Kamis, 25 Desember 2014

SEPULUH PRINSIP PERUBAHAN PERILAKU ANAK YANG PERLU DIKETAHUI ORANGTUA
(Konteks Parenting)

1. Umumnya perilaku, sikap dan kebiasaan dipelajari dari lingkungan.
Hanya sedikit perilaku yang disebabkan karena pengaruh biologis. Anak belajar dari lingkungan terdekatnya, yaitu orangtua. Orangtua dapat mengajarkan perilaku sosial sesuai dengan keunikan anak.

2. Umumnya perilaku bisa diubah.
Karena perilaku dipelajari maka juga bisa diubah.

3. Perubahan perilaku membutuhkan intervensi.
Banyak orangtua mengira bahwa perilaku anak bisa berubah sendiri seiring dengan pertambahan usia. Tidak, perilaku anak tidak bisa berubah sendiri. Perilaku akan memburuk jika tidak ada intervensi, sehingga menimbulkan masalah yang lebih besar pada aspek perkembangan anak lainnya di kemudian hari.

4. Intervensi harus mengubah respons/perilaku anak.
Apabila dengan pendekatan yang lama, masalah tetap muncul, maka orangtua perlu melakukan perubahan pendekatan. Rumusnya adalah "Ubah diri anda sendiri, maka anda bisa mengubah anak anda"

5. Peluang keberhasilan lebih besar jika orangtua menargetkan satu perubahan untuk satu waktu.
Jangan membuat diri orangtua atau anak kewalahan dan stress dengan mencoba mengubah terlalu banyak perilaku pada suatu saat. Keberhasilan pada satu perilaku akan mengembangkan kepercayaan diri dan rasa mampu untuk mengubah perilaku yang lain pada waktu berikutnya.

6. Identifikasi perubahan yang diinginkan dengan jelas
Banyak orangtua mengatakan, "Saya ingin anak saya tidak nakal lagi." Pernyataan ini kurang jelas. Buatlah pernyataan yang jelas dan spesifik sehingga orangtua tahu apakah perubahan sudah terjadi atau belum, misalnya, masalah anak berantakan, maka perubahan perilaku yang diinginkan adalah, anak menaruh kembali barang yang digunakan pada tempatnya.

7. Perilaku yang tidak diharapkan, perlu diganti perilaku lain
Jika orangtua mengharapkan perilaku anak berubah, maka perlu dicari perilaku lain sebagai gantinya. Misalnya, anak menghabiskan waktu main games di rumah. Maka bila anak tidak diperkenankan main games, perilaku apa yang dianjurkan atau diizinkan orangtua untuk dilakukan anak saat ada waktu luang di rumah.

8. Anak perlu berlatih perilaku baru
Perilaku baru perlu dipelajari dan dilatih berulang. Orangtua tidak cukup hanya memberi tahu atau memerintah, tapi perlu mencontohkan (anak mengamati), kemudian anak melakukan (orangtua mengamati) dan anak mengulangi hingga mahir.

9. Anak perlu memperkuat perilaku baru yang benar
Ketika anak melakukan pengulangan perilaku yang benar, maka orangtua perlu memberi penguatan. Penguatan akan memperbesar peluang anak mengulangi kembali apa yang dilakukan. Penguatan positif bisa berbentuk pujian, pengakuan atau senyuman. Dalam banyak kasus, hadiah tidak diperlukan. Penelitian menunjukkan, orangtua yang lebih peduli dan memberikan perhatian pada perilaku negatif anak, hasilnya: tidak mengubah perilaku negatif tersebut.

10. Rule 21. Perubahan membutuhkan waktu (21 hari melakukan intervensi secara konsisten)
Jangan berharap memberi nasihat satu kali, atau mencontohkan satu kali akan mengubah perilaku anak selamanya. Jadi apapun perubahan yang orangtua inginkan, berpegang teguhlah kepada rencana tersebut selama setidaknya dua puluh satu hari.

(Dikutip ulang dengan tambahan dari The Big Book of Parenting Solutions, Michele Borba)

Sabtu, 22 November 2014

PREVENTIF DAN KURATIF

Sebuah buku dari zaman kuliah yang masih saya buka hingga saat ini ketika mencari rujukan adalah buku "How to Help Children with Common Problem" karangan Schaefer. Buku ini bagus untuk pegangan bagaimana menghadapi masalah-masalah umum pada anak dan remaja. Menariknya adalah, bahwa buku ini masih cukup relevan untuk memahami, memetakan dan mencari alternatif penyelesaian masalah perkembangan anak, sekalipun zaman berkembang terus. Rasanya mentalitas manusia tetap sama saja, sekalipun sains dan teknologi berkembang pesat.

Saya ingin bicara tentang sistematika penulisan buku ini.
Pertama adalah berbicara mengenai definisi problem spesifik yang sedang dibicarakan, misalnya tentang perasaan tidak aman, ketidak matangan, gangguan kebiasaan, underachiever, dll.
Kedua berbicara tentang penyebab dan latar belakang munculnya problem tersebut.
Ketiga bagaimana tindakan preventif-nya
dan keempat, penanganan bila masalah sudah kepalang terjadi.

Pengalaman saya dalam praktek konsultasi, 20-30 persen orangtua datang sebelum masalah terjadi. Biasanya diawali dengan permintaan psikotes. Entah itu untuk mengetahui minat bakat atau untuk penjurusan masuk SMA dan perguruan tinggi. Diskusi yang terjadi terkendali, logis dan sistematis. Lebih mudah bagi saya mengacu pada teori dan berbicara secara rasional.

Sisanya adalah orangtua yang datang ketika masalah sudah menjadi berat. Anak atau remaja yang menghadapi masalah pun kerap kurang kooperatif. Kehilangan trust, dan apatis. Orangtua kadang hanya satu orang yang datang, kadang berdua dan seringkali suasana konsultasi menjadi emosional. Menangis dan saling menyalahkan cukup kerap terjadi. Sehingga proses konsultasi pun berlangsunga lebih lama.

Menyadari bahwa jauh lebih mudah dan beban emosinya lebih ringan apabila kita mendahulukan tindakan preventif sehingga sedapat mungkin dapat menghindari masalah yang terprediksi. Maka sejak beberapa tahun terakhir saya memutuskan untuk memberikan ruang preventif lebih besar dengan memberikan materi-materi parenting pada orangtua dan guru agar sedapat mungkin mereka menghindari dan melakukan antisipasi terhadap masalah yang dapat terjadi dalam perkembangan anak dan remaja.

Tetapi selalu saja ada masalah yang tidak dapat dihindari. Baik karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan, masalah yang kompleks dan tidak sempat tertangani, dan penyebab lainnya. Sekalipun "penyebab" sudah dapat tertangkap, namun sangat tidak pantas untuk menyalahkan klien. Karena dalam hidup ini semua hal adalah pembelajaran dan "melihat ke depan" jauh lebih memberdayakan daripada berhenti terlalu lama karena menyesali masa lalu.

Pendekatan terkini dalam konseling dan terapi pun sudah menambah porsi "melihat ke depan" daripada "melihat ke belakang" karena ternyata ditemukan bahwa bila kita mengacu pada harapan, kekuatan, tujuan besar di depan membuat energi mental menjadi positif dan lebih bersemangat.

Selasa, 18 November 2014

PERLUKAH MEMBERI TAHU ANAK TENTANG MASALAH KELUARGA?

"Bu, tolong beritahu anak saya, kalau kami bercerai ..."

"Lho, kanapa saya yang harus menyampaikan?"

"Kami gak tega bu, ini juga kami sebetulnya sudah berbulan-bulan berpisah dan tidak memberi tahu anak-anak. Tapi sekarang anak-anak bertanya terus, 'Kenapa papa pindah rumah, kenapa aku ketemu papa cuma Sabtu Minggu, dan kalau ketemu papa, mama gak ikut?"

"Maaf, bukan saya yang harus menyampaikan hal sebesar dan sepenting ini pada putra putri bapak ibu. Bapak dan ibu yang harus melakukannya ... "

---------

Orangtua kerapkali menganggap bahwa anak tidak perlu tahu urusan keluarga. Mereka tidak mau anak menjadi sedih, atau anak ikut campur dalam urusan keluarga. Misalnya saja, orangtua tidak memberi tahu kondisi ekonomi keluarga. Orangtua berusaha membuat anak senang dengan memberikan apa yang diinginkan oleh anak. Orangtua tidak mau anak menjadi minder karena tidak memiliki apa yang dimiliki oleh anak lain. Anak tetap dibelikan sepatu yang mahal, padahal untuk itu orangtua harus bekerja membanting tulang, bahkan berpuasa demi keinginan anaknya.

Atau orangtua tidak memberi tahu anak bahwa mereka merencanakan kehadiran anak yang lain. Mereka menganggap bahwa menambah anggota keluarga adalah hak orangtua, dan anak tidak perlu dilibatkan. Anak harus siap dan harus menerima kehadiran anggota baru, dan tidak didengarkan pendapat dan perasaannya. Sering terjadi, kakak menjadi cemburu akan kehadiran adiknya. Yang bila hal itu dibiarkan dan tidak segera ditangani akan terbawa hingga dewasa.

Kabar buruk, seperti perceraian atau meninggalnya salah seorang anggota keluarga, juga kerap dihindari orangtua. Orangtua memilih "tangan" lain untuk menyampaikannya. Orangtua tidak siap menghadapi kesedihan anak. Bisa dipahami bahwa mungkin orangtua pun berada dalam kondisi emosi yang tidak menentu. Tapi hal itu bukan alasan bagi orangtua untuk tidak menyampaikan masalahnya pada anak, apa adanya. Karena semakin ditutupi, maka anak menjadi semaki gelisah dan bingung. Anak merasakan adanya energi negatif dari masalah, tapi tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

Jadi pertanyaannya, kapan dan sejauh apa kita harus memberi tahu anak tentang urusan keluarga?

Orangtua perlu memberi tahu anak sesegera mungkin, dan ketika urusan itu terkait langsung dengan anak.

Masalah ekonomi berkaitan langsung dengan anak, karena anak perlu belajar untuk berhemat, hidup sederhana, berempati terhadap kesulitan orangtuanya dan menghargai usaha yang dilakukan orangtua.

Kehadiran anggota keluarga baru (adik, pembantu, nenek/kakek, famili) juga akan melibatkan anak. Mereka akan berinteraksi dengan anggota baru tersebut. Sehingga akan jauh lebih baik, bila anak sudah diajak bicara sebelum anggota baru itu hadir. Orangtua juga perlu menyampaikan perilaku apa yang diharapkan dari anak. Adapatasi apa yang terjadi, dan terutama jaminan, bahwa anak tidak akan kekurangan cinta. (Tema besar kehadiran anggota baru adalah kehilangan cinta, perhatian, kebebasan dan berubahnya pola hidup).

Perceraian, perpisahan, kematian atau kehilangan anggota keluarga juga pada dasarnya sama. Karena berarti ada yang berubah dan kita perlu beradaptasi. Maka anak juga perlu diberi tahu sejak dini dengan bahasa yang mudah dicerna. Betul, anak akan sedih. Namun ini juga kesempatan bagi orangtua untuk mengajarkan bagaimana menghadapi perubahan dan menghandle emosi yang tidak nyaman.

Memberi tahu anak urusan keluarga pada waktu dan dengan cara yang tepat, menyampaikan pesan bahwa kita sebagai orangtua bertanggung jawab, siap menghadapi resiko, menghargai keberadaan anak dan percaya pada mereka.

Senin, 17 November 2014

BUANG AIR BESAR VERSUS MENGUNGKAPKAN KEKECEWAAN/KEMARAHAN
(Tinjauan Psikologi Perkembangan)

"Bu, anak saya buang air besar di celana di sekolah. Padahal dia sudah usia 5 tahun dan selama ini sudah bisa buang air besar sendiri. Sekarang dia malu pergi ke sekolah bu, soalnya sejak kejadian itu teman-temannya mengganggu dia. Pasti ada yang gak beres dengan teman-temannya, bu.
Apa saya harus memindahkan sekolah anak saya ... ?"

