Rabu, 23 November 2016

SEPARATION ANXIETY DAN ATTACHMENT - yws
(Konteks Perkembangan Anak)


Tahun 2002, saat si nona bungsu berusia 2 tahun, saya terpaksa harus meninggalkannya selama 2,5 bulan. Yaitu ketika saya harus mendampingi kakaknya operasi craniofacial di Australia.

Dibandingkan si sulung yang berusia 10 tahun, perpisahan ini lebih berisiko untuk si bungsu yang masih berusia 2 tahun. "Object permanency" masih menyisakan efeknya dalam bentuk yang lebih kompleks.

Object permanency adalah pemahaman bahwa suatu benda/object akan tetap ada sekalipun tidak dapat diindra. Pada bayi di bawah usia 1 tahun, kemampuan ini belum dimiliki sepenuhnya, sehingga ketika benda tidak terlihat, maka ia menganggapnya tidak ada. Kemampuan menyadari eksistensi benda adalah kemampuan penting dan signifikan untuk menunjukkan perkembangan kognitif seseorang.

Para orangtua yang saat ini punya bayi berusia beberapa bulan (di bawah 1 tahun) bisa melakukan eksperimen ini. Perlihatkan sebuah mainan di depan bayi anda, sampai anda yakin bahwa bayi anda tahu bahwa ada mainan yang terlihat. Kemudian di depan bayi anda (terlihat oleh bayi), tutuplah mainan tersebut dengan selimut. Jika bayi kemudian menoleh ke arah lain dan tidak mencari mainannya, berarti bayi anda belum memiliki kesadaran object permanency. Tapi bila bayi itu menarik selimut untuk mencari mainannya berarti kesadaran object permanency sudah dimiliki. Dia tahu bahwa tertutup bukan berarti tidak ada.

Fenomena object permanency adalah sangat wajar. Ini yang membuat bayi senang bermain 'ciluk ba'. Ia tertawa senang saat melihat wajah yang disukainya tiba-tiba terlihat. Perubahan ekspresi tertawa dan diam itu yang lucu dan menggemaskan bagi orang dewasa sehingga mereka tak bosan mengulanginya. Itulah juga mengapa bayi akan sering menoleh pada ibu/pengasuhnya saat ia sedang bermain, karena ia perlu memastikan bahwa pelindungnya ada, dan ia belum bisa diyakinkan dengan nasihat, bila ibu/pengasuh itu tidak terlihat bukan berarti dia hilang. Keyakinannya kuat hanya ketika benda itu bisa diindra.

Bagi bayi dan balita, ketika mereka mengira bahwa pengasuhnya "hilang" maka timbullah perasaan cemas. Perasaan cemas karena perpisahan ini bila terlalu lama terjadi akan berefek pada emosi dan perilakunya. Semakin panjang dan intens rasa cemasnya, efeknya akan semakin besar. Dari mulai hanya ekspresi sedih, kemudian menangis, marah, tidak mau makan, tidak mau main, dll. Gejala ini akan berhenti saat anak sampai di tahap acceptance, yaitu kesadaran dan penerimaan bahwa sesuatu sudah hilang. Tahap ini akan lebih mudah terjadi bila ada kondisi yang menggantikan kehilangannya. Entah itu saat ibu/pengasuhnya kembali, ada orang lain yang menggantikan atau bahkan anak sudah bertambah kemampuan kemandiriannya.

Nah, kembali pada cerita bungsu saya. Pada usia 2 tahun object permanency-nya sudah jauh lebih kompleks. Dia tahu bahwa sekalipun ibunya tidak terlihat, ibunya tetap ada dan akan kembali dalam jangka waktu tidak lama.

Dulu saat anak-anak saya balita, saya jarang meninggalkan anak berhari-hari. Biasanya hanya beberapa jam, dan tidak setiap hari. Saya penganut paham "Golden Age" sehingga saya memutuskan lebih banyak di rumah dan mendampingi anak, saat mereka masih balita (golden age).

