Sabtu, 01 November 2014

WM VS FTM - yws

WM (Working Mother) dan FTM (Full Time Mother) adalah istilah populer yang sekarang digunakan untuk membedakan ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Topik ini tetap saja menarik dan nampaknya tidak akan pernah basi didiskusikan sampai kapan pun. Apakah lebih baik menjadi FTM ataukah menjadi WM. Diskusi ini semakin runcing ketika bersinggungan dengan masalah real dan praktis yaitu terkait tugas mengasuh dan mendidik anak, masalah ekonomi keluarga, hubungan suami-istri dan juga aktualisasi diri seorang perempuan. Cara pandang terhadap agama pun akan menjadikan diskusi ini menjadi menarik. Kerap kali terjadi pengkutuban yang masing-masing berkeras bahwa posisinya-lah yang terbaik.

Saya ingin mengulas hal ini dari sudut pandang beragam masalah anak yang datang pada saya. Bisa jadi mewakili populasi masalah yang ada, namun bisa juga tidak mewakili populasi yang sebenarnya.

Dari kasus-kasus yang saya terima, ternyata kesimpulan umum yang saya peroleh adalah, masalah anak tidak langsung terkait dengan apakah ibunya WM ataukah FTM. Bagaimana ceritanya?

Setiap masalah anak, berdiri sendiri. Ia memiliki latar belakang dan penyebab yang unik satu sama lain. Betul, adakalanya kondisi WM yang sibuk dan kurang dapat menyisihkan waktu untuk anak menjadi alasan pada masalah anak. Tapi menariknya masalah yang sama, bisa juga terjadi pada FTM.

Saya ambil contoh tentang kemandirian anak. Kalau kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan anak untuk melakukan sendiri tugas perkembangan sesuai usianya, maka anak bisa mandiri atau tidak adalah bergantung pada seberapa besar kesempatan yang dia peroleh untuk menuntaskan sendiri tugasnya, memperoleh bimbingan ketika belum bisa menguasai suatu keahlian dan belajar mengelola emosi ketika mengalami kegagalan.

FTM bisa membuat anaknya tidak mandiri, ketika dia selalu melindungi dan menyelesaikan masalah anaknya. WM juga bisa membuat anak tidak mandiri, ketika ia merasa bersalah karena tidak bisa menemani anaknya dan mengganti "waktu" dengan materi dan kemudahan.

Begitu pula tentang apakah anak terperhatikan atau tidak. WM berpeluang untuk tidak bisa memperhatikan anaknya ketika ia berada di luar rumah. Tapi hati-hati, FTM juga bisa saja tidak memperhatikan anak ketika ia sibuk setiap hari dengan tugas-tugas rutin rumah tangga dan mengurus anak-anak lainnya.

Ada anak yang bangga karena ibunya WM. Ia senang karena ibunya memiliki pengetahuan luas, percaya diri, mandiri dan bisa mengikuti perkembangan jaman, dan (jangan heran) ia juga senang karena ibunya sering tampil rapi, bersih dan tidak lusuh.

Ada juga anak yang bangga karena ibunya FTM. Ia senang ibunya selalu berada di sampingnya. Kapan pun dia mau, ibu selalu ada. Ibunya jago memasak, bercerita, bermain dan ia merasa betul-betul terlindungi.

Masih ada banyak kasus-kasus lain terkait anak yang menjadi semakin bias ketika dicari kesalahannya apakah karena WM atau karena FTM. Jangan-jangan kesalahannya memang bukan pada apakah ibunya WM ataukah FTM. Yang jelas, please deh, baik WM maupun FTM tak perlu lagi gontok-gontokan dan saling memojokkan.

Ibu rumah tangga tidak perlu merasa lebih baik daripada ibu bekerja. Saya yakin seorang ibu rumah tangga pada satu titik akan membutuhkan perempuan yang bekerja. Buktinya, ketika hamil ia mencari dokter kandungan perempuan. Ketika sakit ia mencari perawat perempuan. Ketika sibuk ia mencari pembantu perempuan. Ketika anak masuk TK, ia mencari guru perempuan. Ketika di bandara ia lebih suka diperiksa petugas perempuan, dll. Syukuri saja kelimpahan yang dimiliki sehingga memiliki kesempatan besar untuk bisa mendampingi anaknya. Kesempatan untuk melakukan perubahan mulai dari hal mikro.

