Senin, 29 Agustus 2016

COACHING DAN MENGEMBANGKAN "GENERATION Y" - yws

Generation Y, menurut beberapa ahli adalah mereka yang lahir antara tahun 1980-an hingga 1990-an. Berarti usia mereka saat ini berkisar antara 36 hingga 26 tahun. Pada umumnya, bila mereka bekerja di perusahaan mereka ada yang masih menjadi staf, cukup banyak yang menjadi supervisor dan tentunya ada yang sudah menjadi manager. Tidak jarang mereka juga sudah menjadi direktur di perusahaan atau bisnis yang mereka kelola sendiri. Gen Y relatif lebih berani untuk mengembangkan bisnis dibandingkan dengan generasi pendahulunya.

Dari sisi pernikahan, umumnya mereka sudah memiliki anak usia SD atau balita.

Karakteristik Gen-Y atau juga disebut Me-Generation, ini cukup unik dan memiliki perbedaan signifikan dengan generasi sebelumnya, baik itu Gen X maupun Generasi Baby Boomer.

Gen-Y adalah generasi yang lahir dan tumbuh pada masa perkembangan teknologi digital cukup pesat. Sehingga mereka sangat "melek" teknologi. Mereka memanfaatkan teknologi secara optimal untuk bekerja. Mudah berpindah-pindah kerja. Namun juga kreatif dalam menghasilkan ide.

Pola komunikasinya lebih terbuka. Sehingga mereka lebih mudah mengungkapkan pikiran dan pendapatnya dan apa adanya.

Dibanding Gen X, pada banyak gen Y, cukup besar kepedulian terhadap keseimbangan hidup, sehingga mereka tidak mau "dipaksa" bekerja keras untuk perusahaan karena juga ingin mengembangkan kehidupan sosial dan terutama keluarganya.

Tentu saja karakteristik ini bukan hal yang baku berlaku pasti pada setiap orang Gen Y. Tapi ini adalah simpulan dari beberapa hasil riset dan pengamatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga kepada Gen Y secara umum (bukan mereka yang mengalami masalah).

Dalam konteks perusahaan/lembaga, maka membimbing dan mendampingi karyawan Gen Y, membutuhkan strategi sendiri. Mereka tidak terlalu suka didikte dengan serangkaian instruksi. Pada umumnya merasa bertanggung jawab terhadap hidupnya, mudah berkomunikasi, dan relatif mudah menemukan resources serta bisa menetapkan tujuan. Satu hal yang menjadi tantangan Gen Y adalah, kesabaran menjalani proses.

Karenanya dibutuhkan teknik dan strategi yang paling adaptif dan sesuai dengan karakteristik karyawan Gen Y.

Coaching sebagai salah satu tools untuk membantu pengembangan karyawan dipilih banyak perusahaan dan lembaga untuk kebutuhan ini. Coaching memenuhi persyaratan karena berfokus pada coachee (Basis teori Client-Centered Carl Rogers). Sehingga dengan teknik bertanya, secara tidak langsung memberi kesempatan pada coachee untuk mengolah sendiri sampai menemukan insight. Proses penetapan tujuan, tahapan perencanaan, pengukuran hasil, handling problem, dll. bisa tergambar melalui proses coaching.

Mereka yang melakukan coaching biasanya adalah atasannya, atau HRD yang pada umumnya termasuk Gen X atau bahkan mungkin Baby Boomer. Mereka tidak selalu menguasai pola-pola semacam ini, sehingga juga perlu belajar dan beradaptasi dengan cara-cara baru. Bagaimana membimbing dengan menimbulkan insight dan bukan menggurui atau memberikan instruksi seperti yang mereka alami dulu.

Perkembangan memang menuntut kita untuk terus belajar agar bisa selalu adaptif dengan lingkungan.

