Sabtu, 31 Desember 2016

REVIEW KASUS 2016 - yws
(Konteks Psikologi Perkembangan dan Parenting)

Pada tahun 2014, saya pernah melakukan review kasus, dan menemukan bahwa mayoritas kasus yang saya terima berkait dengan
1. Acceptance
2. Komunikasi
3. Pengetahuan Psikologi Perkembangan dan Ketrampilan Praktis Parenting https://www.facebook.com/yetiws/posts/10203974541256314

Berdasarkan review tersebut, maka saya mengulas lebih banyak topik-topik tersebut di tahun 2015 dan 2016.

Tahun 2016, meskipun tema-tema di atas masih ada secara kasuistis, namun secara umum ada perbaikan signifikan.
1. Ditandai dengan dimilikinya kesadaran akan pentingnya penerimaan/acceptance terhadap apa yang Allah berikan kepada kita. Dan adanya keinginan untuk memperbaiki pendekatan-pendekatan yang dilakukan menjadi lebih efektif.

2. Hal yang menarik pada tahun ini juga adalah mulai munculnya "kesadaran" untuk memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu (bukan hanya menuntut anak/orang lain berubah) agar lebih baik dalam mendampingi anak dan membina keluarga. Di sadari bahwa ternyata pola asuh yang dilakukan orangtua kepada anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua dulunya dididik dalam keluarganya.

Oleh karena itu bahasan mengenai Inner Child Healing, Forgiveness, Self Healing, dan bentuk-bentuk Self Therapy lainnya menjadi tema populer di tahun 2016.

3. Kesadaran yang bersifat masif mengenai pentingnya pengetahuan dan ketrampilan Psikologi Perkembangan serta Parenting juga mendorong munculnya ragam komunitas parenting. Komunitas ini rajin berdiskusi di media sosial dan juga melakukan kopdar sambil belajar tema-tema Parenting yang happening dan menarik bagi mereka.

Ada komunitas Parenting yang terdiri dari FTM (Full Time Mother) yang sebelumnya adalah WM (Working Mother). Ada komunitas yang hanya terdiri dari WM saja. Ada pula komunitas yang terdiri dari Pekerja Migran/TKI.

Ada komunitas Parenting yang terbatas satu perusahaan, satu agama/value, satu kota, satu negara, dan ada pula yang lintas provinsi bahkan lintas negara.

Sebagai narsum cabutan, komunitas-komunitas ini menjadi menarik karena tema-tema yang dibahas menjadi sangat variatif. Ada tema umum yang terjadi pada setiap orang, dan ada tema khusus yang terjadi pada komunitas tertentu saja.

Dari sini saya belajar lebih banyak, bagaimana konflik, dilema dan problema yang dihadapi para ibu ini berimbas pada anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi yang tidak selalu ideal. Sekalipun demikian, para orangtuanya tetap memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin menghasilkan anak-anak dengan kualitas terbaik.

4. Ragam informasi yang berkembang kerapkali dihayati sebagai memojokkan, menyalahkan, membuat frustrasi dan bahkan ketakutan menghadapi masa depan. Sehingga ada kebutuhan fleksibilitas dalam melakukan pendekatan dan tetap mendorong optimisme sekalipun kondisi yang dihadapi tidak selalu ideal dan sempurna.

5. Tema yang cukup signifikan di tahun 2016 juga adalah terkait dengan konsekuensi memasuki Era Digital.

Para orangtua ini dihadapkan pada dilema perkembangan Digital Teknologi yang sangat pesat dan berpengaruh pada pendidikan anak di rumah dan sekolah.

Lemahnya fondasi pendidikan yang dibentuk saat di rumah dan sekolah menjadi berlipat pengaruhnya pada masalah anak yang awalnya wajar saja.

Masalah pornografi, cyberbully, adiksi games, dll bila ditelusuri juga berangkat dari orangtua yang masih belum adaptif menghadapi perkembangan teknologi digital. Kasus-kasus yang bermunculan terkait hal ini, menunjukkan bahwa Smart and Wise Digital, urgensinya bertambah besar di 2017.

*Nggak masalah menyadari kesalahan hari ini, kita berusaha perbaiki saja. Sehingga tahun-tahun mendatang bisa menjadi lebih baik. Semoga Allah selalu membantu dan membimbing kita, aamiin ...

Yeti Widiati 311216

Rabu, 28 Desember 2016



RUMAH KACA DENGAN DINDING 'ONE WAY MIRROR' - yws
(Konteks Smart digital)


Saya pernah tinggal di perumahan dengan pagar rumah hanya setinggi 1 meter. Saya juga pernah berkunjung ke rumah-rumah darurat di daerah bencana, yang terbuat dari kayu dan tripleks dengan pembatas yang tak penuh sampai ke langit-langit. Sehingga pembicaraan dan suara apapun di "rumah" kita, akan terdengar baik di "rumah" tetangga sebelah. Saya juga pernah berkunjung ke rumah teman-teman saya yang berpagar 2 meter lebih dengan kawat berduri di atasnya. Rumah yang tak ketahuan bentuknya dan hanya terlihat atapnya dari luar. Rumah yang selalu terkunci dengan gembok besar. Kadang suara anjing menyalak terdengar ketika mendekati rumah tersebut.
- Rumah pertama, kita perlu mengetuk pintu untuk masuk.
- Rumah kedua, kita hanya perlu berteriak untuk masuk. Bahkan seringkali kita bisa langsung masuk karena pintu yang jarang terkunci.
- Rumah ketiga, kita harus menekan bel dari luar pagar. Pemilik rumah belum tentu akan keluar. Hanya pembantu yang mengintip dengan curiga dari balik pintu yang menyambut, atau melalui interkom berkamera.

Semakin terbuka sebuah rumah, maka semakin besar peluang orang luar untuk mengetahui banyak hal mengenai apa yang terjadi dalam rumah tersebut. Masalah bisa terjadi di mana pun. Rumah yang padat berdesakan dengan sekat yang tak memadai, berpeluang membuat masalah karena informasi rahasia bisa menyebar begitu mudah. Orang kehilangan privacy-nya. Hal yang selayaknya ditutup bisa terbuka dan diketahui banyak orang.

Sebaliknya rumah yang sangat tertutup, berpagar tinggi, berteralis kuat juga dapat menimbulkan jarak bagi orang lain. Orang enggan datang kecuali betul-betul terpaksa. Apalagi kalau si pemilik tak pernah keluar rumah dan berbaur dengan tetangganya.

Bagaimana pun rumah kita, tapi di era digital ini, kita seolah berada dalam rumah kaca. Sekalipun tebal namun tembus pandang, sehingga semua orang bisa melihat isi rumah kita.

Media sosial itu seperti rumah kaca. Ketika kita posting apa pun tulisan, gambar, video, memberikan komentar atau bahkan sekarang sekedar klik "like" sekalipun, orang bisa melihatnya.

Rumah yang ditutupi pagar setinggi apa pun akan nampak bila foto-foto kita di dalam kamar kita posting di medsos. Pikiran dan perasaan apapun yang kita miliki juga bisa tampil dan "tercium" ketika menulis atau share informasi apa pun. Masalahnya adalah bahwa kita tidak bisa mengendalikan pikiran, perasaan dan interpretasi orang lain. Ada terlalu banyak variabel yang mempengaruhi interpretasi orang lain.

- Ketika kita posting kebahagiaan, maka selalu mungkin ada orang yang menilainya sebagai kesombongan.
- Ketika kita posting kesedihan, maka juga selalu mungkin ada orang yang menilainya sebagai kelemahan.
- Ketika kita posting keberpihakan, mereka yang berbeda pandangan dengan kita berpeluang menjadi tidak nyaman.

Apapun itu selalu ada resiko yang perlu ditimbang-timbang.

Lebih menyedihkan adalah ketika rumah kaca kita ternyata terbuat dari 'one way mirror'. One way mirror adalah sejenis kaca yang hanya bisa dilihat dari satu sisi. Orang yang berada dalam rumah tidak bisa melihat keluar tetapi orang di luar bisa melihat ke dalam. Kaca jenis ini biasa dipakai di ruang interogasi, ruang terapi atau ruang lain yang membutuhkan pengamatan tanpa disadari oleh orang yang diamati.

Bayangkan orang yang berada dalam rumah yang terbuat dari 'one way mirror'. Ia berbicara, menulis dan bertindak dengan bebas. Tidak menyadari bahwa sejuta pasang mata mengamatinya dan menilai dirinya. Ia tak mengindahkan "komentar-komentar" yang masuk. Dia tidak melihat dan tidak menyadari kekecewaan dan kemarahan pada sebagian orang yang terluka dengan perkataannya. Yang ia pikir adalah bahwa ia boleh mengatakan dan melakukan apapun sesukanya.

Saya melihat ada beberapa karakteristik para "pemilik rumah kaca" ini.
1. Mereka yang tidak menyadari bahwa mereka terlihat oleh orang lain. Biasanya mereka ini adalah para pengguna pemula, baik para orang tua maupun anak yang terlalu muda. Atau mereka yang betul-betul tidak paham cara kerja media sosial dan memperlakukannya seperti chatting di media privat.
2. Mereka yang menyadari cara kerja media sosial. Memiliki pertimbangan, melakukan antisipasi dan kesantunan saat posting, berkomentar, berdiskusi dan juga saat berbagi (share) informasi.
3. Mereka yang menyadari cara kerja media sosial dan dengan sengaja serta sadar memanfaatkan media ini untuk mencapai tujuannya.

Nah, pencapaian tujuannya ini bisa dilakukan dengan santun atau tidak, tergantung pada value dan karakteristik ybs.
- Ada yang begitu bersemangat sehingga terkesan memaksa.
- Ada yang kreatif dan tidak menggiring serta menggurui.
- Ada yang menghalalkan cara dengan menggunakan data tak memadai untuk mencapai tujuannya
- Dan ada pula sekian banyak cara-cara lain yang digunakan yang bisa diterima oleh sekelompok orang namun tidak disukai bahkan dibenci oleh lainnya.

Bila dalam berinteraksi di dunia nyata kita memiliki etika dan etika ini yang membuat kita bisa berinteraksi dengan nyaman. Maka demikian pula dalam interaksi di dunia maya. Keleluasaan begitu rupa yang kita miliki juga membutuhkan etika dan batasan.

Nampaknya kesadaran awal yang perlu kita miliki adalah bahwa sekali kita menggunakan media sosial, maka kita berada dalam rumah kaca tembus pandang yang begitu jernih. Kita tidak bisa memperlakukan media sosial sebagai rumah bertembok tebal dan berpagar tinggi lagi.

*Yang paling sengsara adalah bila kita memperlakukan media sosial seperti rumah dengan dinding terbuat dari 'one way mirror'. Kita tertawa, sedih, marah dan tak menyadari betapa ada jutaan orang yang menertawakan, kasihan dan bahkan kesal melihat polah kita.


Yeti Widiati 281216

Selasa, 20 Desember 2016

PENJUAL YANG JUJUR DAN PEMBELI YANG CERDAS - yws
(Konteks Cerdas Digital)


Ragam informasi di internet itu seperti pasar tradisional yang menjual berbagai barang. Para penjual itu seperti provider informasi, baik melalui link berita, blog, status di medsos, dll. Para pembeli adalah pembacanya.

Saya menggunakan analogi pasar tradisional daripada supermarket, karena rasanya pasar tradisional lebih mewakili daripada supermarket.

Di pasar tradisional, ada banyak penjual yang menjajakan dagangannya. Ada produk yang sama ada juga yang berbeda, dengan kualitas barang yang beragam. Ada barang berkualitas ada juga yang bisa dikategorikan sebagai "sampah". Masing-masing penjual memiliki ragam cara untuk mempengaruhi pembeli agar membeli barang dagangannya.

Ada penjual yang begitu ramahnya menyapa pembeli, menawarkan barang dagangan dengan senyum manis, dengan menjelaskan keunggulan barangnya, bahkan tidak jarang yang dengan cara memburukkan "toko sebelah". Ada yang memberikan diskon, dan ada pula yang memberi hadiah bonus. Pernah juga sih saya menemukan penjual yang menjajakan dengan cara "mengancam", 'Kalau tidak beli barang saya, maka ibu akan rugi dan menyesal'. Tapi tetap ada sih, penjual yang hanya diam saja menunggui barangnya. Kadang sambil bermain hp, duduk terkantuk-kantuk atau duduk diam dengan mata menerawang. Mereka ini tampak seperti 'tak peduli' ada atau tidak pembeli atau pengunjung yang datang.

Ada penjual yang nothing to loose, maksudnya, dia senang saja ada pengunjung yang datang dan hanya melihat barang dagangannya. Menawar bolak-balik tapi tetap tak jadi membeli. Tapi ada penjual yang senyumannya hilang, dan langsung tak acuh ketika tahu pengunjung ini hanya berniat melihat tanpa bermaksud membeli.

Sekarang tentang karakteristik pembeli. Ada pembeli yang tak punya tujuan saat datang ke pasar. Atau dia punya tujuan, membawa catatan tapi teralih perhatiannya ketika melihat ragam barang yang menarik dan terhipnosis oleh rayuan penjual. Yang paling efektif dan efisien tentunya pembeli yang punya tujuan, tahu apa barang yang akan dibeli, tahu di mana tempat yang baik untuk membeli, kritis dan tidak mudah terkecoh oleh rayuan dan jebakan penjual.

Ada kalanya pembeli sudah punya penjual langganan. Pembeli yang sudah memiliki "ikatan emosional" seperti ini akan enggan beralih ke penjual lain. Bahkan ia melakukan free marketing dengan mempromosikan barang penjual langganannya kepada orang-orang lain dengan bersemangat.