Sebaliknya pun begitu, seorang wanita bekerja tidak perlu merasa lebih baik dari ibu rumah tangga. Mengatakan bahwa ibu rumah tangga kerjaannya hanya rumpi dan nonton sinetron. Pembicaraannya kurang berbobot karena hanya berputar pada topik anak dan belanja. Syukuri saja kesempatan untuk bisa berkontribusi kepada masyarakat. Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Kesempatan untuk melakukan perubahan dari hal makro.

Saya ingat pelajaran-pelajaran dari Bapak Endang Syaifudin Anshari Alm. saat-saat dulu menikmati aktivitas mahasiswa di masjid Salman ITB. Ama (begitu beliau menyebut dirinya sendiri), senang sekali menggoda para mahasiswi aktivis masjid ini dengan pernyataan “Wanita itu emosional, setuju ....?” Siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju harus memberikan argumennya. Pernyataan itu serta merta membuat pengajian menjadi gaduh. Yang tidak terima, agak emosi menyatakan pendapatnya, menyanggah dengan berbagai macam cara bahwa ia tidak setuju. Ama akan berkata, “Tuh kan bener, wanita itu emosional.” Bahkan yang diam mesem-mesem pun tidak lepas dari godaannya, “Yang diam berarti setuju kan, kalau wanita itu emosional.” Godaan ini selalu berhasil memancing peserta “terpaksa” bicara. Dan menariknya, pada saat bicara itu, Ama akan membimbing para mahasiswi ini untuk berbicara dengan runtut hingga idenya tersampaikan dan dipahami dengan baik. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan. Sekarang saya menyadari bahwa cara Ama adalah cara yang sama seperti orang-orang melakukan coaching saat ini. Ama memang selalu bilang. Bahwa perempuan perlu belajar berbicara dengan jelas, sistematis dan terkendali. Sehingga pesannya bisa dipahami orang lain dengan baik.

Ama prihatin karena perempuan kurang memperoleh kesempatan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Pengajian-pengajian di masa itu biasanya satu arah, para perempuan enggan atau malu bicara dan jarang ada kesempatan tanya jawab. Kalaupun ada tanya jawab, biasanya sedikit pertanyaannya atau pertanyaannya tidak berhubungan langsung dengan topik yang dibahas. Boleh jadi sekarang pun masih ada hal-hal seperti itu, akan tetapi kesempatan untuk bertanya relatif lebih besar. Ama secara tidak langsung mendidik perempuan untuk bersikap kritis dan mengungkapkan pendapatnya dengan baik. Ama ingin ketika perempuan mengambil keputusan atau melakukan sesuatu tindakan adalah karena kesadaran dan tanggung jawab, bukan karena taklid atau kepatuhan buta, bukan karena disuruh orang lain. Karena bagaimanapun semua yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan sendiri bukan oleh orang lain.

Ama Endang Syaifudin Anshari Alm. (semoga amal jariyahnya dalam bentuk ilmu yang diajarkan tetap mengalir menjadi kebaikan baginya), mengatakan bahwa perempuan itu memiliki 4 peran, yaitu;
1. Sebagai seorang anak
2. Sebagai seorang istri
3. Sebagai seorang ibu
4. Sebagai seorang anggota masyarakat

Untuk melakukan peran-peran itu semua maka dibutuhkan kemampuan membagi waktu dan perhatian. Ama tidak bilang bahwa semua harus dilakukan dalam satu waktu bersamaan. Ama juga tidak bilang bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Hanya saja timing-nya harus tepat, dan perlu dimusyawarahkan dengan berbagai pihak terkait saat mewujudkannya. Bisa jadi dengan orangtuanya saat ia menjadi anak, dengan pasangannya ketika ia sudah menikah, atau dengan anak-anaknya ketika ia sudah mempunyai anak.

Ama mengatakan bahwa Allah memberikan karunia dan berkah luar biasa bagi seorang perempuan. Dan itu semua bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya saja, namun juga untuk diamalkan bagi lingkungan dan agamanya.

Jadi bersyukur dan berbahagialah menjadi FTM jangan lupa ada saat-saat untuk juga berkontribusi bagi masyarakat. Bersyukur dan berbahagia juga menjadi WM, jangan lupa ada waktu dan perhatian yang perlu kita berikan juga bagi keluarga, anak-anak dan suami kita.

Yeti Widiati - Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...