Yeti Widiati 290816

Kamis, 25 Agustus 2016

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANAK
Kemampuan berpikir terdiri dari ragam aspek. Mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Mulai dari yang terberi (given) hingga yang perlu dibimbing, dilatih dan dikembangkan. Bagaimana pun semuanya perlu menjadi perhatian orangtua agar kemampuan berpikir anak berfungsi dengan baik sebagai alat untuk beradaptasi dan menghadapi masalah dalam keseharian.
Saya garis bawahi, bahwa pengembangan kemampuan berpikir intinya bukanlah berbicara tentang pencapaian prestasi akademik. Melainkan berbicara mengenai adaptasi dan kemampuan seseorang menghadapi masalah dalam hidup.
Saya mencoba menguraikan beberapa aspek kemampuan berpikir sehingga para orangtua bisa memahami dan mengembangkan anak-anaknya lebih baik.
  1. DAYA TANGKAP Kemampuan seseorang untuk memahami informasi baru. Ini adalah kemampuan yang paling mudah terlihat. Dan cepat lambatnya seseorang memahami suatu stimulus seringkali dianggap mewakili gambaran kemampuan berpikirnya secara keseluruhan. Padahal belum tentu. Pada anak-anak dengan gangguan emosi ringan hingga berat, misalnya yang tertekan sepanjang hidup atau yang mengalami kejadian traumatis, yang belajar dengan ancaman, hukuman, dipaksa, dll. maka hampir seluruh kemampuan berpikirnya termasuk daya tangkap menjadi tidak optimal tampilannya. Itulah mengapa, betapa penting menciptakan situasi belajar yang tidak menekan. Emosi takut, seringkali menjadi gangguan yang paling besar pada daya tangkap.
  2. KONSENTRASI Kemampuan untuk mempertahankan fokus dan perhatian dalam jangka waktu tertentu. Kemampuan konsentrasi berkaitan dengan kematangan syaraf. Oleh karena itu semakin muda usia anak, maka semakin pendek rentang perhatiannya. Begitupun dengan anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan syaraf pun juga biasanya mengalami gangguan pemusatan perhatian, Ada kalanya diiringi dengan gerakan berlebih (hiperaktivitas), namun sebagian lainnya tidak diiringi dengan hiperaktivitas. Kadang kesulitan konsentrasi bias tampilannya dengan kesulitan memahami. Selain berkaitan dengan kematangan syaraf, kemampuan konsentrasi juga dipengaruhi emosi. Orang yang berada dalam kondisi sangat emosi, takut, marah, sedih, seringkali juga sulit berkonsentrasi. Skor kecerdasan yang tinggi, seringkali tidak tampil optimal ketika seorang anak mengalami banyak tekanan dalam hidupnya. Namun menurut beberapa penelitian, kecemasan dalam kadar yang tidak mengganggu dan dapat dikendalikan akan mendukung konsentrasi. Analoginya seperti orang yang menyetir mobil di malam hari, maka konsentrasinya lebih tinggi karena ia lebih berhati-hati. Kemampuan konsentrasi bisa dibantu dengan latihan, tetapi karena berkaitan dengan aspek fisiologis (perkembangan syaraf) orangtua dan guru juga perlu bersabar untuk menunggu dan menyesuaikan diri dengan rentang perhatian anak yang masih berproses perkembangannya.
  3. DAYA INGAT Kemampuan untuk menyimpan informasi jangka panjang dan memunculkan kembali saat dibutuhkan. Kemampuan ini berkaitan dengan daya tangkap dan konsentrasi, akan tetapi masih bersifat sederhana. Lebih banyak berkaitan dengan kemampuan pengelolaan informasi atau kemampuan storage/penyimpanan informasi di otak. Analoginya seperti orang yang membereskan lemari. Semakin baik dan tertata seseorang menyimpan barangnya di lemari, maka semakin mudah ia untuk menemukan kembali barang-barangnya. Beberapa cara untuk meningkatkan daya ingat: - Metode asosiasi (mengaitkan dengan sesuatu yang berarti) apalagi