Seringkali orangtua atau guru melihat masalah hanya dengan menilai ujungnya saja, atau tampilan perilaku yang bermasalah saja. Padahal perilaku yang muncul, itu seperti puncak gunung es. Hanya sedikit yang terlihat, sementara penyebabnya yang jauh lebih besar tidak kasat mata. Karena tidak kasat mata, maka kerap terabaikan untuk ditangani.

Penyelesaian masalah pada umumnya tidak bisa hanya satu cara. Hal ini karena munculnya perilaku bermasalah, biasanya adalah hasil dari akumulasi kondisi. Beberapa pendekatan dan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah di atas.

Bila perilaku bermasalah terjadi berulang dan menunjukkan pola. Maka dibutuhkan pendekatan Stimulus-Respon. Pola yang dimaksud di sini adalah ketika perilaku bermasalah secara konsisten muncul karena suatu stimulus (S) tertentu dan menimbulkan respon (R) serta konsekuensi (C) berupa emosi baik positif maupun negatif.

Misalnya, bila anak cemas (S) maka ia tidak dapat mengontrol otot-otot sphincter pembuangan (R) yang menyebabkan ia menjadi buang air besar tanpa kendali. Kondisi ini menyebabkan perasaan malu dan cemas yang lebih besar (C).
Maka ananda perlu belajar untuk menghandle rasa cemasnya terlebih dahulu, sehingga ia dapat lebih mengendalikan diri dan otot-otot sphincter-nya.

Perlu dicari apa yang menjadi penyebab munculnya rasa cemas di awal. Untuk itu, guru dan orangtua perlu melakukan observasi atau pengamatan yang cermat. Situasi seperti apa (S) yang biasanya menjadi penyebab anak menjadi cemas. Bila sudah ditemukan, maka anak perlu belajar untuk melakukan solving atau coping terhadap situasi tersebut, sehingga ia bisa mengurangi tingkat kecemasannya.

Teknik relaksasi dengan bernafas perlahan dan membaca istighfar perlahan juga bisa dilakukan, saat anak merasa cemas dan gelisah.

Olah raga, berlari, berenang, memukul sansak adalah beberapa aktivitas yang bisa menjadi penyaluran energi mental yang berlebihan.

Latihan mengerutkan dan melemaskan otot sphincter bisa dilakukan pada saat anak santai dan tidak dalam kondisi cemas. Latihan ini bisa dilakukan sambil bermain. Misalnya berbaring dan anak mengangkat kedua kakinya. Lebih seru lagi bila seluruh keluarga melakukannya, sehingga anak merasa memperoleh dukungan.

Hal yang cukup penting dalam kaitannya dengan kasus BAB adalah, biasanya terkait dengan kurangnya kesempatan anak untuk mengungkapkan ketidakpuasan, kekecewaan atau kemarahan terutama kepada orangtuanya. Oleh karena itu orangtua perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan anak, menerimanya, tidak memarahi saat ia menyatakan kekesalannya, namun mengajarkan cara yang lebih baik untuk mengungkapkan ketidakpuasan.

Sekalipun orangtua yakin bahwa pendapat mereka adalah benar, namun jangan halangi anak untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan juga kekecewaannya. Jangan paksa anak untuk diam dan menerima. Karena hal itu membuat anak terpaksa memendam energi negatifnya, dan tidak tahu caranya untuk menyalurkan dengan cara yang tepat.

Bila orangtua ingin memberi tahu bahwa mereka yang benar. Lakukan setelah anak selesai mengungkapkan kekecewaannya.

*Berikan jaminan bahwa orangtua mencintai anak. Terima kekecewaan dan ketidakpuasannya, maka Insya Allah anak tahu bahwa ia bisa percaya dan menyampaikan kesulitannya pada orangtuanya.

Hal ini akan menjadi keuntungan saat anak bertambah besar dan ia mengalami berbagai kesulitan dalam hidupnya. Ia tahu bahwa ada orang yang akan selalu membuka tangan, menerima dan mendukung dirinya, yaitu orangtuanya.

Minggu, 16 November 2014

PERAN 
(Dalam konteks pernikahan)

Kita memiliki berbagai peran dalam hidup. Peran-peran yang kita pandang penting, kita jadikan prioritas. Baik dari sisi alokasi waktu, perhatian dan juga usaha yang kita tampilkan. 

Peran yang paling utama dan perlu kita prioritaskan seyogyanya adalah peran-peran yang sesuai dengan visi misi hidup kita. Peran yang membawa kita lebih mendekatkan diri pada pencapaian target jangka panjang. Peran-peran yang bila kita jalankan akan mendekatkan kita pada kebahagiaan hakiki, dunia dan akhirat.

Namun adakalanya kita memilih menjalani peran yang sebetulnya bukan itu yang paling utama. Peran jangka pendek, peran yang menawarkan kebahagiaan semu, peran yang bahkan mungkin menjauhkan kita dari peran yang utama.

Seseorang bisa saja memiliki belasan peran. Sebagai seorang anak, suami/istri, adik/kakak, paman/bibi, karyawan, dosen, tetangga, ketua RT, dll. Mana yang akan kita prioritaskan? Ada saja orang yang menjawab, "Semuanya penting." Jawaban seperti ini menunjukkan kekurangmampuan untuk memilah yang penting dan lebih penting. Jawaban yang berpotensi menimbulkan kegalauan dan kesulitan dalam pengambilan keputusan.

Masalahnya adalah, kita semua punya batas waktu dan batas kemampuan. Ada yang bisa dengan baik menyandang banyak peran, namun juga ada yang hanya bisa fokus pada beberapa peran saja.

Dalam konteks pernikahan, bagaimana kita membuat prioritas dan menjalankan peran, akan menjadi sangat penting untuk mempertahankan pernikahan. Pada umumnya ketika bercerita mengenai hal apa yang paling penting dalam hidup ini. Banyak orang menjawab “keluarga dan kebahagiaan.” Hal yang paling penting ini yang mendorong mereka untuk melakukan berbagai hal.

Adakalanya orang tidak habis pikir. Ia merasa sudah melakukan banyak hal untuk pernikahan dan keluarganya, seperti misalnya bekerja habis-habisan dari pagi sampai sore, tapi ternyata muncul masalah yang menyebabkan relasi suami-istri atau orangtua-anak menjadi retak. Mengapa suatu aktivitas yang dilakukan untuk membahagiakan keluarga, tapi justru malah membuat hubungan keluarga menjadi renggang.

Dalam sebuah sesi training, saya meminta peserta menuliskan peran-peran yang dipandangnya penting. Seorang laki-laki (sudah menikah dan mempunyai anak) menuliskan perannya sebagai ayah, karyawan, kakak, paman, dst. Menariknya adalah dia tidak menuliskan peran sebagai suami.

Saya bertanya, "Mengapa tidak menulis peran sebagai suami?"
Ia bertanya balik, "Memangnya harus? Kan sudah termasuk dalam peran sebagai seorang ayah."
“Lalu, apa yang dilakukan bapak agar istri tetap cinta pada bapak?”
Bapak tersebut menjadi gelagapan, kemudian dia menjawab, “Errrr .... istri kan sudah seharusnya patuh dan mengikuti perintah suami”
“Apa yang bapak lakukan, agar istri bapak ikhlas mengikuti perintah bapak sebagai suami?”
Dan sang bapak tercenung, matanya menerawang, ia tak menjawab pertanyaan saya lagi.

Adakalanya ketika orang-orang penting di sekitar kita bersikap submisif, pasif dan tidak menuntut haknya, kita lupa bahwa jangan-jangan mereka lah orang-orang yang sebetulnya harus dipertahankan dan dilayani terlebih dahulu oleh kita. Kita serta merta menyalahkan mereka ketika mereka mulai berjarak dari diri kita. Lupa bahwa kita lah yang membuat jarak terlebih dahulu dengan tak memberikan perhatian.

*Kita menginginkan kebahagiaan dalam keluarga.
Apakah kita yakin bahwa yang kita lakukan membuat diri kita dan anggota keluarga kita berbahagia?
TEORI VERSUS PRAKTEK

Saat masih duduk di bangku kuliah, konsep dan teori-teori psikologi dengan lahap disantap dan dicerna. Saat menyelesaikan studi, dengan semangat tinggi dan idealisme yang begitu kuat ingin menerapkan teori-teori yang dipelajari tersebut.

Apa dinyana, realita tak sesederhana teori. Apalagi untuk teori-teori psikologi yang memiliki cukup banyak relevan faktor. Ada banyak persyaratan untuk bisa sampai pada pencapaian yang paling optimal. Seringkali ketika ada jarak yang lebar antara kondisi ideal dan realita yang ada, yang terjadi adalah kekurangsabaran, sikap menuntut atau sebaliknya sikap apatis karena putus asa. Dan tetap saja "kesempurnaan" itu tidak pernah tercapai. Jalan yang paling logis sebetulnya adalah menerima yang ada dan bersyukur atas pencapaian yang diraih, seraya tetap berusaha.

Ketika psikologi perkembangan berbicara tentang pentingnya cinta dan kasih sayang untuk perkembangan emosi anak yang sehat. Tiba-tiba hadirlah anak-anak yang kehilangan kasih sayang, yang menunjukkan protesnya melalui perilaku agresi. Ayahnya tak ada, juga ibunya. Benar, teori bisa menjelaskan mengapa hal demikian bisa terjadi. Tapi siapa yang bisa "dipaksa" menjadi orangtua yang bisa memberikan kasih sayang yang penuh?

Ketika panduan detail untuk pengembangan anak berkebutuhan khusus diperoleh. Disadari bahwa dibutuhkan persyaratan waktu, ilmu, biaya, tenaga dan kesungguhan dari orangtuanya. Tiba-tiba hadirlah seorang ibu dengan anak autisnya. Ia sedih dan lelah. Suaminya pergi dengan menyalahkan sang ibu yang melahirkan anak autis. Sang ibu merasa tak mungkin pergi juga meninggalkan anaknya, meskipun ia benar-benar berada dalam kondisi putus asa tak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Di titik ini panduan ideal tersebut menjadi seolah tak berarti, karena sekalipun sang ibu tahu bahwa ia perlu melakukan banyak hal, tapi ia merasa tak berdaya.

Ada banyak lagi realita lainnya, yang bila diuraikan bisa membuat tercenung. Bagaimana menyelaraskan konsep-konsep ideal tersebut dalam kondisi realita yang ada.

Dan ternyata kegamangan tersebut nampaknya bukan hanya pada bidang psikologi. Saya melihat bahwa dalam banyak area, agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, sains, teknik, dll semua hal ini terjadi.

Ketika berbicara tentang agama yang diyakini benar, ternyata realitanya adalah kita dihadapkan pada ragam value dan tuntutan untuk hidup berdampingan dengan damai.

Ketika berbicara tentang kebahagiaan yang dicapai dengan kemakmuran, ternyata realitanya ada orang yang miskin atau dimiskinkan oleh sistem. Mengubahnya tidak sesederhana memberi makanan, pakaian atau uang.

Ketika berbicara tentang kekuasaan dan keinginan untuk mengatur orang lain dengan cara yang kita mau. Realitanya adalah ada banyak orang yang juga memiliki keinginan yang sama dengan kepentingan yang berbeda.

Ketika kita berhasil membuat pencapaian teknologi yang tinggi, realitanya kemampuan adaptasi dan perkembangan mental kita tidak secepat perkembangan teknologi.

Teori dan konsep-konsep yang benar, tetap perlu kita pelajari, sehingga kita memperoleh gambaran dan arah yang jelas. Tapi penerapannya membutuhkan kelenturan dan kreativitas. Serta keterbukaan untuk menerima segala hal yang mungkin terjadi, kegagalan maupun keberhasilan.

