Senin, 13 Juni 2016

PIKIRAN MEMICU EMOSI ... - yws
Saat ada suatu stimulus yang kita terima, maka stimulus ini akan memunculkan pikiran otomatis. Pikiran otomatis ini memicu emosi. Emosi membangkitkan reaksi tubuh dan akhirnya mendorong suatu bentuk perilaku. Perilaku ini bisa menjadi stimulus baru yang kembali memicu pikiran, mempengaruhi emosi, membangkitkan reaksi tubuh, mendorong perilaku, dst. seperti suatu siklus yang tak ada ujungnya. Nyaris seperti siklus ayam dan telur, tak jelas mana yang lebih dulu.
Saya ambil contoh sederhana;
Misalnya, kita melihat seseorang dalam jarak 25 meter, berpakaian lusuh dan membawa golok mendekati kita. Apa pikiran otomatis yang muncul pada diri kita?
Apakah pikiran otomatis kita adalah, “Wah orang ini berbahaya bagi saya” atau
Apakah pikiran otomatis kita adalah, "Wah orang ini mau pergi potong ayam"?
Maka apapun pikiran tersebut akan memicu emosi kita. Mungkin emosi yang muncul adalah perasaan cemas dan/atau ketakutan, atau sebaliknya tetap tenang.
Perasaan cemas dan ketakutan ini membangkitkan reaksi tubuh seperti pucat, berkeringat dingin, jantung berdebar, sakit leher, tubuh kaku, atau sebaliknya lemas, dlsb. dan lebih lanjut menjadi pendorong timbulnya perilaku, misalnya; lari, berteriak, menangis, pingsan, atau biasa-biasa saja.
Penyimpangan pemikiran otomatis menjadi pemikiran negatif bisa terjadi misalnya pada orang yang akhirnya melakukan overgeneralisasi. Dalam kasus di atas, pada akhirnya dia bukan hanya menganggap orang yang berbahaya adalah yang berbaju lusuh dan memegang golok saja. Tapi semua orang yang berjalan mendekati dia dipandang berpeluang untuk berbahaya karena akan menyerang dirinya.
Bayangkan bila bagian tubuh tertentu terserang terus-menerus oleh negative thought dan juga oleh libatan emosi yang begitu tinggi. Tak heran para dokter kerap menerima keluhan fisik yang ketika ditelusuri ternyata berakar dari sebab-sebab psikis.
Siklus yang menimbulkan “penderitaan” ini perlu diputus. Dari mana pun diputusnya. Ada yang memutusnya melalui fisik, misalnya; dengan melakukan relaksasi pada saat tubuh sedang tegang. Ada yang melalui emosi, misalnya dengan memberi peluang orang untuk menyalurkan dan mengekspresikan emosinya. Ada pula yang dengan mengubah melalui perilaku berulang atau pembentukan kebiasaan. Dan ada pula yang melakukan dengan mengubah cara berpikir atau cara pandang seseorang. Namun idealnya adalah kita mengubah sekaligus seluruhnya apabila mengharapkan perubahan yang komprehensif.
Mengubah cara pandang, salah satunya adalah dengan menguji dan menilai pikiran otomatis yang muncul saat stimulus itu datang. Ini adalah kesempatan untuk melakukan proses analisis baik oleh diri sendiri atau dengan bantuan orang lain. Setelah pikiran itu dianalisis, maka selanjutnya melakukan problem solving dan yang terakhir adalah pengambilan keputusan. Ibaratnya makan, maka makanan yang kita terima tidak kita telan bulat-bulat (yang menyebabkan tersedak), tapi perlu kita kunyah perlahan baru kita telan.
Pikiran otomatis itu sendiri terbentuk dari proses panjang pengalaman hidup yang kesimpulannya mengkristal menjadi beliefs dan bahkan value pada diri seseorang. Ia muncul segera setelah suatu stimulus muncul. Dapat dibayangkan bila pikiran otomatis itu berupa pikiran negatif maka menghilangkannya akan membutuhkan waktu yang panjang karena juga terbentuk dalam waktu yang sangat panjang.
Proses mencerna kembali pikiran otomatis, dengan melakukan pengujian, menilai logis atau tidaknya pikiran dan melakukan proses analisis, tidaklah selalu disukai dan “struggling” bagi beberapa orang. Terutama oleh mereka yang terbiasa memanjakan pikiran otomatisnya dan membiarkannya mempengaruhi emosi dan perilakunya. Mereka enggan diajak berpikir agak lebih lama. Lebih suka menelan bulat-bulat informasi yang diterima daripada mengunyah lambat-lambat dan mencerna terlebih dahulu. Umumnya perilaku yang sering muncul adalah, malas berpikir panjang, malas menjawab pertanyaan sulit, abstrak dan filosofis, malas berdiskusi, enggan memecahkan masalah dan menghindari mengambil keputusan yang berisiko.
Tantangan ini menjadi lebih besar pada era digital saat ini. Ketika makanan instan diperlakukan dan dinikmati sebagai makanan pokok. Ketika berpeluh membuat tidak nyaman. Ketika kecepatan diposisikan lebih utama daripada kesabaran. Maka kecepatan menjadi boomerang, karena kecepatan bisa berperan sebagai katalis yang mempercepat siklus terjadinya emosi negatif.
Jadi, ketika memperoleh stimulus (informasi, kejadian, dll), dan memicu negative thought, apa yang perlu kita lakukan?
Nampaknya lebih sehat kalau kita menunda reaksi segera. Tunggu sebentar, cerna, berpikir panjang terlebih dahulu, sebelum mengambil tindakan dan keputusan yang sudah diantisipasi konsekuensinya.
*Sedang menasihati diri
Yeti Widiati 020516

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...