Selasa, 21 Juni 2016

KETIKA ANAK BERHASIL SHAUM - yws

Reward adalah hal yang diharapkan oleh siapa pun saat mencapai keberhasilan. Allah sendiri menjanjikan reward pada hamba yang mengikuti perintah-Nya, baik dalam bentuk kenikmatan syurga di akhirat juga rizki dan kemudahan di dunia, baik yang disegerakan maupun ditangguhkan.

Reward yang paling berpeluang mempertahankan perilaku adalah reward yang bersifat intrinsik, psikologis atau yang tumbuh dari dalam diri. Perasaan bangga karena bisa, perasaan senang karena berhasil, atau perasaan tenang dan nyaman beribadah, jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan kesenangan sesaat karena memperoleh materi (ekstrinsik).


Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, reward berupa materi (barang, uang, janji main ke kebun binatang, dll) sekalipun boleh diberikan namun perlu dilakukan dengan sangat berhati-hati. Reward materi bisa tidak efektif bila terlalu kecil (tidak menarik). Sebaliknya bila terlalu besar, bisa mendorong berkembangnya perilaku lain, misalnya, pamrih dan ketidak-jujuran.

Saat anak-anak saya masih kecil, saya mengizinkan anak memperoleh hadiah yang bersifat konsekuensi logis, misalnya, apabila anak berhasil shaum beberapa hari (tergantung usia), maka saya mengizinkan anak berbuka dengan makanan yang disukainya (Es krim, Jelly, dll). Jadi hadiah itu tidak ada setiap hari. Saat meningkat lebih besar (usia TK), maka saya mengizinkan anak untuk membeli barang yang diinginkannya bila berhasil shaum penuh.

Bila kita mempertimbangkan memberikan hadiah berupa barang, uang, perjalanan, dll. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain;
- Penetapan hadiah baiknya dilakukan sebelum puasa, saat tidak lapar dan didiskusikan dengan anak. Karena menetapkan hadiah saat lapar biasanya menjadi tidak obyektif (terlalu besar/berlebihan).

- Semakin besar anak, tidak perlu lagi memberikan hadiah berupa makanan, barang atau uang terkait dengan shaum. Terutama agar anak mengembangkan niat shaum hanya untuk pengabdian kepada Allah, bukan untuk memperoleh imbalan.

Percayakah anda, bahwa reward yang sangat berkesan dan teringat mendalam bagi anak adalah WAKTU yang ayah bundanya berikan saat sahur dan berbuka bersama anak? Saat shalat maghrib berjamaah atau juga tarawih bersama. Saat-saat indah dan berkesan itu yang akan tersimpan dalam memori anak, bahkan hingga usianya dewasa.

Selamat Shaum dengan gembira bersama Si Kecil.

Yeti Widiati 180616
MEMPERKENALKAN DAN MELATIH SHAUM PADA BALITA - yws

1. Berikan contoh.
Shaum adalah ibadah yang “tidak nampak” dalam artian tidak seperti salat, ada gerakan yang ditampilkan, syahadat ada ucapan yang dilafalkan, zakat ada sejumlah dana yang dikeluarkan dan haji ada rangkaian kegiatan yang dilakukan. Maka Shaum “hanya” memindahkan dan menghilangkan waktu makan. Sementara makan adalah hal alamiah yang dilakukan sehari-hari.

Sehingga yang perlu diperlihatkan dan dicontohkan pada anak adalah, bagaimana libatan emosi orang disekelilingnya saat melakukan shaum. Tetap semangat, tersenyum, melakukan aktivitas secara biasa dan tidak mengeluh saat shaum adalah contoh terbaik bagi anak.

2. Ajak anak sahur sekalipun dia belum tentu berpuasa. Libatkan pula anak dalam seluruh kegiatan ibadah di bulan Ramadhan, menyiapkan shahur dan berbuka, tarawih, tadarus, dlsb.

3. Ajak anak mengisi waktu dengan aktivitas produktif selama shaum, sehingga ia tahu ada banyak pilihan cara untuk mengalihkan perhatian dari rasa lapar atau secara keseluruhan ia tahu bagaimana cara mengendalikan dorongan-dorongannya.

4. Sering-sering memuji usahanya. Tak perlu mengabaikan keluhannya saat lapar atau haus, misalnya dengan mengatakan “Ah, masa sih kamu haus ...” Lebih baik mengatakan, “Iya ya memang haus, bunda juga haus. Gimana ya caranya supaya kita bisa tahan hausnya? Kalau bunda sih biasanya .... (ceritakan ragam alternatif cara yang bisa dilakukan).

5. Berfokuslah pada usaha anak tanpa harus membandingkan dengan anak lain, misalnya, “Tuh anak lain saja bisa, masa kamu gak bisa.” Karena di satu sisi membandingkan akan menumbuhkan rasa kompetisi dan gengsi, namun di sisi lain juga membuat dorongan shaum lebih karena faktor eksternal, ingin terlihat baik di mata orang lain.

Lebih baik kita mengatakan, "Wah kamu hebat, masih kuat sampai jam segini ... terus ya sampai maghrib ... "

6. Sering-seringlah bercerita tentang keuntungan-keuntungan orang yang berpuasa, tentang hikmah sabar, kemampuan menahan diri, dlsb. dengan berbagai kisah. Kisah para Rasul, shahabat, fabel (cerita binatang), atau bahkan kisah-kisah keseharian. Termasuk mengingatkan keberhasilan anak saat bersabar dalam keseharian.

Cerita Rasul dan Shahabat bisa membentuk value dan target ideal jangka panjang. Sementara cerita keseharian akan menjadi contoh konkret bagaimana kesabaran dan menahan diri itu diterapkan.

7. Tumbuhkan kebanggaan pada anak bahwa shaum (dan juga ibadah lainnya) adalah baik, hebat, terpuji, dan bagian dari identitas dirinya sebagai seorang muslim. Sehingga sekalipun orang lain di sekitarnya tidak berpuasa (dengan berbagai alasan), ia tetap berusaha mempertahankan puasanya.

8. Ajarkan dan contohkan untuk tidak makan di tempat umum saat Ramadhan, apalagi memamerkan diri saat tidak berpuasa. Karena prinsip shaum adalah bersabar dan menahan diri bukan hanya terhadap makan dan minum tapi terhadap berbagai dorongan lainnya. Perlu ditumbuhkan rasa malu jika tidak berpuasa dan rasa hormat terhadap orang yang sedang berpuasa.

Catatan: para ibu yang sedang tidak berpuasa, sampaikan secara terbuka pada anak, kalau hari itu sedang tidak puasa, sehingga anak tidak heran jika tiba-tiba menemukan ibunya makan/minum di rumah.

9. Sebelum tidur, lakukan sugesti dengan bisikkan lembut di telinganya. Hindari menggunakan kata “Jangan atau Tidak” karena membuat proses pengolahan informasi di otak menjadi lebih lambat. Daripada mengatakan "Jangan lupa bangun ya ..." Lebih efektif mengatakan (boleh dimodifikasi sesuai kebiasaan dan kenyamanan), “Adek sekarang bobo, besok bangun dan ikut shahur. Yang senang yaaa....” plus senyuman manis. Agar wajah terakhir yang dilihatnya sebelum tidur adalah wajah bunda/ayah tersenyum.

10. Lakukan kembali sugesti yang sama saat anak sedang tidur.

11. Saat membangunkan, usap lembut kepala atau bagian tubuh yang lain. Bisikkan kembali dengan lembut di telinga anak.

12. Bila anak tetap sulit bangun, gendong anak, kemudian pangku hingga duduknya tegak. Beri waktu ia untuk benar-benar terjaga. Hindari membangunkan anak terlalu tergesa mendekati waktu imsak. Beri waktu sekitar 15-30 menit sebelum shahur. Anak bisa bermain atau melakukan aktivitas lainnya terlebih dahulu kalau jarak waktunya masih terlalu jauh.