Para provider informasi sebagai "penjual informasi" ini juga melakukan ragam cara untuk "memasarkan" informasi atau opininya. Prinsip membujuk pembeli tetap digunakan, sekalipun tidak menggunakan senyuman. Informasi yang membuat penasaran, pilihan kata yang menarik, gambar yang menggoda, menyalahkan/memburukkan pendapat berbeda, perintah menyebarkan, sindiran dan bahkan ancaman bila tidak menyebarkan, adalah ragam bentuk cara mempengaruhi yang digunakan.

Para pembeli juga unik. Ada yang terombang-ambing dengan ragam informasi yang saling bertolak belakang. Ada pula yang sangat teguh memegang satu atau beberapa provider informasi yang mereka percayai. Mereka seperti para pelanggan fanatik, yang hanya mengakses informasi dari penjual pilihannya. Mereka hanya mau mendengar dan mendukung apa yang mereka ingin dengar. Segera menolak, menyerang, menuduh bohong, tidak mau membaca, bahkan mendelete informasi yang tidak disukainya. Mereka juga yang melakukan free marketing dengan bersemangat share/membagikan informasi ke berbagai tempat. Tak merasa perlu kritis dan recheck karena sudah begitu yakin dengan apa yang disharenya. Mereka juga memaafkan jika ada informasi yang disukainya tapi didukung data yang jelas salah. "Pokoknya maksudnya baik" adalah dalih sakti yang digunakan.

Seperti seorang pembeli yang datang ke pasar, saya perlu membawa catatan daftar belanjaan. Saya hanya membeli apa yang sudah saya rencanakan dan saya butuhkan. Saya perlu kritis memilih agar memperoleh yang terbaik. Saya tidak layak terpaksa membeli hanya karena penjual menawarkan baik dengan cara manis maupun dengan sindiran dan ancaman. Atau karena banyak sekali orang yang membeli barang yang sama. Kecuali saya tak peduli, apakah barang yang saya beli berkah atau tidak. Dan kecuali kalau saya merasa harus selalu konform dan tak berani berbeda pilihan.


*Penting sekali untuk cerdas membeli barang, eh cerdas memilih, memilah dan membagi informasi digital ...
*Penting sekali untuk tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu penjual barang yang nyata maupun yang maya.
*Ngingetin diri sendiri .....


Yeti Widiati 201216

Jumat, 16 Desember 2016

MENGAYAK PERTEMANAN - yws
(Konteks bahasan Sociometry - Locmotion)


Beberapa pekan lalu saya sempat belajar sekilas mengenai Psikodrama. Ada bahasan mengenai Sosiometri yaitu suatu cara untuk memetakan dan mengukur derajat kedekatan seseorang dengan orang lainnya. Ada ragam cara, dan salah satunya adalah Locomotion. Bagaimana orang mengelompokkan dirinya dalam beberapa kelompok tertentu.

Dengan cara experiential dan fun kami mengubah-ubah kelompok. Misalnya ketika pengelompokkan berdasar warna, A memilih masuk kelompok merah. B memilih biru. C memilih warna hijau. Tapi ketika pengelompokkan berdasarkan hobi, ternyata A dan B satu kelompok sementara C berada dalam kelompok lain. Dan ketika pengelompokkan berdasarkan aktivitas, B dan C yang satu kelompok, A berada dalam kelompok lain. Ada satu waktu sekelompok orang merasa tidak sesuai bergabung dengan kelompok yang ada, dan fasilitator kemudian membentuk kelompok baru untuk mereka yang tidak bisa terwadahi dalam kelompok yang ada. Kadang ada beberapa anggota yang merasa orang lain masuk kelompoknya, dan kemudian menarik-narik orang tersebut untuk masuk. Sebaliknya ada orang yang merasa satu anggota bukan berada dalam kelompoknya, dan "mengusir" orang tersebut yang dianggap salah tempat.

Saat belajar itu, saya lebih banyak merasakan senang. Ada sih analisis tapi rasanya belum cukup mendalam. Sampai kemudian saya melihat keadaan sekarang, dan saya pun tercenung. Ternyata sosiometri begitu bernilai dan powerful dalam "mengukur kekuatan" hubungan.

Bahwa ternyata kita selalu memiliki anggota kelompok yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dalam konteks jenis kelamin, saya akan bergabung dengan kelompok perempuan. Tapi dalam kelompok profesi, saya akan memiliki kelompok berbeda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Saya juga bisa membuat kelompok dalam kelompok, yaitu ketika saya membuat batasan lagi yang lebih spesifik, misalnya dengan atribut jenis kelamin, profesi, minat, kekhususan, jenis kelamin, domisili, suku, agama, hobi, karakter, dll. Semakin bertambah batasan saya, maka semakin kecil kelompok yang saya masuki.

Dalam keluarga, saya sekelompok dengan suami saat bicara tentang pendidikan anak. Tapi saya akan bersekutu dengan anak-anak perempuan saya ketika belanja baju. Saya memiliki irisan minat yang sama dengan anak lelaki saya saat membahas mengenai sejarah.

Bersekutu dan berseteru berjalan sangat dinamis. Saya bisa berpihak dan membela pendapat suami pada satu waktu. Namun di kesempatan lain saya berpihak dan membela pendapat anak saya. Pernah juga saya terisolir sendirian ketika anak - anak punya pendapat yang sama dengan ayahnya. Biasanya sih ketika urusan yang terkait dengan teknologi.

Menyadari bahwa kita begitu plastis dan memiliki perubahan irisan kelompok yang cepat dan variatif, maka jika kita sangat kaku dan memaksa saat berada dalam satu kelompok, peluang emosi terpicu menjadi sangat besar dan akan mengganggu relasi dan pembentukan kelompok lainnya.

Fenomena bola AFF, menunjukkan dengan sangat baik. Bahwa orang bisa sejenak bersekutu sebagai satu bangsa. Saya juga melihat kita juga bisa bersekutu saat ada sesuatu yang dipersepsi sebagai "musuh bersama".

Dinamika berseteru dan bersekutu ini dimanfaatkan Virginia Satir dalam Family Therapy, untuk memperkuat ikatan keluarga. Sementara pemerintah Belanda di masa kolonial menggunakan prinsip ini dengan baik untuk memecah-belah bangsa Indonesia selama ratusan tahun dan akibatnya masih dirasakan sekarang.

Bangsa kita yang memiliki atribut beragam dibenturkan satu sama lain, sehingga ikatan sebagai satu kelompok besar dengan atribut yang sama, tidak terbentuk. Ketika kita mempersepsi penjajah sebagai musuh bersama barulah kita bersatu. Dan ketika musuh bersama itu hilang, kita pun "menciptakan" musuh di antara kita. Mereka yang awalnya satu kelompok dengan kita, kita keluarkan dari kelompok karena tidak memiliki satu atribut tertentu yang sama. Bahkan ada orang yang dikeluarkan hanya karena memiliki habit yang berbeda yang dianggap buruk.

*Dan ketika ayakan pertemanan semakin halus menyaring ....
maka kita semakin mendekati kesendirian dalam keramaian ....


Yeti Widiati 161216 (another 'pretty date' in December)

Senin, 05 Desember 2016

CINTA MEMBUAT HEBAT - yws

...............
Kau membuat ku mrasa HEBAT
Karna ketulusan CINTAMU
Ku merasa TERISTIMEWA hanyaaaaa ...
Hanya karna ... karna CINTA
Kau beri padaku SEPENUHNYA
Buatku slalu merasa
BERARTI ......"


Hebat - Tangga
-------------

Saat menyetir dalam kemacetan kota Jakarta, saya memiliki kesempatan untuk berpikir tentang ragam hal. Beberapa hari lalu saya memikirkan tentang bagaimana menginspirasikan, bahwa CINTA yang tulus dan diekspresikan akan membuat seseorang merasa diterima dan berarti. Selanjutnya penerimaan akan membuat seseorang berani menampilkan KEHEBATAN dirinya.

Bila dalam konteks cinta orangtua dan anak, anak yang merasa dicintai orangtuanya, maka ia akan merasa aman/secure untuk menampilkan dirinya apa adanya, karena ia tahu bahwa apapun yang ia tampilkan akan dihargai. Dengan mekanisme yang ajaib, rasa berharga ini yang justru membuat anak menjadi menampilkan kemampuannya lebih dari apa yang dibayangkan dan diharapkan orangtuanya. Bahkan termasuk pada anak-anak yang mungkin dinilai "kurang sempurna" oleh lingkungannya, maka ia pun akan memiliki peluang sangat besar untuk berprestasi "beyond expectation".

Dan sebetulnya hal itu tidak hanya terjadi pada konteks cinta orangtua-anak saja, namun juga bisa terjadi dalam konteks cinta antara suami dan istri, guru dan siswa, atasan dan bawahan, dll.

Mungkin saat berpikir ini, kening saya berkerut, dan tiba-tiba menjadi cair ketika sebuah bait lagu Tangga terdengar ....
"Betapa sempurna, dirimu di mata hatiku ...."

Telinga saya pun langsung menjadi lebih peka, dan pikiran saya fokus pada bait-bait selanjutnya dan terutama bagian reffrain-nya.

Betul, CINTA yang tulus dan diekspresikan akan membuat mereka yang dicintai menjadi merasa BERARTI, merasa HEBAT, dan mendorong untuk memberikan serta menampilkan yang TERBAIK.

Terima kasih Tangga ....

Yeti Widiati 051216

Selasa, 29 November 2016

SKEMA - yws
(Konteks Psikologi Perkembangan Kognitif)

“Bu, saya tuh nggak mau mukul anak, karena saya tau itu nggak baik. Saya pernah merasakannya sendiri waktu dulu orangtua saya memukul saya. Saya sakit, tersinggung tapi juga sekaligus takut. Pokoknya gak enak. Setelah tau bahwa memukul anak itu tidak baik, saya berjanji pada diri saya untuk tidak melakukannya pada anak saya. Tapi kok kenapa susah sekali ya. Setiap anak saya bandel, emosi itu naik ke kepala saya. Dan rasanya ada yang memaksa saya untuk memukul juga. Saya mengepalkan tangan saya dengan sangat keras. Kadang saya berhasil menahan diri, tapi lebih sering saya kehilangan kesabaran dan akhirnya memukul juga. Tapi sesudahnya saya sangat menyesal ..."
----------

Dalam psikologi perkembangan kognitif, menurut Jean Piaget setiap individu mengembangkan suatu skema. Skema ialah suatu pola yang terorganisir, baik dalam bentuk pemikiran maupun perilaku yang dihasilkan melalui proses pembelajaran dari lingkungan. Bisa berupa sesuatu yang dilihat/dicontoh, maupun suatu pola berpikir dan perilaku yang dipelajari dan dilatih hingga menjadi otomatis.

Pemikiran dan perilaku seseorang akan mengacu pada skema yang dimilikinya. Bila ia tidak memiliki skema tersebut, maka ia tidak dapat melakukannya. Seorang anak yang selalu direndahkan oleh orang-orang di sekitarnya, maka ia sulit bahkan tidak bisa menunjukkan kemampuan berempati. Kebiasaan direndahkan membuat ia tidak memiliki skema empati dalam pikirannya.

Mereka yang tidak pernah memperoleh kasih sayang maka ia akan kesulitan bahkan tidak bisa menunjukkan kasih sayang.

Mereka yang terbiasa diperlakukan kasar dan keras, maka ia berpeluang besar melakukan hal yang sama sekalipun ia merasa tidak nyaman diperlakukan buruk. Hal ini terjadi karena ia hanya memperoleh skema yang salah atau maladaptif. Sehingga ketika pun ia merasa tidak nyaman diperlakukan buruk, ia tetap akan melakukan hal yang sama karena tidak memiliki skema yang tepat untuk menghhadapi pola stimulus seperti itu.

Dengan ulasan ini, semoga juga bisa menjawab paragraf di awal, ketika seorang anak cenderung untuk memilih pasangan yang mirip dengan kedua orangtuanya.

Apa yang perlu kita lakukan?

Bila konteksnya adalah pendampingan pada anak, maka tugas orangtua adalah membentuk skema pada anak dengan mencontohkan dan melatihkan.

Bayi hingga usia 1 tahun belajar melalui sensorinya. Selanjutnya ia belajar melalui pengalaman konkritnya. Kemudian mulai membuat hubungan sebab akibat sederhana dan baru kemudian berdasarkan pengalamannya tersebut ia bisa melakukan antisipasi.

Misalnya, bila kita ingin mengajarkan mengenai kasih sayang pada anak balita, caranya bukanlah dengan memberi nasihat, melainkan dengan menunjukkan kepekaan, berespon dengan tepat dan kemudian menunjukkan/mencontohkan kasih sayang melalui sentuhan (memeluk), perkataan lembut (auditori), senyuman (visual), dan aroma yang segar (olfactory).

Namun bila konteksnya adalah orang dewasa termasuk diri kita sendiri, maka membentuk skema baru adalah dengan belajar melalui orang-orang di sekitar kita.

Misalnya, ketika kita tidak suka dengan orang yang mengejek diri kita, namun ternyata kita juga mengejek saat kita berada dalam posisi lebih tinggi. Maka hal itu boleh jadi menunjukkan bahwa kita sendiri belum memiliki skema bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi ejekan orang lain. Kita perlu belajar pada orang yang saat diejek menunjukkan respon yang lebih efektif dan adaptif.

Saya yakin selalu ada orang-orang yang bisa menjadi guru bagi diri kita.

Yeti Widiati 291116

Jumat, 25 November 2016

MANNEQUIN CHALLENGE - yws
(Konteks emosi dan perilaku)

Viral video sekarang adalah Mannequin Challenge yang berisi film beberapa detik sampai beberapa menit dengan sejumlah orang berpose seperti manekin (boneka pajangan). Semakin banyak orang terlibat dan semakin aneh posenya maka akan semakin menantang.