Saya membuat SOP (Standard Operational Procedure) setiap akan pergi. Selain untuk menghindari separation anxiety juga untuk menunjukkan bahwa anak dihargai. Sebelum pergi, saya akan berkata, "Mama pergi dulu, Insya Allah Mama pulang jam 12 (misalnya). Jam 12 itu kalau jarum panjang dan pendek dua-duanya sudah di situ, di angka 12", sambil menunjuk pada jam karena anak belum bisa berhitung dan belum memahami konsep waktu. Kalau ternyata saya ada kemungkinan terlambat, maka saya akan menelpon, minta maaf dan menjelaskan kenapa saya terlambat. Saya menghindari menggunakan kata "sebentar lagi" yang tidak jelas batasnya. Anak perlu memperoleh 'kepastian' sehingga ia dapat mengembangkan kemampuan antisipasi dan meregulasi diri. Dengan alasan yang sama, saya juga sangat menghindari berbohong pada anak.

Ketika saya akan pergi mendampingi kakaknya operasi, saya tidak tahu akan berapa lama saya meninggalkan bungsu saya. Konsep waktu dan angka pun dia belum paham. Sehingga agak sulit bagi saya menjelaskan berapa lama saya akan meninggalkannya. Sehingga, sekalipun saya tetap menjalankan prosedur menjelaskan kepergian saya, namun saya menyadari bahwa setelah beberapa hari saya akan dianggap "hilang" oleh si bungsu. Jauh lebih penting bagi saya adalah menyediakan "jaring pengaman" bagi anak saya agar ia tidak mengalami perasaan kehilangan yang berlarut-larut. Daripada saya bersedih dan kecewa karena si bungsu "lupa" pada saya.

Saya minta bantuan ibu mertua saya untuk mendampingi anak saya selama saya pergi. Saya minta bantuan saudar ipar dan keponakan-keponakan untuk menemani saat ada kesempatan. Saya juga mencarikan pengasuh yang sabar dan bisa diajak bekerja sama. Dan yang jelas saya berbagi tugas dengan suami saya. Saya mendampingi anak kedua operasi, sementara suami saya mendampingi 2 anak lainnya, dan terutama si bungsu.

Saya bersyukur memiliki keluarga besar yang saling membantu. Dengan segera si bungsu bisa menerima ketidak-hadiran saya dan menjalani hidupnya seperti biasa lagi dengan ceria. Sekalipun saya kerap menelpon, namun nampaknya semua itu terasa tidak nyata baginya. Suara telpon masih belum cukup meyakinkan baginya karena wujud konkrit saya tidak bisa dilihat, disentuh ataupun dicium. Saya sudah "hilang" ....

Ketika pulang, sekalipun mengabari sebelumnya, saya bisa menangkap si bungsu yang shock, terpana dan nampak bingung akan kehadiran saya. Beberapa minggu berikutnya si Bungsu menjadi sangat dependen dan manja. Orang menyebutnya melepas "kangen". Bagaimanapun saya membutuhkan waktu berbulan-bulan kemudian untuk meredakan rasa insecure dan kecemasan si nona bungsu terhadap perpisahan.

Dari cerita ini, saya ingin mengajak pada para orangtua yang karena satu dan lain hal, terpaksa meninggalkan buah hatinya dalam jangka waktu lama, atau dalam jangka waktu pendek tapi sering, untuk lebih berfokus pada kebutuhan anak daripada kebutuhan sentimental diri sendiri. Bagaimana pun selalu ada konsekuensi yang perlu dihadapi. Memiliki ekspektasi terlalu tinggi, misalnya, "Anak saya harus dekat dan mau curhat pada saya meskipun saya jarang di rumah" nampaknya perlu dibuat lebih realistis.

Karena prinsip kedekatan/attachment adalah adanya frekuensi, intensitas dan proximity.
- Frekuensi adalah seberapa sering
- Intensitas adalah seberapa kuat
- Proximity adalah seberapa dekat

Yeti Widiati 231116

2 komentar:

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...