mengasosiasikan dengan emosi dipandang sebagai metode yang cukup efektif untuk memunculkan kembali informasi yang dimiliki seseorang. - Memahami apa yang diingat. Itu pun juga efektif untuk menyimpan informasi dalam jangka panjang. - Pengulangan, pun juga akan membuat seseorang mempertahankan ingatannya. Seperti seseorang yang melihat seseorang setiap hari, maka ia akan mengingat orang tersebut lebih baik. Oleh karena itu bisa dipahami jika pengalaman traumatis bisa begitu lama tersimpan dan begitu cepat muncul saat terpicu emosi tertentu. Sayangnya ingatan terkait pengalaman traumatis tidak selalu menyenangkan, karena bersifat sangat spesifik dan emosinya seringkali sulit dikendalikan. Seperti air bendungan yang bocor.
  4. MINAT DAN RASA INGIN TAHU Curiosity atau rasa ingin tahu, adalah hal alamiah yang tumbuh pada diri seseorang. Bisa dikatakan bahwa anak lahir dengan rasa ingin tahu. Tidak ada anak yang tidak punya minat terhadap lingkungannya, dan terhadap belajar. Bila ada anak tidak suka belajar, maka bisa dipastikan telah terjadi sesuatu yang membuat anak kehilangan minatnya untuk belajar. Pada umumnya lingkunganlah yang membuat anak kehilangan minat belajar. Beberapa kondisi yang membuat anak kehilangan minat belajar, misalnya; - Ketika anak bertanya tidak dijawab, entah karena orangtua/guru malas atau tidak tahu. - Ketika anak dilarang bereksplorasi dan bereksperimen karena orangtua/guru takut kotor, takut berantakan, takut terluka, - Ketika anak dipaksa belajar pada saat yang tidak tepat, capai, mengantuk, lapar, kekenyangan, dll. - Ketika anak dipaksa belajar hal yang terlalu sulit dan bukan minatnya. Dll.
  5. WAWASAN PENGETAHUAN Wawasan pengetahuan adalah perbendaharaan atau keluasan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Wawasan pengetahuan berkait dengan minat dan daya ingat anak. Luasnya pengetahuan anak akan berguna di kemudian hari dalam hal penyelesaian masalah sehari-hari. Wawasan pengetahuan awalnya sangat bergantung pada bagaimana lingkungan (orangtua dan guru) memperkenalkan ragam pengetahuan pada anak. Pengembangan selanjutnya akan dipengaruhi juga oleh motivasi dan minat anak. Semakin besar minat dan motivasi internal yang dimiliki anak, maka semakin besar peluangnya untuk memperluas wawasan pengetahuannya. Oleh karena itu orangtua yang rajin memberikan pengalaman bervariasi pada anak, misalnya dengan mengajak berjalan-jalan, diskusi, membaca buku, menonton film, berkunjung ke berbagai orang dan ragam tempat, akan memberikan peluang anak memiliki wawasan yang lebih luas. Pengalaman bervariasi ini tidak harus berbiaya mahal. Segala hal yang terjadi dalam dunia anak bisa menjadi jalan untuk mengembangkan wawasan.
  6. LOGIKA BERPIKIR Logika berpikir terkait dengan kemampuan membuat hubungan atau asosiasi antara satu hal dengan hal lain. Biasanya berupa hubungan Jika A maka B. Daya tangkap yang cepat dan daya ingat yang kuat, akan mempercepat seseorang untuk memahami suatu rangkaian hubungan. Pada anak, proses berpikir pada awalnya terjadi dari situasi konkrit yang ditangkap dengan indranya, kemudian dihubung-hubungkan dan selanjutnya disimpulkan hingga menjadi suatu skema abstrak di dalam otak. Misalnya, ia menjatuhkan bola, bola memantul, menjatuhkan lagi bola, bola memantul. Demikian berulang, maka ia menyimpulkan suatu hubungan, bahwa bila bola dijatuhkan bola akan memantul. Skema dasar ini yang akan diujicobakan oleh anak pada berbagai hal. Sehingga ia memperoleh suatu kesimpulan yang luas. Skema ini juga terjadi dalam situasi sosial. Misalnya, saat