Saya jadi teringat salah satu sesi dalam workshop Family Therapy yang diampu kang Asep Haerul Gani ketika membahas mengenai sculpture, motion create emotion dan self worth Virginia Satir. Bahwa Self Worth, mempengaruhi emosi dan tampil dalam gesture serta perilaku. Sebaliknya perilaku pun berkaitan dengan emosi dan bisa berpengaruh pada Self Worth.

Ada teman yang nyaris selalu berwajah suram dan mendung. Saking jarangnya tersenyum apalagi tertawa, saya sampai tidak ingat bagaimana suara tawanya. Kalau mendengar cerita lucu, ujung bibirnya hanya "tertarik" sedikit dan kemudian kembali ke posisi semula. Dan apa yang diceritakannya nyaris "hanya" cerita sedih dan kepiluan.

Sebaliknya ada teman yang keberadaannya selalu membuat orang lain senang. Karena ia selalu tersenyum, tawanya renyah dan ramah dan geraknya energik. Ia penuh ide, optimisme dan selalu bergerak membuat pencapaian-pencapaian.

Ternyata, ekspresi dan gesture tubuh kita, bukan hanya mempengaruhi mood dan emosi kita, namun juga mempengaruhi mood dan emosi orang-orang di sekitar kita.

Untungnya kita manusia yang memiliki kemampuan memilih dan mengendalikan diri kita. Kita tidak perlu merasa dan berperilaku hanya karena terbawa suasana, tapi kita pun juga dapat menciptakan suasana yang kita inginkan, memberdayakan dan berpengaruh positif bagi diri dan orang lain dengan cara mengubah ekspresi dan gesture tubuh kita seperti yang kita mau.

Awali hari ini dengan tersenyum, tertawa dan bersemangat. Kalau perlu ajak beberapa teman untuk melakukan mannequin challenge dengan tema kegembiraan, kebahagiaan, semangat, optimisme, dll. Sehingga mood yang positif menyebar luas ....

Cheeerrrsss ....

Yeti Widiati 251116

Rabu, 23 November 2016

SEPARATION ANXIETY DAN ATTACHMENT - yws
(Konteks Perkembangan Anak)


Tahun 2002, saat si nona bungsu berusia 2 tahun, saya terpaksa harus meninggalkannya selama 2,5 bulan. Yaitu ketika saya harus mendampingi kakaknya operasi craniofacial di Australia.

Dibandingkan si sulung yang berusia 10 tahun, perpisahan ini lebih berisiko untuk si bungsu yang masih berusia 2 tahun. "Object permanency" masih menyisakan efeknya dalam bentuk yang lebih kompleks.

Object permanency adalah pemahaman bahwa suatu benda/object akan tetap ada sekalipun tidak dapat diindra. Pada bayi di bawah usia 1 tahun, kemampuan ini belum dimiliki sepenuhnya, sehingga ketika benda tidak terlihat, maka ia menganggapnya tidak ada. Kemampuan menyadari eksistensi benda adalah kemampuan penting dan signifikan untuk menunjukkan perkembangan kognitif seseorang.

Para orangtua yang saat ini punya bayi berusia beberapa bulan (di bawah 1 tahun) bisa melakukan eksperimen ini. Perlihatkan sebuah mainan di depan bayi anda, sampai anda yakin bahwa bayi anda tahu bahwa ada mainan yang terlihat. Kemudian di depan bayi anda (terlihat oleh bayi), tutuplah mainan tersebut dengan selimut. Jika bayi kemudian menoleh ke arah lain dan tidak mencari mainannya, berarti bayi anda belum memiliki kesadaran object permanency. Tapi bila bayi itu menarik selimut untuk mencari mainannya berarti kesadaran object permanency sudah dimiliki. Dia tahu bahwa tertutup bukan berarti tidak ada.

Fenomena object permanency adalah sangat wajar. Ini yang membuat bayi senang bermain 'ciluk ba'. Ia tertawa senang saat melihat wajah yang disukainya tiba-tiba terlihat. Perubahan ekspresi tertawa dan diam itu yang lucu dan menggemaskan bagi orang dewasa sehingga mereka tak bosan mengulanginya. Itulah juga mengapa bayi akan sering menoleh pada ibu/pengasuhnya saat ia sedang bermain, karena ia perlu memastikan bahwa pelindungnya ada, dan ia belum bisa diyakinkan dengan nasihat, bila ibu/pengasuh itu tidak terlihat bukan berarti dia hilang. Keyakinannya kuat hanya ketika benda itu bisa diindra.

Bagi bayi dan balita, ketika mereka mengira bahwa pengasuhnya "hilang" maka timbullah perasaan cemas. Perasaan cemas karena perpisahan ini bila terlalu lama terjadi akan berefek pada emosi dan perilakunya. Semakin panjang dan intens rasa cemasnya, efeknya akan semakin besar. Dari mulai hanya ekspresi sedih, kemudian menangis, marah, tidak mau makan, tidak mau main, dll. Gejala ini akan berhenti saat anak sampai di tahap acceptance, yaitu kesadaran dan penerimaan bahwa sesuatu sudah hilang. Tahap ini akan lebih mudah terjadi bila ada kondisi yang menggantikan kehilangannya. Entah itu saat ibu/pengasuhnya kembali, ada orang lain yang menggantikan atau bahkan anak sudah bertambah kemampuan kemandiriannya.

Nah, kembali pada cerita bungsu saya. Pada usia 2 tahun object permanency-nya sudah jauh lebih kompleks. Dia tahu bahwa sekalipun ibunya tidak terlihat, ibunya tetap ada dan akan kembali dalam jangka waktu tidak lama.

Dulu saat anak-anak saya balita, saya jarang meninggalkan anak berhari-hari. Biasanya hanya beberapa jam, dan tidak setiap hari. Saya penganut paham "Golden Age" sehingga saya memutuskan lebih banyak di rumah dan mendampingi anak, saat mereka masih balita (golden age).

Saya membuat SOP (Standard Operational Procedure) setiap akan pergi. Selain untuk menghindari separation anxiety juga untuk menunjukkan bahwa anak dihargai. Sebelum pergi, saya akan berkata, "Mama pergi dulu, Insya Allah Mama pulang jam 12 (misalnya). Jam 12 itu kalau jarum panjang dan pendek dua-duanya sudah di situ, di angka 12", sambil menunjuk pada jam karena anak belum bisa berhitung dan belum memahami konsep waktu. Kalau ternyata saya ada kemungkinan terlambat, maka saya akan menelpon, minta maaf dan menjelaskan kenapa saya terlambat. Saya menghindari menggunakan kata "sebentar lagi" yang tidak jelas batasnya. Anak perlu memperoleh 'kepastian' sehingga ia dapat mengembangkan kemampuan antisipasi dan meregulasi diri. Dengan alasan yang sama, saya juga sangat menghindari berbohong pada anak.

Ketika saya akan pergi mendampingi kakaknya operasi, saya tidak tahu akan berapa lama saya meninggalkan bungsu saya. Konsep waktu dan angka pun dia belum paham. Sehingga agak sulit bagi saya menjelaskan berapa lama saya akan meninggalkannya. Sehingga, sekalipun saya tetap menjalankan prosedur menjelaskan kepergian saya, namun saya menyadari bahwa setelah beberapa hari saya akan dianggap "hilang" oleh si bungsu. Jauh lebih penting bagi saya adalah menyediakan "jaring pengaman" bagi anak saya agar ia tidak mengalami perasaan kehilangan yang berlarut-larut. Daripada saya bersedih dan kecewa karena si bungsu "lupa" pada saya.

Saya minta bantuan ibu mertua saya untuk mendampingi anak saya selama saya pergi. Saya minta bantuan saudar ipar dan keponakan-keponakan untuk menemani saat ada kesempatan. Saya juga mencarikan pengasuh yang sabar dan bisa diajak bekerja sama. Dan yang jelas saya berbagi tugas dengan suami saya. Saya mendampingi anak kedua operasi, sementara suami saya mendampingi 2 anak lainnya, dan terutama si bungsu.

Saya bersyukur memiliki keluarga besar yang saling membantu. Dengan segera si bungsu bisa menerima ketidak-hadiran saya dan menjalani hidupnya seperti biasa lagi dengan ceria. Sekalipun saya kerap menelpon, namun nampaknya semua itu terasa tidak nyata baginya. Suara telpon masih belum cukup meyakinkan baginya karena wujud konkrit saya tidak bisa dilihat, disentuh ataupun dicium. Saya sudah "hilang" ....

Ketika pulang, sekalipun mengabari sebelumnya, saya bisa menangkap si bungsu yang shock, terpana dan nampak bingung akan kehadiran saya. Beberapa minggu berikutnya si Bungsu menjadi sangat dependen dan manja. Orang menyebutnya melepas "kangen". Bagaimanapun saya membutuhkan waktu berbulan-bulan kemudian untuk meredakan rasa insecure dan kecemasan si nona bungsu terhadap perpisahan.

Dari cerita ini, saya ingin mengajak pada para orangtua yang karena satu dan lain hal, terpaksa meninggalkan buah hatinya dalam jangka waktu lama, atau dalam jangka waktu pendek tapi sering, untuk lebih berfokus pada kebutuhan anak daripada kebutuhan sentimental diri sendiri. Bagaimana pun selalu ada konsekuensi yang perlu dihadapi. Memiliki ekspektasi terlalu tinggi, misalnya, "Anak saya harus dekat dan mau curhat pada saya meskipun saya jarang di rumah" nampaknya perlu dibuat lebih realistis.

Karena prinsip kedekatan/attachment adalah adanya frekuensi, intensitas dan proximity.
- Frekuensi adalah seberapa sering
- Intensitas adalah seberapa kuat
- Proximity adalah seberapa dekat

Yeti Widiati 231116

Senin, 14 November 2016

RAGAM RASA "TAKUT" PADA ANAK - yws

"Takut" adalah salah satu jenis emosi. Setiap emosi memiliki informasi dan pesan. Dengan pesan itu, maka kita tahu apa yang dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami emosi tersebut. Misalnya, emosi marah, memberi informasi dan pesan bahwa seseorang tidak suka menghadapi suatu keadaan dan mencoba melawan.

Oleh karena itu ekspresi emosi adalah salah satu bentuk komunikasi seseorang kepada lingkungannya bahwa ada kebutuhan yang perlu dipenuhi.

Dalam konteks perkembangan anak, maka adalah wajar dan alamiah seorang anak untuk menampilkan ekspresi emosinya, misalnya, menangis karena sedih, cemberut ketika kesal, pucat dan mengkerut saat takut, tersenyum atau tertawa saat senang, dll. Yang kerap menjadi masalah adalah jika orang-orang di sekelilingnya tidak cukup peka atau tidak suka dengan bentuk ekspresi emosi yang ditampilkan sehingga mengabaikan atau berusaha untuk menekan, melarang atau memaksa hilang atau mengganti suatu emosi tertentu.

Cara ini sebetulnya menjadi kontraproduktif, karena anak menjadi merasa terabaikan, tidak terpenuhi kebutuhan atau pesan emosinya dan kehilangan kesempatan untuk belajar mengelola emosinya sejak dini.

Sebagai contoh, seorang anak yang menangis karena melihat ondel-ondel, kemudian orang di sekitarnya alih-alih mengajarkan cara menghandle emosinya secara adaptif malah merendahkan atau bahkan menakut-nakuti/mengancam anak dengan ondel-ondel, "Awas kalau gak mau belajar nanti ada ondel-ondel nyulik kamu ..."

Seperti ragam emosi lainnya, maka emosi takut pun memiliki informasi dan pesan bahwa seseorang tidak suka menghadapi suatu situasi namun merasa tidak berdaya menghadapinya. Ia membutuhkan bantuan dan perlindungan agar rasa takutnya berkurang.

Bila kita ingin membantu anak untuk dapat mengelola emosinya dan berespon secara adaptif terhadap emosi tersebut, maka kita perlu peka dan menangkap pesan emosi tersebut.

Berikutnya, saya menjabarkan ragam jenis takut yang biasa muncul pada anak usia 0-12 tahun, (Diane Papalia, Human Development). Tentunya bisa berbeda pada beberapa anak. Namun paling tidak pengetahuan ini bisa menjadi jalan bagi kita para orang dewasa untuk membantu anak dalam mengelola rasa takutnya, sehingga dapat berespon lebih adaptif.

1. Usia 0-6 bulan, bayi takut kehilangan perlindungan dan takut suara keras.

2. Usia 7-12 bulan, bayi takut pada orang asing, ketinggian, objek yang muncul tiba-tiba, situasi yang tidak terduga dan tidak terbayang.

3. Usia 1 tahun, anak takut berpisah dari orangtua, toilet, takut luka dan takut pada orang asing.

4. Usia 2 tahun, anak takut pada suara sangat keras (sirene, alarm, petir, ledakan, suara mobil truk), takut pada binatang, ruang gelap, terpisah dari orangtua, benda atau mesin besar, perubahan lingkungan, teman baru.

5. Usia 3 tahun, anak takut dengan topeng, badut, kegelapan, binatang, terpisah dari orangtua.

6. Usia 4 tahun, anak takut terpisah dari orangtua, kegelapan, suara-suara asing termasuk suara pada malam hari.

7. Usia 5 tahun, anak takut binatang, orang jahat, kegelapan, terpisah dari orangtua, takut pada sesuatu yang bisa menyakiti tubuh.

8. Usia 6 tahun, anak takut makhluk supranatural (hantu, jin, nenek sihir, dll), takut terluka, petir, kegelapan, tidur atau ditinggal sendirian, dan takut terpisa dari orangtua.