Yeti Widiati 180616

Senin, 13 Juni 2016

MENUNDA KEPUASAN - yws
Saat berpikir tentang, kapan baiknya berbelanja kebutuhan pokok di bulan Ramadhan, saya tiba-tiba teringat perkataan senior saya, seorang pegiat zakat. "Saya membiasakan diri untuk makan dulu sebelum saya berangkat ke sebuah perhelatan. Itu agar saya tidak terdorong untuk mengambil makanan sebanyak-banyaknya, namun tidak menghabiskan makanan yang saya makan, karena ingin mencoba makanan-makanan lain yang disuguhkan. Saya kan datang untuk memberikan doa restu bukan untuk makannya. Dan saya sedih melihat orang berebut makanan namun kemudian tidak menghabiskan makanan yang diambilnya."
Ketika awal saya mendengar perkataan itu, saya tercekat dan tersindir. Saya justru sering melakukan kebalikannya. Datang ke resepsi dengan perut kosong dan begitu tergoda dengan ragam makanan yang disajikan. Ouch ....
Saya mengambil pelajaran dari sini.
Hindari belanja saat sangat lapar, karena kita cenderung akan membeli hal-hal lain di luar kebutuhan kita.
Hindari mengambil keputusan saat sangat emosi, karena bisa jadi kita mengambil keputusan yang akan disesali kemudian.
Saat fisik kita terganggu, maka emosi biasanya akan terpengaruh. Dan semakin tinggi pengaruh emosi, maka pemikiran pun seringkali menjadi kurang "lurus".
Shaum "hanya" mengurangi dan memindahkan jam makan. Namun ini adalah sarana latihan bagi kita untuk mengelola dorongan dan emosi dalam diri. Kesempatan ini layak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melatih diri.
Penelitian longitudinal Mashmallow test tentang Delayed Gratification (Menunda Kepuasan) yang dilakukan oleh Walter Mischel akhir tahun 1960-an, menunjukkan bahwa kemampuan menunda kepuasan berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan seseorang dalam menjalani hidupnya. Dan shaum adalah salah satu cara melatih menunda kepuasan.
Yeti Widiati 070616
JUJUR ITU BERANI - yws
"Membuat siswa jujur itu sulit, Bu ... "
"Bisa diceritakan pada saya, kejadian yang menunjukkan bahwa membuat siswa jujur itu sulit."
"Jadi kalau siswa terlambat mereka tidak mengatakan hal yang sesungguhnya kenapa mereka terlambat."
"Jadi misalnya ada siswa terlambat, kemudian apa yang biasanya Ibu katakan?"
"Ya, saya bertanya, 'Kenapa kamu terlambat?' Lalu mereka menjawab, 'Taksinya (angkot) lambat jalannya, Makcik', Itu kan bohong, Bu ... "
"Bagaimana Ibu bisa yakin kalau mereka berbohong?"
"Karena saya juga naik angkutan, dan jalannya biasa saja. Paling juga mereka terlambat bangun karena mereka tidurnya terlalu malam. Tapi mereka tidak mau mengakui itu."
"Bolehkah saya memberi saran pertanyaan yang lain tanpa menggunakan kata 'Kenapa' dan supaya anak tidak terdorong berbohong?"
"Silakan Ibu ..."
"Bagaimana kalau pertanyaannya diubah menjadi, 'Bagaimana caranya agar kamu besok bisa datang tepat waktu?'
Saya jelaskan sedikit. Pertanyaan menggunakan kata 'Kenapa' membuat siswa merasa dinilai. Dan dorongan alamiah setiap orang adalah melindungi harga dirinya. Dia tidak mau kelihatan buruk di hadapan orang lain. Oleh karena itu ia akan bereaksi spontan melindungi dirinya, salah satunya dengan berbohong. Pertanyaan mengandung 'Kenapa' dalam konteks pelajaran tidak mengundang emosi, karena bersifat obyektif. Namun pertanyaan 'Kenapa' dalam konteks perilaku dan emosi, cenderung bersifat subyektif dan memicu emosi.
Apabila ibu berfokus pada kedisiplinan siswa (kehadiran tepat waktu), maka saya kira ada baiknya kita berfokus pada tujuan yaitu bagaimana membentuk perilaku yang diharapkan, bukan pada alasan mengapa perilaku buruk terjadi. Maka pertanyaan 'Bagaimana caranya .... dst' secara tidak langsung mendorong siswa untuk berpikir ke depan dan mencari solusi. Bukan mencari beragam alasan untuk mempertahankan diri."
"Wah, saya perlu mencobanya, Bu"
"Silakan dicoba. Adakalanya, siswa yang kurang terbiasa berpikir mandiri dalam menyelesaikan masalah akan kesulitan melakukan ini. Di sinilah peran kita sebagai guru untuk membimbingnya."
*Salah satu fondasi terbentuknya karakter JUJUR adalah BERANI menerima risiko dari kejujurannya. Dan keberanian itu perlu dipupuk dengan rasa aman untuk menampilkan diri apa adanya. Kritik, tuduhan, penilaian adalah bentuk-bentuk "serangan" terhadap harga diri seseorang yang menimbulkan rasa tidak aman sehingga ia takut menampilkan diri apa adanya. Dan ia terdorong untuk menampilkan perilaku defense (pertahanan diri) salah satunya adalah dengan berbohong.
Yeti Widiati 240516
THIS IS MY FUTURE,
Smile Happily when I Die - yws
- Apa saja yang akan kamu lakukan kalau kamu sudah dewasa?
- Saya mau membahagiakan orangtua
- Orangtua kamu akan bahagia kalau kamu bagaimana?
- Kalau saya bekerja dan punya banyak uang.
- Kalau sudah punya banyak uang lalu uangnya mau dipakai apa?
- Beli rumah, mobil, haji buat bapak ibu.
- Pekerjaan apa yang menurut kamu bisa menghasilkan banyak uang.
- Banyak ...
- Misalnya?
- Jadi pengusaha
- Pengusaha apa?
Dst ....
Percakapan seperti itu biasanya saya lakukan pada anak-anak, remaja, bahkan dewasa muda. Saya "menggiring" agar mimpi-mimpi itu bisa di artikulasikan, digambarkan dan dirasakan.
Keinginan akan lebih lekat dalam pikiran apabila sebanyak mungkin sensori terlibat, visual, auditori, tactile, olfactory, gustatory.
Jangankan sampai pada penyusunan tahapan-tahapan pencapaian targetnya, bahkan mengartikulasikan hingga menjabarkan pun tidak selalu mudah bagi banyak anak. Bisa karena memang dia belum memiliki cita-cita atau keinginan yang jelas. Bisa juga karena ia kuatir dengan penilaian dari orangtuanya.
Atas seizin anak saya, saya tampilkan di sini hal2 yang ingin dilakukan anak saya di masa depan. Gambar ini ditempel di kamar kosnya agar bisa dilihat setiap saat.
Dan saya tercenung pada kalimat "Smile happily when I die" yang dijelaskan sebagai, "Aku ingin pas aku mati aku tersenyum karena aku sudah melakukan banyak hal baik buat orang lain ..."
Yeti Widiati 130516
TAK ADA TOMBOL ENTER DAN DELETE PADA ANAK KITA - yws
Para orangtua muda sekarang, umumnya memliki anak yang masih berusia paling tua 12 tahun-an. Mereka para orangtua muda ini termasuk kategori gen Y yang dibesarkan pada masa di mana teknologi digital sudah berkembang. Masa di mana kecepatan menjadi primadona, karena semua proses menjadi lebih cepat. Hal instan menjadi lebih menarik, dan ketekunan serta kesabaran kadang dipandang membuang waktu. Kreatif namun juga berpeluang untuk mudah bosan dan kurang tekun.
Berbagai aspek dalam hidup ini pun terimbas dengan pola kerja teknologi digital yang serba cepat. Perlahan tapi pasti, pun mempengaruhi karakter individu. Ada perubahan-perubahan prioritas yang berkembang berbeda.
Dalam konteks pengasuhan dan pendidikan anak di rumah, saya mengamati dan merasakan pengaruh tersebut. Saya tidak bisa mengatakan bahwa perkembangan teknologi digital adalah buruk. Sebagai media atau alat, maka semuanya seperti pisau bermata dua. Bisa buruk dan bisa baik tergantung dari bagaimana memanfaatkannya.
Orangtua sekarang bisa terinspirasi dan memperoleh ide melalui media sosial dan Youtube. Diskusi parenting juga bisa dilakukan via grup diskusi di FB dan WA. Kelucuan dan kepintaran anak bisa dishare via instagram. Ceramah dan strategi pendekatan pada anak pun dipelajari via Youtube atau searching berbagai website dan blog pengalaman individu. Bahkan banyak yang memanfaatkan medsos untuk curhat.
Tapi ada hal-hal terkait pengasuhan anak yang tidak bisa dilakukan seperti kita mengoperasikan gawai (gadget). Cara kerja multitasking dan instan yang khas pada gawai tidak bisa digunakan untuk membentuk karakter dan perilaku anak. Tak ada tombol ENTER dan DELETE pada tubuh anak.
- Tak bisa anak hanya diberi tahu sekali langsung menurut. Karena pembentukan perilaku itu membutuhkan waktu.
- Demikian pula perbaikan perilaku pun membutuhkan waktu tak bisa seperti kita menekan tombol DELETE lalu ... hilang semua dan kita bisa memulai dari 0 lagi.
- Tak cukup berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak hanya dengan HP atau Skype. Karena anak juga butuh sentuhan dan didampingi.
- Tak bisa menyerahkan pengasuhan pada Games Elektronik, TV atau Video. Karena anak juga perlu aktivitas bergerak dan berinteraksi dengan lingkungan sosial secara alamiah (bukan via medsos).
Tantangan Gen Y memang cukup besar dalam mengasuh dan mendidik anak. Tapi mereka juga punya potensi yang besar pula untuk mengembangkan diri.
*Gen X mereka yang lahir antara tahun 1960-1980
*Gen Y mereka yang lahir antara tahun 1980-2000
Yeti Widiati 060516
PIKIRAN MEMICU EMOSI ... - yws