Wallahu'alam

Kamis, 13 November 2014


COVERT BEHAVIOR VS OVERT BEHAVIOR

Dalam konsep psikologi, yang disebut perilaku (behavior) itu ada yang tampak (overt) dan tidak tampak (covert). Yang tidak tampak, misalnya adalah proses berpikir, imajinasi, pengolahan sensori, pengelolaan emosi, motivasi, dll. Sementara yang tampak adalah yang bisa diindra, dilihat, didengar, dirasakan.

Menilai perilaku yang tampak sudah tentu jauh lebih mudah dibanding perilaku yang tidak tampak. Dan sekalipun perilaku yang tampak adalah manifestasi dan ekspresi dari perilaku yang tidak tampak, namun kita tidak boleh gegabah menilainya. Banyak perilaku yang kelihatan sama didorong oleh motivasi dan niat yang berbeda. Sebaliknya juga banyak motivasi yang sama ditampilkan dalam bentuk perilaku yang berbeda.


Kita tidak patut mengatakan, misalnya, "Oh orang itu tidak melakukan apapun," hanya karena dia tampak diam saja. Atau, "Oh orang itu mau menyombongkan pakaiannya" hanya karena ia berpakaian lebih bagus daripada orang lain di sekitarnya. Jangankan orang yang tidak memiliki ketrampilan, bahkan orang yang sudah mempelajari mengenai sifat dan perilaku manusia pun dibatasi dengan kode etik untuk bisa menilai orang lain.

Oleh karena itu sungguh luar biasa "berani" mereka yang menuduh, melabel dan menyimpulkan niat seseorang hanya dari perilaku yang tampak dan terbatas. Tidak mengambil sample sebanyak-banyaknya, tidak melakukan cross check, tidak melakukan konfirmasi langsung. Tidak bersikap kritis terhadap dugaannya sendiri. Dan banyak hal lainnya yang tidak dilakukan yang menyebabkan nilai pendapatnya menjadi kurang valid.

Jangankan dari sudut pandang psikologi yang kabarnya hanya ilmu manusia. Bahkan agama pun melarang untuk berprasangka. Karena sebagiannya adalah dosa ....

Wallahu'alam

Selasa, 11 November 2014

RINGANNYA MENCARI KESALAHAN, MENUNJUKKAN APA?

Tulisan ini dimaksudkan terutama sebagai refleksi bagi diri saya sendiri.

Dalam ruang konsultasi adalah sangat biasa saya menemukan klien yang menyalahkan pihak lain atas masalah yang dihadapinya. Mungkin sekitar 90 persen jumlahnya. Kalau seorang remaja yang hadir, maka ia akan menyalahkan orangtua, adik/kakaknya, teman, atau guru. Kalau seorang istri yang datang, maka ia menyalahkan suami, ibu mertua, ipar atau tetangganya. Kalau seorang ibu yang datang, ia menyalahkan anaknya, anak tetangganya, guru anaknya, teman anak di sekolah, hape anaknya, games, dll. Kalau seorang bapak yang datang, ia menyalahkan anaknya, ibu anaknya, media sosial, film, TV, sistem pendidikan, menteri sampai presiden. Bahkan tidak jarang yang menyalahkan negara dan Tuhan. Relatif jarang yang menyalahkan dirinya sendiri.

Ternyata itu bukan hanya di ruang konsultasi saja. Dalam keseharian pun demikian.

Sekumpulan ibu-ibu menunggu anak TK-nya di sekolah,
"Anak saya itu lho jeng, ampun deh susah bener makannya. Diemut melulu sambil main games. Sampai susah saya maksa buka mulutnya."

"Eh lebih lebih anak saya Mbak. Si abang itu kalau sudah main games dipanggil pun gak noleh. Sampai cape saya manggilnya. Si Mbak-nya lagi, bukannya si abang dijagain eh malah dia pacaran sama supir tetangga."

Bapak-bapak di kantor ngobrol sambil minum teh hangat.
"Pemda ini apa aja sih kerjanya, masa macet di mana-mana. Kalau saya gak ambil jalur busway tadi, bisa jam berapa saya masuk kantor"

"Habisnya pada korupsi sih di mana-mana. Gak beres begini jadinya negara kita. Saya pak tadi pagi ambil jalan potong. Eh pak polisi itu iseng banget, biasanya gak ada polisi di situ, tadi pagi malah dia jaga di situ. Kena deh saya. Kalau saya gak kasih uang, jadi lama perkara."

Di media sosial, kesenangan menyalahkan pihak lain atau mencari keburukan pihak lain, tersalurkan dengan baik. Kesempatan itu datang begitu mudah karena sekali click ratusan orang bisa membaca. Selain itu, si penulis bisa menutup identitasnya dengan pilihan-pilihan julukan beragam, yang mistis "Ratu Pantai Selatan", yang agak filosofis "Sang Pencari Kehidupan," yang patriotis "Pemuda Pembela Keadilan" atau yang lebih religius "Sang Pencari Hikmah" belum lagi para ABG dengan nama-nama anehnya "Kucingkejepitpintu" "Jomblomenantigadis" dll.

Kalau saya membaca komen seorang penyanyi di Youtube misalnya, orang luar negeri bisa begitu menghargai dan memuji penyanyi Indonesia, yang luar biasanya didegradasi oleh orang Indonesia sendiri. Pemimpin-pemimpin kita, dibully habis oleh rakyatnya, karena kekurangnya dan menafikan kelebihannya. Padahal ternyata kebijakan dan keputusan-keputusan mereka diakui dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain.

Pantaslah mengapa dalam budaya kita ada peribahasa "Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan terlihat." Saya penasaran, adakah pepatah semacam itu dalam budaya lain?

Sekarang saya menengok diri. Ada yang salah kelihatannya dengan cara berpikir kita. Kebiasaan mencari kesalahan dan keburukan itu mengkristal dan menjadi penyakit hati dalam diri. Kita menjadi orang-orang yang kurang bersyukur dan tidak menghargai penciptaan Allah. Dalam konteks psikologi, itu menunjukkan juga kita adalah orang yang memiliki konsep diri negatif. Merasa kurang dan rendah dan merasa harus melindungi diri dengan cara melihat keburukan orang lain. Kita merasa "selamat" ketika melihat keburukan orang lain dan menghibur diri, "Tenang saja, ada lho orang lain yang lebih buruk dari kamu ..."

*Saya bukan orang yang steril dari pengaruh, jadi saya meminta bantuan siapa pun untuk mengingatkan saya bila saya melakukan hal yang sama seperti di atas. Sibuk memikirkan keburukan orang lain, dan lupa memperbaiki diri.
Bismillah ...

Sabtu, 08 November 2014

PETA MASALAH
(Konteks psikologi perkembangan)

Masalah-masalah yang dihadapi dalam klinik konsultasi psikologi perkembangan (bayi-remaja) pada umumnya berkisar masalah yang terkait dengan: 

1. Perubahan perilaku yang terkait dengan perkembangan. 
Masih banyak orangtua kurang menyadari bahwa dalam setiap tahapan perkembangan, mulai kelahiran hingga usia remaja, individu memiliki ciri khas perilaku. Di samping itu juga selalu ada kerentanan pada setiap tahap perkembangan, yang bila kurang diantisipasi maka akan menimbulkan masalah selanjutnya.

Misalnya, pada usia bayi, maka anak perlu memperoleh stimulasi yang cukup dalam hal sensori, motorik dan keseimbangan. Bila stimulasi dalam area ini diabaikan, maka akan menimbulkan masalah dikemudian hari, baik dari area yang terkait maupun menyangkut emosi.

Contoh lain adalah pada masa remaja. Remaja mengalami perubahan terutama dari sisi emosionalnya karena perubahan drastis terjadi pada seluruh aspek perkembangannya. Kondisi perubahan yang cepat ini menyebabkan kegamangan dan sensitivitas yang tinggi. Di titik ini, masih kerap dijumpai orangtua yang kurang menyadari dan juga malah terbawa emosi saat menghadapi remaja yang perilakunya menantang.

2. Perbedaan, kekhususan atau keunikan pada individu
Tak ada manusia yang diciptakan sama. Perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya bisa tipis namun bisa juga bisa sangat lebar. Perbedaan itu pun juga meliputi berbagai area. Mulai dari kondisi fisik, sensitivitas emosi, kecekatan motorik, daya tangkap, kemampuan sosialisasi, dll. Ada yang menyandang ketunaan, disfungsional hingga kesempurnaan yang variatif.

Harapan dan preferensi anak dan orangtua akan teruji saat anak atau orangtua menghadapi realitas yang tidak sesuai dengan harapannya.

Misalnya, orangtua menginginkan anak yang cerdas, ternyata anaknya tidak secerdas dan sepintar yang diharapkannya. Atau contoh lain adalah bagaimana para orangtua yang memperoleh amanah istimewa ketika menerima anak berkebutuhan khusus (ABK)

Berbagai alasan yang menyebabkan orangtua menjadi kurang tepat menangani, antara lain karena ketidaktahuan, ketidakmapuan maupun penolakan. Perbedaan alasan ini menyebabkan pendekatan dalam penyelesaian masalah menjadi berbeda-beda.

3. Pola asuh dan komunikasi orangtua dalam keluarga
Orangtua memiliki value, pengalaman, kebiasaan dlsb, yang secara langsung mempengaruhi cara pandangnya terhadap anak, proses komunikasi dan bagaimana ia menetapkan aturan di rumahnya. Atau semua itu dikatakan sebagai pola asiuh dalam keluarga.

Contohnya, adalah ketika orangtua memandang anak sebagai pekerja atau bawahan. Maka pola komunikasi yang dibentuk pun menjadi direktif dan top-down. Orangtua tidak memberikan perhatian memadai terhadap potensi dan kompetensi anak.

Btw, tulisan tentang pola asuh ini ada pada posting-posting sebelumnya.

4. Perubahan karena kondisi situasional baik yang terjadi karena kesalahan pengambilan keputusan maupun situasi yang tidak diduga.
Masalah perceraian, salah satu atau kedua orangtua meninggal, KDRT, pelecehan seksual, kemiskinan, tekanan lingkungan, konflik masyarakat dsb. juga mempengaruhi perkembangan anak.

Seorang ibu yang stress dan depresi terus menerus karena mengalami KDRT, akan mempengaruhi pengasuhan anaknya. Di saat ibu belum cukup berhasil untuk menyelesaikan masalah-masalah emosinya, maka anak pun akan menjadi terpengaruh. Anak dalam kondisi seperti ini akan menunjukkan tuntutannya. Dan karena keterbatasa verbal, maka cara menunjukkan tuntutan dan perhatian akan lebih banyak menggunakan bahasa fisik dan emosi. Sayangnya orangtua kerap salah memberi arti. Mereka menganggap anak kurang bersung-sungguh dan sengaja membuat kesal.

*Lakukan analisis sederhana terhadap masalah yang dihadapi, maka lebih mudah bagi orangtua untuk memahami peta masalah. Sehingga penanganannya pun menjadi lebih fokus pada akar permasalahan daripada terhadap gejala yang muncul.

Senin, 03 November 2014

POLA ASUH DALAM KELUARGA

Pola asuh adalah pola interaksi antara orangtua dan anak yang meliputi pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikologis termasuk juga proses pembelajaran mengenai norma dan value untuk beradaptasi di lingkungan.

Setiap keluarga mempunyai pola asuh yang berbeda. Bahkan kadang dalam satu keluarga pun mungkin saja menerapkan pola asuh yang berbeda kepada anak-anaknya.