9. Usia 7-8 tahun, anak takut makhluk supranatural, kegelapan, peristiwa buruk yang diberitakan media (berita penculikan, pembunuhan, bencana alam, dll), takut sendirian dan takut terluka.

10. Usia 9-12 tahun, takut pada tes/ujian sekolah, takut mendapat nilai buruk, takut terluka, takut tampilan fisik buruk, takut petir, takut kematian dan kegelapan.

Jadi, apa yang perlu dilakukan orangtua saat anak takut?
- Peka terhadap ekspresi emosi takut anak yang ditampilkan melalui tubuh, maupun perilaku. Misal, muka pucat, badan mengkerut, bibir melengkung ke bawah, menggigil, tangan dingin atau berkeringat, mengompol, kehilangan nafsu makan, dll.
- Menemukan objek yang menimbulkan rasa takut pada anak.
- Menerima rasa takut anak secara verbal "Adek takut ya ...?" atau perilaku (memeluk). Hindari merendahkan, mengejek, menyuruh menghilangkan, mengalihkan perhatian, menyalahkan, dll.
- Berikan perlindungan, misal dengan memeluk dan memberikan perlindungan, "Sini sama Mama dulu ..."
- Ajarkan cara menstabilkan diri, misal, tarik nafas dulu pelan-pelan yaaa ..."
- Tunggu, beri kesempatan anak menenangkan diri.
- Sesudah tenang, baru jelaskan mengenai situasi yang dihadapi dan cara coping/menghadapinya secara adaptif. Misal, "Ya itu barusan namanya ondel-ondel. Memang sih ya, mukanya nyeremin. Tapi itu di dalamnya ada orangnya lho. Tuh coba lihat kakinya. Adek mau lihat orangnya? Gak apa-apa kamu takut dan kaget, nanti kalau sudah berani kita lihat orangnya yuk ... dst.

Perlu waktu? Ya. Perlu sabar? Ya. Hindari tergesa-gesa dan memaksa, beri waktu anak untuk menstabilkan diri.

Percaya deh, gak bakalan rugi. Keuntungan mengajarkan anak mengelola emosi akan diperoleh tahun-tahun selanjutnya, karena anak menjadi lebih memahami diri dan tahu bagaimana melakukan coping terhadap situasi yang membuatnya tidak nyaman.

Yeti Widiati 141116

Minggu, 06 November 2016

FOKUS PADA APA YANG BISA DILAKUKAN - yws

Masih berkaitan dengan tulisan sebelumnya JANGAN AMBIL ALIH TUGAS ANAK dan STRATEGI MENGURANGI KEREWELAN DAN KECEMASAN ANAK PADA SITUASI ASING.

Saya ingin menceritakan pengalaman saya saat mendampingi anak operasi di sebuah rumah sakit ibu dan anak di Australia. Ini adalah cerita dari tahun 2002, 14 tahun lalu. Sehingga sangat mungkin ada beberapa RS di Indonesia yang juga sudah melakukannya. Atau bila pun belum, semoga ini menjadi alternatif yang bisa dilakukan di sini untuk membantu mempercepat proses kesembuhan anak.

Fokusnya adalah pada apa yang sudah mampu dilakukan anak.

Jadi RS ini memiliki relawan-relawan yang bertugas membantu berbagai aktivitas di RS. Yang paling menarik buat saya adalah relawan yang mendampingi anak bermain dan belajar.

Setiap pagi seorang Play Leader akan berkeliling dari kamar ke kamar untuk mengecek kondisi pasien. Ia mencatat apa yang sudah bisa dilakukan pasien dan kemudian menawarkan aktivitas apa yang bisa dan ingin dilakukan pasien. Tujuannya adalah agar pasien tidak terlalu terfokus dengan sakit yang dialaminya, emosinya menjadi lebih tenang demikian pula dengan orang dewasa yang mendampinginya karena anak menurun stres dan kerewelannya.

Misalnya, pasien yang baru pindah dari ICU dan masih berbaring, maka ditawarkan untuk menonton video. Anak boleh memilih film apa yang akan ditonton. Atau juga bisa dibacakan buku cerita yang disukainya dan mendengarkan musik.

Pasien yang sudah bisa duduk dan menggerakkan jarinya, ditawari untuk bermain games komputer atau game watch.

Pasien yang tangannya sudah bisa bergerak lebih banyak namun masih belum boleh turun dari tempat tidur ditawari aktivitas yang bisa dilakukan di tempat tidur, membaca buku cerita, menggambar, melukis, membuat prakarya, bernyanyi, dll.

Pasien yang sudah boleh turun dari tempat tidur, boleh main di ruang bermain yang bersih dan terjaga keamanannya.

Pasien-pasien usia SD akan ditawari juga untuk belajar, baik itu di sekolah rumah sakit (kalau sudah boleh berjalan), atau belajar di tempat tidurnya.

Play Leader akan mencatat semuanya di pagi hari dan kemudian mempersiapkan apa yang perlu dilakukan bersama relawan lainnya. Dan sekitar jam 10 saat pasien sudah selesai makan, mandi dan visit dokter, maka para relawan akan berkeliling untuk mendampingi pasien melakukan ragam aktivitas yang sudah dipersiapkan tersebut.

Saya terkesan. Terutama dari betapa komprehensifnya perencanaan disusun yang bertujuan untuk mempercepat kesembuhan anak. Jadi kesembuhan tidak hanya dari sisi medis tapi juga faktor-faktor penunjang. Betul bahwa faktor dukungan orang di sekitar adalah penting, namun hal itu juga dikelola dengan terencana tidak diserahkan begitu saja kepada keluarga. Beruntung bila pasien anak ini memiliki keluarga yang memberikan dukungan positif. Kenyataannya ada banyak pendamping yang tidak tahu atau tidak bisa melakukan hal-hal yang sebetulnya dibutuhkan pasien anak.

Di Indonesia sekarang, RS-RS yang cukup berbiaya, memang sudah melakukannya. Tapi RS ini tidak banyak dan otomatis juga pasien yang ditangani pun terbatas. Sehingga yang memperoleh kemanfaatan pun tidak signifikan jumlahnya.

Saya membayangkan suatu hari di RS-RS pemerintah, bangsal anak menjadi lebih sunyi dari tangisan dan jeritan pasien-pasien anak, orangtuanya lebih kalem tidak panikan, para perawatnya ceria, dan para dokter lebih tenang bekerja ....

Yeti Widiati 061116
JANGAN AMBIL ALIH TUGAS ANAK - yws

Seorang teman berbagi video tentang bagaimana seekor induk beruang kutub menolong anaknya yang tercebur di kolam kandangnya di kebun binatang.

Hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana cara induk beruang tersebut menolong anaknya. Ia tidak menarik dan tidak mendorong anaknya, melainkan hanya menahan kaki anaknya dan menjaga di belakangnya saat anak beruang itu berusaha memanjat naik ke pinggir kolam. Ketika ia melihat anaknya sudah mampu untuk naik, maka ia melepaskannya. https://www.youtube.com/watch?v=cU7vhXe-Zcw


Diana Baranovich, seorang Play Therapist menyatakan dalam salah satu sesi trainingnya, bahwa orangtua bertugas membimbing anak dan bukan mengambil alih tugas anak. Ia mencontohkan, ketika anak usia batita ingin menyalakan lampu, dan ternyata saklarnya terlalu tinggi, maka bila orangtua ingin membantu bukanlah dengan cara membantu menyalakan saklar, melainkan dengan menggendong anak, sehingga tangannya dapat menjangkau saklar tersebut.

Contoh lain, adalah, bila anak sudah bisa menyuapkan sendok ke mulutnya sendiri, maka ia yang harus melakukannya sendiri dan bukan disuapi oleh orang dewasa. Atau sudah bisa jalan ya, jangan digendong terus.

Dengan agak keras bahkan Diana mengatakan, orangtua yang mengambil alih tugas anak yang dapat dilakukannya sendiri, berarti melakukan "kekerasan" (harrashment) pada anak.

Dengan cara ini, maka yang dibutuhkan dari orangtua (juga guru atau pendidik lainnya) untuk tidak mengambil alihh tugas anak, diantaranya:
1. Kepekaan untuk MENGIDENTIFIKASI, hal apa yang sudah mampu dilakukan anak dan mana yang belum. Orangtua hanya membantu pada tugas-tugas yang benar-benar belum mampu dilakukan anak.

2. Perasaan TEGA melihat anak berusaha.
Kerap saya menemukan, orangtua yang karena alasan cinta dan kasih sayang, tidak tega melihat anaknya berpeluh karena berusaha. Kalaupun orangtua kasihan pada anak, maka kasihanilah anak yang kelak pada usia seharusnya dia sudah mampu melakukan banyak hal, ternyata anak bersikap pasif dan lebih banyak menunggu dibantu. Perasaan kasihan dan tidak tega yang salah tempat ini, akan menimbulkan "ongkos emosi" tidak sedikit di kemudian hari.

3. Kemampuan untuk MEMOTIVASI anak berusaha dan MENGAPRESIASI pencapaiannya.
Akan jauh lebih berguna bila orangtua memberikan penguatan dan apresiasi pada anak sehingga kepercayaan diri anak menjadi bertambah kuat.

Dengan cara ini, bahkan anak berkebutuhan khusus dan anak-anak dengan ketunaan pun juga dapat mengembangkan dirinya. Karena seminimal apapun kemampuannya, tetap ia memiliki sesuatu yang bisa dikembangkan.

Coba deh untuk tidak mengambil alih tugas anak, dan kita akan takjub dengan pencapaiannya di kemudian hari.

Yeti Widiati 051116

Rabu, 02 November 2016

STRATEGI MENGURANGI KEREWELAN DAN KECEMASAN ANAK PADA SITUASI ASING - yws

- Dhia, 3 tahun dibawa ke dokter. Sepanjang waktu menunggu, Dhia rewel luar biasa. Merengek dan menangis berulang-ulang. Ibunya pun menjadi kesal dan menghardik "Diam ...! Kamu ini kok gak bisa diam. Mempan sebentar, dan kemudian hanya dalam hitungan menit, Dhia pun merengek kembali.

- Salma, 4 tahun diketahui menderita penyakit parah dan ia segera harus dioperasi. Ibunya tak tega memberi tahu Salma tapi ibu menangis terus setiap berada di depan Salma, "Kasihan, saya nggak tega dia dioperasi ..." Lho, lebih nggak tega mana dengan membiarkan anak bingung dan cemas melihat situasi yang tidak jelas karena ibunya menangis terus? Tak lama 2 orang perawat datang membawa Salma untuk persiapan operasi, dan Salma pun menjerit ketakutan ....

- Aldino, 3 tahun, berangkat ke mall bersama ayah ibu. Ia anak penuh energi. Senang berlari kian kemari. Gerakan favoritnya adalah 'sliding' meniru pemain bola saat memasukkan gol ke gawang. Di mall, Aldino excited melihat lantai luas yang bisa dipakai 'sliding'. Ia berlari dan kemudian melakukan sliding. Sliding pertama, ia menyenggol seorang perempuan, hingga ibu harus segera minta maaf. Sliding kedua ia menabrak manekin di sebuah counter pakaian hingga manekin itu jatuh. Untungnya (masih ada untung), Aldino tidak terluka. Namun aya harus mengeluarkan uang untuk mengganti tangan manekin yang patah.

- Ravi, 3 tahun, dibawa ke pengajian oleh bunda. Menit-menit awal ia masih tenang dan duduk diam di atas karpet. Ia mulai gelisah ketika pak ustadz mulai berkhotbah. Kakinya bergerak-gerak sehingga menyenggol gelas air dan membahasi karpet. Ia berdiri, berjalan di sela jamaah yang sedang mengaji, tergoda untuk keluar karena mendengar anak-anak yang berlari-lari dan berteriak-teriak di luar ruangan. Tapi bunda menariknya, memangku dan menyuruhnya diam.
-------------------

Apakah pernah mengalami situasi-situasi di atas?

Siapa pun tak nyaman menghadapi situasi yang mencemaskan, membosankan dan tidak diduga. Apalagi balita yang naturenya penuh energi, sulit diam dalam jangka panjang karena rentang fokus masih rendah. Sehingga ia akan banyak bergerak dan mudah bosan.

Ada sementara orang cenderung menghindari situasi tersebut. Atau sebaliknya menggunakan cara memaksa agar anak menampilkan perilaku yang diharapkan.

Saya lebih suka memilih mempersiapkan anak menghadapi situasi baru atau situasi yang tidak menyenangkan daripada menghandle situasi ketika sudah runyam.

Beberapa hal yang biasa saya lakukan saat anak-anak saya balita.
1. Beritahu anak TUJUAN yang ingin dicapai dan gambarkan SITUASI apa yang mungkin dihadapi dengan bahasa sederhana

Misal: "Dhia, kita mau ke dokter untuk periksa, supaya Dhia sehat. Nanti di sana kita akan menunggu karena ada banyak pasien yang mengantri. Dhia mau melakukan apa sambil menunggu? Menggambar atau main?

2. Jelaskan PERILAKU apa yang diharapkan dan apa yang perlu dihindari. Sebutkan alasannya.

Misal: "Karena banyak orang, maka adik tidak boleh lari-lari dan teriak-teriak. Itu mengganggu orang lain. Adik boleh baca buku cerita, menggambar atau mendengarkan musik, atau kegiatan lain yang tidak mengganggu orang lain."

3. Tawarkan cara PENYELESAIAN MASALAH bila ia bosan atau cemas.

Misal:
- "Kalau bosan, kamu boleh nyender pada Bunda atau boleh juga tidur sebentar."
- "Kamu juga boleh lari-lari di luar ruangan sebentar."
- "Kalau kamu takut, sini Mama peluk kamu."