Saat ada suatu stimulus yang kita terima, maka stimulus ini akan memunculkan pikiran otomatis. Pikiran otomatis ini memicu emosi. Emosi membangkitkan reaksi tubuh dan akhirnya mendorong suatu bentuk perilaku. Perilaku ini bisa menjadi stimulus baru yang kembali memicu pikiran, mempengaruhi emosi, membangkitkan reaksi tubuh, mendorong perilaku, dst. seperti suatu siklus yang tak ada ujungnya. Nyaris seperti siklus ayam dan telur, tak jelas mana yang lebih dulu.
Saya ambil contoh sederhana;
Misalnya, kita melihat seseorang dalam jarak 25 meter, berpakaian lusuh dan membawa golok mendekati kita. Apa pikiran otomatis yang muncul pada diri kita?
Apakah pikiran otomatis kita adalah, “Wah orang ini berbahaya bagi saya” atau
Apakah pikiran otomatis kita adalah, "Wah orang ini mau pergi potong ayam"?
Maka apapun pikiran tersebut akan memicu emosi kita. Mungkin emosi yang muncul adalah perasaan cemas dan/atau ketakutan, atau sebaliknya tetap tenang.
Perasaan cemas dan ketakutan ini membangkitkan reaksi tubuh seperti pucat, berkeringat dingin, jantung berdebar, sakit leher, tubuh kaku, atau sebaliknya lemas, dlsb. dan lebih lanjut menjadi pendorong timbulnya perilaku, misalnya; lari, berteriak, menangis, pingsan, atau biasa-biasa saja.
Penyimpangan pemikiran otomatis menjadi pemikiran negatif bisa terjadi misalnya pada orang yang akhirnya melakukan overgeneralisasi. Dalam kasus di atas, pada akhirnya dia bukan hanya menganggap orang yang berbahaya adalah yang berbaju lusuh dan memegang golok saja. Tapi semua orang yang berjalan mendekati dia dipandang berpeluang untuk berbahaya karena akan menyerang dirinya.
Bayangkan bila bagian tubuh tertentu terserang terus-menerus oleh negative thought dan juga oleh libatan emosi yang begitu tinggi. Tak heran para dokter kerap menerima keluhan fisik yang ketika ditelusuri ternyata berakar dari sebab-sebab psikis.
Siklus yang menimbulkan “penderitaan” ini perlu diputus. Dari mana pun diputusnya. Ada yang memutusnya melalui fisik, misalnya; dengan melakukan relaksasi pada saat tubuh sedang tegang. Ada yang melalui emosi, misalnya dengan memberi peluang orang untuk menyalurkan dan mengekspresikan emosinya. Ada pula yang dengan mengubah melalui perilaku berulang atau pembentukan kebiasaan. Dan ada pula yang melakukan dengan mengubah cara berpikir atau cara pandang seseorang. Namun idealnya adalah kita mengubah sekaligus seluruhnya apabila mengharapkan perubahan yang komprehensif.
Mengubah cara pandang, salah satunya adalah dengan menguji dan menilai pikiran otomatis yang muncul saat stimulus itu datang. Ini adalah kesempatan untuk melakukan proses analisis baik oleh diri sendiri atau dengan bantuan orang lain. Setelah pikiran itu dianalisis, maka selanjutnya melakukan problem solving dan yang terakhir adalah pengambilan keputusan. Ibaratnya makan, maka makanan yang kita terima tidak kita telan bulat-bulat (yang menyebabkan tersedak), tapi perlu kita kunyah perlahan baru kita telan.
Pikiran otomatis itu sendiri terbentuk dari proses panjang pengalaman hidup yang kesimpulannya mengkristal menjadi beliefs dan bahkan value pada diri seseorang. Ia muncul segera setelah suatu stimulus muncul. Dapat dibayangkan bila pikiran otomatis itu berupa pikiran negatif maka menghilangkannya akan membutuhkan waktu yang panjang karena juga terbentuk dalam waktu yang sangat panjang.
Proses mencerna kembali pikiran otomatis, dengan melakukan pengujian, menilai logis atau tidaknya pikiran dan melakukan proses analisis, tidaklah selalu disukai dan “struggling” bagi beberapa orang. Terutama oleh mereka yang terbiasa memanjakan pikiran otomatisnya dan membiarkannya mempengaruhi emosi dan perilakunya. Mereka enggan diajak berpikir agak lebih lama. Lebih suka menelan bulat-bulat informasi yang diterima daripada mengunyah lambat-lambat dan mencerna terlebih dahulu. Umumnya perilaku yang sering muncul adalah, malas berpikir panjang, malas menjawab pertanyaan sulit, abstrak dan filosofis, malas berdiskusi, enggan memecahkan masalah dan menghindari mengambil keputusan yang berisiko.
Tantangan ini menjadi lebih besar pada era digital saat ini. Ketika makanan instan diperlakukan dan dinikmati sebagai makanan pokok. Ketika berpeluh membuat tidak nyaman. Ketika kecepatan diposisikan lebih utama daripada kesabaran. Maka kecepatan menjadi boomerang, karena kecepatan bisa berperan sebagai katalis yang mempercepat siklus terjadinya emosi negatif.
Jadi, ketika memperoleh stimulus (informasi, kejadian, dll), dan memicu negative thought, apa yang perlu kita lakukan?
Nampaknya lebih sehat kalau kita menunda reaksi segera. Tunggu sebentar, cerna, berpikir panjang terlebih dahulu, sebelum mengambil tindakan dan keputusan yang sudah diantisipasi konsekuensinya.
*Sedang menasihati diri
Yeti Widiati 020516
MULTITASKING, BENARKAH? - yws
Di era digital teknologi ini, kita para ibu berpeluang lebih besar untuk melakukan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu. Masak, mencuci sambil mendengarkan radio. Menyetrika sambil mendengarkan rekaman pengajian, Mengetik sambil mendengarkan musik, dll.
Multitasking bisa dilakukan efektif untuk tugas-tugas teknis seperti contoh di atas. Tapi hindari melakukan beberapa pekerjaan sekaligus pada tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi dan intensitas perhatian yang tinggi.
Menyusui bayi, memberi makan anak, bermain atau belajar bersama anak, adalah beberapa aktivitas yang membutuhkan perhatian, kelekatan hubungan dan keterlibatan seluruh sensori. Mata yang menatap, telinga yang mendengar, menyanyikan lagu, pelukan yang hangat, usapan, bahkan detak jantung yang teratur, seluruhnya memberikan efek pada anak kita dan menimbulkan perasaan aman, nyaman dan trust. Itu semua sulit diperoleh secara optimal, bila perhatian terpecah dan sensori terbagi.
Perasaan aman dan nyaman serta trust yang tumbuh pada anak jauh lebih berharga dan bernilai tinggi, dibanding waktu yang hilang karena tidak menggunakan gadget.
Bersabarlah ....
Yeti Widiati 250416
POIN PENTING TERKAIT GAMES DIGITAL - yws
1. Semua adiksi biasanya terkait dengan kekurangan pemenuhan kebutuhan psikologis. Begitupun juga dengan adiksi games. Entah itu kekurangan kebutuhan akan perhatian, penghargaan, variasi kegiatan, penyaluran energi, dll.
2. Sama seperti buku, komik dan film, games juga ada kategorinya. Ada untuk balita, anak, remaja, dewasa. Ada yang untuk menambah pengetahuan, kompetisi, petualangan, dll. Orangtua perlu tahu agar bisa mengizinkan anak bermain games yang sesuai dengan kategori anak.
3. Kebijakan membelikan atau tidak membelikan games tergantung pada orangtua. Maka orangtua juga yang mengatur pemakaiannya. Disiplin ditegakkan oleh orangtua.
4. Anak bermain games bagaimanapun perlu pendampingan. Tidak bisa dibiarkan anak bermain games sendiri tanpa pengawasan dan pengaturan dari orangtua.
5. Teknologi games itu dibutuhkan dalam berbagai bidang. Operasi otak/jantung, militer, disain grafis dll memiliki pola operasi sama seperti mengoperasikan games. Melarang sama sekali anak bermain games, juga kurang realistis karena anak akan membutuhkannya untuk adaptif dengan perkembangan teknologi.
6. Games adalah metode multisensori. Ia mengaktifkan visual, auditori dan kinestetik. Ada gambar yang menarik, berwarna dan bergerak. Ada suaranya dan mengoperasikannya juga interaktif. Sehingga libatan emosinya pun menjadi lebih besar. Bisa dipahami mengapa anak menjadi mudah bosan dengan aktivitas yang monoton dan tidak menarik.
7. Semakin canggih teknologi, maka membutuhkan kemampuan kendali lebih besar. Maka ajari kemampuan kendali terlebih dahulu. Oleh karena itu hindari memberikan games canggih pada anak balita atau anak yang belum memiliki kemampuan kendali yang memadai.
8. Perkembangan anak perlu seimbang. Main games saja itu tidak seimbang. Imbangi dengan aktivitas lain untuk pencapaian aspek perkembangan lainnya. Berlari, berenang, naik sepeda, menulis, membaca, berteman, menyanyi, menari, mengaji, bercakap-cakap, dll. adalah beberapa kegiatan yang juga perlu dilakukan.
9. Games itu menarik dan menantang. Disusun dari mudah ke sulit. Ada sistem reward tapi "tidak" ada punishment dalam games. Setiap membuat kesalahan atau "mati" bisa diulang seberapa banyak pun kita mau. Tidak ada judging (menuduh juga menghina ketika tidak berhasil).
Yeti Widiati 200416
CERMIN - yws
Pernah bercermin?
Suka kah kita dengan bayangan yang kita pandang di cermin? 
