Senin, 13 Juni 2016

JUJUR, BERANI HADAPI KONSEKUENSI
Ketika orang berkata atau bertindak jujur, maka hasilnya tidak selalu menyenangkan. Bagi seorang anak, kejujuran itu bisa berarti dimusuhi teman, dimarahi orangtua, nilai ulangan paling rendah dibanding teman-teman, terlihat tidak seperti yang diinginkan, dll.
Sepakat atau tidak sepakat, telanjang kita melihat orang jujur di Indonesia dibully, dicari kesalahannya, dibongkar aibnya, dipersulit hidupnya, diancam keluarganya, dibungkam mulutnya, diasingkan dan dirampas kemerdekaannya dengan penjara. Tidak setiap orang sanggup menghadapi resiko seperti itu.
Oleh karena itu, untuk jujur dibutuhkan keberanian menerima konsekuensi dari kejujuran, baik saat menerima respon dari lingkungan, maupun saat menghadapi kenyataan wajah asli kita yang sebenarnya.
Ketika orangtua mengeluh karena anaknya sering berbohong, pertanyaan pertama saya kepada orangtua adalah, “Kalau anak bapak/ibu jujur mengakui apa yang dilakukannya sekalipun itu buruk, apa yang bapak/ibu lakukan?”
Tergagap orangtua menjawab, “Yaaaa .... saya marahi, Bu. Tapi kan memang perbuatan itu salah, jadi memang harus ditegur.”
“Betul, perbuatan itu salah dan kita perlu memberi tahu. Tapi ada hal benar yang dilakukan anak yang perlu diapresiasi, yaitu mengakui perbuatan buruknya dengan jujur pada orangtua. Apakah hal itu dilakukan?”
Boro-boro kepikiran, Bu. Saya sudah spanning duluan mendengar dia melakukan hal buruk.”
Prinsip dari pembentukan perilaku adalah perilaku yang diapresiasi positif berarti didukung dan dikuatkan sehingga akan cenderung diulangi. Istilah psikologinya memperoleh reinforcement positif. Sementara perilaku yang dikritisi negatif atau dibiarkan tanpa apresiasi akan dipahami sebagai tidak disukai dan tidak disetujui sehingga cenderung menghilang. Istilahnya memperoleh reinforcement negatif.
Ada banyak bentuk reinforcement positif. Baik yang ekstrinsik seperti pujian, senyuman, respon antusias, reward/hadiah, pelukan, usapan, dll, maupun yang intrinsik, perasaan gembira, semangat, berharga, puas, tenang, nyaman, dll.
Sementara bentuk reinforcement negatif bisa berupa, wajah masam, celaan, ejekan, pukulan/cubitan, mendiamkan, hukuman, kehilangan privilege (ekstrinsik). Juga rasa sedih, kesal, marah, tidak nyaman, perasaan tidak berharga, takut, dll. (intrinsik).
Dengan logika seperti itu, maka jika seorang anak diharapkan bertindak jujur tapi tidak memperoleh respons yang menguatkan, maka bagaimana kejujuran itu akan menguat dan tertanam sebagai value?
Bila seperti kasus di atas, ada dua kejadian bersama yang terjadi dalam satu waktu. Misalnya, anak memukul temannya tapi jujur melaporkan pada orangtua. Maka sekalipun orangtua sangat berkeinginan agar anak tidak memukul lagi temannya, orangtua perlu lebih mendahulukan memberikan penguatan terhadap kejujuran. Mengapa kejujuran yang perlu didahulukan? Karena kejujuran adalah perilaku yang lebih prioritas dan lebih kompleks sehingga memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi untuk dibentuk, dibandingkan mengendalikan agresivitas. Kejujuran terkait dengan konsep diri, kehormatan, keberanian juga kemampuan problem solving.
Satu hari, anak saya bercerita via telepon kepada saya. Dia melakukan suatu perbuatan yang saya pandang kurang layak tapi dia tidak menyadari akibat buruknya. Saat saya mendengar penuturannya, jantung saya berdegup kencang. Apa yang harus saya katakan? Kalau saya langsung memarahi, lain waktu anak saya akan enggan untuk bercerita kembali tentang berbagai hal, dan itu adalah kerugian besar bagi saya. Karena saya tidak akan tahu apa saja yang ia perbuat. Mungkin saja salah dan mungkin juga benar. Tapi kalau saya tidak menegur, maka seolah saya menyetujui perbuatannya yang kurang layak. Saya mengalami konflik.
Saya mendengarkan dan menyimak penuturannya. Saya berkata, “Mama senang kamu menceritakan ini semua sama mama. Mama sangat menghargainya. Boleh gak mama bertanya beberapa hal? Menurut kamu, apa yang akan terjadi apabila kamu melakukan hal tersebut? (Saya sebutkan perilaku yang kurang layak tersebut). Intinya adalah saya mengajak anak untuk melakukan refleksi ke dalam diri, mengajak anak untuk berempati terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain dan mengantisipasi kemungkinan apa yang bisa terjadi.
Apakah saya menunjukkan kekecewaan terhadap apa yang dilakukannya? Ya, saya menyampaikan hal itu, tapi yang digaris bawahi dan diapresiasi lebih kuat tetap adalah pada keberaniannya untuk jujur menceritakan apa yang terjadi. Ada harga diri yang harus dipelihara, sehingga anak tahu bahwa bicara dan bertindak jujur tidak mengakibatkan ia kehilangan harga diri, tetap diterima apa adanya dan tidak mengakibatkan ia kehilangan dukungan dan kasih sayang.
Kejujuran baiknya diasosiasikan dengan harga diri dan kehormatan. Dan itu bisa tercapai apabila anak diterima apa adanya, saat ia baik dan ketika ia melakukan perbuatan buruk. Saat ia senang dan saat sedih. Cinta seharusnya tidak bersyarat, “Bunda sayang kamu, kalau kamu pintar ...”
Bila orangtua lebih menghargai hal-hal yang bersifat superfisial (permukaan), misalnya seperti prestasi, perilaku manis, kecantikan, daripada kejujuran, maka anak akan mengusahakan sedapat mungkin hal-hal superfisial tersebut sekalipun dengan cara yang tidak jujur. Mencapai prestasi meskipun dengan menyontek, perilaku manis dan kepatuhan di depan namun buruk dan nakal di belakang orangtua, mempercantik diri berlebihan dan menutupi kekurangan.
Bagaimanapun kejujuran itu dicontohkan. Jika orangtua selalu ingin tampil terhormat, malu menampilkan diri apa adanya lalu memaksakan diri untuk memperoleh kesan baik dari lingkungan dengan ragam usaha, maka itulah value yang diajarkan pada anak. Jangan heran jika anak menyerap value tersebut dan mengira bahwa ia akan lebih diterima bila ia tampil baik, sekalipun itu tidak jujur.
Yeti Widiati 250216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...