anak menangis, ibu akan datang memeluk. Anak menangis, ibu datang memeluk. Demikian seterusnya, sehingga anak tahu, bahwa setiap ia menangis ibu akan datang memeluk. Itulah mengapa kita perlu berhati-hati dalam berespon kepada anak. Yang sering terjadi dan membuat anak bingung serta emosi adalah ketika ia melakukan suatu perbuatan yang diinterpretasi sebagai kesalahan oleh orangtua, lalu diberikan hukuman. Sering terjadi hukuman bukan merupakan rangkaian konsekuensi logis dari perilaku yang dilakukan anak. Misalnya, saat anak menjatuhkan gelas hingga pecah, respon orangtua adalah marah, memukul atau bentuk hukuman lainnya. Padahal respon yang lebih logis adalah, menjelaskan mengenai kejadian, bahayanya, dan kemudian lakukan konsekuensinya (membersihkan pecahan gelas). Logika berpikir yang paling sederhana dulu yang perlu diajarkan. Agar anak memiliki skema dan pola berpikir yang benar. Ketika ia masuk ke lingkungan sosial, tantangannya akan jauh lebih sulit, karena logika sosial jauh lebih rumit.
  7. ANALISIS Kemampuan analisis adalah kemampuan memilah-milah informasi. Ini kemampuan yang abstrak dan lebih rumit tingkatannya. Dalam bentuk yang lebih sederhana, tampak saat anak melakukan coba-coba atau trial error. Bila logika berpikir hanya menyangkut satu rangkaian sebab akibat. Maka proses analisis memiliki skema yang lebih panjang, lebih banyak dan berkaitan satu sama lain. Seperti orang yang melihat peta kota dari helikopter, maka ia melihat lebih banyak dan lebih rumit dibanding orang yang sedang mengendarai mobil di jalan.Sekalipun semua proses berpikir berlangsung secara "misterius" dan abstrak di dalam otak manusia, namun bagi anak, semua perlu dikonkritkan menjadi bentuk yang bisa diindra. Bisa dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dikecap serta dilakukan/dipraktekkan. Oleh karena itu kemampuan analisis, hampir mustahil bila diajarkan dengan nasihat atau dengan paparan satu arah. Kemampuan analisis perlu dilakukan atau dipraktekkan secara langsung. Proses diskusi dan memberi kesempatan anak melakukan pemecahan masalah secara mandiri adalah proses yang paling logis untuk mengembangkan kemampuan analisis. Orangtua yang mengajarkan shortcut dengan selalu membantu anak, hanya akan membingungkan dan mengerdilkan kemampuan berpikir anak. Logika tidak berkembang, apalagi kemampuan analisis yang fondasinya adalah logika.
  8. SINTESIS Kemampuan sintesis, sederhananya adalah kemampuan menyimpulkan. Menarik hubungan dari beragam informasi untuk memperoleh "benang merah"nya. Seringkali kemampuan ini tidak bisa dipisahkan dengan kemampuan analisis. Kemampuan ini dibutuhkan agar anak bisa memperoleh gambaran secara keseluruhan dari suatu masalah. Proses-proses generalisasi adalah salah satu bentuk kemampuan sintesis. Bila seorang anak memiliki kemampuan sintesis, maka ia seolah memiliki "rumus" dalam bertindak dan tidak mudah bingung menghadapi ragam masalah dalam hidup.Dasar dari kemampuan sintensis adalah dari kemampuan logika juga, meskipun tentunya lebih rumit. Cara melatihnya sama dengan analisis, yaitu dengan memberikan kesempatan pada anak menangani beragam masalah yang serupa. Pola penyelesaian masalah yang dia lakukan pada satu kondisi, akan ia coba terapkan pada masalah yang lain. Itulah mengapa, semakin disadari betapa pentingnya memberikan anak kesempatan untuk menyelesaikan sendiri masalahnya dengan kadar kesulitan yang sesuai dengan kemampuannya.
