Minggu, 12 Juni 2016

VALUE TAMPIL DARI PERILAKU - yws
Biasanya lebiih banyak turis asing berpakaian santai, berkaos dan celana pendek. Sekarang semakin banyak yang berpakaian resmi, dan mengenakan tanda pengenal. Orang dari berbagai ras dan bangsa datang satu persatu untuk sarapan di resto. Kabarnya sih orang nomor 1 di Indonesia akan datang ke hotel ini untuk meresmikan sebuah acara.
"Morning ... " seorang perempuan setengah baya berkulit kuning, berpakaian rapi, tampak percaya diri dan cerdas, datang sendiri, duduk di samping saya. Saya menduga ia adalah salah satu peserta yang akan mengikuti acara tersebut.
Bergantian orang dengan warna kulit, tinggi badan, penampilan dan bahasa yang berbeda datang dan pergi. Saya menikmati keragaman itu. Keragaman yang selaras selalu indah dalam pandangan saya. Karena keragaman diciptakan Allah.
Selesai sarapan saya memutuskan kembali ke kamar. Saya melihat petugas-petugas yang sibuk mempersiapkan kedatangan presiden. Sayup-sayup terdengar lagu 'Rayuan Pulau Kelapa' dari paduan suara yang sedang berlatih.
Ada tergelitik ingin mendekat ke area acara, mungkin saja saya bisa melihat orang yang 'membelah' rakyat Indonesia menjadi dua (atau tiga bagian?). Satu bagian pendukung dan pembelanya yang berfokus pada kebaikannya dan bahkan "menciptakan" kebaikan. Di kutub yang lain ada mereka yang berfokus pada keburukannya dan bahkan juga "menciptakan" keburukannya. Di kedua bagian selalu ada orang yang obyektif dan penuh kendali, dan sebaliknya juga selalu ada orang subyektif dan emosional. Ada sih sebagian kecil yang tidak memilih.
Tapi keinginan untuk mendekati area acara saya urungkan. Bukan apa-apa, lebih karena saya enggan berdesak-desakkan dan saya punya tugas yang lain juga.
Saya teringat presiden-presiden sebelumnya. Saya bertanya dalam hati, mengapa kita sering terlambat menyadari kebaikan dan kelebihan presiden-presiden kita? Kita menyebut-nyebut kebaikannya justru setelah mereka tidak berkuasa atau setelah meninggal dunia. Saat pak Harto berkuasa, orang membandingkannya dengan Bung Karno yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia. Butuh waktu agak lama untuk menghargai pencapaian pak Harto, pak Habibie, Gus Dur, ibu Megawati dan pak SBY. Kalimat "Enak jamanku tho ... " muncul di masa pemerintahan SBY jilid 2. Orang pun baru menghargai pak Habibie dengan pencapaiannya dalam bidang teknologi justru ketika masyarakat dunia yang menghargainya.
Sekarang saat kepemimpinan pak Jokowi, pola yang sama muncul kembali. Orang membandingkannya dengan melihat ke belakang. Saya tak tahu kapan kita akan merasa puas. Menurut saya, kita akan kecewa bila menyandarkan rasa puas pada orang lain. Kita sendiri yang perlu menciptakan rasa puas dengan bersyukur terhadap apa yang kita miliki.
Kemarin saya mengajak para orangtua untuk berusaha melihat kelebihan dan berfokus pada hal positif putra putrinya, karena cara itu yang lebih produktif, bagi putra-putri kita dan juga diri kita. Kelihatannya kita juga perlu memberi contoh terlebih dahulu dari cara bagaimana kita berespon terhadap lingkungan, terutama lingkungan yang tidak sesuai dengan harapan kita. Karena anak meniru pola perilaku yang kita tampilkan.
Ketika kita ringan membully fisik orang lain yang kita tak suka atau berbeda paham dengan kita, maka kenapa kita heran ketika anak kita pun ringan melakukan hal yang sama saat tak suka pada temannya?
Mohon maaf untuk yang kurang berkenan.
Renungan ini terutama untuk mengingatkan diri sendiri
Yeti Widiati S. 201015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...