Minggu, 16 November 2014

PERAN 
(Dalam konteks pernikahan)

Kita memiliki berbagai peran dalam hidup. Peran-peran yang kita pandang penting, kita jadikan prioritas. Baik dari sisi alokasi waktu, perhatian dan juga usaha yang kita tampilkan. 

Peran yang paling utama dan perlu kita prioritaskan seyogyanya adalah peran-peran yang sesuai dengan visi misi hidup kita. Peran yang membawa kita lebih mendekatkan diri pada pencapaian target jangka panjang. Peran-peran yang bila kita jalankan akan mendekatkan kita pada kebahagiaan hakiki, dunia dan akhirat.

Namun adakalanya kita memilih menjalani peran yang sebetulnya bukan itu yang paling utama. Peran jangka pendek, peran yang menawarkan kebahagiaan semu, peran yang bahkan mungkin menjauhkan kita dari peran yang utama.

Seseorang bisa saja memiliki belasan peran. Sebagai seorang anak, suami/istri, adik/kakak, paman/bibi, karyawan, dosen, tetangga, ketua RT, dll. Mana yang akan kita prioritaskan? Ada saja orang yang menjawab, "Semuanya penting." Jawaban seperti ini menunjukkan kekurangmampuan untuk memilah yang penting dan lebih penting. Jawaban yang berpotensi menimbulkan kegalauan dan kesulitan dalam pengambilan keputusan.

Masalahnya adalah, kita semua punya batas waktu dan batas kemampuan. Ada yang bisa dengan baik menyandang banyak peran, namun juga ada yang hanya bisa fokus pada beberapa peran saja.

Dalam konteks pernikahan, bagaimana kita membuat prioritas dan menjalankan peran, akan menjadi sangat penting untuk mempertahankan pernikahan. Pada umumnya ketika bercerita mengenai hal apa yang paling penting dalam hidup ini. Banyak orang menjawab “keluarga dan kebahagiaan.” Hal yang paling penting ini yang mendorong mereka untuk melakukan berbagai hal.

Adakalanya orang tidak habis pikir. Ia merasa sudah melakukan banyak hal untuk pernikahan dan keluarganya, seperti misalnya bekerja habis-habisan dari pagi sampai sore, tapi ternyata muncul masalah yang menyebabkan relasi suami-istri atau orangtua-anak menjadi retak. Mengapa suatu aktivitas yang dilakukan untuk membahagiakan keluarga, tapi justru malah membuat hubungan keluarga menjadi renggang.

Dalam sebuah sesi training, saya meminta peserta menuliskan peran-peran yang dipandangnya penting. Seorang laki-laki (sudah menikah dan mempunyai anak) menuliskan perannya sebagai ayah, karyawan, kakak, paman, dst. Menariknya adalah dia tidak menuliskan peran sebagai suami.

Saya bertanya, "Mengapa tidak menulis peran sebagai suami?"
Ia bertanya balik, "Memangnya harus? Kan sudah termasuk dalam peran sebagai seorang ayah."
“Lalu, apa yang dilakukan bapak agar istri tetap cinta pada bapak?”
Bapak tersebut menjadi gelagapan, kemudian dia menjawab, “Errrr .... istri kan sudah seharusnya patuh dan mengikuti perintah suami”
“Apa yang bapak lakukan, agar istri bapak ikhlas mengikuti perintah bapak sebagai suami?”
Dan sang bapak tercenung, matanya menerawang, ia tak menjawab pertanyaan saya lagi.

Adakalanya ketika orang-orang penting di sekitar kita bersikap submisif, pasif dan tidak menuntut haknya, kita lupa bahwa jangan-jangan mereka lah orang-orang yang sebetulnya harus dipertahankan dan dilayani terlebih dahulu oleh kita. Kita serta merta menyalahkan mereka ketika mereka mulai berjarak dari diri kita. Lupa bahwa kita lah yang membuat jarak terlebih dahulu dengan tak memberikan perhatian.

*Kita menginginkan kebahagiaan dalam keluarga.
Apakah kita yakin bahwa yang kita lakukan membuat diri kita dan anggota keluarga kita berbahagia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...