Jadi kuncinya adalah pada persiapan, pencegahan dan antisipasi. Memang perlu waktu dan usaha, namun berdasarkan pengalaman saya, dengan cara ini ongkos emosinya jauh bisa ditekan. Anak dan orangtua lebih tenang dan anak merasa lebih dihargai.

Yeti Widiati 021116
SEKOLAH DI LUAR NEGERI - yws

"Aku mau sekolah di luar negeri ... "
"Oke, mau belajar apa di luar negeri?"
"Mau belajar animasi"
"Apa sebetulnya cita-cita kamu kalau sudah besar?"
"Aku mau bikin film animasi yang bagus ..."
"Kenapa kamu ingin bikin film animasi yang bagus?"
"Soalnya Indonesia gak punya film animasi yang bagus."
"Bagus sekali cita-citanya. Lalu kenapa harus belajarnya di luar negeri? Di dalam negeri kan juga bisa."
"Iya sih, tapi kan kalau di luar negeri lebih lengkap dan aku bisa belajar mandiri."
"Menurut kamu, apa yang perlu kamu persiapkan kalau kamu mau sekolah di luar negeri?"
"Bahasa Inggris, supaya bisa ngomong, baca buku dan ngerti pelajarannya"
"Selain bahasa Inggris, terus apa lagi?"
"Nnnnggggg .... gak tau ..."
"Gimana kamu makannya?"
"Beli lah ..."
"Iya kalau uangnya banyak, tapi di luar negeri itu makanan lebih mahal daripada di sini."
"Masak aja kalau gitu. Mmmmhhh ... berarti aku perlu belajar masak ya ..."
"Di sana gak ada si mbak yang nyuci dan nyetrika baju. Masa pergi kuliah baju itu melulu atau kusut-kusut."
"Ya, aku belajar nyuci dan nyetrika deh ..."
"Lalu, kamu kan akan ketemu macam-macam orang. Ada yang baik, ada yang nyebelin. Gimana kamu menghadapi orang-orang seperti itu?"
"Eh, aku harus belajar berteman dengan macam-macam orang kalau gitu."
"Nak, di Indonesia ini mayoritas orang beragama Islam. Dan agama yang resmi ada 5. Kalau kamu di luar negeri, maka kamu akan menghadapi situasi yang jauh lebih heterogen. Bukan hanya 5 agama tapi ada jauh lebih banyak dari itu. Lumayan banyak yang atheis dan agnostik. Bahkan orang Islam-nya pun beragam madzhab dan organisasinya. Madzhab yang tidak ada atau dilarang di Indonesia, akan terbuka di luar dan mudah ditemukan. Bagaimana kamu bersikap terhadap hal itu? Mama ingin kamu berpegang teguh pada value kita."
..... diam cukup lama .... "Baik aja lah sama orang, tapi kita tetap shalat."
"Iya betul, kita baik pada orang, dan tetap ibadah sesuai agama kita"
"Ada juga kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan kebiasan dan budaya kita, misalnya, pergaulan, pakaian, dll. Bagaimana kamu menghadapi itu semua? Identitas diri dan akar budaya kita ini orang Timur"
"Ambil yang bagusnya aja lah ..."

Itu adalah secuplik perbincangan saya dengan si sulung saat masih kelas 2 SMP dan ia ingin sekolah di luar negeri. Ada beberapa hal yang saya sesuaikan sehingga detail tidak sama persis, namun tidak mengurangi esensi. Saya tidak membahas mengenai boleh tidaknya sekolah di luar negeri, tapi lebih mengenai apa situasi yang akan dihadapi, apa konsekuensinya, apa yang perlu dipersiapkan, dll. Pada kenyataannya, semua dibahas detail dengan contoh praktis dan latihan.

Content pembicaraan meliputi;
- tujuan hidup dan cara pencapaiannya
- kemandirian dalam memanage diri
- kemandirian dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan
- kemampuan bersikap dan bersosialisasi
- komitmen dengan value dan identitas budaya
- akademik, pengetahuan dan ketrampilan penunjang
- pemahaman budaya dan orientasi tempat yang dituju.
Dll.

Pembicaraan seperti ini masih dilakukan terus bertahun-tahun kemudian dengan pola yang sama. Maksudnya bagaimana insight/kesimpulan diperoleh oleh anak. Bukan melulu melalui nasihat satu arah. Bagi saya saat itu, tidak masalah anak saya akan melanjutkan pendidikan di dalam atau di luar negeri, tapi paling tidak saya perlu mempersiapkan sejak awal, terutama untuk hal-hal yang cukup mendasar dan membutuhkan waktu.

Yeti Widiati - 271016

Kamis, 27 Oktober 2016

"SILAKAN IBU BAJUNYA ...!!!" - yws

Saya suka "cuci mata" saat mengunjungi daerah perbelanjaan seperti misalnya ITC BSD, Pertokoan Tanah Abang, Semanggi, Baltos di Bandung atau bahkan Pamulang Square dekat rumah saya. Tidak harus membeli, hanya berjalan-jalan saja dan melihat-lihat barang dagangan itu punya efek refreshing dan relaksasi buat saya. Sehingga pikiran mumet bisa agak terurai. Hehehe ... khas perempuan sekali.

Awalnya saya terganggu jika saat saya sedang melihat-lihat, tiba-tiba mbak penjaganya mendekati, dan berteriak "Silakan Ibu bajunya ...!!!" Kalau saya menjawab, "Lihat-lihat saja ..." si mbak pun pada umumnya mempersilakan "Boleh ..." Ada yang sambil tersenyum ada pula yang berwajah datar.


Pernah pada satu waktu saya membeli busana muslim di sebuah kios busana di Pamulang Square. Saya boleh berganti-ganti mencoba ragam busana yang ada di situ. Dan si mbak tak putus memuji, "Cocok bener baju ini dengan kulit Ibu..." atau "Aduh, ibu jadi kelihatan tambah muda ..." Dan anehnya, sekalipun saya tahu si Mbak penjual ini menggunakan hypnotic language untuk mensugesti saya, saya tetap senang mendengarnya.

Si mbak pedagang ini pun seperti sudah punya stock kalimat jawaban untuk setiap keluhan, misalnya,
- "Aduh kepanjangan ... " dijawab, "Iya bu, tinggal dipendekin sedikit di sini ..."
- "Aduh mbak mahal nih ..." dijawab "Bahannya memang bagus Bu, jadi agak mahal, tapi ibu gak bakal nyesel deh, soalnya ini cocok banget di Ibu."
- "Gak matching nih kerudungnya sama bajunya ..." dijawab, "Sebentar Bu, saya ke toko sebelah dulu cari yang kerudungnya matching."

Jika saya tidak jadi membeli, si pedagang tidak berkata apa-apa. Tapi ketika akhirnya saya memutuskan membeli si mbak penjual berkata dengan keras juga, "Nanti kembali lagi ke sini ya, Bu... !!!" Dan anehnya, teriakan itu nempel di kepala saya. Dan saya kerap menengok ke kios tersebut, jika saya datang, sekalipun belum tentu saya membeli.

Satu saat saya berkunjung ke sebuah kota yang budaya, kebiasaan dan pengalaman para pedagangnya membentuk suatu perilaku yang khas. Tak cukup toleran dengan orang yang hanya ingin berjalan-jalan dan melihat-lihat. Melihat, memegang, membandingkan harga dan menawar seolah harus berujung transaksi. Sehingga menjadi terasa memaksa. Sulit memilih sight seeing sebagai cara refreshing di kota ini.

Seorang pedagang menghardik saya karena tidak jadi membeli sebuah barang yang sudah saya sentuh. Ia menggerutu. Sekalipun saya tak paham gerutuannya, tapi menilik raut wajahnya, saya tau kalau ia tak suka. Saya tetap pergi karena memang tak berniat membeli, apalagi didampingi penjual yang cemberut seperti itu.

Sambil beranjak pergi saya pun terngiang dengan suara si mbak di Pamulang Square "Nanti kembali lagi ke sini ya, Bu ...!!!" dan rasa rindu untuk pulang pun mengalir....

*Cara terbaik mempengaruhi adalah dengan MENDEKATKAN bukan MENJAUHKAN.

Yeti Widiati 261016
Parenting di abad 21

ILMU-ILMU YANG PERLU DIKUASAI UNTUK PARENTING YANG LEBIH BAIK
(Diambil dan diterjemahkan dari parentinstructor.com) - yws


Ilmu 1 POLA ASUH
1. Pengertian pola asuh
2. 4 Jenis pola asuh
3. Konsekuensi dari pola asuh
4. Pengaruh jenis kelamin, etnis dan tipe keluarga terhadap pola asuh

Ilmu 2 PEMAHAMAN KARAKTERISTIK ANAK
1. Tahapan perkembangan anak
2. Karakteristik temperamen anak
3. Anak sebagai bagian dari keluarga (posisi, urutan, dll)
4. Persaingan antar saudara
5. Relasi sosial anak
6. Anak dan Stress

Ilmu 3 CINTA DAN PERHATIAN
1. Bagaimana menunjukkan rasa cinta
2. Bagaimana menunjukkan perhatian

Ilmu 4 MENJADI ROLE MODEL
1. Pengaruh masa lalu
2. Apa yang kita tampilkan sekarang?

Ilmu 5 EMPATI
1. Emosi dalam hidup
2. Mengapa emosi itu penting
3. Kurangnya empati
4. Mengapa kesadaran sosial itu penting?
5. Bagaimana belajar lebih empati?
6. Mengembangkan empati pada anak
7. Mendengar empatik
8. Komunikasi empatik
9. Acceptance (penerimaan diri)

Ilmu 6 KOMUNIKASI
1. Mengkomunikasikan emosi
2. Pola komunikasi yang merusak
3. Komunikasi asertif
- Menyampaikan pesan
- Belajar mendengar
- Mengekspresikan keluhan
- Kenali bagian kita dalam sebuah konflik
4. Berkomunikasi dengan anak
5. Tips untuk berkomunikasi dengan anak

Ilmu 7 DISIPLIN
1. Tujuan Disiplin
2. Pendekatan dan filosofi disiplin
3. Prinsip umum disiplin
4. Membuat batasan/boundaries
5. Tips untuk membuat batasan/boundaries
6. Hadiah dan konsekuensi/hukuman bagi anak

Ilmu 8 MANAGEMEN STRES
1. Stres dan kesehatan fisik
2. Stres dan kesehatan mental
3. Stres di tempat kerja
4. Stres dalam parenting
- Mengelola kesehatan mental diri sebagai orangtua
- Menangani stress sehari-hari dalam mengasuh anak
5. Mengenali Stres
- Empat tahap managemen stres
6. Dukungan sosial
7. Sepuluh tips mengurangi stres

Ilmu 9 MASALAH SPESIFIK KELUARGA
1. Anak dan Perceraian
2. Co-parenting
3. Parenting dan orangtua tiri
4. Parenting dan orangtua tunggal

Yeti Widiati 150716
POLA TEMPERAMEN ANAK - yws

Mengacu pada penelitian longitudinal New York* yang menurut saya masih relevan untuk anak Indonesia, dinyatakan bahwa ada 3 pola temperamen pada anak.

1. "Easy" Child
Sekitar 40% anak adalah termasuk easy child. Anak-anak yang termasuk kelompok ini, pada umumnya moodnya stabil, senang. Fungsi biologis berjalan baik (mudah makan, tidur dan aktif bergerak) dan mudah menerima pengalaman baru. Secara sosial juga mudah memasuki dan bertemu dengan orang serta situasi baru.

2. "Difficult" Child
Sekitar 10% termasuk kelompok ini. Ditandai dengan sensitivitas yang lebih tinggi, sehingga mudah kesal, menangis, frustrasi namun juga mudah tertawa terbahak-bahak. Ia perlu usaha lebih besar untuk tenang. Fungsi biologis ritmenya tidak teratur, misalnya dalam hal makan, tidur, termasuk buang air. Kurang suka hal-hal baru, dalam hal makanan, situasi sosial, orang-orang baru. Lambat beradaptasi.

3. "Slow to Warm Up" Child
15% anak berada di antara easy dan difficult child, dalam hal kecepatan berespon dan beradaptasi dengan lingkungan. Ia membutuhkan waktu lebih lama daripada easy child namun lebih cepat daripada difficult child baik dalam mood, fungsi biologis, minat terhadap hal-hal baru dan berespon terhadap lingkungan sosial.

Masih ada 35% anak yang tidak termasuk dalam pola-pola di atas. Mereka misalnya, anak-anak yang mungkin fungsi biologisnya termasuk easy child, namun dalam hal adaptasi sosial termasuk dalam difficult child. Atau anak-anak yang punya minat terhadap hal-hal baru, namun dari sisi mood sangat mudah berubah.

Pemahaman kita (orangtua dan guru) mengenai pola temperamen anak ini, bukanlah dimaksudkan untuk melakukan judge atau labelling, namun lebih pada pengetahuan sehingga kita dapat menghandle anak dengan lebih efektif saat menghadapi suatu situasi tertentu.

Orangtua dan guru yang peka dan peduli pada pola temperamen anak, akan mengembangkan strategi lebih variatif ketika misalnya, menghadapi anak yang sulit makan makanan baru, daripada ikut terbawa kesal dan frustrasi ketika anak "mogok makan".

Dari pengamatan saya terhadap ragam kasus anak, maka poin utamanya tetap adalah pada bagaimana pola asuh atau bagaimana orangtua memperlakukan anak. Anak-anak yang termasuk "easy" child juga bisa bermasalah bila orangtua tidak menghandle atau memanfaatkan resources ini dengan baik.

Tantangan pada orangtua yang memiliki easy child, adalah pengabaian pada anak atau bahkan kesombongan, ketika orangtua mengira bahwa karena dirinya-lah anak menjadi baik dan kemudian mulai mengkritisi orangtua lain yang dipandang "gagal" menghandle anaknya.