  9. ANTISIPASI Kemampuan antisipasi adalah kemampuan untuk memperkirakan atau memprediksi konsekuensi dari suatu rangkaian sebab-akibat. Jadi selain basisnya adalah kemampuan logika, juga kemampuan analisis dan sintesis pun menjadi dasarnya. Kemampuan ini sudah semakin abstrak. Dan range kemampuan seseorang semakin variatif pada kemampuan ini. Mereka yang terbiasa berpikir sederhana dan konkrit lebih sulit untuk melihat jauh ke depan dan melakukan antisipasi. Saya pribadi, biasanya memperkirakan "kedalaman" berpikir seseorang termasuk seberapa jauh seseorang memanfaatkan kemampuan berpikirnya adalah melalui kemampuan antisipasinya. Bukan dari seberapa banyak hafalannya, seberapa besar nilai raport dan IPK-nya termasuk juga seberapa besar skor IQ-nya. Dan kabar buruk bagi mereka yang senang mencontek juga melakukan short cut adalah, karena kemampuan antisipasi tidak bisa direkayasa. Ia muncul dan tergambar dari konsep berpikir, value dan perilaku seseorang begitu saja. Kemampuan antisipasi yang rendah, menyebabkan seseorang kurang bisa memperkirakan akibat yang mungkin terjadi. Ini berimbas juga pada rendahnya kemampuan perencanaan. Kemampuan antisipasi yang tinggi, tapi tidak disertai dengan kemampuan pemecahan masalah, akan menyebabkan terjadinya ekskalasi peningkatan emosi. Cemas dan panik adalah reaksi emosi yang sering terjadi pada situasi ini. Ini sering terjadi pada anak-anak cerdas tapi tidak terbiasa mengatasi masalah. Sehingga akhirnya emosinya meningkat ia menjadi tegang dan cemas. Berakibat ia kesulitan untuk memunculkan kemampuan berpikirnya secara optimal. Bagaimana mengembangkannya? Diskusi, dan sekali lagi, beri kesempatan anak untuk menghayati dan mengalami proses. Misalnya, lakukan suatu pekerjaan dari awal hingga akhir. Ketika bermain, mulai dari mengambil mainan, bermain, hingga akhirnya merapikan kembali mainannya. Kata kuncinya; adalah memahami proses.
  10. FLEKSIBILITAS BERPIKIR Fleksibilitas atas kelenturan berpikir adalah kemampuan seseorang untuk melihat masalah dari beragam cara pandang. Kemampuan ini membutuhkan kemampuan analisis dan sintesis dan menjadi dasar dari kreativitas dan pemecahan masalah. Kebalikan dari fleksibel adalah kaku. Orang yang kaku cara berpikirnya, seringkali mengira hanya ada satu cara yang paling benar yang bisa dilakukan untuk keluar dari satu masalah. Oleh karena itu mereka senang dengan petunjuk/instruksi dalam mengerjakan sesuatu dan tidak berpikir untuk mengerjakan dengan cara lain. Seringkali juga tidak avonturir atau tidak berani mencoba hal baru karena takut salah. Bila petunjuk itu benar, tidak masalah. Ekskalasi emosi akan meningkat ketika satu-satunya petunjuk yang diketahui, ternyata tidak berhasil menyelesaikan masalah. Orang yang kaku juga seringkali berpikir egosentris, subyektif, sulit memahami cara pandang orang lain dan sulit berempati. Mereka yang cara berpikirnya fleksibel mengetahui bahwa ada ragam cara (tidak hanya satu cara) untuk melihat masalah dan untuk menyelesaikan masalah. Pada umumnya mereka yang memiliki fleksibilitas berpikir yang baik juga kreatif dan tidak mudah stres dan tidak mudah patah semangat ketika menghadapi persoalan dalam hidupnya. Fleksibilitas berpikir itu given. Namun setiap orang memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan ambang fleksibilitas berpikirnya. Seperti otot yang dilenturkan dengan berolah raga, maka pikiran dilenturkan dengan ragam latihan berpikir. Cara-cara berpikir konvergen dengan hanya mencari satu jawaban yang benar, perlu diimbangi dengan cara berpikir divergen, yaitu mencari beragam jawaban benar untuk satu persoalan. Misalnya; - Jenis soal pilihan berganda perlu diimbangi dengan jenis soal essai. - Menyuruh anak memilih satu cara perlu diimbangi dengan memberikan anak kesempatan untuk memberikan ragam alternatif. - Menyuruh anak mendengar perlu diimbangi dengan memberi kesempatan anak mengungkapkan pikiran dan pandangannya. - Bersikap toleran terhadap pendapat yang berbeda adalah juga perwujudan dari fleksibilitas berpikir. Dan ini perlu dicontohkan oleh orangtua dan guru.