Ketika kita "shock" dengan bayangan kita di cermin, biasanya kita segera akan melakukan banyak hal untuk memperbaikinya. Entah dengan cuci muka, gosok gigi, mandi, berdandan, dan lain sebagainya. Kita melakukan semua perbaikan itu dengan sangat ikhlas, karena begitu inginnya tampil baik.
Adakah orang yang marah pada cermin? Mengutuk apalagi kemudian bersumpah tidak akan sekali-kali lagi memandang cermin karena cermin memberikan bayangan yang tidak kita suka. "Buruk rupa, cermin dibelah", begitu kata peribahasanya.
Dalam keseharian boleh jadi kita sering berperilaku seperti itu.
Ketika kita menerima masukan dari orang-orang di sekeliling kita. Alih-alih memperhatikan masukannya, kita malah mencurigai bahwa "si cermin" sedang bermaksud buruk mengejek dan merendahkan kita. Kita berbalik mencerca "si cermin", dan kalau perlu kita pecahkan "cermin" itu. Kemudian kita menutup mata, menolak melihat bayangan yang semakin buruk. Atau kalau perlu kita mencari cermin yang buram yang hanya menampilkan siluette diri kita dan tak merefleksikan bayangan yang jernih sesungguhnya.
Cermin itu bisa nurani kita, bisa juga berwujud teman-teman kita. Namun sangat mungkin, cermin itu berwujud musuh-musuh kita. Karena hanya musuhlah yang paling jeli dan memang sangat berniat melihat kekurangan diri kita.
Musuh-musuh itu seperti cermin dengan permukaan cembung, yang memperbesar segala hal yang tidak teramati mata biasa. Sehingga hal-hal tersembunyi pun menjadi tampak.
Sakit sih, menerima kenyataan, menemukan keburukan dan menyadari bahwa kita tidak sebaik yang kita bayangkan. Tapi boleh jadi, itu lah salah satu awalan untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri.
Yeti Widiati 140416
GUNTING VERSUS GADGET - yws
Ada banyak orangtua yang ketakutan melihat balitanya pegang pisau atau gunting. Responnya super heboh, “Jangan pegang pisau, nanti ketusuk. Pegangnya yang benar....!”
Ketika gelas jatuh dan pecahannya berantakan di lantai, juga heboh luar biasa, “Awas hati-hati, jangan bergerak nanti kena beling ...”
Tapi orangtua dengan nyaman memberikan gadget berfitur lengkap. Bahkan bangga ketika anaknya mahir mengoperasikan gadget canggih.
Padahal lebih mudah mengajari anak menggunakan pisau/gunting.
Padahal lebih cepat pulih mengobati luka terkena pecahan beling.
Jauh lebih sulit mengajarkan kendali diri dan mengatur waktu.
Jauh lebih sulit menghandle akibat menonton video porno yang dishare via gadget.
Mengoperasikan gadget memang jauh lebih mudah daripada menggunakan gunting, tapi resiko gadget jauh lebih tinggi daripada pisau/gunting.
Baik menggunakan gunting maupun mengoperasikan gadget, keduanya membutuhkan pendampingan.
Yeti Widiati 120416
DEFENSE MECHANISM BERBAU AGAMA - yws
- Seseorang men-share berita yang berisikan ayat-ayat kitab suci tanpa mengecek terlebih dahulu sumber dan content-nya. Ketika diingatkan, jawabannya, "Yang penting niat dan tujuannya baik kok, kalau ada yang salah, yang dosa kan yang buat pertama kali, bukan kita yang membagikan ... "
- Seseorang membagikan foto-foto korban kecelakaan, korban perang, perbuatan asusila dan kekerasan, kemudian berkata, "Peristiwa dan kejadian buruk itu harus dishare agar orang tahu betapa jahatnya dia, kita harus menghukum dan menjauhinya. Kalau kita tidak bisa mengubah hal munkar dengan tangan kita, maka minimal kita bisa share berita semacam ini sebanyak-banyaknya agar orang lain waspada."
- Seseorang disakiti orang lain dan berdiam diri, "Saya mah sabar saja, nanti orang itu akan dapat balasannya dari Allah, entah di dunia maupun di akhirat."
- Seseorang mengalami kecelakaan setelah melanggar rambu lalu lintas, dan dia mengatakan, "Ini memang takdir dari Allah saya harus menerima musibah ini."
- Ada orangtua yang selalu memenuhi keinginan anaknya, memberikan hadiah, bantuan dan segala kemudahan hingga anaknya manja dan tidak mandiri kemudian berkata, "Tapi saya kan cinta anak saya. Saya kerja dan dapat uang itu kan untuk membahagiakan anak-anak saya."
- Dst. (silakan dilanjutkan)
Defense Mechanism atau mekanisme pertahanan diri adalah istilah dalam psikologi untuk menjelaskan perilaku otomatis yang tidak disadari yang merupakan upaya pada diri kita melindungi diri kita dari sesuatu yang kita hayati sebagai serangan terhadap harga diri kita. Penjelasan sederhananya, kita akan berusaha untuk menghindari rasa malu, dan rasa bersalah pada diri ketika kita melakukan kesalahan misalnya, dengan berbalik menyalahkan pihak lain (proyeksi).
Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri adalah sangat normal dan wajar. Sama normalnya dengan perilaku ketika kita lari karena takut digigit ular. Menjadi tidak wajar apabila kita lari saat bertemu kucing, ayam, cecak, bahkan nyamuk yang semuanya bukan sesuatu yang secara objektif menimbulkan rasa takut.
Dalam kehidupan nyata, hal itu bisa terjadi misalnya ketika kita menghadapi kekecewaan berteman dengan seseorang, kemudian kita akhirnya menghindari berteman dengan siapa pun karena takut mengalami kekecewaan lagi. Padahal belum tentu juga teman yang lain akan menyakiti dan membuat kita kecewa.
Intinya, defense mechanism yang dilakukan terus-menerus dalam intensitas dan frekuensi yang tinggi menunjukkan kekurangmampuan diri kita untuk menghadapi situasi atau masalah tertentu dalam hidup kita dengan ragam respon lain yang lebih tepat.
Saya kerap menemukan (bahkan tidak jarang saya sendiri melakukan), defense mechanism yang seolah religius. Menggunakan terminologi dan/atau konsep agama padahal sebetulnya kita hanya memanfaatkan agama untuk mendukung perbuatan salah yang kita lakukan.
Mereka yang menggunakan agama sebagai alat defense, entah bagaimana kerap kali juga menjadi jauh lebih emosional ketika diingatkan. Sebaliknya, mereka yang mengingatkan tak jarang akhirnya malah berbalik dibully, karena dipandang menyerang agamanya bukan dilihat sebagai orang yang mengevaluasi perilaku salah. Karena dibully itu maka orang yang mengingatkan akhirnya berubah menjadi apatis (ini juga defense), memilih diam daripada mengingatkan.
Sungguh hati terdalam itu misteri, hanya Allah dan dirinya yang tahu apakah dia bersungguh menyandarkan diri pada agama atau hanya memperalat agama untuk menutupi kesalahannya. Boleh jadi ada orang-orang bijak dan berpengetahuan yang bisa menangkap niat buruk seseorang, tapi biasanya orang-orang seperti ini tidak akan gegabah berkata, "Saya diberi tahu Allah kalau dia sesat, munafik, kafir, dst ..."
*(Tetap) refleksi untuk diri
* Berterima kasih pada teman-teman yang istiqomah mengingatkan saya
Yeti Widiati 060416
MENGAPA SULIT MENGUBAH POLA PERILAKU? - yws
Kita menampilkan perilaku dan pemecahan masalah yang terpola. Pola itu terbentuk melalui proses panjang yang rumit, terkait pembelajaran, kebiasaan, pengamatan, contoh, wawasan pengetahuan, pengolahan berpikir, value, nurani, juga karakter unik pribadi setiap orang. Ada prinsip yang jelas nampak, bahwa bila pola perilaku tersebut berhasil maka orang cenderung akan mengulanginya. Dan bila tidak berhasil maka orang akan cenderung menghindarinya.
Sejak kanak-kanak (bahkan mungkin sejak bayi) prinsip tersebut sudah nampak dan akan berakar semakin kuat ketika individu semakin dewasa. Bila tidak ada keadaan yang mengevaluasinya, maka pola perilaku itu akan mengeras dan nyaris mustahil mengubahnya lagi.
Jadi orang yang sejak kecil hampir selalu berhasil memperoleh keinginannya dengan menangis, maka sesudah besar ia akan meneruskan pola perilaku tersebut dengan cara yang sama. Mungkin tidak persis dengan menangis, meraung-raung seperti anak kecil, tapi bisa dengan mengeluh, atau berwajah murung dan sedih. Orang yang lemah, yang merasa tak berdaya, dhuafa, manja, dll, rentan untuk memilih pola penyelesaian seperti ini.
Mereka yang selalu berhasil mencapai keinginannya dengan marah dan menekan orang lain, akan melakukan hal yang sama juga setiap menghadapi masalah. Mereka yang terbiasa marah, memaksa, menggunakan kekuasaan dan kekerasan tahu betul itu. Sehingga semakin tak ada yang melawan, semakin kuat beliefs tertanam pada mereka, bahwa marah dan kekerasan adalah cara terbaik menyelesaikan masalah.
Materi dan kemanjaan juga sering dijadikan jalan pintas penyelesaian masalah. Menyogok dengan hadiah, uang, makanan, kemudahan, dll. adalah cara penyelesaian yang lumayan melenakan dan membuat orang mengira bahwa itu adalah cara penyelesaian terbaik dan pasti berhasil bagi semua masalahnya. Mereka yang bergelimang dengan harta atau sebaliknya sangat kekurangan harta sangat rentan untuk jatuh pada pola penyelesaian masalah dengan menggunakan materi.