Difficult child dan Slow to warm child pun bisa menimbulkan masalah yang lebih besar ketika orangtua menyerah, "Ah anak saya sih memang begitu, kalau gak dikasih keinginannya nanti nangis kejer, repot. Mending di kasih saja," Atau sebaliknya bersikap terlalu kaku dan memaksa, "Pokoknya mau gak mau anak itu harus nurut ...". Sikap-sikap seperti ini menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari.

Allah itu adil, setiap orangtua dikarunia anak dengan tantangan yang sesuai dengan kemampuannya. Tugas kita sebagai orangtua adalah melakukan sebaik yang bisa kita lakukan.

*Sumber Experience Human Development, Diane E. Papalia, 13th

Yeti Widiati 201016

Selasa, 18 Oktober 2016






Ini adalah foto tahun 2012, saat kontrol terakhir dengan Prof. David David, setelah ditangani (operasi dan pendampingan) selama 16 tahun. Dikatakan "terakhir" karena Prof. David mengatakan bahwa proses rekonstruksi untuk mengembalikan fungsi organ, dipandang telah selesai.

Sejak lahir Ghina menyandang Crouzon Syndrome, kelainan pada struktur tulang kepala yang mengganggu fungsi organ di kepalanya. Pada usia Ghina 1,5 tahun, (tahun 1996 awal), kami memperoleh rekomendasi untuk berkonsultasi dengan Prof. David David (dulu masih bergelar Mr.) seorang dokter ahli Craniofacial dari Adelaide Australia.

Kami memperoleh kesempatan bertemu, saat Prof. David berkunjung Indonesia.
Dari pertemuan pertama ini, kami memperoleh gambaran lebih jelas mengenai apa yang bisa kami lakukan untuk membantu perkembangan putri kami baik dari sisi medis maupun psikologis.

Operasi rekonstruksi pertama saat Ghina usia 2 tahun (1996), untuk memberikan ruang bagi otaknya berkembang, sebagai upaya menghindari keterbelakangan mental, gangguan syaraf dan juga rasa sakit kepala yang luar biasa.

Operasi kedua usia 8 tahun (2002), memperbaiki mid-face, terutama untuk menyelamatkan mata dari tekanan terlalu besar yang bisa menyebabkan kebutaan, dan juga memperbaiki rahang.

Operasi ketiga usia 16 tahun, Ghina sudah duduk di bangku SMA. Juga memperbaiki mid-face. Titik beratnya pada rahang, membuat tulang pipi dan memperbaiki dahi.

Proses operasinya sendiri adalah satu tantangan besar, tapi memelihara hasil operasi dan mengembangkan aspek perkembangan lainnya ternyata juga tidak sederhana. Sejak awal Prof. David mengatakan, "Saya melakukan operasi, itu bagian saya, tapi anda orangtuanya yang memelihara hasil operasi ini karena ini adalah proses perubahan jangka panjang."

Dan saya mengapresiasi Prof. David yang selalu memberikan penguatan pada setiap pertemuan konsultasi (2 kali setahun) saat ia berkunjung ke Indonesia. "Hello Blossom ... " dan "Thank you, you did great job as parent. You make my job, easier ..." adalah kalimat yang selalu diucapkan saat menyapa Ghina dan saat pertemuan selesai.

Semua proses sejak awal hingga saat akhir adalah proses pembelajaran luar biasa.

Thank you Prof. David. Saya percaya, setiap kebaikan akan berbuah kebaikan.
Wish you all the best.

Yeti Widiati 181016

Senin, 17 Oktober 2016

READ ALOUD - yws


Pada umumnya, bayi dan anak-anak senang dibacakan buku cerita. Bukan hanya karena content cerita yang menarik, tetapi juga pada proses interaksi selama dibacakan buku.

Sayangnya tidak semua orangtua senang membacakan buku, apalagi membacakan berulang-ulang buku yang sama. Merasa bosan, sia-sia, tidak terlalu penting, tidak sabar, tidak sempat/tidak ada waktu dan bahkan merasa tidak mampu, acap menjadi alasan para orangtua.

Apa keuntungan membacakan buku dengan suara keras (read aloud) pada anak? Ah, saya percaya banyak orangtua sudah tahu tentang hal itu. Selain meningkatkan ikatan/bonding emosional orangtua-anak, yang juga penting adalah meningkatkan kemampuan berpikir/kognitif anak.

Bagaimana kemampuan kognitif bisa meningkat?
- Karena wawasan pengetahuan anak bertambah besar.
- Kosa kata pun bertambah kaya.
- Anak belajar alur berpikir/sistematika yang benar.
- Cerita yang baik juga berpeluang memberikan anak kesempatan memperoleh alternatif problem solving.
- Dengan penyajian yang tepat, juga bisa merangsang kemampuan berpikir kritis anak.
- Mendorong minat belajar dan literasi
- Dll.

Penelitian menunjukkan ada korelasi positif antara anak yang memiliki kemampuan berbahasa (mengungkapkan ide melalui bahasa) yang baik, dengan tingginya kemampuan berpikir anak.

"Read Aloud" yang baik bukan hanya sekedar membacakan buku, namun ada interaksi dan pelibatan anak dalam proses berupa tanya jawab misalnya.

Ada paling tidak 3 jenis style "Read Aloud", yaitu
1. DESCRIBER
Orang yang membacakan cerita dengan style Describer, berfokus pada "menggambarkan" apa yang terjadi dalam cerita atau gambar yang dibacakan dan mengajak anak menggambarkan kembali atau memperagakan apa yang diceritakan.

Contoh pertanyaan yang diajukan:
“Kucingnya kelihatannya seperti apa?"
"Apa yang dimasak ibu untuk sarapan?"

Style ini bisa menambah kosa kata dan wawasan pengetahuan anak mengenai beragam hal. Sehingga sesuai untuk bayi dan anak-anak yang kosa katanya belum banyak.


2. COMPREHENDER
Membacakan buku dengan style Comprehender, mendorong anak untuk melihat lebih dalam pada makna cerita, membuat kesimpulan, dan melakukan prediksi.

Contoh:
“Menurut kamu, singanya sekarang mau ngapain?”
"Bagusnya kita melakukan apa kalau kita menyinggung perasaan teman?"
"Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari cerita ini?"

Ada kemampuan analisis, problem solving, antisipasi yang dieksplorasi. Kemampuan-kemampuan ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi.


3. PERFORMANCE-ORIENTED READER
Orang yang membacakan buku dengan style ini, menyampaikan cerita dengan merancangnya sebagai suatu pertunjukkan yang menarik. Ada pendahuluan dengan menyampaikan tema sebelumnya, paparan isi yang dikemas menarik dan mengajukan pertanyaan sesudahnya.

Model ini baik untuk membuat anak tertarik dengan aktivitas membaca buku.

Tidak ada style membacakan buku yang terbaik bagi anak. Masing-masing style di atas adalah penting dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan anak. Kapan kita bergaya teatrikal dan membuat anak terpesona saat membaca buku, kapan kita memberi kesempatan anak yang berbicara lebih banyak, dan kapan kita mestimulasi anak untuk menggali lebih dalam kemampuan berpikir dan merasanya.

Coba semua yuk ...


Yeti Widiati 171016

Jumat, 14 Oktober 2016

INGATAN BATITA - yws

Ketika bungsu saya berusia sekitar 2 tahun, saya menemukan flash card perkalian di sebuah toko buku, dan lalu membelikannya untuk melengkapi permainan yang dimilikinya. Flash card ini menarik, tidak hanya ada angka yang ditulis dengan bentuk-bentuk lucu, tapi juga ada gambar-gambar berwarna yang catchy untuk anak usia tersebut. Hanya dalam jangka waktu beberapa bulan kemudian, bungsu saya dengan lidah pelonya, bisa menyebutkan perkalian 1 sampai 10 dengan baik. Dan ia menjadi bertambah bersemangat ketika konsekuensi yang diterimanya menguatkan.

Apakah bila anak usia 2 tahun bisa menyebutkan perkalian dengan benar berarti ia sudah paham prinsip perkalian dalam matematika? Tidak, karena ia hanya menghafal gambar dan menyebutkan nama gambar tersebut.

Dengan cara yang sama, apakah bila seorang anak batita hafal ratusan lagu dia sudah paham dengan isi/makna lagu tersebut? Tidak juga, karena dia hanya menghafal kata yang terkait dengan irama, ritme atau bahkan gerakannya bila ada.

Kalau begitu buat apa menghafal dan seberapa batita bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi?

Mengingat adalah salah satu aspek kognitif yang penting tapi bukan paling penting. Penting karena menjadi fondasi dari fungsi kognitif lainnya yang lebih tinggi. Mengingat bisa menunjukkan kemampuan daya tangkap, fokus, minat, bahkan juga besarnya pengaruh emosi.

Ingatan batita bersifat jangka pendek. Karena perubahan yang sangat cepat terjadi pada tahapan usia ini, maka mereka tidak menyimpan terlalu lama suatu informasi baru. Batita hanya akan menyimpan lebih lama suatu informasi ketika informasi tersebut dapat dipergunakan lebih lama, atau memiliki kaitan secara spesifik dengan kejadian khusus yang luar biasa.

Berbeda dengan orang dewasa yang ingatannya berdasar bahasa (language-based memories), maka ingatan batita berdasar sensori dan kinestetik. Oleh karena itu untuk membuat batita mengingat, tidak cukup hanya menyuruh dan menasihati (bentuk informasi verbal), tanpa mencontohkan, membimbing, memuji, dll (melibatkan aspek sensori dan motorik lainnya).

Caroline Rovee-Collier, menemukan cara untuk "menggali" ingatan bayi dengan mengacu pada prinsip Operant Conditioning dari Skinner, seorang behaviorist atau ahli psikologi dengan pendekatan perilaku. Prinsip Operant Conditioning adalah mengacu pada konsekuensi dari perilaku. Diingat atau tidak diingat, diulang atau tidak diulang suatu perilaku itu bergantung pada konsekuensi yang terjadi.

Misalnya, seorang batita yang kebetulan melemparkan benda kemudian benda tersebut memantul dan ia kemudian menjadi penasaran, maka ia akan mengulangi kembali perilaku melempar benda tersebut. "Penasaran" di sini adalah konsekuensi yang terjadi.

Atau seorang batita yang menjatuhkan vas bunga, vas bunga pecah dan kemudian ibunya berteriak sehingga ia kaget. Maka ia mungkin tidak akan mengulangi lagi perilaku menjatuhkan tersebut karena ia tidak nyaman dengan teriakan ibunya (konsekuensi).

Tapi cukupkah satu kejadian membuat anak mengingat selamanya? Gak cukup lah ...

- Ada daya ingat (seberapa lama kemampuan anak menyimpan informasi baru),
- Frekuensi (seberapa sering stimulus terjadi),
- Intensitas (seberapa kuat stimulus yang diperoleh), meliputi asosiasi (kejadian lain yang terkait), dan aspek sensori/Vakog yang terlibat.

yang semuanya perlu diperhatikan saat menyampaikan informasi pada anak.

Bayi usia 2 bulan umumnya hanya mengingat selama 2 hari.
sementara usia 18 bulan mengingat selama 13 minggu. Semakin besar usianya maka kemampuan mengingat akan lebih besar. Terlebih ketika kemampuan berbahasa sudah berkembang.

Itu kenapa, pendidikan itu melalui proses dan memakan waktu.

Yeti Widiati 141016

*Batita = mengacu pada anak usia 0-3 tahun
*Vakog = Visual (penglihatan), auditori (pendengaran), kinestetik (gerakan), olfaktori (penciuman), gustatori (pengecapan).

Jumat, 07 Oktober 2016

KURANGI NASIHAT, PERBANYAK BERTANYA - yws

Nah, apakah kita tidak boleh menasihati? Masak kita tidak boleh menasihati anak? Padahal, saling menasihati adalah salah satu perintah dalam agama apa pun.

Ya, nggak lah. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh menasihati. Saya mengajak kita para orangtua dan guru untuk juga mengimbangi nasihat dengan bertanya.


Mengapa bertanya itu penting? Saya membatasi terutama dalam konteks pendidikan anak.
1. Bertanya memberi kesempatan pada orangtua untuk memperoleh gambaran sejauh mana anak paham akan suatu hal. Sehingga ketika kita perlu menasihati, maka kita akan menasihati dengan lebih efektif, karena hanya menjelaskan apa yang tidak diketahui anak. Menjelaskan hal-hal yang sudah diketahui anak berulang-ulang, malah kontraproduktif karena membuat anak enggan mendengarkan.

2. Bertanya memberi kesempatan pada anak untuk berpikir logis, melakukan proses analisis, bahkan hingga pemecahan masalah. Hal ini terutama bila pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan terbuka, sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengelaborasi pemikirannya. Dalam proses ini, orangtua juga memperoleh kesempatan untuk membimbing cara berpikir anak.

3. Bertanya memberi kesempatan pada anak untuk melakukan introspeksi, berpikir abstrak dan mendalam, hingga memperoleh insight.
Kemampuan berpikir anak, berkembang mulai dari sensori, konkrit hingga menjadi abstrak. Pergeseran level tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan bahasa dan juga stimulasi berpikir yang diperoleh melalui tanya jawab, diskusi, dan proses berpikir tingkat tinggi lainnya.

4. Bertanya memberi kesempatan anak untuk mengembangkan kemandirian dan keberanian mengambil keputusan.
Cara ini sangat powerful bagi remaja, karena mereka berada pada titik kritis transisi dari kebergantungan menjadi kemandirian, termasuk kemandirian dalam berpikir. Proses tanya jawab yang memberi kesempatan diperolehnya kesimpulan secara mandiri, secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kepercayaan diri anak dan remaja, karena mereka merasa menemukan sendiri penyelesaian masalahnya.

