Minggu, 12 Juni 2016

OLAHRAGA-MATEMATIKA-SENI - yws
Seorang atlit bulu tangkis membutuhkan kecekatan, ketrampilan dan kebugaran (juga strategi). Oleh karena itu kenapa dia, selain harus belajar beragam pukulan dalam bulu tangkis, seperti serve, lob, back hand, chop, smash, jumping smash, dll. ia juga harus menguatkan tangannya dengan angkat berat, jogging untuk meningkatkan daya tahan dan latihan lainnya agar otot-ototnya lentur/fleksibel. Jika otot kita kaku, maka gerakan kita pun akan menjadi lambat dan kaku. Pegal-pegal sudah tentu terasa.
Menggunakan analogi seperti itu saya menjelaskan kepada anak saya kenapa kita perlu belajar matematika saat ia kesal karena kesulitan dengan PR matematikanya. Matematika itu seperti angkat berat, jogging dan latihan lainnya bagi seorang atlit bulutangkis. Matematika melatih hampir semua aspek dalam berpikir. Berpikir kritis, logis, analitis, sistematis, sintesis, abstrak, kreatif, dll. Yang semuanya dibutuhkan saat melakukan pemecahan masalah sehari-hari. Seperti juga jogging yang monoton, melelahkan dan kadang membosankan. Seperti itu juga rasanya mengerjakan latihan soal berhitung, apalagi soal-soal cerita yang membutuhkan fleksibilitas/kelenturan berpikir yang lebih tinggi. Jika otak kita kaku, maka kita menjadi tidak segera memahami, kurang fokus, cenderung ngotot dan kurang kreatif saat memecahkan masalah. Bingung dan sakit kepala biasa terjadi pada orang yang kurang terbiasa berpikir mendalam.
Nah, kita sudah bicara tentang kekuatan fisik dan kelenturan gerak. Kita juga sudah bicara tentang mengembangkan aspek kognitif dan fleksibilitas berpikir. Maka bagaimana kita mengembangkan kepekaan perasaan dan empati?
Bahasan empati yang berlanjut pada keinginan menolong orang lain, adalah bahasan umum dalam pendidikan karakter. Kalau saya bertanya pada para guru atau calon guru, bagaimana kita mengajarkan pada siswa agar ia mau menolong temannya yang kesulitan. Jawaban yang kerap muncul adalah, "Kita harus sering-sering menasehati siswa, bu ... "
Jawaban tersebut tidak salah, meskipun tidak sepenuhnya benar. Menasehati lebih kepada ranah kognitif. Itu pun belum tentu bertahan lama, karena hanya disampaikan dengan menasehati. Sehingga dibutuhkan cara lain agar tidak hanya sampai sebatas kognitif, tetapi juga masuk ke ranah afektif (perasaan) dan bahkan psikomotorik (tindakan).
Menggunakan analogi angkat berat dan jogging pada atlit bulu tangkis, atau matematika pada fleksibilitas berpikir, maka untuk mengembangkan empati adalah dengan seni.
Seni, apapun itu bentuknya, baik seni visual, seni suara, seni musik, seni tari, seni peran, dan prakarya adalah cara yang paling baik untuk meningkatkan kepekaan perasaan.
Saya ambil contoh ketika seseorang menggambar objek real dihadapannya. Maka ia didorong untuk berusaha menangkap kesan, menangkap detail dan menuangkannya secara visual dalam bentuk gambar. Seringkali, apa yang tertangkap oleh mata kita tidak selalu dapat kita tuangkan sama seperti apa yang kita lihat. Saya ingat saat kelas 2 SMP dulu, ketika pelajaran menggambar. Guru saya Pak Maman (semoga beliau sehat selalu) meletakkan sebuah piala logam di atas meja di depan kelas. Semua anak diminta menggambar sama seperti apa yang tertangkap oleh mata. Seperti beberapa teman yang lain, saya yakin betul bahwa warna logam adalah "abu-abu" sehingga kami membuat shading halus dengan menggunakan pensil. Dan tak habis pikir kenapa setelah diwarnai tidak tampak kesan bulat pada gambar tersebut.
Guru saya mengajak anak-anak melihat kembali dengan seksama. Betulkah warnanya hanya abu-abu? Bentuk dan pantulan sinar matahari membuatnya menjadi tidak abu-abu seluruhnya. Susah payah bagi kami untuk menangkap kesan tersebut. Minggu-minggu berikutnya, objek gambar bergeser menjadi anggota tubuh, tumbuhan, hingga suasana. Belakangan saya paham, bahwa kepekaan melalui indra mata itu yang coba ditumbuhkan.
Kali lain, saya belajar menyanyi. Masih di kelas saat SMP. Biasanya guru seni suara saya Pak Asep (semoga beliau sehat selalu), yang jago juga tembang dan kawih Sunda ini akan mengawali pelajaran menyanyi dengan membunyikan nada dasar tertentu, kemudian para murid menyuarakan nada do rendah hingga do tinggi dengan nada dasar yang berbeda-beda. Setiap ada anak yang suaranya melenceng dari seharusnya, maka seluruh kelas tertawa. Hasilnya adalah 90 persen lebih anak ditertawakan karena suara yang fals. Sama seperti menggambar, kepekaan juga yang coba dikembangkan meskipun yang ini melalui pendengaran.
Kepekaan yang diawali dari pengindraan yang menyebabkan kita tahu apakah seseorang sedang sedih, marah bahkan senang. Baik yang tampak secara nyata maupun yang subtil/halus, yang tersamar melalui kata-kata dan gerakan tubuh.
Celakanya, di banyak sekolah, mata pelajaran seni dan olah raga diredusir secara signifikan. Pelajaran semua seni digabung satu dan hanya diberikan 2 jam pelajaran dalam seminggu, begitu juga dengan olah raga. Targetnya pun tidak cukup menantang baik bagi guru untuk mencapainya maupun untuk siswa karena tidak berpengaruh terhadap nilai akademik keseluruhan. Sekolah berpendapat bahwa lebih baik berfokus pada pelajaran yang diujikan nasional atau yang dijadikan seleksi masuk sekolah yang lebih tinggi.
Ironi. Ketika perilaku bullying, tawuran, saling mengejek, berucap tidak sopan, saling menjatuhkan, tidak peduli, enggan menolong, prasangka buruk, dll, kita masih belum ngeh bahwa ini semua juga adalah buah dari ketidakpekaan yang tidak kita kembangkan, ajarkan dan contohkan kepada anak-anak kita.
*Hasil obrolan santai dengan seorang guru seni di sebuah sekolah Islam di Jakarta. Mendengarkan curhatannya, karena jam mengajarnya dikurangi dan banyaknya rambu-rambu yang dirasakan membatasinya berkreasi. Membicarakan juga bagaimana seni mempengaruhi kepekaan perasaan dan bahkan bisa membantu penyelesaian masalah-masalah emosi.
Yeti Widiati S. 271015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...