Melarikan diri, apatis, merasa tidak ada masalah juga merupakan pola penyelesaian masalah yang umum dipilih. Seorang ibu yang pernah saya sarankan untuk mengubah pendekatan pada anaknya, karena anaknya berperilaku buruk, berkata pada saya, "Nggak apa-apa bu, saya sih sabar, nanti pasti Allah menolong saya. Saya sering mengalami hal ini, dari kecil saya banyak masalah, tapi Allah selalu memberikan jalan penyelesaian yang tidak saya duga ..."
Dari pengamatan terhadap berbagai kasus, baik klien, maupun diri saya sendiri, saya menemukan bahwa cara atau pola penyelesaian masalah yang sama, pada akhirnya memiliki "waktu expired". Cara itu menjadi basi pada situasi tertentu, waktu tertentu atau orang tertentu. Misalnya, ketika seorang anak selalu berhasil memperoleh keinginannya dengan menangis di rumah, ia menjadi shock dan frustrasi ketika menggunakan cara yang sama dan tidak berhasil di sekolah. Seorang pejabat kaya yang bergelimang harta dan kemudahan, shock dan frustrasi ketika menghadapi sistem hukum yang teguh dan konsisten. Dia akan membabi buta berusaha "membeli" hukum.
Orang yang memiliki peluang besar untuk mengubah dan mengembangkan diri, adalah mereka
1. Yang memiliki kepekaan rasa sehingga ketika nuraninya berbisik menunjukkan salah dan benar ia bisa mendengarnya.
2. Yang memiliki keterbukaan hati dan pikiran, menerima bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Bukan hanya menanggung malu menyadari kesalahannya, tapi juga menanggung malu ketika orang lain melihat kesalahannya.
3. Yang memiliki fleksibilitas untuk mengubah diri, mau belajar dari orang lain dan tekun berlatih memunculkan kemampuan penyelesaian baru. Mereka yang sering berkata, "Saya kan memang orangnya begini dari dulu" mengurangi peluangnya sendiri untuk mengubah diri.
4. Yang peduli terhadap dirinya, sehingga berusaha untuk menjaga kesehatan mental dan fisiknya. Juga peduli pada orang-orang di sekelilingnya. Dan peduli pada masa yang akan datang yaitu masa di mana setiap orang tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengubah dirinya.
*Renungan untuk diri
Yeti Widiati 050416
Ketika Beban seperti Sebongkah Batu
Ada orang yang memandang beban dalam hidup seperti bongkahan batu besar yang harus dibawa olehnya dalam perjalanan hidup ini. Beban-beban ini ia panggul di punggungnya, sehingga punggung, pundak dan lehernya terasa kaku menahan berat yang ia tanggung. Tekanan (stres) bertambah berat ketika ia melihat betapa batu itu begitu besar dan berat. Ia menjadi cemas, meragukan kemampuannya sendiri untuk memanggul batu yang berat tersebut. Kecemasan membuatnya panik dan serba salah, ketika ia menyadari bahwa ada banyak sekali batu-batu lain yang ia pikir harus juga diangkat olehnya.
Beberapa orang mengeluh, "Mengapa batu yang harus saya bawa begitu berat?"
Lainnya mengeluh, "Mengapa batu yang saya bawa begitu banyak?"
Ada juga yang membandingkan, "Mengapa orang lain batunya lebih ringan atau lebih sedikit daripada saya?"
Ada yang berteriak menuntut bantuan, "Mengapa tak ada orang yang membantu saya membawa batu-batu ini?"
Tak jarang yang terjatuh dan menuduh, "Tuhan tidak adil karena memberikan batu yang berat ini pada saya." atau “Ini gara-gara orang lain, maka saya harus membawa batu yang demikian berat dan banyak.”
Namun, ada juga yang berpikir solutif, "Bagaimana caranya saya harus membawa batu-batu ini semuanya?"
Bagi mereka yang menghayati beban dalam hidup ini seperti batu yang perlu ditanggung, dibawa dan dipindahkan, boleh juga mengingat hal-hal berikut ini;
  1. Allah tidak akan membebani seseorang melebihi dari kemampuannya. Maka yakinlah bahwa beban sudah didisain sesuai kemampuan kita. Dan bahwa setiap kesulitan selalu diiringi dengan kemudahan.
  2. Kalaulah setiap batu mewakili sekian banyak beban dalam hidup, maka boleh jadi tidak semua batu harus kita bawa. Tidak semua beban harus kita tanggung. Pilih yang paling prioritas, yang benar-benar menjadi tanggung jawab kita, dan tidak ada orang lain yang bisa membawanya selain diri kita. Itu lah beban yang kita bawa.
  3. Tinggalkan beban/masalah yang berada di luar jangkuan kita (masalah orang lain, masalah tetangga, dll) bukan tanggung jawab kita secara langsung. Jangan merepotkan diri dengan hal yang kita tidak sanggup menanganinya. Gunakan filosofi keselamatan di pesawat, “Kenakan masker oksigen terlebih dahulu, sebelum membantu mengenakan masker oksigen pada orang lain”
  4. Berfokuslah pada kemampuan yang kita miliki, bukan pada keinginan untuk membawa semua beban. Kalau kita punya alat untuk membawa semua beban, silakan. Tapi kalau tangan kita hanya 2 maka, bawa apa yang kita bisa bawa dengan 2 tangan tersebut.
  5. Bila batu terlalu besar, mungkin kita berpikir untuk memecahnya, meskipun itu berarti menghabiskan waktu dan tenaga. Meninggalkan dan mencari batu lain yang bisa dibawa, boleh jadi langkah yang lebih realistis.
  6. Beristirahatlah saat penat membawa batu. Makanlah untuk menambah tenaga dan belajarlah mencari teknik membawa batu yang lebih efektif dan efisien.
  7. Keyakinan bahwa kita membawa batu berlian yang mahal akan jauh lebih memotivasi dibanding bila kita membawa batu karang yang tak bernilai. Karenanya memberikan arti dan nilai pada kewajiban akan membuat kita lebih menghargai setiap langkah yang kita ambil, setiap peluh yang mengalir dan setiap tenaga yang kita keluarkan sehingga tak menjadi kelelahan yang sia-sia.
Yeti Widiati 280316
Sumber gambar: website hopechiro
MENGALIR DENGAN ILMU, IMAN DAN KEIKHLASAN - yws
Dipersembahkan:
- untuk para ibu yang lelah dan galau dengan tuntutan menjadi "super women"
- untuk para orangtua yang sangat kuatir akan masa depan putra-putrinya.
- untuk para orangtua yang menemukan anandanya tak sejalan dengan harapan.
------------------------------------------------------------------------------------------
Psikologi adalah Ilmu Sosial, dan karenanya tidak dikenal rumus baku dan tidak ada hubungan sebab akibat yang bersifat linear, jika A maka pasti B. Teori-teorinya adalah hasil simpulan dari serangkaian data/kasus. Semakin banyak data, maka kesimpulan yang diambil menjadi semakin kuat. Namun tak seperti ilmu-ilmu Sains yang relatif ajeg, maka selalu ada perkecualian dalam Ilmu Sosial, dan selalu ada multi faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu fenomena.
Itulah mengapa ayah ibu yang sama, bisa menghasilkan anak dengan perilaku yang berbeda satu sama lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, entah itu karena potensi dan karakter anak yang berbeda, urutan kelahiran anak, harapan orangtua yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lain, kondisi emosi orangtua saat melahirkan anak, pengaruh lingkungan, pengalaman yang dihayati anak, dlsb.
Begitupun dengan kasus-kasus. Banyak kasus, misalnya orang dewasa yang memiliki karakter buruk dan melakukan perbuatan buruk ternyata memiliki akar masalah yang rumit di masa kecilnya. Tapi, menariknya kita tidak bisa serta-merta membalikkan logika, bahwa orang yang punya masa lalu yang rumit, maka ia pasti akan punya masalah di masa depannya. Sekalipun peluang masalah itu ada, namun manusia bukan benda mati, dan lingkungan adalah sesuatu yang dinamis yang membuat stimulus yang sama bisa saja menghasilkan respon dan konsekuensi yang berbeda.
Mereka yang memiliki kecerdasan spiritualitas tinggi, akan segera menyadari bahwa ada kekuatan Maha Besar yang memiliki otoritas dan kehendak sendiri untuk mengintervensi suatu proses.
Saya melihat intervensi itu pada orang-orang hebat yang memiliki masa lalu kelam.
Saya melihat intervensi itu pada keluarga dengan ayah ibu sederhana yang menghasilkan anak luar biasa.
Saya juga melihat intervensi itu pada keluarga-keluarga yang diuji dengan hal-hal yang tak terduga.
Ada musibah yang terjadi karena kesalahan yang dilakukan dengan kesadaran.
Ada musibah yang terjadi karena luput, kelemahan dan kekhilafan.
Namun ada "musibah" yang terjadi karena Sang Maha Kuasa menuntut keikhlasan penerimaan.
Maka ketika kita menyadari adanya kesalahan, bertaubat dan berusaha adalah cara yang paling logis dan menunjukkan ikhtiar. Tak perlu menyalahkan diri berlebihan, karena kita memang memiliki kelemahan. Dan terimalah dengan ikhlas bila kita memang tak bisa mengubahnya.
Dan karena musibah tidak selalu berasal dari kesalahan yang kita niatkan, maka demikian juga dengan keberhasilan belum tentu adalah buah dari karya yang kita lakukan. Sangat mungkin keberhasilan pun adalah bagian dari kehendak dan intervensi Sang Maha Kuasa untuk menguji kerendah-hatian. Adakah terselip kesombongan yang mengendap menjadi penyakit hati?

