir tersebut bisa dicapai.


Dalam konteks konseling minat bakat dan pemilihan jurusan ke perguruan tinggi, sejak beberapa tahun terakhir, saya mengubah cara. Tidak lagi hanya berfokus pada data saat ini (hasil psikotes, raport, minat, bakat, prestasi, dll), melainkan mengacu pada tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai. Bukan cita-cita dalam bentuk profesi seperti misalnya menjadi insinyur, dokter, pengusaha, presiden, dll, tapi lebih mendasar lagi. Sehingga harapan, keinginan, value, dll juga bisa tergali.


Peran alamiah sebagai ayah, ibu, suami, istri, anak, pun bisa terelaborasi sehingga mengurangi konflik yang seringkali terjadi saat orang hanya berfokus pada karir dan pekerjaannya saja. Tujuan kuliah pun akhirnya bisa diperlebar tidak hanya untuk bekerja pada bidang yang spesifik, tapi bisa sebagai pelengkap kompetensi yang diharapkan. Dengan cara ini, bahasan minat dan bakat menjadi sangat dinamis karena terapannya sedapat mungkin menjadi lebih adaptif (ekologis menurut istilah lainnya).


Teknik-teknik Miracle Question dan juga Video Tape Question adalah teknik yang menarik karena bisa membuat seluruh indra terlibat dan memperkuat keinginan dan motivasi. Semakin jelas dan konkrit tujuan yang akan dicapai, akan membuat motivasi pencapaian menjadi semakin kuat.


Dan yang juga penting adalah, bahwa anak memperoleh skema/pola menyusun perencanaan. Skema ini dapat diterapkan olehnya dalam hal apapun saat ia merancang pencapaian tujuan.


Yeti Widiati 33-090517

Senin, 08 Mei 2017

MALAS BELAJAR DI SEKOLAH - yws

"Anak saya malas belajar, padahal IQ-nya katanya tinggi ..."

Keluhan ini termasuk yang cukup sering (kalau tak boleh dikatakan 'sangat sering') disampaikan oleh para orangtua.

Betulkah anak malas dan tak suka belajar?

Coba deh lihat anak kecil yang tahan berlama-lama memperhatikan semut yang berjalan beriring. Ada anak kecil yang sengaja menjatuhkan benda-benda untuk melihat akibat jatuh pada ragam benda. Mengapa ada benda yang memantul ketika dijatuhkan, ada yang pecah, ada yang tidak berubah bentuk? Ada juga anak yang senang membuka dan memperhatikan gambar-gambar di buku. Belum lagi anak kecil yang terus bertanya tentang segala hal di lingkungannya. Anak yang membongkar mainannya, mencemplungkan segala macam benda ke dalam air untuk melihat mana yang tenggelam, melayang dan terapung. Dan 'seabreg' aktivitas lain yang menunjukkan bahwa mereka sebetulnya senang mengetahui sesuatu dan menguasai suatu ketrampilan tertentu.

Lalu bagaimana ceritanya, mengapa hasrat dan keinginan belajar yang besar itu menjadi berkurang pada usia sekolah dan bahkan belajar diasosiasikan sebagai hal yang kurang menyenangkan dan membuat stres? Pengetahuan pun hanya terserap sebentar, segera menghilang setelah ujian usai.

Marilah kita lihat bersama, apa yang sebetulnya terjadi.

Selain kesenangan belajar hal baru. Anak juga memiliki kebutuhan mendasar, yaitu kebutuhan akan perhatian dan penghargaan atas pencapaiannya. Karena ketergantungan anak pada orangtua, maka kebutuhan itu disandarkan pada orangtuanya. Anak ingin diperhatikan dan dihargai oleh orangtua.

Ketika orangtua (dengan ragam alasannya) membuat standar pencapaian tertentu melalui prestasi sekolah, maka anak akan berusaha mencapai hal tersebut karena ingin memperoleh perhatian dan penghargaan dari orangtua. Jika tercapai dan ia memperoleh apa yang diinginkan (perhatian dan penghargaan) maka ia akan terdorong untuk melakukannya lagi. Di titik ini motivasi belajar bukan lagi sebagai kesenangan untuk mengetahui sesuatu, tapi lebih didorong pada keinginan untuk mempertahankan perhatian dan penghargaan orangtuanya.

Di sisi lain ada (dan cukup banyak) anak yang tidak berhasil mencapai apa yang diharapkan orangtua, atau apa yang dipersepsi anak sebagai harapan orangtua. Mereka menjadi kecewa dan bila hal tersebut berulang, peluang ia kehilangan motivasi belajar akan semakin besar.

