Selasa, 11 November 2014

RINGANNYA MENCARI KESALAHAN, MENUNJUKKAN APA?

Tulisan ini dimaksudkan terutama sebagai refleksi bagi diri saya sendiri.

Dalam ruang konsultasi adalah sangat biasa saya menemukan klien yang menyalahkan pihak lain atas masalah yang dihadapinya. Mungkin sekitar 90 persen jumlahnya. Kalau seorang remaja yang hadir, maka ia akan menyalahkan orangtua, adik/kakaknya, teman, atau guru. Kalau seorang istri yang datang, maka ia menyalahkan suami, ibu mertua, ipar atau tetangganya. Kalau seorang ibu yang datang, ia menyalahkan anaknya, anak tetangganya, guru anaknya, teman anak di sekolah, hape anaknya, games, dll. Kalau seorang bapak yang datang, ia menyalahkan anaknya, ibu anaknya, media sosial, film, TV, sistem pendidikan, menteri sampai presiden. Bahkan tidak jarang yang menyalahkan negara dan Tuhan. Relatif jarang yang menyalahkan dirinya sendiri.

Ternyata itu bukan hanya di ruang konsultasi saja. Dalam keseharian pun demikian.

Sekumpulan ibu-ibu menunggu anak TK-nya di sekolah,
"Anak saya itu lho jeng, ampun deh susah bener makannya. Diemut melulu sambil main games. Sampai susah saya maksa buka mulutnya."

"Eh lebih lebih anak saya Mbak. Si abang itu kalau sudah main games dipanggil pun gak noleh. Sampai cape saya manggilnya. Si Mbak-nya lagi, bukannya si abang dijagain eh malah dia pacaran sama supir tetangga."

Bapak-bapak di kantor ngobrol sambil minum teh hangat.
"Pemda ini apa aja sih kerjanya, masa macet di mana-mana. Kalau saya gak ambil jalur busway tadi, bisa jam berapa saya masuk kantor"

"Habisnya pada korupsi sih di mana-mana. Gak beres begini jadinya negara kita. Saya pak tadi pagi ambil jalan potong. Eh pak polisi itu iseng banget, biasanya gak ada polisi di situ, tadi pagi malah dia jaga di situ. Kena deh saya. Kalau saya gak kasih uang, jadi lama perkara."

Di media sosial, kesenangan menyalahkan pihak lain atau mencari keburukan pihak lain, tersalurkan dengan baik. Kesempatan itu datang begitu mudah karena sekali click ratusan orang bisa membaca. Selain itu, si penulis bisa menutup identitasnya dengan pilihan-pilihan julukan beragam, yang mistis "Ratu Pantai Selatan", yang agak filosofis "Sang Pencari Kehidupan," yang patriotis "Pemuda Pembela Keadilan" atau yang lebih religius "Sang Pencari Hikmah" belum lagi para ABG dengan nama-nama anehnya "Kucingkejepitpintu" "Jomblomenantigadis" dll.

Kalau saya membaca komen seorang penyanyi di Youtube misalnya, orang luar negeri bisa begitu menghargai dan memuji penyanyi Indonesia, yang luar biasanya didegradasi oleh orang Indonesia sendiri. Pemimpin-pemimpin kita, dibully habis oleh rakyatnya, karena kekurangnya dan menafikan kelebihannya. Padahal ternyata kebijakan dan keputusan-keputusan mereka diakui dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain.

Pantaslah mengapa dalam budaya kita ada peribahasa "Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan terlihat." Saya penasaran, adakah pepatah semacam itu dalam budaya lain?

Sekarang saya menengok diri. Ada yang salah kelihatannya dengan cara berpikir kita. Kebiasaan mencari kesalahan dan keburukan itu mengkristal dan menjadi penyakit hati dalam diri. Kita menjadi orang-orang yang kurang bersyukur dan tidak menghargai penciptaan Allah. Dalam konteks psikologi, itu menunjukkan juga kita adalah orang yang memiliki konsep diri negatif. Merasa kurang dan rendah dan merasa harus melindungi diri dengan cara melihat keburukan orang lain. Kita merasa "selamat" ketika melihat keburukan orang lain dan menghibur diri, "Tenang saja, ada lho orang lain yang lebih buruk dari kamu ..."

*Saya bukan orang yang steril dari pengaruh, jadi saya meminta bantuan siapa pun untuk mengingatkan saya bila saya melakukan hal yang sama seperti di atas. Sibuk memikirkan keburukan orang lain, dan lupa memperbaiki diri.
Bismillah ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...