Hal-hal yang menyebabkan pola asuh berbeda-beda, antara lain

• Karakter orangtua
Orangtua yang banyak bicara berbeda pendekatan dengan orang tua yang tidak banyak bicara

• Pengalaman atau pola asuh yang pernah diterima orangtua
Kalau orangtua dulu diperlakukan keras oleh orangtuanya, maka pengalaman tersebut, baik positif ataupun negatif akan mendasari pilihan pola asuh apa yang akan diterapkannya saat ia memiliki anak.  

• Karakter anak
Anak yang dianggap "bandel" kerapkali mengalami perlakuan yang berbeda dari orangtuanya

• Usia anak
Orangtua seringkali juga menerapkan pola asuh yang berbeda tergantung usia anak. Misalnya, ketika anak masih kecil orangtua permissif, segala hal keinginan anak dipenuhi. Tapi ketika anak beranjak dewasa, tiba-tiba ada sangat banyak aturan yang membatas.

• Cara pandang orangtua terhadap anak
Cara pandang orangtua terhadap anak, juga berpengaruh terhadap pola asuh orang tua, antara lain, 

Orangtua yang memandang anak adalah PESURUH, maka menganggap anak tidak memiliki pengetahuan memadai sehingga harus selalu diberi tahu. Orangtua juga memandang anak tidak memiliki inisiatif sehingga harus selalu disuruh. Dan anak dipandang tidak memiliki hak untuk menentukan sehingga harus selalu diatur.

Orangtua yang memandang anak sebagai RAJA, maka orangtua beranggapan anak harus selalu merasa senang dan tak boleh mengalami kesedihan. Orangtua berusaha memenuhi keinginan anaknya sekalipun orangtua berada dalam keterbatasan. Orangtua biasanya tidak tahan melihat anak menangis dan menghadapi kesulitan, sehingga orangtua selalu membantu atau bahkan mengambil alih tanggung jawab anak. Hingga anak sudah besar sekalipun.

Ada orangtua yang menganggap anak adalah TEMAN. Sehingga orangtua memandang anak memiliki kemampuan, dan bisa diberi kepercayaan. Orangtua memandang anak memiliki perasaan, sehingga perlu didengarkan. Orangtua memandang anak bisa melakukan kesalahan tapi juga melakukan hal yang benar, sehingga perlu diberi kesempatan mengalami kesalahan dan belajar dari kesalahannya.

Ada orangtua yang menganggap anak adalah PENGGANGGU. Orangtua seperti ini biasanya tidak siap atau tidak mengharapkan memperoleh anak. Misal, anak lahir di luar nikah, ibu sedang kuliah/bekerja, usia ibu sudah lanjut, masalah dalam relasi suami istri. Anak yang lahir dan tidak sesuai dengan harapan orangtua, misalnya Cacad, ABK, gangguan perilaku atau berjenis kelamin tidak sesuai harapan, juga kerap dianggap sebagai anak pengganggu.

Maka kondisi-kondisi ini yang menyebabkan perlakuan orangtua pada anak menjadi berbeda. 

Hal yang menjadi kata kunci untuk membedakan pola asuh satu dengan pola asuh yang lain, sehingga kita bisa mengidentifikasi di posisi mana kita berada, adalah terkait dengan adanya DUKUNGAN dan TUNTUTAN kepada anak, atau tidak.

"Dukungan" adalah seberapa besar orangtua memberikan perhatian, menerima dan fokus pada kebutuhan anak, sementara "tuntutan" adalah seberapa tinggi harapan orangtua terhadap anak

Nah jadi dari sini kita bisa turunkan 4 jenis pola asuh

1. Ada dukungan ada tuntutan disebut Pola Asuh Otoritatif

2. Ada tuntutan tapi tidak ada dukungan disebut Pola Asuh Otoriter

3. Ada dukungan tapi tidak ada tuntutan disebut Pola Asuh Permisif

4. Tidak ada dukungan dan tidak ada tuntutan Pola Asuh, disebut Pola Asuh Laissez Faire atau pola asuh menolak dan mengabaikan.

Pola asuh OTORITATIF adalah pola asuh ideal. Di mana orangtua memiliki harapan terhadap anak, namun memperhatikan apa kemampuan dan kebutuhan anak. Oleh karena itu ciri khas dari pola asuh ini adalah adanya komunikasi timbal balik dan anak dipandang sebagai teman. Didengarkan keinginannya dan dipercaya bahwa ia memiliki kemampuan sendiri. Orangtua berfokus pada anak, melihat kondisi dan potensi yang dimiliki anak. Namun harapan yang dimiliki orangtua disampaikan dengan cara komunikasi sehingga orangtua tidak memaksakan kehendaknya.

Pola asuh OTORITER adalah ketika orangtua hanya menuntut saja kepada anak dan orangtua berfokus pada keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak terlalu peduli pada keinginan anak. Komunikasi satu arah kerap terjadi. Dan biasanya sering muncul kata “Pokoknya kamu harus ....” Orangtua memiliki banyak harapan dalam dirinya sendiri. Kerap iri dengan orang lain, baik anak orang lain, ataupun sesama orangtua. Karenanya orangtua merasa harus bersaing sehingga mendorong anaknya melakuan hal-hal yang diinginkan orangtua. Orangtua pada pola asuh ini menganggap anak sebagai “pesuruh” yang harus mengikuti kemauan dan ketentuan orangtua.

Pada pola asuh PERMISSIF ini, yang ada adalah pemanjaan. Tidak ada tuntutan, tapi ada dukungan dari orang tua. Jadi anak boleh melakukan apa saja. Anak didengarkan keinginannya, tapi tidak ada aturan yang ditetapkan. Di sini orangtua menganggap anak seperti “raja” yang semua keinginannya dipenuhi. Biasanya pada pola asuh seperti ini, orangtua sangat takut kalau anaknya sakit, sedih, menangis. Sehingga orangtua berusaha untuk membuat anak selalu senang. Anak biasanya jago memanipulasi orangtuanya. Anak tahu dan memiliki senjata bagaimana caranya agar orangtua memenuhi keinginannya. Mulai dari cara menangis, mengancam tidak mau sekolah, maupun mengamuk.
Yang keempat adalah Pola Asuh LAISSEZ FAIRE. Susah sekali menyebutnya. Pada pola asuh ini tidak ada dukungan dan tidak ada tuntutan. Apakah ada orangtua dan keluarga yang seperti ini?
Ya dalam berbagai kadar atau ukurannya, ada saja keluarga yang seperti ini. Yaitu orangtua yang menolak dan mengabaikan anaknya. Kerap terjadi pada keluarga yang belum siap untuk memiliki anak, atau yang kelahirannya tidak dikehendaki, misalnya pada keluarga yang orangtuanya terlalu muda, MBA (married by accident), orangtua terlalu tua sehingga tidak mengira akan punya anak lagi, orangtua yang egois, anak yang lahir karena ibunya diperkosa, ibu yang mengalami proses melahirkan yang menyakitkan, anak yang lahir cacat, suami yang menyakiti istri, sehingga istri membenci anaknya, keluarga dengan anak yang sangat banyak, dlsb.
Ciri khasnya adalah tidak ada kepedulian kepada anak bahkan adanya penolakan terhadap anak. Pengasuhan yang kurang wajar, KDRT, pengucilan bahkan membuang anak, adalah sangat mungkin.
Keluarga seperti ini biasanya memiliki masalah yang beranak pinak seperti lingkaran setan, Dalam arti ketika orangtua tidak menghendaki hadirnya anak, maka penolakan tersebut akan mengakibatkan anak berespon dengan perilaku yang bermasalah. Semakin anak nakal, maka semakin benci pula orangtuanya. Dan demikian seterusnya seperti lingkaran setan. Anak-anak yang lahir dalam keluarga seperti ini, cenderung merusak dirinya. Dan sayangnya orangtua serta lingkungan kerap tidak menyadari bahwa selalu besar kemungkinan mereka lah yang menjadi sumber penyebabnya.

Sekarang mari kita cek diri kita sendiri. Di posisi mana kita berada. Mungkin tidak sepenuhnya kita berada di satu tempat, mungkin ada sedikit di sini ada sedikit di sana. Kadang begini kadang begitu. Seberapa dukungan yang kita berikan dan seberapa besar tuntutan/harapan yang kita bebankan pada anak. Yang perlu kita pikirkan juga adalah, bagaimana konsekuensi dari pilihan perlakuan dan pola asuh yang kita miliki terhadap anak kita. Apakah anak kita bahagia atau tidak, mandiri atau tidak, akhlak atau perilakunya baik atau tidak, dll.  

*Seperti layangan, kadang kita perlu menarik kadang kita perlu mengulur ...

Sabtu, 01 November 2014

WM VS FTM - yws

WM (Working Mother) dan FTM (Full Time Mother) adalah istilah populer yang sekarang digunakan untuk membedakan ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Topik ini tetap saja menarik dan nampaknya tidak akan pernah basi didiskusikan sampai kapan pun. Apakah lebih baik menjadi FTM ataukah menjadi WM. Diskusi ini semakin runcing ketika bersinggungan dengan masalah real dan praktis yaitu terkait tugas mengasuh dan mendidik anak, masalah ekonomi keluarga, hubungan suami-istri dan juga aktualisasi diri seorang perempuan. Cara pandang terhadap agama pun akan menjadikan diskusi ini menjadi menarik. Kerap kali terjadi pengkutuban yang masing-masing berkeras bahwa posisinya-lah yang terbaik.

Saya ingin mengulas hal ini dari sudut pandang beragam masalah anak yang datang pada saya. Bisa jadi mewakili populasi masalah yang ada, namun bisa juga tidak mewakili populasi yang sebenarnya.

Dari kasus-kasus yang saya terima, ternyata kesimpulan umum yang saya peroleh adalah, masalah anak tidak langsung terkait dengan apakah ibunya WM ataukah FTM. Bagaimana ceritanya?

Setiap masalah anak, berdiri sendiri. Ia memiliki latar belakang dan penyebab yang unik satu sama lain. Betul, adakalanya kondisi WM yang sibuk dan kurang dapat menyisihkan waktu untuk anak menjadi alasan pada masalah anak. Tapi menariknya masalah yang sama, bisa juga terjadi pada FTM.

Saya ambil contoh tentang kemandirian anak. Kalau kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan anak untuk melakukan sendiri tugas perkembangan sesuai usianya, maka anak bisa mandiri atau tidak adalah bergantung pada seberapa besar kesempatan yang dia peroleh untuk menuntaskan sendiri tugasnya, memperoleh bimbingan ketika belum bisa menguasai suatu keahlian dan belajar mengelola emosi ketika mengalami kegagalan.

FTM bisa membuat anaknya tidak mandiri, ketika dia selalu melindungi dan menyelesaikan masalah anaknya. WM juga bisa membuat anak tidak mandiri, ketika ia merasa bersalah karena tidak bisa menemani anaknya dan mengganti "waktu" dengan materi dan kemudahan.

Begitu pula tentang apakah anak terperhatikan atau tidak. WM berpeluang untuk tidak bisa memperhatikan anaknya ketika ia berada di luar rumah. Tapi hati-hati, FTM juga bisa saja tidak memperhatikan anak ketika ia sibuk setiap hari dengan tugas-tugas rutin rumah tangga dan mengurus anak-anak lainnya.

Ada anak yang bangga karena ibunya WM. Ia senang karena ibunya memiliki pengetahuan luas, percaya diri, mandiri dan bisa mengikuti perkembangan jaman, dan (jangan heran) ia juga senang karena ibunya sering tampil rapi, bersih dan tidak lusuh.

Ada juga anak yang bangga karena ibunya FTM. Ia senang ibunya selalu berada di sampingnya. Kapan pun dia mau, ibu selalu ada. Ibunya jago memasak, bercerita, bermain dan ia merasa betul-betul terlindungi.

Masih ada banyak kasus-kasus lain terkait anak yang menjadi semakin bias ketika dicari kesalahannya apakah karena WM atau karena FTM. Jangan-jangan kesalahannya memang bukan pada apakah ibunya WM ataukah FTM. Yang jelas, please deh, baik WM maupun FTM tak perlu lagi gontok-gontokan dan saling memojokkan.