Yeti Widiati 260316
KERENTANAN DAN KELEBIHAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN -yws
Kerentanan laki-laki adalah pada keinginan memuaskan dorongan seks dan pengakuan/keinginan dihormati orang lain. Kondisi ini berpeluang memunculkan masalah perselingkuhan dan dorongan untuk melakukan banyak hal secara berlebihan agar diterima/diakui oleh orang lain.
Kerentanan perempuan adalah pada dorongan pemilikan materi dan keinginan untuk tampil indah. Kondisi ini berpeluang memunculkan dorongan kuat untuk memamerkan diri (kecantikan dan kekayaan), atau memaksa orang lain atau diri sendiri mencari cara agar bisa dilihat dan dikagumi orang lain.
Kelebihan laki-laki adalah pada kemampuannya untuk bersikap rasional dan fokus. Kelebihan ini yang dapat menyelamatkannya. Saat godaan datang dan memicu titik kelemahannya, maka berfokus pada tujuan-tujuan besar dan hal-hal mendasar dapat membuat seorang laki-laki tetap fokus pada tujuan hakiki dalam hidupnya.
Seorang laki-laki yang nyaris tergelincir oleh kerlingan wanita lain, pernah berkata pada saya. "Mbak, saya betul-betul tergoda oleh perempuan tersebut. Saya punya uang, saya pun jauh dari istri dan anak. Sebetulnya kalau saya mau, saya bisa berhubungan dengan wanita itu tanpa diketahui. Tapi saya ingat istri saya yang sudah mendampingi saya selama ini. Saya ingat anak-anak perempuan saya yang sebentar lagi akan menikah. Saya juga ingat karir yang telah saya bangun. Bila saya lakukan ini, maka saya akan menghancurkan apa yang telah saya bangun. Dan itu sama sekali tidak sepadan..."
Kelebihan perempuan adalah pada kasih sayang dan kesediaan berkorban. Kelebihan ini yang membuatnya bersedia menahan diri untuk hidup bersahaja dan melayani orang lain daripada dirinya sendiri.
Saya kenal banyak perempuan yang memilih untuk mengorbankan cita-cita dan keinginannya demi suami dan terlebih demi anak-anaknya. Mereka yang bila ditanya, apabila waktu berulang, apa yang akan kau pilih? Mereka menjawab, "Saya akan tetap memilih untuk mendahulukan suami dan anak-anak saya."
Saya bukan ahli dalam masalah pernikahan. Saya sendiri pun masih berproses dalam hidup pernikahan yang penuh dinamika. Namun karena masalah anak 80-90% dipengaruhi oleh relasi ayah ibunya, maka saya kerap melihat cerminan masalah suami-istri pada anak-anak yang dianggap "bermasalah".
Di situlah pula, saya melihat bahwa relasi laki-laki dan perempuan adalah relasi yang unik. Menggabungkan dua entitas yang berbeda karakter, latar belakang, rules, cara pandang, dsb, sungguh berpeluang menimbulkan gesekan-gesekan. Dan permasalahan kerapkali menjadi bertambah rumit, ketika masing-masing berkeras berpikir dengan cara pandangnya sendiri atau melakukan rasionalisasi/pembenaran terhadap tindakan salahnya.
Di sini cinta dan kesungguhan pun teruji. Apakah cinta kita adalah cinta pada diri sendiri saja sehingga kita harus selalu menang? Ataukah cinta yang lebih luas dan lebih besar, sehingga kemenangan bersama yang dicari?
Virginia Satir seorang Family Therapist memperkenalkan istilah Kebenaran Relasional. Konsep kebenaran relasional ini menjelaskan, hal yang dipandang benar oleh satu pasangan belum tentu sesuai untuk pasangan yang lain. Sehingga kita pun tidak bisa memaksakan suatu penyelesaian masalah yang sama untuk setiap pasangan. Karena setiap pasangan memiliki chemistry yang berbeda.
Benarlah jika dikatakan, bahwa pernikahan adalah kesempatan untuk menyempurnakan diri. Kualitas-kualitas mental yang tidak dimiliki saat masih sendiri, dapat muncul dan terasah saat menikah dan berinteraksi dengan pasangan kita.
Wallahu'alam
Yeti Widiati 220316
BAYI “STICKER”
(Kebutuhan bayi akan kelekatan pada pengasuhnya) - yws
Pernahkah kita bermain sticker? Jaman saya kecil dulu disebutnya "gambar tempel", anak-anak sekarang lebih familiar dengan menyebut "sticker". Lebih keren juga kelihatannya menyebut dengan istilah bahasa Inggris, meskipun istilah “gambar tempel” sebetulnya lebih Indonesia. Ada sticker yang terbuat dari kertas ada pula yang terbuat dari plastik. Dengan beragam gambar yang menarik perhatian.
Saat saya menggunakan sticker, saya memperhatikan bagaimana sticker itu "bekerja". Apabila ia ditempelkan pada sebuah benda, kemudian kita segera melepasnya maka bila terlalu lama kita pegang, sticker itu akan menjadi sulit menempel kembali. Udara dan mungkin debu yang menempel pada sticker tersebut membuat kekuatan perekatnya menjadi berkurang.
Sebaliknya, apabila sticker sudah kita rekatkan pada suatu benda dan ia melekat begitu erat, maka ketika kita melepaskannya, ia akan sobek atau merusak benda tempatnya menempel.
Saya pun teringat dengan teori Attachment dari John Bowlby. Attachment adalah istilah untuk menggambarkan kelekatan bayi/balita pada orang dewasa yang mengasuhnya secara penuh (primary caregiver). Entah orang itu adalah ibu kandungnya, ibu pengganti atau pengasuh lainnya. Semakin intens interaksi antara pengasuh dengan anak yang diasuhnya, maka akan terjadi ikatan/bonding yang kuat, yang bila dipaksakan dilepaskan, maka akan merusak baik bagi si pengasuh dan terlebih bagi anak yang diasuh. Dan berpeluang menimbulkan kesulitan di masa depan, kestabilan emosi dan juga kemampuan beradaptasi dan bergaul di lingkungan sosial.
Kelekatan bayi pada orang yang mengasuhnya adalah hal yang alamiah dan dibutuhkan manusia dalam perkembangannya. Kelekatan dan kebergantungan pada 0-1 tahun pertama akan menumbuhkan rasa percaya (trust) dan secure (rasa aman) yang menjadi dasar tumbuhnya rasa percaya diri yang kuat di masa depan.
Bayi tidak bisa memilih, ia akan lekat pada siapa pun yang mengasuhnya secara intens. Situasi di mana anak lebih dekat dan memiliki kelekatan (attachment) pada pengasuh daripada pada ibu biologisnya dipahami dan diterima pada situasi, budaya dan bahkan masa tertentu. Anak-anak yang jelas-jelas kehilangan/tidak memiliki ibu biologis, seperti misalnya anak yang ibunya meninggal saat lahir atau saat masih kecil, anak panti asuhan, anak yang orangtuanya berpisah, maka otomatis ia akan mengembangkan kelekatan pada pengasuhnya yang bukan ibu kandungnya.
Ibu yang kesulitan untuk menyediakan waktu secara intens dengan bayinya sehingga harus merelakan bayinya diasuh orang lain, juga kerap mengalami hal tersebut. Pada masyarakat bangsawan di masa lalu, pengasuhlah yang merawat dan mengasuh anaknya, bukan ibu kandungnya. Sehingga hubungan anak dan orangtuanya seringkali bersifat kaku dan formal. Anak menjalin hubungan emosionalnya dengan pengasuhnya. Curhat, menangis, bersikap manja ia lakukan pada pengasuhnya dan bukan pada orangtua biologisnya sendiri. Hubungan semacam itu dipahami dan diterima baik oleh orangtua maupun oleh anak sebagai suatu hal yang lumrah.
Prinsipnya, anak harus memiliki pengasuh utama yang berinteraksi intens yang menjadi sumber rasa aman dan fondasi perkembangan kepercayaan dirinya.
Persoalan biasanya timbul ketika anak berganti-ganti pengasuh. Atau ketika ia sudah lekat dengan satu pengasuh, dan karena satu atau lain hal terpaksa harus berpisah dengan pengasuhnya tersebut.
Bila anak memperoleh pengasuh berganti-ganti, dari satu orang ke orang lain, terutama selama masa bayi dan balitanya, maka seperti sticker yang ditempel kemudian segera dilepas lagi, ia pada akhirnya sulit untuk membangun kelekatan dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan terhadap orang yang seharusnya dekat dengannya.
Sementara anak yang hanya diasuh oleh satu pengasuh dan kemudian terpaksa harus berpisah, pun seperti sticker. Ia akan robek, hancur dan kehilangan dirinya saat ikatannya dengan pengasuh tersebut dilepas paksa.
Yeti Widiati 180316
CYBER HARRASHMENT AND CYBER BULLYING - yws
Tanpa kata "cyber" pun, pelecehan (harrashment) dan perundungan (bullying) adalah masalah yang mengganggu. Efek buruk pelecehan dan bullying bukan hanya bagi si korban, namun juga bagi si pelaku, dan bahkan orang-orang di sekelilingnya yang mendiamkan.
Bagi si pelaku, ia menjadi merasa semakin memiliki kekuasaan, bagi korban ia menjadi semakin tertekan dan berpeluang menjadi pelaku di kemudian hari, dan bagi orang-orang di sekelilingnya yang mendiamkan akan semakin "mengeras" hatinya dan hanya memikirkan keselamatan diri.
