Minggu, 12 Juni 2016

LUKA YANG KEMBALI TERBUKA
(Healing Innerchild Within) - yws
- Ibu saya kuatir sekali, suami saya akan pensiun tahun depan.
+ Apa yang ibu kuatirkan?
- Suami saya orangnya keras dan tidak sabaran. Dia tidak bisa melihat barang-barang berantakan, anak-anak yang lambat bekerja. Sering marah kalau anak-anak mendebat dan tidak patuh. Saya kuatir kalau nanti di rumah, suami saya akan marah-marah terus dan bertengkar dengan anak-anak. Anak-anak tidak suka ayahnya memerintah dan marah-marah terus. Selama ini kan suami saya sering keluar kota, paling pulang sebulan sekali, itu pun hanya 2-3 hari. Kalau pensiun, dia akan di rumah terus bu, saya dan anak-anak akan bertemu terus
+ Apa perasaan yang dirasakan ibu mengingat kejadian itu?
- Takut, bu ... (Suaranya tercekat, badannya mengkerut dan menggigil, matanya pun menyipit)
+ Baik, saya akan ajak ibu untuk mengingat pengalaman di masa lalu, saat ibu pertama kali merasakan perasaan takut yang persis sama seperti ini. Kalau ibu merasa lebih nyaman memejamkan mata, silakan ibu pejamkan mata.
- Saya mendengar suara bapak saya bu .... (tampak kulitnya memucat)
+ Boleh diceritakan pada saya apa yang terjadi saat itu?
- Waktu itu saya kelas 2 SD, saya sedang memegang tempat makanan ayam dan sedang berada di kandang ayam. Tugas saya adalah memberi makan ayam-ayam bapak saya yang banyak. Saya tidak suka tugas ini, karena kandang ayam ini kotor dan bau. Saya jadi malas-malasan dan lambat melakukannya. Tapi bapak tidak suka karena saya bekerja terlalu lambat. Saya dibentak dengan keras, hingga saya kaget. Saking kagetnya, saya menumpahkan wadah tempat makan ayam hingga berhamburan di lantai kandang dan sulit dipungut. Padahal saya masih harus memberikan makan ayam di kandang yang lain. Bapak tambah marah, 'Keluar sini kamu ...!!!' Saya dipukuli sambil dibentak "Anak gak tahu diri, gak ngerti orangtua susah cari uang buat makan. Kamu malah buang-buang makanan seenaknya ... ' Saya dipukuli terus meskipun sudah menangis dan minta ampun berkali-kali ...' (Bercerita sambil menangis terisak-isak, tangannya saling mendekap dan badannya membungkuk seperti melindungi diri dari sesuatu yang memukulnya)
+ Coba ibu katakan pada bapak kata-kata yang masih mengganjal, yang dulu belum sempat dan belum berani ibu katakan.
- Bapak, kenapa bapak pukul Ade? Sakit pak .... sakit .... Ade nggak sengaja numpahin makanan ayam itu, kenapa bapak pukul Ade, sakit pak ... (Tangisannya semakin keras hingga tubuhnya terguncang. Suara dan pilihan katanya sudah berubah menjadi seorang anak kecil yang ketakutan dan tak berdaya)
Saya minta ia mengeluarkan semua kata dan emosi yang tertahan selama berpuluh tahun. Tangisan seorang anak kecil yang terluka, tersakiti dan tak berdaya untuk melawan. Yang lukanya belum sembuh juga, bahkan hingga ia berusia setengah baya. Yang lukanya terbuka kembali saat ia menghadapi masa pensiun suaminya karena ternyata suaminya memiliki karakter mirip dengan ayahnya.
Anak kecil yang terluka ini rupanya masih tetap berada di sebuh sudut yang gelap. Ia menangis, berteriak dan memohon, namun pintu hati begitu kuat menutupnya bahkan si pemilik hati ini mengabaikan teriakannya meski merasakan sakit dan kecemasan luar biasa. Kecemasan yang membuatnya kehilangan kepercayaan diri, ragu dalam melangkah dan bahkan 'mengundang' orang yang memiliki karakter sama untuk menguasai hidupnya.
Tengoklah ke dalam diri, adakah anak-anak kecil yang terluka dalam diri kita. Atau adakah kita mengkuatirkan anak-anak kita sendiri, anak kandung, anak angkat, anak asuh, atau bahkan murid, mengalami pengalaman terluka yang berpotensi terbawa dan mempengaruhi perilakunya di masa depan?
Yeti Widiati S 221015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...