Ibu rumah tangga tidak perlu merasa lebih baik daripada ibu bekerja. Saya yakin seorang ibu rumah tangga pada satu titik akan membutuhkan perempuan yang bekerja. Buktinya, ketika hamil ia mencari dokter kandungan perempuan. Ketika sakit ia mencari perawat perempuan. Ketika sibuk ia mencari pembantu perempuan. Ketika anak masuk TK, ia mencari guru perempuan. Ketika di bandara ia lebih suka diperiksa petugas perempuan, dll. Syukuri saja kelimpahan yang dimiliki sehingga memiliki kesempatan besar untuk bisa mendampingi anaknya. Kesempatan untuk melakukan perubahan mulai dari hal mikro.

Sebaliknya pun begitu, seorang wanita bekerja tidak perlu merasa lebih baik dari ibu rumah tangga. Mengatakan bahwa ibu rumah tangga kerjaannya hanya rumpi dan nonton sinetron. Pembicaraannya kurang berbobot karena hanya berputar pada topik anak dan belanja. Syukuri saja kesempatan untuk bisa berkontribusi kepada masyarakat. Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Kesempatan untuk melakukan perubahan dari hal makro.

Saya ingat pelajaran-pelajaran dari Bapak Endang Syaifudin Anshari Alm. saat-saat dulu menikmati aktivitas mahasiswa di masjid Salman ITB. Ama (begitu beliau menyebut dirinya sendiri), senang sekali menggoda para mahasiswi aktivis masjid ini dengan pernyataan “Wanita itu emosional, setuju ....?” Siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju harus memberikan argumennya. Pernyataan itu serta merta membuat pengajian menjadi gaduh. Yang tidak terima, agak emosi menyatakan pendapatnya, menyanggah dengan berbagai macam cara bahwa ia tidak setuju. Ama akan berkata, “Tuh kan bener, wanita itu emosional.” Bahkan yang diam mesem-mesem pun tidak lepas dari godaannya, “Yang diam berarti setuju kan, kalau wanita itu emosional.” Godaan ini selalu berhasil memancing peserta “terpaksa” bicara. Dan menariknya, pada saat bicara itu, Ama akan membimbing para mahasiswi ini untuk berbicara dengan runtut hingga idenya tersampaikan dan dipahami dengan baik. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan. Sekarang saya menyadari bahwa cara Ama adalah cara yang sama seperti orang-orang melakukan coaching saat ini. Ama memang selalu bilang. Bahwa perempuan perlu belajar berbicara dengan jelas, sistematis dan terkendali. Sehingga pesannya bisa dipahami orang lain dengan baik.

Ama prihatin karena perempuan kurang memperoleh kesempatan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Pengajian-pengajian di masa itu biasanya satu arah, para perempuan enggan atau malu bicara dan jarang ada kesempatan tanya jawab. Kalaupun ada tanya jawab, biasanya sedikit pertanyaannya atau pertanyaannya tidak berhubungan langsung dengan topik yang dibahas. Boleh jadi sekarang pun masih ada hal-hal seperti itu, akan tetapi kesempatan untuk bertanya relatif lebih besar. Ama secara tidak langsung mendidik perempuan untuk bersikap kritis dan mengungkapkan pendapatnya dengan baik. Ama ingin ketika perempuan mengambil keputusan atau melakukan sesuatu tindakan adalah karena kesadaran dan tanggung jawab, bukan karena taklid atau kepatuhan buta, bukan karena disuruh orang lain. Karena bagaimanapun semua yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan sendiri bukan oleh orang lain.

Ama Endang Syaifudin Anshari Alm. (semoga amal jariyahnya dalam bentuk ilmu yang diajarkan tetap mengalir menjadi kebaikan baginya), mengatakan bahwa perempuan itu memiliki 4 peran, yaitu;
1. Sebagai seorang anak
2. Sebagai seorang istri
3. Sebagai seorang ibu
4. Sebagai seorang anggota masyarakat

Untuk melakukan peran-peran itu semua maka dibutuhkan kemampuan membagi waktu dan perhatian. Ama tidak bilang bahwa semua harus dilakukan dalam satu waktu bersamaan. Ama juga tidak bilang bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Hanya saja timing-nya harus tepat, dan perlu dimusyawarahkan dengan berbagai pihak terkait saat mewujudkannya. Bisa jadi dengan orangtuanya saat ia menjadi anak, dengan pasangannya ketika ia sudah menikah, atau dengan anak-anaknya ketika ia sudah mempunyai anak.

Ama mengatakan bahwa Allah memberikan karunia dan berkah luar biasa bagi seorang perempuan. Dan itu semua bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya saja, namun juga untuk diamalkan bagi lingkungan dan agamanya.

Jadi bersyukur dan berbahagialah menjadi FTM jangan lupa ada saat-saat untuk juga berkontribusi bagi masyarakat. Bersyukur dan berbahagia juga menjadi WM, jangan lupa ada waktu dan perhatian yang perlu kita berikan juga bagi keluarga, anak-anak dan suami kita.

Yeti Widiati - Oktober 2014

Jumat, 31 Oktober 2014

GEGANA (GELISAH GUNDAH MERANA)

Berkaca dari pengalaman diri dan orang lain
Kebanyakan keluh dan gundah adalah ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan ...

- Anak yang kesal pada orang tuanya karena orangtuanya tidak sebaik orangtua lain
- Orangtua yang kecewa anaknya tidak sepintar, secantik dan sepatuh anak lain
- Orang cacat yang kesal dengan tubuhnya yang tidak sesempurna orang lain
- Orang yang kesal pada kelemahan-kelemahan dirinya
- Anak angkat karena diasuh bukan oleh orangtua kandungnya
- Anak yatim/piatu karena kehilangan orangtuanya
- Suami-istri yang tidak dikaruniai anak
- Suami yang kecewa istrinya tidak secantik atau setrampil istri lain
- Istri yang kecewa suaminya tidak sekaya atau romantis seperti suami lain
- Karyawan yang kecewa pada atasan dan perusahaannya
- Atasan yang kecewa pada anak buahnya
- Masyarakat yang kecewa pada pimpinannya
- Kelompok minoritas yang merasa diperlakukan tidak adil
- Kelompok mayoritas yang merasa terganggu dengan adanya orang yang berbeda
- Guru yang kecewa pada siswanya
- Siswa yang kecewa pada gurunya
- Orang miskin kecewa karena keterbatasannya
- Orang kaya kecewa karena kesepian
- ...
List dapat dilanjutkan

Dan saya menemukan, mereka yang berhasil berdamai dengan diri, lingkungan dan ketentuan Allah adalah mereka yang paling bahagia dan bisa fokus untuk melakukan hal-hal yang lebih baik, produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Setiap langkah dan setiap hari kita diuji apakah kita siap untuk menerima perbedaan ini. Mulai dari perbedaan pada diri sendiri hingga perbedaan pilihan orang-orang di sekitar kita.

Mengapa kita gundah dan kecewa dengan perbedaan padahal perbedaan itu adalah Sunnatullah (mengacu pada Al Hujurat: 13).

Allah melengkapi kita dengan potensi untuk ikhlas menerima hal yang tak bisa diubah, sabar untuk berusaha mencapai yang diinginkan dan syukur atas apa yang diperoleh dan pencapaian yang diraih ...
GAMBAR KOK DIATUR ....

Seorang ayah curhat pada saya tentang anak perempuannya yang duduk di TK-A. Sejak kecil anaknya senang menggambar di rumah. Ayahnya yang bekerja di sebuah perusahaan advertising tahu bahwa menggambar adalah pekerjaan "hati" dan memberi kesempatan pada anaknya untuk bereskpresi dan bereksplorasi dengan bebas dalam menggambar. Dia boleh menggambar apapun, memilih warna apapun, dan menggambar dengan cara apapun. Sayangnya sejak masuk sekolah gairah menggambarnya mulai berkurang.

Ternyata di sekolah berbeda. Guru, memandang aktivitas menggambar sebagai aktivitas kognitif dan kendali psikomotorik saja. Oleh karena itu, anak disuruh menggambar secara "obyektif".
- Menggambar pemandangan berarti ada dua gunung, matahari, burung dan awan, ada sawah atau pantai (tergantung di daerah mana anak berada).
- Kalau menggambar bunga, maka dia berwarna merah, pink atau orange dan berdaun hijau, langit berwarna biru. Tak layak menggambar daun berwarna ungu dan langit coklat.
- Kalau menggambar orang harus lengkap bagian tubuhnya. Garis harus rapi dan warna tidak boleh keluar garis. Gambar diberi nilai angka. Angka rendah berarti gambar buruk dan angka tinggi berarti gambar baik.

Anak kehilangan gairahnya karena aktivitas menggambar yang awalnya menyenangkan, mendorong semangat, kreativitas dan ekspresi, berubah menjadi aktivitas yang menekan, memaksa dan

http://www.slideshare.net/oyasujiwo/10-keajaiban-gambar-anak-yang-terlupakan

TAKUT DAN CEMAS

Ketika kita takut, objek rasa takut itu biasanya jelas. Takut terhadap binatang buas, takut berada di tempat tinggi, takut hantu, dan lain-lain.

Menghadapi rasa takut semacam itu, biasanya reaksi kita cukup jelas. Kalau kita tidak tahu apa yang akan kita perbuat, maka kita akan lari menghindar, lemas sekujur tubuh, atau diam kaku tak bergerak.

Sementara kalau kita tahu apa yang kita lakukan, maka kita akan menghadapi obyek yang menimbulkan rasa takut tersebut. Seorang pawang ular dia berani karena dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan ular, dan itu adalah hasil latihan. Orang yang berani panjat tebing, naik gunung atau bungee jumping, dia tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga dirinya tetap aman. Orang yang berani berada di tempat sepi sendirian dia tahu bahwa jin adalah makhluk Allah dan ia yakin bahwa Allah akan menjaganya. Pengetahuan dan ketrampilan menimbulkan rasa aman dan berani.

Sedangkan rasa cemas atau gelisah dalam psikologi didefinisikan sebagai rasa takut terhadap objek yang tidak jelas. Cemas menghadapi masa depan, cemas menghadapi kesulitan, cemas menghadapi lingkungan baru, dll.

Obyek rasa cemas lebih banyak diciptakan oleh pikiran atau imajinasi kita sendiri. Semakin tidak jelas objek yang kita hadapi, semakin tinggi "ancamannya" dan semakin tinggi pula kadar kecemasannya. Dan sebaliknya, semakin jelas kita mengidentifikasi objek kecemasan kita, semakin mudah kita memilah, dan mencari cara untuk menghadapinya.

Reaksi fisik takut dan cemas pun tidak berbeda. Orang yang ketakutan, kulitnya akan memucat, jantungnya berdebar keras, beberapa orang menjadi sakit perut dan bahkan ada yang terkencing-kencing (kendali otot kemih menurun).

Bayangkan bila seseorang mengalami kecemasan terus-menerus dalam hidupnya. Seorang anak yang cemas setiap berangkat sekolah, seorang karyawan yang cemas menghadapi masalah-masalah di kantornya, seorang wanita yang cemas menghadapi ketuaan, seorang remaja cemas menghadapi kelompok teman-temannya, dll. Metabolisma tubuhnya menjadi kacau, beberapa organ mengalami stress terus-menerus. Maag, asma, migrain, sariawan, eksim adalah keluhan fisik yang muncul ketika seseorang mengalami kecemasan.

Stress dalam hidup memang tidak bisa kita hindari. Bahkan Allah pun sudah menyatakan setiap orang akan menerima ujian dalam hidupnya. Oleh karena itu yang perlu kita lakukan bukanlah membiarkan atau menghindari, melainkan belajar dan mengembangkan kemampuan serta ketrampilan menghadapinya dengan coping dan solving problem.