Cyber Harrashment dan Cyber Bullying memberikan efek yang luar biasa jauh lebih buruk. Hal ini karena penyebarannya bersifat sangat cepat seperti penyebaran virus (viral).
Cyber Harrashment meliputi memberikan komentar yang tidak menghargai, memalukan, menyerang dan kasar terhadap fisik atau kelemahan seseorang dan kemudian disebar melalui media sosial, grup atau individu. Perbedaan besar antara pelecehan melalui media sosial dan internet dengan pelecehan secara langsung adalah karena pelaku anonim, sehingga bisa bertindak pengecut dengan menyembunyikan jatidirinya. Komen "tidak bisa" dihapus setelah klik "send" dan nyaris tidak ada jalan keluar bagi si korban untuk melindungi diri. Remaja yang menjadi korban seringkali tidak berani untuk melaporkannya pada orangtua, karena mereka takut kehilangan gadget dan akses ke media sosial.
Peluang anak dan remaja untuk melakukan cyber harrashment dan cyber bullying, sangatlah besar karena beberapa karakteristik sifat anak dan remaja adalah mudah terpengaruh, reaktif dan kurang antisipatif membuat mereka rentan untuk terlibat terutama menyebarkan komentar, atau sms yang menyakitkan temannya. Mereka kurang berpikir panjang membayangkan apa konsekuensi yang bisa terjadi dari tindakan tergesa yang diambilnya. Sayangnya, ada cukup banyak juga orang (yang mengaku) dewasa, dengan bilangan usia 2 atau 3 kali usia remaja juga menunjukkan perilaku yang sama. Mudah terpengaruh, reaktif dan senang merendahkan orang lain.
Aturan dan hukum terkait etika penggunaan teknologi digital termasuk media sosial di dalamnya, perlu ditegakkan secara konsisten dan konsekuen. Itu dari sisi regulasi dan hukum. Namun yang lebih mendesak adalah, alih-alih melarang anak/remaja menggunakan gadget, maka mengajarkan anak dan remaja mengenai efek media sosial dan teknologi digital yang canggih, menurut saya adalah cara yang lebih logis, karena kita tidak bisa menghalangi pesatnya perkembangan teknologi, dan tak bisa juga menutup mata anak-anak kita.
Berikan gadget yang sesuai kebutuhan. Setiap fitur yang ada membutuhkan syarat kompetensi terutama kendali diri yang baik. Beberapa orangtua mengira bahwa tanda cinta itu ditunjukkan dengan memberikan gadget tercanggih. Sayangnya, cara itu juga yang berpeluang menjerumuskan anak. Memberikan benda canggih yang belum bisa dikelola baik oleh anak adalah termasuk kekerasan pada anak (abuse).
Yeti Widiati 150316
SEKOLAH UNTUK MENJADI ORANGTUA, PERLUKAH? - yws
Banyak orang bilang, tak ada sekolah untuk menjadi orangtua. Sebagian mengira menjadi orangtua adalah sesuatu yang alamiah dan tak perlu dipelajari. Kalau perempuan sudah bisa memasak dan laki-laki sudah bisa mencari uang, maka mereka siap untuk menikah. Menikah dipermudah dan tak perlu persiapan atau dianggap sudah siap asal secara seksual sudah bisa menghasilkan keturunan.
Sekarang sudah banyak orang yang menyadari betapa pentingnya memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi orangtua. Pernikahan dan membentuk keluarga bukan hanya tentang menyalurkan seks dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Di dalam itu juga terkandung tanggung jawab besar mendidik anak dan keluarga. Sehingga menikah tanpa persiapan dan kesiapan memadai adalah tindakan beresiko.
Dulu, semua pembelajaran untuk hidup berawal dari rumah/keluarga. Ayah dan ibu yang mengajarkan tentang hidup, baik dari sisi value, pengetahuan dan juga ketrampilan. Sehingga tak jarang, anak laki-laki bekerja pada bidang yang sama seperti pekerjaan yang dilakukan ayahnya. Anak perempuan memasak, menjahit dan menata rumah sama seperti yang dilakukan ibunya.
Waktu berjalan, pengetahuan dan teknologi berkembang. Ayah ibu tidak selalu bisa mengajarkan segala hal terutama terkait dengan pengetahuan dan ketrampilan. Entah karena memang tidak memiliki pengetahuan yang lebih spesifik. Tidak tahu cara mengajarkannya. Atau bahkan tidak memiliki kesempatan memadai untuk mengajarkannya.
Ada yang beruntung masih memiliki pengetahuan dan ketrampilan lengkap untuk berkeluarga. Namun ada banyak orang yang tidak memiliki ketrampilan memadai untuk itu .... dan saya adalah salah satunya.
Oleh karena itu ketika saya lulus SMA saya memutuskan menekuni Psikologi karena ingin melengkapi pengetahuan yang kurang memadai dalam mendidik anak. Saya juga bergabung dalam aktivitas keputrian di mesjid, agar bisa memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai keluarga, khususnya dari kacamata agama Islam yang saya anut.
Saya bersyukur, sekalipun pada praktiknya kehidupan berkeluarga yang sebenarnya ternyata sangat dinamis, namun apa yang saya pelajari dan saya peroleh selama ini, membuat saya memiliki kerangka dan juga arah yang lebih jelas. Dan karena kehidupan berkeluarga adalah suatu perjalanan yang panjang, maka proses pembelajaran itu masih terus saya lakukan hingga saat ini dan seterusnya. Perubahan alamiah pada pasangan dan anak menuntut juga perubahan pada diri kita sendiri.
Kasus-kasus yang saya hadapi terkait klien menunjukkan pada saya semakin mendesaknya pembelajaran yang lebih sistematis untuk menjadi orangtua. Sehingga para calon pengantin atau para orangtua muda memperoleh bekal memadai dalam menjalani pernikahan.
Yeti Widiati 140316
CHILDREN RAISING CHILDREN - yws
Istilah ini saya dapat dari Diana Baranovich saat belajar Play Therapy. Berbicara tentang kedewasaan yang ternyata tidak selalu memiliki kecepatan yang sama dengan bertambahnya usia.
Orang bisa saja bertambah usianya tapi belum tentu bertambah matang secara emosional.
Orangtua yang kurang matang, seolah seperti anak dalam kemasan dewasa. Dan kalau mereka melahirkan serta membesarkan anak, maka anak2 mereka seringkali juga memiliki problem emosi karena diasuh dan dididik oleh orangtua yang bermasalah secara emosional.
Itulah kemudian mengapa muncul frasa 'Children Raising Children'.
Karakter anak itu seperti apa?
- Mudah terpicu emosinya.
Lihatlah anak-anak kita. Ia mudah sekali marah, sedih, kecewa bahkan juga senang atas stimulus yang ada di lingkungannya. Fluktuasi emosi bisa berubah segera hanya dalam hitungan puluhan menit. Saat ia marah ia akan berteriak, memukul atau melempar barang. Sedih ia menangis. Kecewa ia akan menarik diri. Dan saat senang ia akan tertawa terbahak-bahak dan energinya pun bertambah berlipat ganda.
Kemudian lihatlah orang-orang "dewasa" di sekeliling kita, atau bahkan diri kita sendiri. Mungkin kita tidak memperlihatkan ekspresi yang sama persis dengan anak-anak. Tapi ketika kita berbicara tajam di media sosial, memburukkan orang lain, sering mengkritik dan memprotes, menarik diri, tidak mau bicara dengan orang atau sangat senang memamerkan dan menyombongkan kebahagiaannya, semuanya analog dengan karakter usia mental anak.
- Lebih banyak berbicara dengan fisik daripada bahasa.
Anak terbatas kosa katanya dan belum cukup trampil untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk bahasa verbal. Oleh karena itu mereka lebih banyak menggunakan "bahasa fisik", misalnya tangisan, mengamuk, melempar, berdiam diri sambil cemberut,
Bila seseorang tidak pernah dilatih atau melatih diri untuk "berbicara" dan mengungkapkan pikiran serta perasaannya dengan jelas dan runtut, maka ia pun akan terjatuh pada model-model bahasa fisik. Misalnya, ngambek, berdiam diri saat berada di hadapan orang yang menjadi obyek emosinya, namun di waktu dan tempat yang lain ia akan membicarakan orang tersebut. Memukul, mencubit atau bentuk kekerasan lainnya saat mengajari anak. Dll.
Menariknya, ketika kita memilih diam di hadapan orang yang menyakiti, kita membuat defense rasionalisasi, misalnya dengan mengatakan, kita kan harus mengendalikan diri dan hanya boleh mengatakan masalah kita pada Tuhan (padahal masalah antar manusia harus diselesaikan dengan manusia itu sendiri). Atau ketika kita menggunakan bahasa fisik kekerasan pada anak, kita berdalih bahwa itu adalah pendidikan, padahal sebetulnya kita kehabisan akal dan kreativitas untuk mengartikulasikan maksud dan pikiran kita kepada anak.
- Berpikir konkrit, sederhana, egosentris dan kurang antisipatif.