Menurut Schaefer*, ada beberapa kemungkinan penyebab seorang anak mengalami penurunan motivasi belajar, antara lain;
- Jika harapan orangtua terlalu tinggi akan membuat anak terbebani dan menjadi takut gagal. Ketakutan ini yang malah membuat anak enggan untuk mencoba dan berusaha.
- Sebaliknya jika harapan orangtua terlalu rendah, permisif, serba boleh, terlalu kasihan, maka anak merasa tidak diharapkan untuk berusaha.
- Orangtua yang menyuruh anak belajar tapi ia sendiri kurang menunjukkan sikap dan keinginan belajar membuat anak merasa kurang didukung.
- Anak yang sering dicela, dibandingkan, ditolak, tidak dihargai pencapaiannya, akan mengira bahwa apa pun yang dia lakukan itu sia-sia dan tak ada artinya dan tidak bisa memuaskan orangtuanya. Ia menjadi putus asa dan malas berusaha. Anak-anak ini juga biasanya memiliki harga diri rendah dan merasa bahwa ia tidak mampu.
- Konflik atau masalah dalam keluarga, misalnya, pertengkaran yang intens dan sering, ayah/ibu memiliki problem perilaku/mental, pola asuh dengan kekerasan. Semua ini membuat anak mengalami ketegangan terus-menerus sehingga sulit belajar.
- Gangguan perkembangan dan keunikan individu. Ini memiliki prosentase paling sedikit dibanding penyebab lain di atas.

Kalau begitu apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mencegah hal itu terjadi?
- Terima anak apa adanya dengan segala keunikannya.
- Buatlah harapan dan tujuan yang realistik dan bertahap sesuai dengan kemampuan anak. Sehingga perlahan anak menumbuhkan perasaan "Saya bisa!"
- Berikan dorongan dan kepercayaan terhadap kemampuan dan usaha anak. Mencela dan membandingkan anak dengan saudara atau temannya membuat anak merasa kurang. Alih-alih termotivasi, dia menjadi merasa tidak berharga.
- Bimbing anak untuk belajar dan memecahkan masalah secara mandiri, sehingga kesenangan mengetahui dan menguasai sesuatu diharapkan menjadi motivasi intrinsik yang tumbuh dalam diri.
- Berikan apresiasi dan penghargaan pada apapun pencapaian anak secara terbuka. Diam saja, menganggap prestasi adalah biasa saja, membuat anak tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sudah benar dan menyenangkan baik bagi orangtua dan terlebih bagi dirinya sendiri.
- Bagi anak-anak yang memiliki keunikan, maka pelajari keunikannya, dan cari cara belajar yang paling sesuai untuk keunikannya tersebut. Dalam hal ini, bantuan dan dukungan profesional kadang dibutuhkan.

Kesenangan belajar yang secara alamiah sudah dimiliki anak perlu dikembalikan. Sehingga anak bisa kembali belajar karena rasa ingin tahu dan ingin menguasai sesuatu.

Yeti Widiati - 32080517

*How to Help Children with Common Problems, Schaefer & Millman

Kamis, 04 Mei 2017

SEKOLAH BERASRAMA, MELUMPUHKAN ATAU MEMANDIRIKAN? - yws

Pernah membaca buku "Mallory Towers"? Teman-teman seusia saya mungkin tahu beberapa seri buku karya Enid Blyton ini yang menceritakan lika liku hidup siswa ABG di sekolah berasrama atau sering juga disebut Boarding School. Buat saya yang tumbuh di sekolah negeri konvensional, maka kehidupan berasrama itu menjadi sungguh menarik. Bagaimana menghadapi teman, guru, pelajaran, aturan-aturan, termasuk mengelola emosi, sedih, marah, iri, takut juga bosan. Di samping juga mengembangkan kemampuan memotivasi diri, bertanggung jawab, mandiri, dll. Saya dulu suka membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam suasana kebersamaan seperti itu dan juga nikmatnya memiliki sekolah dengan fasilitas yang baik sehingga bakat-bakat siswa bisa berkembang optimal.

Sekarang juga cukup banyak buku menceritakan kehidupan berasrama, yang paling hits tentunya petualangan Harry Potter bersama teman-temannya Ron dan Hermione di asrama Hogwarts. Sementara buku yang bercitarasa lokal misalnya "Negeri Lima Menara" tentang 5 santri laki-laki yang menuntut ilmu di pesantren modern Gontor di Jawa Timur.

Belasan tahun terakhir jumlah sekolah berasrama memang mengalami peningkatan, baik yang bercirikan agama maupun yang umum. Nampaknya, sekolah berasrama dipandang sebagai alternatif yang cukup realistis bagi banyak orangtua hari ini.

Ada banyak alasan orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah berasrama, antara lain
- Ingin anak lebih mandiri
- Ingin anak memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang tidak bisa diberikan orangtuanya (ilmu agama, pengetahuan/ketrampilan tertentu, disiplin, kebiasaan, dll)
- Ingin anak memperoleh lingkungan belajar yang baik, sehingga fokus belajar
- Tak ada sekolah yang dipandang 'baik' di lingkungan rumah anak
- Orangtua tidak bisa mendampingi karena sibuk bekerja
- Mengubah perilaku anak yang tak bisa diubah oleh orangtuanya
Dll.