Urai dan identifikasi semua masalah. Pecah-pecah menjadi lebih kecil, sehingga lebih mudah bagi kita untuk menyelesaikannya.

Sementara untuk fisik yang sudah kadung tegang karena tekanan/stress terus-menerus, lemaskan dengan relaksasi, kegiatan rekreatif, olah raga, ibadah, yoga atau apapun aktivitas yang membuat kita menjadi lebih rileks dan nyaman.

Menghindari masalah (yang sebetulnya tidak bisa dihindari dan akan selalu datang) sama saja dengan menyiksa diri terus menerus. Karena kita tidak membuat diri kita mampu, sementara rasa takut dan cemas terus saja datang.

Sayangkah kita dengan diri kita sendiri?
Dan, apakah kita mengizinkan diri untuk menjadi lebih trampil dalam menghadapi masalah dan mengelola emosi?

*Bismillah ... sambil terus belajar ...
SESI KONSELING PENJURUSAN SISWA SMA KE PERGURUAN TINGGI

Bayangkan kamu berada di terminal, ada banyak kendaraan di sana. Mana yang akan kamu naiki? Tentukan dulu tujuannya. Kalau kamu asal naik, maka kamu tidak tahu akan dibawa ke mana. Mungkin saja kamu akan dibawa ke tempat yang kamu suka, tapi mungkin juga kamu akan dibawa ke tempat yang kamu sesali. Bahkan sangat mungkin kamu hanya berputar-putar saja dan kembali ke terminal yang sama.

Ceritanya kamu akan pergi ke Bandung (dari Jakarta). Kamu mau naik mobil yang mana? Ada kendaraan yang lewat tol Cipularang, ada yang lewat Puncak, ada pula lewat Purwakarta atau bahkan Sukabumi. Kamu mau naik bis AC atau yang tidak ber-AC? Atau mungkin kamu memutuskan tidak naik bis, karena kamu mempertimbangkan untuk naik travel, kereta api, pesawat terbang, bawa kendaran sendiri atau kamu ingin naik bajay saja ? Pilihan kendaraan ditentukan oleh seberapa besar uang yang kamu punya, seberapa cepat kamu ingin sampai dan seberapa besar kebebasan yang kamu inginkan.

Kalau kamu pilih naik pesawat, terbangnya sebentar, tapi biayanya paling mahal, bergengsi tentu. Naik travel cukup cepat tapi hanya dari beberapa lokasi saja. Naik bis lebih murah, tapi sampainya lebih lama. Naik kendaraan sendiri lebih nyaman karena kamu bisa berhenti di tempat yang kamu suka, tapi tentu saja melelahkan. Atau naik kereta, keamanannya relatif lebih baik, tapi tentu saja kamu tidak bisa naik dan berhenti sembarangan. Semua kendaraan itu memiliki aturan dan konsekuensinya sendiri. Kendaraan mana yang akan kamu pilih?

Mungkin kamu tiba-tiba ingin mengubah tujuan ketika masih di perjalanan. Misalnya ketika mengobrol dengan teman perjalanan tentang Yogya kamu tertarik untuk pergi ke Yogya saja. Dan serta merta kamu meminta berhenti untuk pindah kendaraan ke Yogya. Atau kalau kamu mau menunggu sebentar untuk singgah dulu di Bandung kemudian naik kendaraan lain menuju Yogya. Tentu saja kamu akan mengalami sedikit kerugian waktu dan biaya.

Apakah salah mengubah tujuan?

Jangan pernah merasa salah karena memilih Bandung sebagai tujuan kalau kamu memang tidak pernah tahu Yogya sebelumnya. Boleh jadi juga setelah kamu ke Yogya kamu mendapat informasi tempat yang bagus di luar negeri. Jangan berkata, "Yah tahu gini saya gak perlu ke Bandung dulu, langsung saja ke luar negeri." Tidak perlu bilang seperti itu karena kalau kamu tidak ke Bandung maka kamu tidak mendapat informasi tentang luar negeri itu.

Jangan pernah merasa kuatir kalau cita-cita kamu sekarang ternyata bukan itu yang kamu lakukan nanti. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang masa depannya. Tugas kita berikhtiar dengan ilmu dan kemampuan kita, kemudian bukalah hati seluas-luasnya untuk menerima ketentuan Allah. Karena Allah yang mengilhamkan jalan yang terbaik. Pasti ada rahasiaNya ketika Allah mengilhamkan "Bandung" yang pertama kali untuk dikunjungi. Karena dari situ kamu akan menemukan pilihan jalan yang lain.

Nah, Bandung, Yogya atau luar negeri adalah cita-cita yang terpikirkan oleh kamu sekarang.
Kendaraan adalah perguruan tinggi, fakultas dan jurusannya.
Uang untuk membayar adalah bakat dan kemampuan kamu.
Sementara perjalanan Jakarta-Bandung itu adalah seperti proses belajar kamu di perguruan tinggi.

*Setting asli konseling berupa tanya jawab dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak siswa untuk menemukan sendiri jawabannya.
REWARD VS PUNISHMENT

Para pendidik, baik itu guru maupun orang tua, kerapkali mengira bahwa "reward and punishment" atau "hadiah dan hukuman" adalah bicara tentang materi dan menyakiti fisik. Sehingga responnya seringkali adalah menolak. Menganggap reward akan memanjakan dan punishment akan menyakiti.

Reward dan punishment bisa dipandang dengan cara lain,
Reward adalah konsekuensi dari suatu perilaku yang membuat perilaku itu berpeluang besar diulangi kembali dan
Punishment adalah konsekuensi terhadap suatu perilaku yang membuat perilaku kemungkinan besar akan menghilang. Reward dan punishment bisa terjadi tidak sengaja maupun disengaja.

Ketika seorang anak menceritakan pengalamannya di sekolah, dan orang tuanya menanggapi setengah hati, tidak menatap mata anak dengan antusias, merespon sekedarnya, memotong pembicaraan anak, panik, menimpali dengan segudang nasihat, atau respon tidak menyenangkan lainnya. Maka respon orang tua dihayati sebagai "punishment" oleh anak, sehingga peluang dia untuk mau menceritakan berbagai macam hal menjadi menurun. Anak menjadi malas berbicara dengan orang tua, kurang terbuka, tidak artikulatif, tidak jujur, tidak sopan dan lainnya.

*Modifikasi perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi terhadap respons
BALADA KELAS AKSELERASI

- Bu saya kayaknya tambah bodoh. Atau jangan-jangan saya memang bodoh beneran.

+ Gimana ceritanya kamu bisa mikir begitu?

- Dulu waktu SD saya gampang bener dapat nilai bagus. Sekali diajarin langsung ngerti. Gak pake belajar habis-habisan. Kok sekarang kayaknya susah bener dapat nilai bagus. Jangan-jangan hasil psikotes saya salah ya bu. Saya sebetulnya gak pinter-pinter amat.

+ Coba sini lihat, kamu itu punya kecerdasan luar biasa. Dalam populasi paling hanya 5-7 persen yang punya kecerdasan seperti kamu. Itu gift, hadiah dari Allah buat orang-orang tertentu. Ibaratnya kekayaan, kamu itu seperti anaknya orang kaya. Kamu bisa memperoleh apa pun yang kamu mau karena orang tua kamu kaya.

Waktu SD ketika mendapat pelajaran, kamu bisa langsung paham tanpa belajar habis-habisan. Nah teman-teman kamu harus berulang-ulang belajar, mengerjakan PR, itu pun belum tentu bisa langsung mengerti juga. Nah apa yang berbeda? Teman-teman kamu mengembangkan pola berusaha dan bersabar.

Kalau kita bandingkan anak orang kaya dan anak orang biasa-biasa saja, maka anak orang kaya bisa dapat warisan dari orang tuanya dan memperoleh keinginannya tanpa harus menunggu. Sementara anak orang biasa harus bekerja habis-habisan kalau mau kaya. Dan mereka juga belajar menahan diri karena tidak setiap keinginannya langsung dapat diperoleh.

- (Ngangguk-ngangguk dan matanya tiba-tiba bercahaya), Ah saya ngerti bu. Teman-teman saya mengembangkan pola berusaha dan bersabar, sedangkan saya tidak karena saya cepat paham. Sekarang saya sekolah bareng sama anak-anak yang kecerdasannya sama dengan saya dan saya keteteran karena saya tidak terbiasa berusaha dan belajar keras.

+ Nah, padahal saya belum selesai cerita, tapi kamu sudah menangkap ujungnya, berarti kamu cerdas kan ...

*Berhati-hati dengan kemudahan dan kelebihan. Ketika terlena, maka ada yang akan hilang dari diri.
HARAPAN YANG MENJADI BEBAN

- Bu, kayaknya saya salah badan

+ Maksudnya bagaimana?

- Harusnya saya laki-laki bu. Ini badan, bukan badan saya.

+ Apa yang bikin kamu merasa seperti itu?

- Gak tahu, pokoknya saya merasa lebih nyaman pakai baju laki-laki, saya lebih suka bareng sama teman laki-laki. Saya gak suka kegiatan perempuan, masak, jahit, beres-beres.

+ Sejak kapan kamu merasa seperti ini?

- Kalau pakai baju laki-laki sih dari kecil bu. Kata ibu saya, bapak dulu pingin banget punya anak laki-laki, soalnya kakak saya perempuan semua. Terus pas waktu saya kecil saya sering dipakein baju laki-laki. Saya gak boleh nangis bu. Saya dimarahin kalau nangis. Saya harus kuat. Saya juga sering diajak main bola sama bapak. Gak tahu kapan mulainya bu, kayaknya sih waktu SD, saya jadi senang aja kalau main sama teman laki-laki daripada main sama teman perempuan. Kalau main sama perempuan jadi males, berisik ...

+ Nah, perasaan kamu bagaimana sekarang?

- Gak enak bu, kayak ada yang salah gitu. Badan saya perempuan, tapi saya ngerasa gak nyaman. Tapi saya juga takut bu. Saya takut dosa.

+ Dan apa yang kamu inginkan?

- Saya ingin tenang bu

+ Dan apa yang bisa membuat kamu tenang?

- Kalau saya melakukan apa yang saya suka

+ Dan melakukan apa yang kamu suka itu yang seperti apa?

- Saya suka olah raga sampai keringetan, saya suka naik gunung, saya teriak keras-keras di puncak gunung, saya ngadu sama Tuhan ...

..... proses masih berlanjut sampai beberapa sesi dengan forgiveness dan future pacing.

*Berhati-hatilah dengan harapan dan keinginan orangtua karena di kemudian hari bisa menjadi beban bagi anak ...
DIFABLE VS DISABLE

- Saya kasihan bu, anak saya kan punya keterbatasan, masa saya harus membiarkan dan tidak menolongnya. Gak tega bu melihatnya berjalan terpincang-pincang. Kan lebih cepat kalau saya gendong saja.

+ Ibu ingin meninggalkan anak ibu seperti apa?

- ... eeeh ... harus ada yang jaga dan menolongnya bu ...

+ Ada yang mau jaga dan menolong anak ibu setiap saat, dengan penuh kasih sayang, ikhlas tanpa pamrih sepanjang hidupnya seperti ibu?

- (si ibu matanya menerawang ... kemudian berkaca-kaca ...) ...
Gak ada yang bisa merawat anak saya sebaik saya bu ...

+ Jadi ibu mau membuat anak ibu seperti apa?

- Dia harus bisa mandiri ya bu? ... tapi saya gak tega ... (mulai menangis)

+ Ibu, lebih gak tega mana ... ibu sekarang melihat anak ibu susah payah belajar atau nanti ketika besar, ketika ibu tidak ada, anak ibu menjadi beban bagi orang lain ....?

...

