Senin, 14 November 2016

RAGAM RASA "TAKUT" PADA ANAK - yws

"Takut" adalah salah satu jenis emosi. Setiap emosi memiliki informasi dan pesan. Dengan pesan itu, maka kita tahu apa yang dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami emosi tersebut. Misalnya, emosi marah, memberi informasi dan pesan bahwa seseorang tidak suka menghadapi suatu keadaan dan mencoba melawan.

Oleh karena itu ekspresi emosi adalah salah satu bentuk komunikasi seseorang kepada lingkungannya bahwa ada kebutuhan yang perlu dipenuhi.

Dalam konteks perkembangan anak, maka adalah wajar dan alamiah seorang anak untuk menampilkan ekspresi emosinya, misalnya, menangis karena sedih, cemberut ketika kesal, pucat dan mengkerut saat takut, tersenyum atau tertawa saat senang, dll. Yang kerap menjadi masalah adalah jika orang-orang di sekelilingnya tidak cukup peka atau tidak suka dengan bentuk ekspresi emosi yang ditampilkan sehingga mengabaikan atau berusaha untuk menekan, melarang atau memaksa hilang atau mengganti suatu emosi tertentu.

Cara ini sebetulnya menjadi kontraproduktif, karena anak menjadi merasa terabaikan, tidak terpenuhi kebutuhan atau pesan emosinya dan kehilangan kesempatan untuk belajar mengelola emosinya sejak dini.

Sebagai contoh, seorang anak yang menangis karena melihat ondel-ondel, kemudian orang di sekitarnya alih-alih mengajarkan cara menghandle emosinya secara adaptif malah merendahkan atau bahkan menakut-nakuti/mengancam anak dengan ondel-ondel, "Awas kalau gak mau belajar nanti ada ondel-ondel nyulik kamu ..."

Seperti ragam emosi lainnya, maka emosi takut pun memiliki informasi dan pesan bahwa seseorang tidak suka menghadapi suatu situasi namun merasa tidak berdaya menghadapinya. Ia membutuhkan bantuan dan perlindungan agar rasa takutnya berkurang.

Bila kita ingin membantu anak untuk dapat mengelola emosinya dan berespon secara adaptif terhadap emosi tersebut, maka kita perlu peka dan menangkap pesan emosi tersebut.

Berikutnya, saya menjabarkan ragam jenis takut yang biasa muncul pada anak usia 0-12 tahun, (Diane Papalia, Human Development). Tentunya bisa berbeda pada beberapa anak. Namun paling tidak pengetahuan ini bisa menjadi jalan bagi kita para orang dewasa untuk membantu anak dalam mengelola rasa takutnya, sehingga dapat berespon lebih adaptif.

1. Usia 0-6 bulan, bayi takut kehilangan perlindungan dan takut suara keras.

2. Usia 7-12 bulan, bayi takut pada orang asing, ketinggian, objek yang muncul tiba-tiba, situasi yang tidak terduga dan tidak terbayang.

3. Usia 1 tahun, anak takut berpisah dari orangtua, toilet, takut luka dan takut pada orang asing.

4. Usia 2 tahun, anak takut pada suara sangat keras (sirene, alarm, petir, ledakan, suara mobil truk), takut pada binatang, ruang gelap, terpisah dari orangtua, benda atau mesin besar, perubahan lingkungan, teman baru.

5. Usia 3 tahun, anak takut dengan topeng, badut, kegelapan, binatang, terpisah dari orangtua.

6. Usia 4 tahun, anak takut terpisah dari orangtua, kegelapan, suara-suara asing termasuk suara pada malam hari.

7. Usia 5 tahun, anak takut binatang, orang jahat, kegelapan, terpisah dari orangtua, takut pada sesuatu yang bisa menyakiti tubuh.

8. Usia 6 tahun, anak takut makhluk supranatural (hantu, jin, nenek sihir, dll), takut terluka, petir, kegelapan, tidur atau ditinggal sendirian, dan takut terpisa dari orangtua.

9. Usia 7-8 tahun, anak takut makhluk supranatural, kegelapan, peristiwa buruk yang diberitakan media (berita penculikan, pembunuhan, bencana alam, dll), takut sendirian dan takut terluka.

10. Usia 9-12 tahun, takut pada tes/ujian sekolah, takut mendapat nilai buruk, takut terluka, takut tampilan fisik buruk, takut petir, takut kematian dan kegelapan.

Jadi, apa yang perlu dilakukan orangtua saat anak takut?
- Peka terhadap ekspresi emosi takut anak yang ditampilkan melalui tubuh, maupun perilaku. Misal, muka pucat, badan mengkerut, bibir melengkung ke bawah, menggigil, tangan dingin atau berkeringat, mengompol, kehilangan nafsu makan, dll.
- Menemukan objek yang menimbulkan rasa takut pada anak.
- Menerima rasa takut anak secara verbal "Adek takut ya ...?" atau perilaku (memeluk). Hindari merendahkan, mengejek, menyuruh menghilangkan, mengalihkan perhatian, menyalahkan, dll.
- Berikan perlindungan, misal dengan memeluk dan memberikan perlindungan, "Sini sama Mama dulu ..."
- Ajarkan cara menstabilkan diri, misal, tarik nafas dulu pelan-pelan yaaa ..."
- Tunggu, beri kesempatan anak menenangkan diri.
- Sesudah tenang, baru jelaskan mengenai situasi yang dihadapi dan cara coping/menghadapinya secara adaptif. Misal, "Ya itu barusan namanya ondel-ondel. Memang sih ya, mukanya nyeremin. Tapi itu di dalamnya ada orangnya lho. Tuh coba lihat kakinya. Adek mau lihat orangnya? Gak apa-apa kamu takut dan kaget, nanti kalau sudah berani kita lihat orangnya yuk ... dst.

Perlu waktu? Ya. Perlu sabar? Ya. Hindari tergesa-gesa dan memaksa, beri waktu anak untuk menstabilkan diri.

Percaya deh, gak bakalan rugi. Keuntungan mengajarkan anak mengelola emosi akan diperoleh tahun-tahun selanjutnya, karena anak menjadi lebih memahami diri dan tahu bagaimana melakukan coping terhadap situasi yang membuatnya tidak nyaman.

Yeti Widiati 141116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...