Apakah sekolah berasrama bisa menjamin bahwa anak memperoleh semua yang orangtua inginkan? Belum tentu juga.

Menurut saya, setiap sekolah memiliki kerentanan sekaligus juga peluang untuk dapat mengembangkan kemampuan anak kita. Kita tidak bisa mengatakan bahwa sekolah jenis A pasti lebih baik daripada sekolah jenis B. Bila anak adalah tanaman, maka sekolah adalah tanahnya. Tanaman bisa tumbuh lebih baik bila ditanam pada jenis tanah tertentu. Anak yang tidak berprestasi di sekolah berasrama belum tentu dia juga pasti gagal di sekolah lain, dan demikian pula sebaliknya.

Hal yang saya kira perlu menjadi pertimbangan para orangtua sebelum memasukkan anaknya ke sekolah berasrama adalah, bahwa sekolah apa pun tidak bisa memenuhi SEMUA aspek perkembangan anak. Ada area yang tetap menjadi tanggung jawab orangtua berupa fondasi sikap, perilaku dan karakter yang sudah ditanamkan. Sekolah berasrama hanya melanjutkannya saja.

Oleh karena itu dibutuhkan kemandirian minimal sebelum anak masuk sekolah berasrama.

Apa sajakah kemandirian minimal tersebut? Saya sebutkan beberapa hal saja.
1. Ketrampilan bantu diri (Self help skill) sesuai usianya.
Membersihkan diri, mengatur/menjaga barang, memanage waktu dan cara belajar, menyiapkan makanan dan pakaian, membersihkan ruangan, menjaga kesehatan, dll.

Memfasilitasi anak berlebihan dalam area ini dengan alasan agar anak fokus belajar, menurut saya sangat berisiko. Orangtua yang berusaha memenuhi kebutuhan makanan, pakaian atau barang-barang anaknya. Atau sekolah berasrama yang menyediakan fasilitas laundry, cleaning service, catering dan fasilitas kenyamanan yang berlebihan, berpeluang menyebabkan anak menjadi hanya pintar akademik tapi canggung dalam bertindak, karena kurang belajar mengenai 'proses'.

2. Ketrampilan sosial (interpersonal)
Kemampuan adaptasi dalam lingkungan baru, berteman, komunikasi, mengatasi konflik, leadership, menghadapi otoritas (guru, senior, dll), empati dan peduli, menolong orang lain, bekerja sama, kompetisi sehat, dll.

Sebagiannya memang akan dikembangkan saat anak bersekolah. Namun fondasi dasarnya sudah tuntas sebelum anak masuk sekolah.

3. Mengelola emosi (intrapersonal)
Mengekspresikan emosi secara adaptif, disiplin, bertanggung jawab, mengikuti aturan, mendorong/memotivasi diri, menghandle kebosanan, dll.

Masalah underachivement (tidak berprestasi sesuai potensi) kebanyakan disebabkan karena masalah emosi. Anak yang terlalu cemas, takut, marah, tidak mampu memotivasi diri, tidak disiplin, menjadi sulit fokus, mudah lupa, daya tangkap lambat, yang semua menyebabkan ia menjadi sulit belajar dan berpikir.

4. Problem solving
Yang saya maksud dengan problem solving atau kemampuan memecahkan masalah, bukan hanya terkait dengan akademik, namun justru lebih mengenai keseharian. Anak tidak harus sudah bisa menyelesaikan semua masalah, tapi paling tidak dia tahu langkah-langkah penyelesaiannya. Poin ini sangat mungkin beririsan dengan 3 poin di atas. Tapi mengapa saya buat poin tersendiri? Agar menjadi concern para orangtua untuk menyiapkannya sebelum anak masuk ke sekolah berasrama.

Tentunya kemandirian minimal ini juga dibutuhkan untuk anak-anak yang masuk sekolah biasa (bukan berasrama), bahkan juga untuk anak-anak yang orangtuanya memilihkan homeschooling. Akan tetapi, masing-masing jenis sekolah tersebut memiliki titik berat yang berbeda-beda.

Bila kemandirian minimal tidak tercapai, maka peluang masalah akan lebih banyak dan ongkos emosi anak, orangtua dan guru juga akan lebih besar. Alih-alih keuntungan yang diperoleh, malah masalah berlarut-larut yang didapatkan.

Di sekolah berasrama, anak memperoleh "otoritas" mengatur dirinya lebih besar dibandingkan bila ia masih berada di keluarganya. Karenanya, betapa penting mempersiapkan anak untuk siap menerima konsekuensi dari otoritas yang lebih besar tersebut dan mengubahnya menjadi keuntungan positif.