*Difable (different ability) bukan disable (dis-ability).
Anak yang memiliki ketunaan fisik/mental bukan tidak mampu melakukan suatu pekerjaan tapi dia berbeda cara untuk melakukan pekerjaan tersebut. Tugas kita adalah membantu dan mengakomodir agar mereka bisa melakukan pekerjaan tersebut secara mandiri dengan caranya sendiri.
BULLYING LAGI

- Satu lagi mahasiswa yang meninggal karena bullying dari seniornya. Bukankah para senior itu sudah pernah tahu bagaimana tidak enaknya dibully. Apakah yang mereka rasakan adalah empati? TIDAK ... yang mereka rencanakan adalah pembalasan pada juniornya.

- Para pelaku pelecehan seksual pada anak-anak itu mereka mengaku dulunya adalah korban pelecehan seksual juga. Apakah setelah itu mereka melindungi anak-anak dari pelecehan seksual? TIDAK mereka malah menjadi predator bagi anak-anak (kecuali para survivor yang pernah memperoleh pertolongan)

- Para wakil rakyat yang sedikit sekali membantu rakyat dan lebih mendahulukan kepentingan partainya, apakah mereka dulu pernah merasakan susahnya menjadi rakyat? YA, tapi .... sudah lupa tuh ....

-----------------------------------

Pekan lalu status path Dinda menyebar di mana-mana. Komen pada umumnya menggaris bawahi mengenai empati. Orang-orang tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang wanita yang satu saat akan hamil bisa berpikir buruk tentang wanita hamil dan enggan memberikan kursinya.

Empati mungkin bisa tumbuh karena kita pernah atau akan mengalami suatu kondisi Tapi keinginan menolong hanya tumbuh kalau kita pernah merasakan betapa nikmatnya memperoleh pertolongan saat kita benar-benar membutuhkan.

Bila kita pernah berada dalam posisi ditekan dan tak ada pertolongan, maka empati apalagi keinginan menolong tak akan pernah tumbuh. Dan itu yang terjadi pada orang-orang yang dibully, mengalami pelecehan seksual dan tekanan lainnya.

*Mencari celah dan mengajak untuk menghentikan lingkaran setan ...
SEX EDUCATION PENTING ... TAPI GIMANA CARANYA?

Banyak orangtua dan guru shock dengan terkuaknya kasus-kasus kekerasan seks pada anak. Seperti puncak gunung es, ternyata di bawah permukaan laut ada bongkahan es massif yang berlipat kali besarnya.

Para profesional, psikolog dan dokter menawarkan, ajarkan anak mengenai pendidikan seks oleh orang terdekat dan terpercaya yaitu orangtua dan guru. Termasuk guru mengaji di masjid pun perlu terlibat aktif memagari moral anak. Kalau tidak, anak akan mencari informasi mengenai seks pada teman dan media, baik yang "syubhat" maupun yang "haram."

Para orangtua jengah dan canggung. Cara yang ditawarkan dipandang vulgar. Banyak berkilah dengan mengatakan, "Dulu ayah ibu kami tidak mengajarkan juga, tapi kami bisa selamat kok ..." Lupa kalau mereka tengah berdiri di lintasan lari, berlomba dengan kecepatan perkembangan media dan teknologi.

Mau menunggu sampai bagaimana?
Sibuk mengkritik cara, tapi tetap tak melakukan apa pun ...

*Status edisi galau ... hehehe ...

Biar galau tetap melakukan sesuatu kok.
Bersiap menyusun materi program pendidikan seksualitas untuk para guru di berbagai sekolah seluruh Indonesia. Semoga berkah dan manfaat, aamiin.
BAGAIMANA ANAK COPING DAN SOLVING PROBLEM

Anak-anak yang seperti apa yang memiliki peluang untuk dapat segera pulih dari pengalaman buruk dalam hidupnya?

1. Anak yang terbiasa berpikir fleksibel.
Anak-anak ini lebih mudah untuk mengubah cara pandangnya dan mencari alternatif solusi mengatasi masalahnya. Maka anak perlu diberi kesempatan mencari berbagai ide, diberi kesempatan menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak dipasung dengan instruksi yang kaku.

2. Anak yang memiliki banyak teman dan aktivitas.
Mereka memiliki banyak pilihan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatiannya, sehingga tidak terus-menerus terpaku pada peristiwa buruk yang dialaminya.

3. Anak yang memiliki tempat untuk curhat.
Mereka dapat mengungkapkan perasaannya dengan nyaman dan tidak mengendapkannya dalam hati sehingga berkerak dan menimbulkan stress bekepanjangan.

4. Anak yang memiliki orangtua serta keluarga yang melindungi dan memberikan dukungan penuh.
Anak-anak ini memiliki tempat berpijak yang kokoh, tempat berlindung yang aman yang membuat mereka bisa beristirahat dan mengobati luka-luka hatinya.

*Pelajaran dari Trauma Healing korban kekerasan seksual pada anak.
FLEKSIBILITAS BERPIKIR

Bayangkan, anda bersama puluhan orang berada dalam ruang tertutup, hanya ada satu pintu kecil di situ.
Tiba-tiba stop kontak di salah satu sudut ruangan, kortsleting dan meledak. Semua orang panik dan berebut untuk keluar lewat satu pintu kecil yang ada.

Orang-orang yang memiliki masalah seringkali merasa seperti orang dalam ruangan tersebut. Ingin lari dan menghindar tapi tak ada pintu lain yang tersedia. Ia menjadi cemas dan frustrasi.

Pada umumnya "hanya satu pintu dalam ruangan" adalah mekanisme berpikir yang kita buat sendiri yang terbentuk dari proses belajar dan pembiasaan yang panjang. Kita mengira, hanya pintulah jalan keluar itu. Kita tidak terpikir bahwa kita bisa keluar lewat jalan lain selain pintu.

Cara berpikir kaku atau kurang fleksibel ini, bisa terjadi karena kita tidak terbiasa berpikir fleksibel atau karena suatu kondisi emosi luar biasa yang membuat cara pandang kita menjadi sempit.

Fleksibilitas berpikir itu penting, karena:
- Membantu kita untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
- Membantu kita mencari alternatif jawaban yang beragam untuk satu persoalan.
- Membantu kita berpikir kreatif dan menghasilkan ide-ide unik.
- Lebih mudah memahami orang lain yang berbeda pandangan.
- Lebih mudah berempati terhadap kesulitan orang lain.
- Kalau ia seorang guru maka ia berpeluang untuk bisa mengajar dengan beragam cara.
- Kalau ia pemimpin, maka ia dapat mencari solusi yang beragam untuk masalah yang dihadapi
- Tidak mudah cemas, stress dan putus asa,
- Terbuka, menghargai pandangan orang lain dan senang belajar hal-hal baru.

Fleksibilitas berpikir bisa dilatih antara lain dengan cara:
1. Membiasakan mencari beberapa alternatif jawaban untuk satu persoalan. Untuk konteks pendidikan, maka pertanyaan esai lebih memberi peluang berpikir fleksibel daripada pertanyaan dengan hanya satu jawaban yang benar.

2. Untuk orangtua dan guru, memberi kesempatan anak mencari penyelesaian sendiri daripada menginstruksikan anak untuk mengikuti hanya satu cara,

3. Mendorong anak berbicara, tidak hanya mendengarkan orangtua dan guru bicara. Dengan berbicara anak "dipaksa" berpikir, menyusun peta dalam kepalanya dan mengungkapkan dengan bahasa. Proses berpikir dan pemilihan kata adalah bagian dari latihan fleksibilitas berpikir.

4. Berteman dengan banyak orang dari berbagai kelompok akan memberi kesempatan pada kita untuk memahami cara pandang orang lain yang berbeda.

5. Perluas minat, pelajari berbagai hal. Wawasan yang lebih luas akan membuka pemikiran kita.

*Disimpulkan dari pengalaman terkait berbagai kasus.
FOKUS PADA TUJUAN

S: Na ... tujuan kamu adalah sampai di seberang jalan. Apa saja yang kamu bisa lakukan untuk sampai di seberang jalan?

G: Lihat kiri kanan

S: Iya betul itu seperti yang mama ajarkan, ada lagi?

G: Ikut bareng orang pas ada yang mau nyebrang

S: Kalau gak ada orang yang mau nyebrang?

G: Nunggu sampai jalannya agak sepi

S: Kalau jalannya tetap rame juga?

G: Ngangkat tangan pas nyebrang

S: Iya, kalau rameee banget ?

G: Yaaaa .... aku minta tolong deh sama mas-mas di pinggir jalan,

S: Gimana ngomongnya?

G: "Mas tolong saya dibantuin nyebrang dong ..."

S: Ingat, bilang terima kasih ya

....

*Mengajarkan divergent thinking, fleksibilitas, problem solving, menangkap inti masalah dan fokus pada target.
MENGEMBANGKAN ASPEK-ASPEK KECERDASAN ANAK (USIA 2-12 TAHUN)

Menggambar adalah seni, dan seni intinya adalah ekspresi serta kreativitas. Motorik halus adalah pendukungnya.

Jadi menggambar yang baik bukan bicara tentang seberapa presisi obyek yang digambar, seberapa lurus garis yang dibuat, seberapa rapi cara mewarnainya, seberapa "bagus" hasil gambarnya, dll. Perkembangan visual motorik akan mempengaruhi kualitas gambar anak.

Menggambar yang baik adalah yang memberi kesempatan anak mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Trick:
- Daripada membelikan buku gambar berisi 10 lembar kertas yang mahal, lebih baik belikan kertas HVS 1 rim yang lebih murah dan berbagai macam alat gambar, pensil warna, crayon, cat air, spidol, dll. Anak punya kesempatan jauh lebih banyak untuk bereksplorasi.

- Beri kesempatan anak menggambar bebas.
Pada awalnya biasanya anak akan menggambar obyek, kemudian berlanjut ke suasana dan setelah itu dorong anak untuk "menggambarkan" perasaan. Menggambarkan perasaan, sedih, gembira, marah, kesal dll. bukan sesuatu yang mudah, karena bersifat abstrak. Namun cara ini akan mendorong anak juga untuk membuat asosiasi, imajinasi, kreatifitas dan juga mengenal perasaan-perasaannya. Mengenal perasaan akan membantu anak kelak sehingga lebih mudah mengidentifikasi masalah dan menyelesaikannya.

- Hindari memberi penilaian terhadap kualitas gambar anak, misal, "Kok kakinya gede sebelah?" atau "kok mobil rodanya cuma 2" atau "Yang sebelah sini warnanya kurang rapi nih ..."
Bagi anak, mereka sudah melakukan yang terbaik yang mereka lakukan dan mereka tidak akan paham mengapa mereka harus dikritik untuk sesuatu yang di luar kemampuan mereka.

Alih-alih mengkritisi jauh lebih baik bertanya.
"Ini gambar apa?" (misal jawabannya "mobil")
"Mobil siapa ini?" atau "Ada orang gak di dalam mobilnya?"
"Mau pada pergi ke mana nih pakai mobil"
Eksplorasi dengan semua pertanyaan yang mengandung W5H1, Who, What, Where, Why, When and How.

- Pajang gambar yang disepakati
Membuat anak merasa bahwa pikiran, perasaan dan hasil karyanya dihargai dan layak diakui.

*Jadikan semua pengalaman belajar diasosiasikan sebagai pengalaman yang menyenangkan
Balada "MENGAPA?"

Suatu hari sekitar 19 tahun lalu, saya membawa putri kedua saya berusia 1,5 tahun ke dokter ahli craniofacial. Setelah memeriksa dan bertanya, dokter menyatakan bahwa anak saya menyandang satu kondisi langka di mana pertumbuhan tulang kepalanya tidak sempurna. Kondisi ini yang menyebabkan fungsi seluruh organ di kepalanya menjadi kurang optimal.

Pertanyaan spontan saya adalah : MENGAPA hal itu bisa terjadi?

