Minggu, 16 November 2014

TEORI VERSUS PRAKTEK

Saat masih duduk di bangku kuliah, konsep dan teori-teori psikologi dengan lahap disantap dan dicerna. Saat menyelesaikan studi, dengan semangat tinggi dan idealisme yang begitu kuat ingin menerapkan teori-teori yang dipelajari tersebut.

Apa dinyana, realita tak sesederhana teori. Apalagi untuk teori-teori psikologi yang memiliki cukup banyak relevan faktor. Ada banyak persyaratan untuk bisa sampai pada pencapaian yang paling optimal. Seringkali ketika ada jarak yang lebar antara kondisi ideal dan realita yang ada, yang terjadi adalah kekurangsabaran, sikap menuntut atau sebaliknya sikap apatis karena putus asa. Dan tetap saja "kesempurnaan" itu tidak pernah tercapai. Jalan yang paling logis sebetulnya adalah menerima yang ada dan bersyukur atas pencapaian yang diraih, seraya tetap berusaha.

Ketika psikologi perkembangan berbicara tentang pentingnya cinta dan kasih sayang untuk perkembangan emosi anak yang sehat. Tiba-tiba hadirlah anak-anak yang kehilangan kasih sayang, yang menunjukkan protesnya melalui perilaku agresi. Ayahnya tak ada, juga ibunya. Benar, teori bisa menjelaskan mengapa hal demikian bisa terjadi. Tapi siapa yang bisa "dipaksa" menjadi orangtua yang bisa memberikan kasih sayang yang penuh?

Ketika panduan detail untuk pengembangan anak berkebutuhan khusus diperoleh. Disadari bahwa dibutuhkan persyaratan waktu, ilmu, biaya, tenaga dan kesungguhan dari orangtuanya. Tiba-tiba hadirlah seorang ibu dengan anak autisnya. Ia sedih dan lelah. Suaminya pergi dengan menyalahkan sang ibu yang melahirkan anak autis. Sang ibu merasa tak mungkin pergi juga meninggalkan anaknya, meskipun ia benar-benar berada dalam kondisi putus asa tak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Di titik ini panduan ideal tersebut menjadi seolah tak berarti, karena sekalipun sang ibu tahu bahwa ia perlu melakukan banyak hal, tapi ia merasa tak berdaya.

Ada banyak lagi realita lainnya, yang bila diuraikan bisa membuat tercenung. Bagaimana menyelaraskan konsep-konsep ideal tersebut dalam kondisi realita yang ada.

Dan ternyata kegamangan tersebut nampaknya bukan hanya pada bidang psikologi. Saya melihat bahwa dalam banyak area, agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, sains, teknik, dll semua hal ini terjadi.

Ketika berbicara tentang agama yang diyakini benar, ternyata realitanya adalah kita dihadapkan pada ragam value dan tuntutan untuk hidup berdampingan dengan damai.

Ketika berbicara tentang kebahagiaan yang dicapai dengan kemakmuran, ternyata realitanya ada orang yang miskin atau dimiskinkan oleh sistem. Mengubahnya tidak sesederhana memberi makanan, pakaian atau uang.

Ketika berbicara tentang kekuasaan dan keinginan untuk mengatur orang lain dengan cara yang kita mau. Realitanya adalah ada banyak orang yang juga memiliki keinginan yang sama dengan kepentingan yang berbeda.

Ketika kita berhasil membuat pencapaian teknologi yang tinggi, realitanya kemampuan adaptasi dan perkembangan mental kita tidak secepat perkembangan teknologi.

Teori dan konsep-konsep yang benar, tetap perlu kita pelajari, sehingga kita memperoleh gambaran dan arah yang jelas. Tapi penerapannya membutuhkan kelenturan dan kreativitas. Serta keterbukaan untuk menerima segala hal yang mungkin terjadi, kegagalan maupun keberhasilan.

Wallahu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...