Saya kira masih banyak manfaat yang diperoleh dari bertanya. Hal tersebut tidak diperoleh, jika kita hanya menasihati satu arah saja.

Bahkan Tuhan dan para Nabi pun mengajar dengan cara bertanya.

"Maka, tidakkah kamu memikirkannya?" (QS. Yusuf: 109)

Yeti Widiati 071016
MEKANISME PERTAHANAN DIRI IMMATURE - yws


Kemarin, saya menulis mengenai mekanisme pertahanan diri yang matang menurut Valliant, dalam menghadapi stres atau situasi yang (dipersepsi) tidak menyenangkan.


Sekarang, saya ingin menulis mengenai mekanisme pertahanan diri yang tidak matang/immature. Biasanya respon pertahanan diri yang immature ini dilakukan oleh anak-anak. Namun tidak sedikit juga orang yang lebih tua, melakukannya.


Beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri yang immature:
1. Acting Out: Ekspresi secara langsung yang didasari dorongan tidak sadar.
Misal; Marah dan mengamuk, ketika tidak siap menghadapi kritikan.


2. Fantasi: Kecenderungan untuk membuat keinginan menjadi fantasi dengan tujuan meredam konflik di dalam dan di luar diri.
Misal, anak yang berpura-pura berperan sebagai jagoan padahal dalam keseharian ia merasa direndahkan.


3. Mengidolakan seseorang yang dipersepsi memiliki kualitas yang sebetulnya diinginkan olehnya.


4. Introjeksi. Mengidentifikasi diri dengan ide atau value yang dimiliki seseorang yang dipandang lebih baik.


5. Pasif agresif. Agresi atau tindakan menghancurkan seseorang yang tidak disukai secara tidak langsung/pasif.
Misalnya, dengan membicarakan "di belakang", ketidakpatuhan, menunda-nunda melaksanakan tugas, dll.


6. Proyeksi. Cara mengurangi rasa cemas dengan memindahkan pikiran/perasaan yang kurang diterima, seperti kecemburuan, rasa benci, atau ragam emosi lainnya kepada orang lain. Ini adalah termasuk bentuk yang cukup sering digunakan.
Misal, seorang anak yang cemburu pada adiknya namun mengatakan bahwa adiknya lah yang cemburu padanya.


7. Somatisasi. Mengubah perasaan tidak nyaman terhadap orang lain kepada dirinya sendiri dalam bentuk sakit fisik.


8. Wishful Thinking. Membuat keputusan menggacu pada hal yang diinginkan, bukan berdasar data, logika rasional atau realitas.
Misal; Tidak percaya anak mencuri karena menurut orangtuanya, anak selalu baik.


Dalam kadar tertentu yang tidak sering, maka pola respon di atas dipandang wajar dan masih bisa diterima. Namun menjadi kurang baik, bila dilakukan terus-menerus.


Selalu ada jalan untuk memperbaiki diri.
1. Awalnya, adalah dengan jujur mengakui apa perasaan yang sesungguhnya dirasakan.
2. Memahami perasaan tersebut dan mengenali pesan atau kebutuhannya.
3. Mencari cara yang lebih matang/adaptif untuk memenuhi pesan dan kebutuhan dari perasaan tersebut.


Jadi, bila seseorang diejek (bisa benar bisa juga hanya perasaannya) oleh temannya dan ia menjadi marah. Akui perasaan tersebut dan terima. Kemudian temukan apa kebutuhan dari perasaan marah tersebut. Bila kebutuhannya adalah harga diri atau keinginan dihargai, maka temukan cara yang lebih matang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya dengan berfokus pada apa yang menjadi kelebihan atau pencapaian. Kemudian apresiasi kelebihan atau pencapaian tersebut.


Bila terjadi pada anak atau remaja, maka peran orangtua menjadi sangat penting untuk peka terhadap kecemasan anak dan tanda-tanda mekanisme pertahanan diri yang kurang sehat. Hal ini menjadi pijakan awal bagi anak untuk dapat mengembangkan cara yang lebih adaptif dalam berespon terhadap stres.


Yeti Widiati 280916
PERTAHANAN DIRI YANG MATANG DAN ADAPTIF - yws
(Konteks berespon terhadap stress)

Setiap makhluk hidup akan berusaha mempertahankan dirinya dari kehancuran. Ini adalah mekanisme alamiah yang dilakukan nyaris tanpa proses berpikir. Secara biologis, ketika orang makan, minum dan berhubungan seks, itu pun juga adalah upaya untuk mempertahankan diri. Orang lari menghindar dari bahaya atau sebaliknya balas menyerang untuk membela diri, semuanya pun juga dimaksudkan untuk mempertahankan diri. Bayi dilengkapi dengan refleksi "grasp" (tangan mencengkeram) itu pun adalah dasar dari pertahanan diri.

Dalam psikologi, ketika seseorang menghayati serangan kepada dirinya, misalnya berupa ejekan, yang dihayati sebagai ancaman untuk menghancurkan harga diri, maka orang pun otomatis akan melakukan mekanisme pertahanan diri, misalnya dengan menarik diri atau menjauh dari orang yang mengejek, atau sebaliknya membalas mengejek yang seringkali dengan konten yang lebih tajam. Bisa juga membalas dengan cara pasif agresif, menghancurkan tapi dari belakang. Membicarakan dan menyebar keburukannya "di belakang" adalah cara-cara pasif agresif karena tidak berani berhadapan langsung tapi begitu ingin membalas. Cara-cara seperti ini tidak menimbulkan kenyamanan pada diri, kenyamanan pada orang lain dan sekaligus tidak produktif dalam penyelesaian masalah.

Oleh karena itu selama mekanisme pertahanan diri (Defense Mechanism) menimbulkan emosi negatif yang membuat tidak nyaman pada semua pihak, dan malah memperburuk serta mempersulit penyelesaian masalah, maka saya menganggapnya cara tersebut kurang adaptif atau bahkan maladaptif.

Valliant, seorang psikiater, menyatakan, setidaknya ada 19 mekanisme pertahanan diri yang dapat mengindikasikan kematangan emosional seseorang. Paling tidak pemahaman kita mengenai mekanisme pertahanan diri yang matang ini bisa menunjukkan pada kita hal apa yang masih perlu kita kembangkan dan perkuat dalam diri.

1. Acceptance, atau penerimaan terhadap situasi tidak menyenangkan yang tidak dapat diubah. Dalam bahasa agama disebut "ikhlas".

2. Altruism. Berupa pelayanan sosial yang konstruktif dan menimbulkan rasa senang dan puas.

3. Antisipasi. Perencanaan realistis terhadap ketidaknyamanan yang mungkin dihadapi.

4. Keberanian, kesediaan dan kesiapan mental untuk menghadapi konflik, rasa takut, rasa sakit, ahaya, ketidak-jelasan, keputus-asaan, hambatan, perubahan dan tekanan.

5. Emosi yang terkendali. Kemampuan berespon terhadap tuntutan dengan ekspresi emosi yang santun dan diterima lingkungan.

6. Emosi yang tercukupi. Tidak bergantung pada persetujuan dan penolakan orang lain.

7. Forgiveness atau memaafkan. Hilangnya kebencian atau kemarahan terhadap sesuatu yang mengancam atau dipersepsi sebagai ancaman, ketidaksetujuan, kesalahan atau penolakan untuk berdamai.

8. Bersyukur. Perasaan berterima kasih atau apresiasi terhadap pencapaian orang lain. Bersyukur akan meningkatkan level kebahagiaan dan menurunkan tinggkat depresi dan stres.

9. Rendah hati. Adalah kesadaran seseorang untuk menghargai pendapat atau pikirannya sendiri tanpa merendahkan pikiran dan pendapat orang lain.

10. Humor. Ekspresi terbuka terhadap ide atau pemikiran (terutama yang tidak menyenangkan untuk dihadapi atau dibicarakan) yang memberikan kesenangan pada orang lain.

11. Identifikasi. Suatu cara untuk mencontoh/memodel seseorang baik dari sisi karakter maupun perilaku.

12. Rasa kasihan atau iba kepada orang lain.

13. Mindfulness. Fokus dan orientasi terhadap kondisi saat ini dengan penuh rasa ingin tahu, keterbukaan dan penerimaan.

14. Kesederhanaan. Proses menghilangkan hal yang berlebih-lebihan dan tetap berada dalam batasan yang masuk akal.

15. Sabar. Usaha untuk menghadapi situasi sulit (penundaan, provokasi, kritik, serangan) dengan menghindari berespon negatif.

16. Respek/menghormati. Keinginan dan kesediaan memperlihatkan penghargaan terhadap kualitas seseorang dan menunjukkan tindakan spesifik yang meningkatkan harga diri. Relasi yang didasari respek akan bertahan lebih lama.

17. Sublimasi. Transformasi atau mengubah emosi negatif, keinginan atau dorongan-dorongan ke dalam tindakan yang sehat dan dapat diterima. Misalnya, mengubah energi agresi ke dalam olah raga.

18. Suppresi. Suatu keputusan sadar untuk menunda memberikan perhatian terhadap pikiran, emosi atau kebutuhan dan memilih berfokus pada hal yang terjadi sekarang.

19. Toleransi. Kesediaan memberikan izin kepada suatu hal yang kurang disetujui.

Yeti Widiati 270916

*Defense (Inggris Amerika), Defence (Inggris British)
*Diterjemahkan bebas dan dilengkapi darihttps://en.wikipedia.org/wiki/Defence_mechanisms
TUBUH PUNYA MEMORI - yws

Pernah dong mendengar bahwa sentuhan adalah salah satu ekspresi bahasa kasih dan cinta? Bahasa cinta lainnya selain sentuhan adalah ucapan verbal, hadiah, pertolongan yang diberikan dan waktu yang diluangkan. Karenanya beberapa ahli menyarankan untuk mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui sentuhan. Baik itu berupa usapan, belaian, tepukan halus, ciuman, hingga pelukan. Sentuhan bisa sebagian tubuh (lengan, kepala, pundak) atau bahkan seluruh tubuh, seperti ketika saat memeluk erat.

Seorang ibu yang menidurkan bayinya, sering menyentuh bagian tubuh tertentu pada bayinya, agar ia bisa segera terlelap. Awalnya hanya trial error/coba-coba, hingga akhirnya ditemukan area sentuhan yang paling memberikan rasa nyaman. Sulung saya, cepat tertidur saat bayi, ketika alis matanya diusap berulang. Anak saya kedua, mudah tertidur jika dahinya diusap, Sementara bungsu saya, cepat tertidur ketika puncak kepalanya diusap dengan jari-jari saya. Bahkan hingga besar pun cara-cara sentuhan tersebut masih menimbulkan rasa nyaman ketika anak-anak saya sedang gundah atau saat sedang sakit, sehingga hingga kini pun saya masih kerap melakukannya.

Setiap sentuhan yang mengena pada tubuh kita akan tersimpan dalam memori. Ia bisa berfungsi sebagai pemicu untuk memunculkan emosi tertentu. Dalam bahasan Behavioristik (Conditioning) maka kondisi ini disebut "asosiasi" sementara dalam hipnosis dan hipnoterapi disebut "anchor". Dalam contoh anak-anak saya di atas, maka sentuhan di alis, dahi dan kepala, serta merta menimbulkan memori dan asosiasi dengan rasa nyaman.

Hal yang sebaliknya pun bisa terjadi. Bila seseorang pernah mengalami dipukul, dicubit, ditampar, atau mengalami kecelakaan berat sehingga terluka pada area tubuh tertentu, maka area-area tersebut bisa menimbulkan memori tidak nyaman saat disentuh.

Seorang anak yang kerap dicubit di pahanya saat kecil, setiap ia membuat kesalahan. Masih merasakan "kesemutan" di area yang sering dicubit tersebut pada saat dewasa, setiap ia melakukan kesalahan. Dan itu menimbulkan rasa tidak nyaman.

Oleh karena itu bisa kita bayangkan bagaimana dengan anak atau orang yang kerap mengalami kekerasan dan bahkan pelecehan seksual. Maka area-area tubuh tertentu menjadi terasa tidak nyaman dan menimbulkan emosi negatif, saat disentuh, atau saat menghadapi kejadian yang terasosiasi dengan pengalaman buruk tersebut.

Ada saja mereka yang akhirnya "membenci" bagian-bagian tubuh tertentu pada dirinya, karena mengingatkan pada kejadian buruk dan membangkitkan asosiasi dengan emosi negatif.

Pengetahuan tentang sentuhan ini bisa dimanfaatkan untuk ragam kebutuhan. Misalnya untuk menenangkan diri sendiri atau seseorang, kita bisa menyentuh bagian tubuh tertentu yang dapat menimbulkan kenyamanan. Atau bila tidak memungkinkan untuk menyentuh, karena alasan batas kesopanan, berbeda jenis kelamin atau berjarak lokasinya, maka kita bisa mengajaknya untuk membayangkan saat-saat disentuh tsb.

Bagi para orangtua, pengetahuan tentang sentuhan ini dapat menginspirasikan, kapan dan bagaimana memberikan sentuhan sesuai kebutuhan anak-anak kita. Kapan anak membutuhkan pelukan erat, usapan atau tepukan? Termasuk, apakah seorang remaja laki-laki masih pantas dipeluk dan dicium di tempat umum. Di sini kepekaan orangtua menjadi sangat penting.