Dokter itu menatap saya dengan mata birunya dalam-dalam, kemudian berkata, "Bagaimana kalau kita tidak bertanya 'MENGAPA,' tapi kita pikirkan APA yang bisa kita lakukan supaya anak kamu bisa berkembang dan berfungsi dengan baik di masa depan?" Kalau kamu bertanya 'MENGAPA', maka ada sangat banyak kemungkinan yang bisa dikatakan, tapi semua itu tidak berarti apapun buat kamu sebagai orangtua, karena kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
....
Bertahun-tahun kemudian, saya semakin memahami bahwa bertanya "MENGAPA" kadang tidak menyelesaikan masalah. Ia malah membuat orang menjadi bertambah cemas. Ketika belajar hipnoterapi dan belajar komunikasi dengan basic NLP, para trainer juga menyarankan menghindari pertanyaan "MENGAPA."

Tapi saya tahu anak-anak kecil dalam perkembangannya kerapkali bertanya "MENGAPA" misalnya,
"Mengapa mobil bisa bergerak?"
"Kenapa daun bergoyang kalau kena angin"
"Kenapa adik bisa lahir"
dan ratusan bahkan ribuan kenapa yang membuat orangtua pusing.

Apakah mereka tidak boleh bertanya 'MENGAPA'?
Kapan waktu yang paling tepat bertanya 'MENGAPA'?

Sementara ini saya menyimpulkan, bahwa ketika kita memiliki 'kuasa' untuk mengubah sesuatu maka bertanya "MENGAPA" akan bisa membawa kita untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Tapi ketika kita tidak memiliki 'kuasa' untuk mengubah sesuatu, maka alih-alih bertanya "MENGAPA" nampaknya jauh lebih baik bila kita bertanya "APA" yang bisa kita lakukan?

Ketika seseorang terus-menerus bertanya 'MENGAPA" pada sesuatu yang tidak bisa diubahnya, misalnya,
- masa lalu,
- keturunan,
- kondisi fisik,
- takdir, dll.
maka ia menjadi frustrasi dan menambahkan kecemasannya. Saat itu ubahlah pertanyaan menjadi "APA yang bisa saya lakukan supaya saya bahagia dengan apa yang saya miliki"
BALADA PENGHAPUS DAN PENGGARIS
Dalam papper and pencil test yang dilakukan pada tes klasikal, salah satu ketentuannya adalah tidak diperkenankan menggunakan penghapus dan penggaris ketika mengerjakan tugas. Saya melihat bahwa kelompok anak yang paling gelisah dengan ketentuan tersebut adalah anak usia SD.

Anak usia SD seolah seperti memiliki ketergantungan luar biasa pada penghapus. Mereka bisa menghapus setiap 30 detik hingga 1 menit saat menulis atau pun menggambar. Gerakan tangan menghapus ini seperti otomatis, mencoret sedikit langsung hapus, mencoret sedikit langsung hapus. Perlu waktu lama bagi mereka untuk benar-benar yakin bahwa garis yang dibuat sudah cukup memadai. Teguran verbal agar tidak menghapus sama sekali diabaikan. Bila penghapus disuruh dimasukkan ke dalam tempat pensil atau tas, selalu ada anak-anak yang diam-diam mengambil kembali penghapus dan menggunakannya.

Menarik melihat perilaku anak ketika penghapus diambil oleh pengawas dan diletakkan di meja depan, Ada anak yang menggunakan karet gelang untuk menggantikan penghapus, ada yang menggunakan air ludahnya kemudian menggosok garis yang salah sehingga mengakibatkan bercak hitam di kertas. Meminta ganti kertas, membalik kertas, mencoret gambar atau tulisan yang salah atau kalau tidak menemukan jalan dia akan menengok kiri kanan melihat pekerjaan teman, mencontek, atau menggerak-gerakkan badannya menunjukkan kegelisahannya.

Tentang penggaris pun sama juga ceritanya. Biasanya anak-anak ini spontan mengeluarkan penggaris ketika mereka akan menggambar benda atau bentuk-bentuk yang memiliki garis lurus. Menggambar rumah, balok, tiang, bahkan menggambar garis horizon sekalipun. Apabila dilarang mereka juga akan menjadi sangat gelisah.

Saya bertanya dalam hati. Apa yang terjadi dalam proses pendidikan baik di di rumah dan terutama di sekolah yang membuat anak-anak ini begitu takut membuat kesalahan. Apakah karena adanya tuntutan selalu harus benar, rapi dan persis seperti apa yang diberikan oleh guru (dan orangtua)?

Teman-teman, para orangtua dan guru, saya kira kalau kita mengharapkan anak-anak yang spontan, berani dan juga kreatif, maka hal itu juga perlu dilatihkan dalam keseharian. Buat anak-anak itu berani untuk menampilkan apa adanya. Kurangi tuntutan untuk harus selalu benar, selalu sama dengan orang lain atau selalu rapi. Berikan apresiasi pada apa pun usaha yang ditampilkan oleh anak. Biarkan anak menghayati bahwa melakukan kesalahan bukanlah dosa tak berampun. "Kesalahan" adalah cara belajar untuk menjadi lebih baik.

Bila kita tak memberi kesempatan pada mereka untuk melakukan kesalahan, maka peluang perilaku tidak percaya diri, tidak jujur, manipulasi, dlsb. akan muncul lebih besar.

*Ongkos emosi ketidakpercayaan diri, jauh lebih mahal daripada memberikan kesempatan anak membuat kesalahan kecil pada masa kecilnya.
DAN KAU PERLAKUKAN TUHAN SEPERTI APA?


- Seorang bapak berusia 50 tahun berkata, "Bu, mulai pagi ini saya berhenti shalat. Buat apa? Tak ada gunanya, berpuluh tahun saya beribadah, ternyata sekarang Tuhan membuat saya cacat seperti ini. Tuhan tidak adil. Mengapa saya harus melakukan perintah Tuhan kalau ternyata Tuhan membuat saya menjadi orang buruk seperti ini"

- Seorang pemuda berusia 20 tahun berkata, "Saya akan bunuh bapak saya. Bapak saya mengkhianati ibu saya, bapak saya tidak bertanggung jawab pada anak-anaknya. Dia membuat saya harus bekerja keras menghidupi keluarga. Dari kecil, Bu, dari kecil saya melihat bapak memukuli ibu, dari kecil saya harus berjualan untuk menambah belanja keluarga. Sakit hati saya. Di mana Tuhan yang harusnya menolong saya, Bu?"

- Seorang istri berusia 40 tahun berkata, "Saya akan balas perbuatan suami saya. Memang hanya dia yang bisa selingkuh? Saya juga bisa. Bertahun-tahun saya setia, apa yang diperbuatnya? Dia mengkhianati saya. Mengapa Tuhan tidak menolong saya, saya sudah menjadi wanita sholihah berpuluh tahun. Saya percaya betul bahwa wanita yang beriman adalah untuk laki-laki yang beriman. Ternyata ayat itu bohong, buktinya, saya baik suami saya bejat."

- Seorang pemuda 17 tahun berkata, "Saya tak percaya Tuhan bu. Kalau Tuhan itu Maha Baik dan Maha Adil mengapa Tuhan menciptakan saya berbeda dari orang lain. Saya berwujud laki-laki, tapi hati dan jiwa saya perempuan bu. Itu kan bukan salah saya. Bukan saya yang mau diciptakan seperti ini. Tapi kenapa ketika saya menampilkan diri seperti ini, orang-orang malah menghakimi dan menyalahkan saya?

- Seorang wanita usia 40 tahun berkata. Bukan mau saya untuk tidak punya anak Bu. Tuhan yang membuat saya seperti ini. Tapi kenapa suami saya tidak mau menerima saya apa adanya. Dia malah berpikir untuk menikahi wanita lain. Apa salah saya Bu? Kenapa Tuhan membuat saya berbeda dari orang lain, membuat suami saya mempunyai alasan untuk menyakiti saya dan membuat orang-orang menghina saya karena saya tidak bisa punya anak?"

* Apakah mereka semua adalah orang-orang yang bodoh? Mereka semua berpendidikan tinggi.
* Apakah mereka semua tidak memiliki dasar pendidikan agama? Mereka semua dibesarkan dalam tradisi agama yang kuat dan fasih membaca Qur'an.
* Apakah mereka semua orang-orang dhuafa? Mereka semua berasal dari keluarga yang berkelebihan dalam materi dan terpandang di masyarakat.

*Mereka semua membuat saya tercenung, bagaimana Tuhan ditanamkan pertama kali pada hati dan pikiran mereka?
- Apakah Tuhan dianggap sebagai "pesuruh" yang harus memenuhi doa-doa mereka?
- Apakah Tuhan dianggap sebagai "penjual"? Mereka "membeli" Tuhan dengan ritual ibadah dan kalau mereka tidak memperoleh barang dengan spec yang tidak sesuai keinginan maka mereka berhenti membeli?

Segera teringat surat Ar Rahman ... Fa bi ayya i Robbikuma Tukadzdzibaan ... Dan nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan?

PS: Mohon tidak menghakimi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mengalami cobaan/ujian, lupa, lelah dan perlu ditolong. Hal ini bisa terjadi pada siapa pun termasuk pada diri kita sendiri. Saya mengajak untuk melakukan introspeksi, agar diri, keluarga dan orang-orang di lingkungan kita terlindungi.
EDISI TERBATAS BUKAN ALASAN MENJADI MALAS

+ Bapak kerja apa Nak?
- Jualan bu, gorengan di sekolah
+ Kalau ibu?
- Ibu yang buat gorengannya di rumah
+ Kamu juga suka bantu bapak dan ibu?
- Saya bantu bungkusin gorengan sama jaga adik kalau bapak ibu pergi belanja atau jualan
+ Adiknya umur berapa?
- Masih kecil bu, ada yang masih 5 tahun
+ Terus kalau adik nangis karena lapar bagaimana?
- Ibu sudah menyiapkan dulu, tapi kalau ibu gak sempat, saya yang masakin
+ Lho, kamu sudah bisa masak? Masak apa?
- Nasi goreng, goreng-gorengan, masak sayur yang gampang juga bisa.
+ Wah hebat sekali ,,,
Gimana, kamu mau sekolah di Bogor?
- Mau bu
+ Nanti bapak ibu gak ada yang bantuin lagi dong.
- Kata bapak saya harus jadi orang pintar bu dan kalau saya sekolah di Bogor saya bisa bantu bapak ibu juga. Biaya sekolah saya ada yang bantu dan nanti kalau saya sudah lulus dan bekerja saya juga bisa bantu bapak ibu dan adik-adik.
+ Bogor jauh lho, kamu hanya bisa pulang satu tahun satu kali. Teman-temannya dari seluruh Indonesia, macem-macem sifat-sifatnya.
- Gak apa-apa bu. Saya sudah biasa mengurus diri sendiri.

Wawancara ini berlangsung sekitar 9 tahun lalu di Jayapura. Anak ini masih berusia 12 tahun, laki-laki, anak sulung dan memiliki beberapa orang adik. Ayah ibunya membiasakannya bertanggung jawab dengan membantu orangtua semampu yang bisa dilakukannya. Percaya diri, mudah bergaul dan mau berusaha. Cerdas dan juga berprestasi. Saat kuliah sudah memulai bisnis dan usahanya berkembang hingga lintas propinsi.

Ia membuat saya bertambah percaya bahwa keterbatasan tidak menjadi penghalang kesuksesan. "Hanya" membutuhkan orangtua yang mau berpikir panjang, berkorban, dan sabar memberikan bimbingan.

* Renungan
- Pola asuh tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat ekonomi orangtua.
- Pola asuh juga bahkan tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat pendidikan orangtua.
- Pola asuh ditentukan pada seberapa besar kemampuan orangtua mengantisipasi akibat dari suatu perlakuan.
- Pola asuh ditentukan juga pada seberapa besar komitmen dan kekuatan orangtua melaksanakan konsep dan prinsip yang diyakininya benar.

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...