Yeti Widiati 31-040517

Rabu, 03 Mei 2017

SAAT RAGA TERBATAS - yws
(Perkembangan Masa Tua 60 tahun - meninggal)

"Emak ikhlas, mata ini nggak bisa lihat. Emak bersyukur sudah menikmati melihat dengan mata ini lebih dari 75 tahun. Sekarang mau diambil sama Allah ya itu hak-Nya Allah. Kan memang badan ini kepunyaan Allah, kapan pun mau diambil ya nggak apa-apa. Sekarang Emak bisa lebih khusyuk berdoa dan ibadah ..." (Aminah Cendrakasih)


Saya mencoba mengingat-ingat persisnya kalimat yang diucapkan oleh Aminah Cendrakasih beberapa tahun lalu saat diwawancara oleh sebuah stasiun TV. Kira-kira demikianlah isinya.

Aminah Cendrakasih, aktris senior yang terkenal sebagai 'Mak Nyak' di film "Si Doel Anak Sekolahan". Sejak beberapa tahun terakhir 'Mak Nyak' menderita sakit glaucoma di usianya yang menjelang 80 tahun. Penyakit ini menyebabkan hilang penglihatannya dan ia menghabiskan lebih banyak waktunya terbaring di tempat tidur.

Saya tercekat saat mendengar kata-katanya, sementara melihat wajahnya yang cerah dan bibir tersenyum saat mengucapkan kalimat-kalimat itu. Terbiasa mendengar orang yang mengeluhkan hidupnya membuat saya terpana melihat hal langka ini. Saya menangkap bahwa pewawancaranya pun tak percaya, sehingga mengulang lagi pertanyaannya, "Emak nggak sedih, atau kesal, nggak bisa melihat anak cucu Emak? (*terus terang saya yang kesal dengan pertanyaan buruk itu ...) Dan sekali lagi Aminah Cendrakasih menjawab, "Kenapa harus sedih atau kesal? Emak sudah bahagia diizinkan menggunakan mata ini puluhan tahun ...". Dan pewawancara itu tak tahu lagi harus bertanya apa...

Saat saya belajar Psikologi Perkembangan Masa Tua (60 tahun -
meninggal), maka kerentanan yang paling besar pada masa ini adalah menurunnya kemampuan fisik yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi emosi. Jadi bila para sepuh ini sering kesal, marah-marah, sedih bahkan sampai depresi sebetulnya adalah hal yang sangat bisa dipahami. Mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang dulu dengan mudahnya dilakukan. Meminta bantuan orang lain (anak, cucu, pembantu) juga sulit (tidak segera direspon, ditolak, dilakukan kurang ikhlas, dll), itu benar-benar keadaan yang membuat frustrasi. Sedihnya bertambah apabila anak dan cucu tidak menyadari hal tersebut, dan malah ikut-ikutan emosi.

Jadi orang-orang seperti 'Mak Nyak' Aminah Cendrakasih, adalah orang-orang 'langka'. Mereka ini yang ikhlas bahkan bersyukur menerima pemberian Kekasihnya, apapun bentuknya. Mereka ini juga yang tetap bisa menemukan cara beribadah dalam keterbatasannya. Mereka sudah melepaskan diri dari ambisi-ambisi dunia dan berfokus pada hal yang paling utama. Mereka efektif menentukan prioritas aktivitas dalam raga dan waktu terbatas.

Dan ... bagaimana dengan kita? Siapkah menghadapi masa di mana tubuh ini tak lagi mendukung keinginan-keinginan kita?

Yeti Widiati 31-030517
Anak HARUS jawab pertanyaan orangtua/guru dengan BENAR dan JUJUR
"Kamu dari mana?"
"Pergi sama siapa saja?"
"Kenapa kamu telat?"
"Sudah makan belum?"
"Makannya pakai apa?"
"Kenapa sih kamu nggak nurut sama orangtua?"
(Belum termasuk pertanyaan terkait pelajaran di sekolah)


Orangtua/guru meradang ketika anak tak bisa, tak mau atau berbohong saat menjawab.

Tapi apa yang terjadi ketika anak bertanya pada orangtua/gurunya? Orangtua/guru mencari alasan, bahwa mereka boleh tidak menjawab pertanyaan anak. Boleh berbohong pula.
"Kenapa papa pulangnya malam banget?"
"Dedek bayi lahirnya dari mana?"
"Kenapa aku harus tidur cepat tapi ayah sama bunda boleh tidur malem-malem?"
"Tuhan itu adanya di mana?"
"Kenapa kakak musti ngalah sama adek?"
(Belum termasuk pertanyaan terkait pengetahuan dan wawasan)

*Berasa nggak adil neh ...

Yeti Widiati 30-030517

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...