Senin, 08 Mei 2017

MALAS BELAJAR DI SEKOLAH - yws

"Anak saya malas belajar, padahal IQ-nya katanya tinggi ..."

Keluhan ini termasuk yang cukup sering (kalau tak boleh dikatakan 'sangat sering') disampaikan oleh para orangtua.

Betulkah anak malas dan tak suka belajar?

Coba deh lihat anak kecil yang tahan berlama-lama memperhatikan semut yang berjalan beriring. Ada anak kecil yang sengaja menjatuhkan benda-benda untuk melihat akibat jatuh pada ragam benda. Mengapa ada benda yang memantul ketika dijatuhkan, ada yang pecah, ada yang tidak berubah bentuk? Ada juga anak yang senang membuka dan memperhatikan gambar-gambar di buku. Belum lagi anak kecil yang terus bertanya tentang segala hal di lingkungannya. Anak yang membongkar mainannya, mencemplungkan segala macam benda ke dalam air untuk melihat mana yang tenggelam, melayang dan terapung. Dan 'seabreg' aktivitas lain yang menunjukkan bahwa mereka sebetulnya senang mengetahui sesuatu dan menguasai suatu ketrampilan tertentu.

Lalu bagaimana ceritanya, mengapa hasrat dan keinginan belajar yang besar itu menjadi berkurang pada usia sekolah dan bahkan belajar diasosiasikan sebagai hal yang kurang menyenangkan dan membuat stres? Pengetahuan pun hanya terserap sebentar, segera menghilang setelah ujian usai.

Marilah kita lihat bersama, apa yang sebetulnya terjadi.

Selain kesenangan belajar hal baru. Anak juga memiliki kebutuhan mendasar, yaitu kebutuhan akan perhatian dan penghargaan atas pencapaiannya. Karena ketergantungan anak pada orangtua, maka kebutuhan itu disandarkan pada orangtuanya. Anak ingin diperhatikan dan dihargai oleh orangtua.

Ketika orangtua (dengan ragam alasannya) membuat standar pencapaian tertentu melalui prestasi sekolah, maka anak akan berusaha mencapai hal tersebut karena ingin memperoleh perhatian dan penghargaan dari orangtua. Jika tercapai dan ia memperoleh apa yang diinginkan (perhatian dan penghargaan) maka ia akan terdorong untuk melakukannya lagi. Di titik ini motivasi belajar bukan lagi sebagai kesenangan untuk mengetahui sesuatu, tapi lebih didorong pada keinginan untuk mempertahankan perhatian dan penghargaan orangtuanya.

Di sisi lain ada (dan cukup banyak) anak yang tidak berhasil mencapai apa yang diharapkan orangtua, atau apa yang dipersepsi anak sebagai harapan orangtua. Mereka menjadi kecewa dan bila hal tersebut berulang, peluang ia kehilangan motivasi belajar akan semakin besar.

Menurut Schaefer*, ada beberapa kemungkinan penyebab seorang anak mengalami penurunan motivasi belajar, antara lain;
- Jika harapan orangtua terlalu tinggi akan membuat anak terbebani dan menjadi takut gagal. Ketakutan ini yang malah membuat anak enggan untuk mencoba dan berusaha.
- Sebaliknya jika harapan orangtua terlalu rendah, permisif, serba boleh, terlalu kasihan, maka anak merasa tidak diharapkan untuk berusaha.
- Orangtua yang menyuruh anak belajar tapi ia sendiri kurang menunjukkan sikap dan keinginan belajar membuat anak merasa kurang didukung.
- Anak yang sering dicela, dibandingkan, ditolak, tidak dihargai pencapaiannya, akan mengira bahwa apa pun yang dia lakukan itu sia-sia dan tak ada artinya dan tidak bisa memuaskan orangtuanya. Ia menjadi putus asa dan malas berusaha. Anak-anak ini juga biasanya memiliki harga diri rendah dan merasa bahwa ia tidak mampu.
- Konflik atau masalah dalam keluarga, misalnya, pertengkaran yang intens dan sering, ayah/ibu memiliki problem perilaku/mental, pola asuh dengan kekerasan. Semua ini membuat anak mengalami ketegangan terus-menerus sehingga sulit belajar.
- Gangguan perkembangan dan keunikan individu. Ini memiliki prosentase paling sedikit dibanding penyebab lain di atas.

Kalau begitu apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mencegah hal itu terjadi?
- Terima anak apa adanya dengan segala keunikannya.
- Buatlah harapan dan tujuan yang realistik dan bertahap sesuai dengan kemampuan anak. Sehingga perlahan anak menumbuhkan perasaan "Saya bisa!"
- Berikan dorongan dan kepercayaan terhadap kemampuan dan usaha anak. Mencela dan membandingkan anak dengan saudara atau temannya membuat anak merasa kurang. Alih-alih termotivasi, dia menjadi merasa tidak berharga.
- Bimbing anak untuk belajar dan memecahkan masalah secara mandiri, sehingga kesenangan mengetahui dan menguasai sesuatu diharapkan menjadi motivasi intrinsik yang tumbuh dalam diri.
- Berikan apresiasi dan penghargaan pada apapun pencapaian anak secara terbuka. Diam saja, menganggap prestasi adalah biasa saja, membuat anak tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sudah benar dan menyenangkan baik bagi orangtua dan terlebih bagi dirinya sendiri.
- Bagi anak-anak yang memiliki keunikan, maka pelajari keunikannya, dan cari cara belajar yang paling sesuai untuk keunikannya tersebut. Dalam hal ini, bantuan dan dukungan profesional kadang dibutuhkan.

Kesenangan belajar yang secara alamiah sudah dimiliki anak perlu dikembalikan. Sehingga anak bisa kembali belajar karena rasa ingin tahu dan ingin menguasai sesuatu.

Yeti Widiati - 32080517

*How to Help Children with Common Problems, Schaefer & Millman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...