Senin, 13 Juni 2016

Konspirasi atau ... Salah Sendiri?
Berpekan berlalu dan bahasan mengenai LGBT masih juga hiruk pikuk di ragam media sosial. Pendapat yang emosional, rasional, spiritual muncul. Setiap orang seolah menjadi ahli walaupun itu sama sekali bukan menjadi bidang keahliannya. Memang keterbukaan media membuat siapa pun boleh bicara apa saja (termasuk saya ... eh).
Energi dan konsentrasi dihabiskan untuk membahas ini, seolah tak ada masalah lain yang berat, sama berat atau bahkan lebih berat dari kasus ini. Kalau berita teroris dicurigai sebagai pengalihan issue, maka bahasan LGBT dinikmati sedemikian rupa untuk dibicarakan baik oleh yang pro maupun kontra.
Seorang kawan mengkilik-kilik saya untuk menulis tentang LGBT. Saya katakan, saya sudah menulis mengenai pendidikan seksualitas khususnya tentang gender confuse. Namun teman saya kurang puas dan meminta saya menulis lebih spesifik. Terus terang saya enggan untuk membahas secara spesifik dalam media yang bisa dishare begitu luas. Apalagi karena ini bukan bidang kekhususan saya. Saya membatasi diri hanya menuliskan hal-hal yang saya pahami, berangkat dari apa yang saya lakukan, dan bersifat preventif dalam konteks psikologi perkembangan. Bagi saya, LGB n T (sengaja saya tulis demikian karena sebetulnya itu adalah dua hal berbeda yang seharusnya dibahas terpisah) hanya dua dari sekian banyak masalah penyimpangan perilaku. Masih ada masalah lain seperti free sex, pelecehan seksual, bullying, dll. yang juga memprihatinkan dan layak untuk dicermati. Tentang teori LGB/homoseksualitas dan Transgender secara spesifik, biarlah orang yang ahlinya dalam bidang tersebut yang menjabarkan.
Bagaimanapun, jelas bahwa bahasan homoseksualiatas dan Transgender, sudah berhasil membangkitkan emosi masyarakat. Terbelah menjadi dua bagian, satu kelompok menghujat habis dan mengkavling neraka buat mereka, kelompok lainnya berusaha memahami dan berempati dengan kesulitannya. Sekarang trend bergeser, kelompok pertama menyebar tulisan-tulisan kasus terkait dugaan homoseksualitas dan bahkan pedofil di tempat umum yang secara langsung dan tidak langsung menyebarkan juga rasa takut seolah tak ada lagi tempat aman di muka bumi ini. Kelompok lainnya berusaha menawarkan bantuan, dengan ragam pendekatan, rukyah, hipnoterapi, psikoterapi, hukum dll.
Betul kita sangat perlu untuk bersikap waspada, namun ketakutan berlebihan yang tidak diiringi dengan tindakan menguatkan putra-putri kita, juga tidak memadai untuk menyelamatkan. Kita tidak bisa mensteril lingkungan anak-anak kita. Anak-anak kita tidak bisa selamanya berada dalam akuarium. Satu saat ia akan terjun juga ke lautan luas, dengan gelombang yang besar, ragam binatang berbahaya dan kejernihan air yang berbeda. Sehingga alih-alih melarang anak berteman atau melakukan ragam aktivitas, cara yang lebih logis untuk menyelamatkan anak kita adalah mengajarinya cara untuk melindungi dirinya sendiri.
Salah satu tahapan awal yang perlu diajarkan pada anak untuk melindungi diri adalah furqon, atau mengajarkan anak bagaimana mengidentifikasi dan membedakan hal yang salah dan benar bukan karena siapa yang berbicara, melakukan atau membawakannya. Tapi karena memang sesuatu itu salah atau benar. Mengapa ini menjadi penting? Karena saya melihat ada saja kecenderungan kita untuk menisbahkan kesalahan pada kelompok tertentu sebelum kita memiliki data memadai mengenai hal tersebut. Atau sebaliknya, kita menganggap suatu kelompok adalah pasti benar sekalipun mereka dengan kasat mata menunjukkan perilaku yang salah. Pada kedua hal ini kita menanggalkan sikap kritis dan obyektif ketika menilai sesuatu.
Sangat ingin saya mengambil contoh konkrit mengenai hal ini. Repotnya adalah jika saya melakukannya maka saya juga berpeluang untuk dilabel memberikan tuduhan tidak berdasar atau dipandang mendukung kelompok-kelompok tertentu yang kurang disukai dan disetujui oleh sebagian orang.
Jika kita memilih mengajarkan anak untuk bisa membedakan salah dan benar dengan bersikap kritis, maka konsekuensinya adalah diri kita pun perlu membuka diri untuk siap dikritik oleh anak-anak kita. Karena kita pun tak luput dari melakukan kesalahan. Dan dari pengalaman saya mengamati dinamika relasi orangtua dan anak, sangat banyak orangtua yang terjebak sikap merasa paling benar dan paling berkuasa sehingga tidak siap menerima kritik yang sebetulnya adalah peluang untuk memperbaiki diri.
Kembali ke masalah homoseksual dan transeksual yang awalnya adalah masalah individual dan bersifat kasuistis. Penyebabnya bisa menyangkut;
  1. Kendali diri yang lemah yang menyebabkan eksplorasi berlebihan dan kecenderungan gaya hidup hedonistik,
  2. Sebab-sebab kekerasan dan kesalahan pola asuh,
  3. Kesalahan sistem dan kontrol lingkungan
  4. Penyebab bawaan (khusus untuk homoseksualitas kebenarannya masih dipertentangkan, sementara untuk transgender masih diterima).
Oleh karena variabel penyebab yang tidak tunggal ini, maka hal ini bisa terjadi pada siapa pun, dari kelompok mana pun, ras dan agama apapun juga (kalau beragama).
Betul bahwa gempita berita ini yang begitu besar, menyisakan tanda tanya pula, apakah ada faktor ke 5, yaitu penggerak yang memiliki kekuatan besar? Sehingga selain penyebab kasuistis di atas tadi, jangan-jangan ada penyebab yang terkait agenda luar biasa (berasa bahas konspirasi tingkat tinggi).
Menurut saya, terlepas dari adanya konspirasi dan propaganda besar-besaran. Masalah tidak akan selesai dengan hanya meradang menyalahkan konspirasi dan pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab. Ada tak ada konspirasi, penyebab awal penyimpangan perilaku ini tetaplah ada dan boleh jadi ada di lingkungan terdekat pada orang-orang yang kita kenal dan kita sayangi. Sebagai pribadi kita tetap punya tanggung jawab melindungi keluarga kita dari perilaku yang mengabaikan keberlangsungan hidup dan keselamatan umat manusia. Alih-alih menyalahkan pihak luar, berfokuslah pada apa yang bisa kita lakukan.
Yeti Widiati 240216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...