Menurut Piaget individu mengembangkan kemampuan berpikir dari konkrit menjadi abstrak, sederhana menjadi rumit, egosentris menjadi sosiosentris, reaktif menjadi antisipatif. Oleh karena itu seorang yang dewasa dalam berpikir maka proses berpikirnya ditandai dengan kemampuan untuk melihat suatu permasalahan secara komprehensif. Dapat berpikir antisipatif atau memperkirakan kemungkinan apa yang bisa terjadi ketika ia mengambil suatu keputusan. Biasanya mereka berpikir lebih panjang dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan atau melakukan tindakan.
Bila kita masih mudah tersulut berita dan langsung memberi tanggapan tanpa mendengar atau menggali lebih lanjut, membagi (share) berita tanpa meneliti sumber atau kebenaran berita tersebut kemudian defense dengan mengatakan "Tapi ini berita yang harus diketahui semua orang." Mengambil keputusan tergesa-gesa tanpa berpikir panjang, tak peduli pada akibat jangka panjang, dll. Maka jangan-jangan usia mental kita dalam berpikir pun masih berada dalam usia anak. Terlepas dari seberapa pun tingginya skor IQ kita. Karena skor IQ tidak selalu paralel dengan kematangan berpikir.
- Fokus pada kesenangan dan pemuasan dorongan diri daripada berempati dan memahami orang lain.
Anak-anak terutama balita hanya berfokus pada kesenangannya sendiri. Ini adalah hal wajar, karena merupakan proses yang sehat untuk berkembang. Ia perlu memiliki kemampuan untuk membuat dirinya stabil terlebih dahulu sebelum ia bisa memberikan perhatian pada orang lain.
Namun menjadi tidak wajar ketika hal itu berlangsung hingga dewasa. Karena tuntutan sebagai orang dewasa adalah ia menjadi pelindung, pendidik, pengayom anak-anaknya dan menjadi bagian dari masyarakat.
Bila kita masih lebih mendahulukan kepentingan dan kesenangan diri kita sendiri dan tak peduli pada orang lain, maka jangan-jangan sebagian diri kita masih berusia mental anak-anak. Kadang-kadang defense yang muncul adalah, "Saya kan melakukan ini untuk orang lain, untuk keluarga saya." Betulkah? kalau memang betul, mengapa orang lain atau keluarga merasa terganggu dengan pilihan-pilihan kita?
Saya merenung, dan menghela nafas panjang mengingat sikap dan perilaku kekanakkan yang masih juga muncul pada diri. Terutama saat-saat di mana stimulus yang memancing "unfinished bussiness" dari masa lalu muncul kembali.
Menjadi dewasa itu ternyata proses yang tak pernah habis ....
Wallahu'alam
Yeti Widiati 120316
JUJUR, BERANI HADAPI KONSEKUENSI
Ketika orang berkata atau bertindak jujur, maka hasilnya tidak selalu menyenangkan. Bagi seorang anak, kejujuran itu bisa berarti dimusuhi teman, dimarahi orangtua, nilai ulangan paling rendah dibanding teman-teman, terlihat tidak seperti yang diinginkan, dll.
Sepakat atau tidak sepakat, telanjang kita melihat orang jujur di Indonesia dibully, dicari kesalahannya, dibongkar aibnya, dipersulit hidupnya, diancam keluarganya, dibungkam mulutnya, diasingkan dan dirampas kemerdekaannya dengan penjara. Tidak setiap orang sanggup menghadapi resiko seperti itu.
Oleh karena itu, untuk jujur dibutuhkan keberanian menerima konsekuensi dari kejujuran, baik saat menerima respon dari lingkungan, maupun saat menghadapi kenyataan wajah asli kita yang sebenarnya.
Ketika orangtua mengeluh karena anaknya sering berbohong, pertanyaan pertama saya kepada orangtua adalah, “Kalau anak bapak/ibu jujur mengakui apa yang dilakukannya sekalipun itu buruk, apa yang bapak/ibu lakukan?”
Tergagap orangtua menjawab, “Yaaaa .... saya marahi, Bu. Tapi kan memang perbuatan itu salah, jadi memang harus ditegur.”
“Betul, perbuatan itu salah dan kita perlu memberi tahu. Tapi ada hal benar yang dilakukan anak yang perlu diapresiasi, yaitu mengakui perbuatan buruknya dengan jujur pada orangtua. Apakah hal itu dilakukan?”
Boro-boro kepikiran, Bu. Saya sudah spanning duluan mendengar dia melakukan hal buruk.”
Prinsip dari pembentukan perilaku adalah perilaku yang diapresiasi positif berarti didukung dan dikuatkan sehingga akan cenderung diulangi. Istilah psikologinya memperoleh reinforcement positif. Sementara perilaku yang dikritisi negatif atau dibiarkan tanpa apresiasi akan dipahami sebagai tidak disukai dan tidak disetujui sehingga cenderung menghilang. Istilahnya memperoleh reinforcement negatif.
Ada banyak bentuk reinforcement positif. Baik yang ekstrinsik seperti pujian, senyuman, respon antusias, reward/hadiah, pelukan, usapan, dll, maupun yang intrinsik, perasaan gembira, semangat, berharga, puas, tenang, nyaman, dll.
Sementara bentuk reinforcement negatif bisa berupa, wajah masam, celaan, ejekan, pukulan/cubitan, mendiamkan, hukuman, kehilangan privilege (ekstrinsik). Juga rasa sedih, kesal, marah, tidak nyaman, perasaan tidak berharga, takut, dll. (intrinsik).
Dengan logika seperti itu, maka jika seorang anak diharapkan bertindak jujur tapi tidak memperoleh respons yang menguatkan, maka bagaimana kejujuran itu akan menguat dan tertanam sebagai value?
Bila seperti kasus di atas, ada dua kejadian bersama yang terjadi dalam satu waktu. Misalnya, anak memukul temannya tapi jujur melaporkan pada orangtua. Maka sekalipun orangtua sangat berkeinginan agar anak tidak memukul lagi temannya, orangtua perlu lebih mendahulukan memberikan penguatan terhadap kejujuran. Mengapa kejujuran yang perlu didahulukan? Karena kejujuran adalah perilaku yang lebih prioritas dan lebih kompleks sehingga memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi untuk dibentuk, dibandingkan mengendalikan agresivitas. Kejujuran terkait dengan konsep diri, kehormatan, keberanian juga kemampuan problem solving.
Satu hari, anak saya bercerita via telepon kepada saya. Dia melakukan suatu perbuatan yang saya pandang kurang layak tapi dia tidak menyadari akibat buruknya. Saat saya mendengar penuturannya, jantung saya berdegup kencang. Apa yang harus saya katakan? Kalau saya langsung memarahi, lain waktu anak saya akan enggan untuk bercerita kembali tentang berbagai hal, dan itu adalah kerugian besar bagi saya. Karena saya tidak akan tahu apa saja yang ia perbuat. Mungkin saja salah dan mungkin juga benar. Tapi kalau saya tidak menegur, maka seolah saya menyetujui perbuatannya yang kurang layak. Saya mengalami konflik.
Saya mendengarkan dan menyimak penuturannya. Saya berkata, “Mama senang kamu menceritakan ini semua sama mama. Mama sangat menghargainya. Boleh gak mama bertanya beberapa hal? Menurut kamu, apa yang akan terjadi apabila kamu melakukan hal tersebut? (Saya sebutkan perilaku yang kurang layak tersebut). Intinya adalah saya mengajak anak untuk melakukan refleksi ke dalam diri, mengajak anak untuk berempati terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain dan mengantisipasi kemungkinan apa yang bisa terjadi.
Apakah saya menunjukkan kekecewaan terhadap apa yang dilakukannya? Ya, saya menyampaikan hal itu, tapi yang digaris bawahi dan diapresiasi lebih kuat tetap adalah pada keberaniannya untuk jujur menceritakan apa yang terjadi. Ada harga diri yang harus dipelihara, sehingga anak tahu bahwa bicara dan bertindak jujur tidak mengakibatkan ia kehilangan harga diri, tetap diterima apa adanya dan tidak mengakibatkan ia kehilangan dukungan dan kasih sayang.
Kejujuran baiknya diasosiasikan dengan harga diri dan kehormatan. Dan itu bisa tercapai apabila anak diterima apa adanya, saat ia baik dan ketika ia melakukan perbuatan buruk. Saat ia senang dan saat sedih. Cinta seharusnya tidak bersyarat, “Bunda sayang kamu, kalau kamu pintar ...”
Bila orangtua lebih menghargai hal-hal yang bersifat superfisial (permukaan), misalnya seperti prestasi, perilaku manis, kecantikan, daripada kejujuran, maka anak akan mengusahakan sedapat mungkin hal-hal superfisial tersebut sekalipun dengan cara yang tidak jujur. Mencapai prestasi meskipun dengan menyontek, perilaku manis dan kepatuhan di depan namun buruk dan nakal di belakang orangtua, mempercantik diri berlebihan dan menutupi kekurangan.
Bagaimanapun kejujuran itu dicontohkan. Jika orangtua selalu ingin tampil terhormat, malu menampilkan diri apa adanya lalu memaksakan diri untuk memperoleh kesan baik dari lingkungan dengan ragam usaha, maka itulah value yang diajarkan pada anak. Jangan heran jika anak menyerap value tersebut dan mengira bahwa ia akan lebih diterima bila ia tampil baik, sekalipun itu tidak jujur.
Yeti Widiati 250216

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...