Senin, 13 Juni 2016

CHILDREN RAISING CHILDREN - yws
Istilah ini saya dapat dari Diana Baranovich saat belajar Play Therapy. Berbicara tentang kedewasaan yang ternyata tidak selalu memiliki kecepatan yang sama dengan bertambahnya usia.
Orang bisa saja bertambah usianya tapi belum tentu bertambah matang secara emosional.
Orangtua yang kurang matang, seolah seperti anak dalam kemasan dewasa. Dan kalau mereka melahirkan serta membesarkan anak, maka anak2 mereka seringkali juga memiliki problem emosi karena diasuh dan dididik oleh orangtua yang bermasalah secara emosional.
Itulah kemudian mengapa muncul frasa 'Children Raising Children'.
Karakter anak itu seperti apa?
- Mudah terpicu emosinya.
Lihatlah anak-anak kita. Ia mudah sekali marah, sedih, kecewa bahkan juga senang atas stimulus yang ada di lingkungannya. Fluktuasi emosi bisa berubah segera hanya dalam hitungan puluhan menit. Saat ia marah ia akan berteriak, memukul atau melempar barang. Sedih ia menangis. Kecewa ia akan menarik diri. Dan saat senang ia akan tertawa terbahak-bahak dan energinya pun bertambah berlipat ganda.
Kemudian lihatlah orang-orang "dewasa" di sekeliling kita, atau bahkan diri kita sendiri. Mungkin kita tidak memperlihatkan ekspresi yang sama persis dengan anak-anak. Tapi ketika kita berbicara tajam di media sosial, memburukkan orang lain, sering mengkritik dan memprotes, menarik diri, tidak mau bicara dengan orang atau sangat senang memamerkan dan menyombongkan kebahagiaannya, semuanya analog dengan karakter usia mental anak.
- Lebih banyak berbicara dengan fisik daripada bahasa.
Anak terbatas kosa katanya dan belum cukup trampil untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk bahasa verbal. Oleh karena itu mereka lebih banyak menggunakan "bahasa fisik", misalnya tangisan, mengamuk, melempar, berdiam diri sambil cemberut,
Bila seseorang tidak pernah dilatih atau melatih diri untuk "berbicara" dan mengungkapkan pikiran serta perasaannya dengan jelas dan runtut, maka ia pun akan terjatuh pada model-model bahasa fisik. Misalnya, ngambek, berdiam diri saat berada di hadapan orang yang menjadi obyek emosinya, namun di waktu dan tempat yang lain ia akan membicarakan orang tersebut. Memukul, mencubit atau bentuk kekerasan lainnya saat mengajari anak. Dll.
Menariknya, ketika kita memilih diam di hadapan orang yang menyakiti, kita membuat defense rasionalisasi, misalnya dengan mengatakan, kita kan harus mengendalikan diri dan hanya boleh mengatakan masalah kita pada Tuhan (padahal masalah antar manusia harus diselesaikan dengan manusia itu sendiri). Atau ketika kita menggunakan bahasa fisik kekerasan pada anak, kita berdalih bahwa itu adalah pendidikan, padahal sebetulnya kita kehabisan akal dan kreativitas untuk mengartikulasikan maksud dan pikiran kita kepada anak.
- Berpikir konkrit, sederhana, egosentris dan kurang antisipatif.
Menurut Piaget individu mengembangkan kemampuan berpikir dari konkrit menjadi abstrak, sederhana menjadi rumit, egosentris menjadi sosiosentris, reaktif menjadi antisipatif. Oleh karena itu seorang yang dewasa dalam berpikir maka proses berpikirnya ditandai dengan kemampuan untuk melihat suatu permasalahan secara komprehensif. Dapat berpikir antisipatif atau memperkirakan kemungkinan apa yang bisa terjadi ketika ia mengambil suatu keputusan. Biasanya mereka berpikir lebih panjang dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan atau melakukan tindakan.
Bila kita masih mudah tersulut berita dan langsung memberi tanggapan tanpa mendengar atau menggali lebih lanjut, membagi (share) berita tanpa meneliti sumber atau kebenaran berita tersebut kemudian defense dengan mengatakan "Tapi ini berita yang harus diketahui semua orang." Mengambil keputusan tergesa-gesa tanpa berpikir panjang, tak peduli pada akibat jangka panjang, dll. Maka jangan-jangan usia mental kita dalam berpikir pun masih berada dalam usia anak. Terlepas dari seberapa pun tingginya skor IQ kita. Karena skor IQ tidak selalu paralel dengan kematangan berpikir.
- Fokus pada kesenangan dan pemuasan dorongan diri daripada berempati dan memahami orang lain.
Anak-anak terutama balita hanya berfokus pada kesenangannya sendiri. Ini adalah hal wajar, karena merupakan proses yang sehat untuk berkembang. Ia perlu memiliki kemampuan untuk membuat dirinya stabil terlebih dahulu sebelum ia bisa memberikan perhatian pada orang lain.
Namun menjadi tidak wajar ketika hal itu berlangsung hingga dewasa. Karena tuntutan sebagai orang dewasa adalah ia menjadi pelindung, pendidik, pengayom anak-anaknya dan menjadi bagian dari masyarakat.
Bila kita masih lebih mendahulukan kepentingan dan kesenangan diri kita sendiri dan tak peduli pada orang lain, maka jangan-jangan sebagian diri kita masih berusia mental anak-anak. Kadang-kadang defense yang muncul adalah, "Saya kan melakukan ini untuk orang lain, untuk keluarga saya." Betulkah? kalau memang betul, mengapa orang lain atau keluarga merasa terganggu dengan pilihan-pilihan kita?
Saya merenung, dan menghela nafas panjang mengingat sikap dan perilaku kekanakkan yang masih juga muncul pada diri. Terutama saat-saat di mana stimulus yang memancing "unfinished bussiness" dari masa lalu muncul kembali.
Menjadi dewasa itu ternyata proses yang tak pernah habis ....
Wallahu'alam
Yeti Widiati 120316

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...