Yeti Widiati 230916
FORGIVENESS, SALAH SATU CARA MEMPERTAHANKAN DAN MELINDUNGI DIRI DARI KEHANCURAN - yws

Ketika kita menghadapi situasi tidak nyaman atau bahkan mengancam dalam hidup, misalnya seperti stres, cemas, rasa takut, phobia, pengalaman traumatis, dll, maka diri kita akan mengembangkan suatu mekanisme otomatis untuk melindungi dan mempertahankan diri kita. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal dengan sebutan Defense Mechanism.

Emosi negatif yang dibiarkan dan bahkan dipupuk untuk selalu hidup, misalnya; kecemasan dan rasa takut terhadap suatu situasi, marah pada obyek yang dianggap mengancam, kesedihan karena kehilangan, yang dibiarkan berlarut-larut, lama kelamaan akan menggerogoti kesehatan diri, baik secara mental maupun secara fisik. Ragam bentuk keluhan fisik maupun penyakit pun dapat terjadi, seperti misalnya; sakit perut, pusing-pusing, sesak nafas, dll.


George Eman Valiant, seorang psikiater, mengatakan, ada 46 jenis defense mechanism yang terbagi ke dalam 4 level klasifikasi, Patologis, Immature, Neurotik dan Mature.

Defense mechanism yang dewasa/mature memiliki 19 bentuk. Umumnya ditemukan pada orang dewasa yang matang dan sehat secara emosional sekalipun dalam perjalanan hidupnya, ia pernah mengalami masa-masa sulit.

Orang-orang ini, belajar dan beradaptasi bertahun-tahun dengan situasi sulit yang dialaminya, sehingga ia bisa berfungsi baik di masyarakat. Penggunaan mekanisme pertahanan diri ini meningkatkan kepuasan dan perasaan terkendali. Cara ini juga membantu mengintegrasikan emosi dan pikiran yang saling bertolak belakang agar tetap berfungsi efektif. Mereka yang menggunakan cara ini biasanya dikenal sebagai orang yang baik dan berbudi luhur.

Forgiveness atau memaafkan adalah salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang mature/dewasa, yang ditandai dengan berhenti atau hilangnya rasa benci atau marah terhadap objek yang dipandang "menyerang," dan tidak sepakat, sehingga orang tersebut pulih dari penderitaan karena rasa marah/benci dan emosi positif terbentuk.

Tidak mudah bagi setiap orang untuk dapat memaafkan orang lain, terutama saat cara pandangnya menempatkan diri sebagai "korban" yang membuatnya menjadi merasa lemah dan tak berdaya.

Dibutuhkan waktu dan usaha terus-menerus untuk belajar ragam teknik pemaafan. Tujuan sehat dan bahagia, biasanya memberikan energi besar dan cukup efektif untuk memacu usaha.
HOMESCHOOLING, PILIHAN YANG MEMBUTUHKAN TANGGUNG JAWAB - yws

Dibanding 18 tahun lalu saat saya mempertimbangkan homeschooling untuk putri saya, maka istilah homeschooling sekarang sudah lebih dikenal. Banyak yang mengikuti dan bahkan sudah banyak provider homeschooling lokal yang menyediakan jasa kurikulum, buku, guru privat dan bahkan tempat belajar sendiri. Homeschooling yang saya lihat sekarang, menurut saya, sudah jauh bergeser dari semangat homeschooling seperti yang saya kenal pertama kali.


Hal yang menguntungkan sekarang adalah bahwa "lulusan" program homeschooling saat ini sudah diakui oleh Diknas sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan formal. Sesuatu yang mustahil dilakukan 18 tahun lalu, yang menyebabkan para orangtua homeschooler betul-betul adalah para pionir. Mereka berani menentang arus sistem pendidikan saat itu dan memberikan pendidikan pada anaknya dengan disain dan pendekatan yang mereka rancang dan lakukan sendiri. Mereka juga siap menerima konsekuensi dan risiko dari pilihan-pilihannya baik dari sisi pandangan masyarakat maupun dari sisi ketentuan formal sistem pendidikan.

18 tahun lalu (dan bahkan mungkin sebelumnya) sistem homeschooling didasari oleh semangat dan keinginan untuk memberikan pendidikan terbaik sesuai versi orangtua. Mereka (para orangtua) biasanya memandang bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga pendidikan formal kurang sesuai untuk anaknya dengan berbagai alasan. Umumnya karena orangtua memiliki value yang berbeda atau karena anak memiliki kekhususan. Perkembangannya sekarang, ada banyak orangtua yang melakukan homeschooling bukan karena alasan-alasan ideal tapi justru karena alasan praktis. Misalnya, karena anak tidak mau sekolah di sekolah formal dan merasa bebas serta nyaman jika belajar di rumah.

Program pendidikan homeschooling idealnya dilakukan sendiri oleh orangtua, bukan oleh orang lain atau lembaga lain. Oleh karena itu program ini sebetulnya mempersyaratkan kesiapan orangtua yang luar biasa, antara lain dalam hal:

1. Konsep pendidikan yang jelas. Orangtua perlu mencanangkan target pendidikan yang jelas baik jangka panjang maupun jangka pendek. Jangka pendek bukan hanya bicara tahunan, tapi juga semester, bulan dan bahkan turun kepada target harian. Semua target ini yang akan diturunkan ke dalam rencana belajar dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh orangtua dalam bentuk sistem pendidikan yang terpadu.
Target juga bukan hanya meliputi aspek kognitif (pengetahuan atau ketrampilan tertentu yang perlu dikuasai) namun juga menyangkut target perilaku dan karakter yang ingin dibangun. Karenanya pengetahuan dasar mengenai kurikulum menjadi penting oleh orangtua.

2. Peran aktif dan kesepakatan antar suami-istri
Sistem pendidikan homeschooling menuntut keterlibatan aktif dari ayah dan ibu. Keduanya perlu bersepakat dan mempersiapkan hingga hal-hal detail. Tidak akan berhasil apabila satu pihak terlibat habis-habisan sementara yang lain apatis dan tidak peduli.

3. Waktu
Orangtua sebagai perencana dan juga pelaksana program pendidikan, maka berarti ia perlu memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Semua kesempatan di rumah sebetulnya termasuk dalam pendidikan, bukan hanya pada saat belajar mata pelajaran tertentu. Karena ketika berbicara tentang pendidikan value dan karakter, maka seluruh aktivitas adalah proses pembelajaran.
Oleh karena itu adalah sangat riskan bagi para orangtua yang ayah ibunya sibuk bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore tapi memutuskan anaknya menjalani program homeschooling. Ada sementara orangtua yang sibuk, mengira bahwa dengan memanggil guru privat ke rumah dipandang sudah cukup memadai. Padahal yang namanya pendidikan bukan hanya penguasaan pengetahuan dan ketrampilan.

4. Motivasi dan minat belajar orangtua
Karena anak adalah tanggung jawab kedua orangtua, maka untuk melaksanakan program ini, motivasi orangtua harus sangat besar. Mereka harus memiliki dorongan untuk mencapai target ideal jangka panjang yang cukup kuat yang membuat mereka bisa bertahan melakukan program ini dalam jangka panjang. Program yang berlangsung setiap hari setiap saat menguras energi cukup besar sehingga kerjasama dan motivasi yang kuat menjadi sangat penting dan merupakan "bahan bakar" utama berjalannya "mesin" pendidikan di rumah.
Curiousity atau rasa ingin tahu serta minat belajar pada orangtua juga perlu terus diasah. Sehingga seiring dengan berkembangnya anak, orangtua pun juga ikut berkembang dan tidak stagnan. Sumber-sumber belajar yang variatif perlu dicari dan dikembangkan terus-menerus.

5. Jaringan atau komunitas
Dukungan dari kelompok yang memiliki visi yang sama adalah penting. Selain untuk saling menguatkan secara psikologis juga untuk memperoleh berbagai sumber belajar yang lebih variatif. Program homestay bisa dilakukan di antara keluarga homeschooler sehingga mereka memperoleh pengayaan lebih luas dan juga belajar sosialisasi dalam kelompok yang terkendali dan sudah dipercaya. Sehingga kecurigaan sementara orang bahwa homeschooler kurang bisa bersosialisasi bisa ditepis.

6. Dukungan Materi
Keinginan untuk memberikan yang terbaik kadang (tidak selalu) perlu didukung dengan fasilitas yang memadai. Bisa berupa penyediaan media pembelajaran maupun biaya yang dibutuhkan untuk kunjungan ke berbagai tempat. Dari pengalaman beberapa homeschooler, justru biaya yang dikeluarkan untuk proses pendidikan bisa jauh lebih murah bila dibandingkan dengan menyekolahkan anak ke sekolah formal. Di sekolah formal ada biaya seragam, bangunan dan bahkan penyediaan materi belajar yang kadang di mark up.
Dulu, ketika program homeschooling belum diakui Diknas, maka orangtua homeschooler mau tidak mau harus menyediakan biaya bagi anak melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Karena saat itu hanya perguruan tinggi luar saja yang menerima anak "lulusan" homeschooling.

7. Antisipasi terhadap kondisi luar biasa
Ada konsistensi yang dibutuhkan agar anak memperoleh pendidikan secara optimal. Bagaimanapun selalu ada kondisi yang tidak terduga. Kendala yang perlu dipikirkan oleh orangtua meskipun tentunya tidak diharapkan, antara lain bila salah satu atau kedua orangtua tidak bisa melanjutkan melaksanakan program homeschooling ini. Entah karena sakit, perpisahan, perubahan konsep dan motivasi, kehilangan dukungan materi atau bahkan karena meninggal.
Bila hal yang tidak diharapkan terjadi maka orangtua sejak awal harus sudah mempersiapkan apa yang akan dilakukan. Apakah menghentikan program, dan anak masuk ke sekolah formal. Ataukah melanjutkan program dengan memilih orang yang akan menggantikannya.

*Bagaimanapun memilih melaksanakan homeschooling perlu didasari oleh pilihan yang bertanggung jawab dan keterlibatan yang tinggi. Bukan hanya sekedar pelarian karena anak tidak mau belajar di sekolah formal.

Yeti Widiati S. 150914
KURBAN, KESEMPATAN MENGEMBANGKAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK – yws

Mengapa orang harus sholat?
Mengapa kita perlu shaum?
Kapan anak boleh menyaksikan hewan kurban disembelih?
Kapan anak mulai belajar mengenakan jilbab?
Mengapa orang-orang berhaji?
Dll ...

Semua ibadah seyogyanya menjadi sarana mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Sholat, zakat, shaum, haji, membaca Qur’an, dll. adalah ibadah yang tidak hanya dilatihkan dan dibiasakan, namun juga perlu ditanamkan maknanya. Hanya saja, saking rutinnya melakukan hal-hal tersebut, sehingga kadang kita luput memahamkannya makna ibadah-ibadah tersebut.

Untuk menjadikan suatu value terinternalisasi, maka kita perlu memahami (kognitif), menghayati (afektif) dan juga menerapkannya dalam perbuatan (psikomotorik). Begitupun dengan beribadah. Seperti Ibrahim yang saat belia mempertanyakan Tuhan-nya kepada Azar ayahnya, maka kita pun sebagai orangtua perlu membuka diri untuk menjadi tempat bertanya. Bahkan pun ketika anak tidak bertanya, kita merangsang mereka untuk bertanya. “Wah, kalau mereka tidak bertanya, lalu kita rangsang mereka bertanya, malah repot nantinya ...” begitu sementara ibu berkata. Justru itulah titik pentingnya merangsang anak bertanya, sehingga kita tahu sampai sejauh mana pemahaman anak dan apakah perlu diluruskan atau tidak.

Anak sampai usia sekitar 8 atau 9 tahun (ada yang lebih cepat dan ada yang lebih lambat) pada umumnya memiliki pemikiran yang konkret dan sederhana. Mereka belum cukup mampu berpikir abstrak, mendalam termasuk memahami hal-hal yang bersifat filosofis. Dalam banyak hal, mereka juga masih sulit mencerna dan membedakan hal-hal yang bersifat imajinatif. Itulah mengapa kita para orangtua perlu melakukan pendampingan saat mereka menonton film apalagi film kartun. Tikus yang memukul kucing dengan palu, lalu kemudian kucingnya kembali berlari-lari, adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak masuk akal bagi orang dewasa namun bagi banyak anak dipandang real. Sehingga mereka bisa melakukan hal yang sama di dunia nyata.

Begitu pun dalam ritual ibadah, ada banyak hal yang bersifat filosofis, yang perlu diolah dan dicerna secara mendalam yang sebetulnya tidak mudah dipahami anak. Betul, bahwa tidak semua hal bisa dirasionalkan karena ada bagian-bagian dalam agama yang hanya membutuhkan keimanan dan kepatuhan. Namun menurut saya, masih sangat terbuka pintu penjelasan itu bagi anak-anak yang memang membutuhkannya agar mereka tidak salah mengartikan, dan lebih jauh, agar mereka semakin bertambah kuat keimanannya namun tetap memelihara sikap kritisnya. Seperti Ibrahim yang memang pada akhirnya orangtuanya tidak bisa menjawab, tapi ia mencari terus, dan akhirnya ia sampai pada kesimpulannya untuk hanya patuh pada Tuhan Pencipta alam semesta.

Sehingga ketika esok kita bersiap berangkat ke lapangan untuk sholat Ied, mengenakan pakaian terbaik, mengajak anak menyaksikan pemotongan hewan kurban, mengajak anak membagikan daging kurban, semoga itu semua menjadi kesempatan luar biasa untuk berbincang dan berdiskusi dan menanamkan value kebaikan serta keimanan pada anak.

Selamat Idul Adha
Semoga kita dapat meneladani kepatuhan Ibrahim, kesabaran Siti Hadjar dan keikhlasan Ismail
Dan semoga kurban kita diterima Allah SWT.
Aamiin ....

Yeti Widiati 110916

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...