  11. KREATIVITAS Adalah kemampuan untuk menghasilkan beragam ide. "Nilai" kreativitas ditunjukkan oleh, - Banyaknya ide yang dihasilkan, - Ragam atau variasi ide - Keunikan - Kerumitan atau kompleksitas ide - Diferensiasi ide Kreativitas tidak hanya menyangkut hasil karya yang bisa dilihat seperti karya seni, tulisan atau teknologi. Lebih jauh dari itu, kreativitas adalah berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menghasilkan ragam ide agar ia bisa adaptif dengan lingkungan dan menyelesaikan masalahnya. Seorang anak yang memiliki cara untuk menghadapi pembully di sekolahnya juga dapat dipandang sebagai kreativitas. Dasar kreativitas adalah fleksibilitas berpikir. Sementara tujuannya adalah untuk pemecahan masalah. Agar dapat mengembangkan kreativitas, maka kebebasan dan keberanian adalah faktor yang sangat penting. Itulah mengapa pada anak-anak yang sangat dituntut kepatuhannya, maka kemampuan kreativitas relatif lebih sulit berkembang. Karena batasan-batasan yang terlalu banyak. Bisa dipahami ini menjadi dilemma bagi sebagian orangtua dan guru. Karena ketika memberi kesempatan anak kreatif, berarti harus memberi kesempatan juga pada anak untuk bereksplorasi, menjelajahi ragam pemikiran, mencoba-coba, memberi kesempatan bertanya bebas, dan menghasilkan karya. Ada banyak orangtua dan guru yang tidak siap menerima konsekuensi dari kreativitas, karena terkesan kurang patuh, kurang disiplin, kurang rapi, suka ngeyel, dll. Oleh karena itu, mengembangkan kemampuan kreativitas juga perlu diiringi dengan mengembangkan kemampuan lain, yaitu; kemampuan empati, antisipasi, problem solving, dan kendali diri.
  12. PEMECAHAN MASALAH Dan semua aspek kemampuan berpikir itu menjadi kurang bermanfaat bila tidak bermuara pada kemampuan penyelesaian masalah. Semua aspek tersebut perlu digabungkan menjadi satu kesatuan yang berujung pada satu atau beberapa solusi dalam menghadapi ragam masalah sehari-hari. Bila olahraga dan latihan itu berguna saat seseorang menghadapi pertandingan. Maka belajar gunanya bukan untuk mengerjakan PR, tugas sekolah, ujian apalagi diredusir dengan mengejar nilai agar dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau untuk memperoleh pekerjaan. Belajar dan mengembangkan kemampuan berpikir ditujukan agar anak dapat menyelesaikan masalah dalam keseharian di kemudian hari secara mandiri. Bila kemampuan pemecahan masalah adalah puncak dari bangunan piramida kemampuan berpikir, maka aspek-aspek tersebut semua adalah fondasi yang perlu kita kembangkan satu persatu, perlahan-lahan dan sesuai kemampuan anak. Skor IQ tinggi bukan jaminan seseorang bisa menyelesaikan masalah secara efektif dalam hidupnya. Tugas kita baik sebagai diri sendiri maupun sebagai orangtua adalah memaksimalkan apa yang diberikan Allah pada diri kita dan pada anak-anak kita. Fokuslah pada proses dan tujuan terpanjang dan terjauh dari keberadaan kita di muka bumi. Bila pun ada yang kurang atau salah pada apa yang kita lakukan, maka Insya Allah, Allah yang akan menyempurnakannya.
*Note: Aspek kemampuan berpikir sebetulnya masih banyak, namun tidak semuanya diuraikan di sini.
Yeti Widiati 250816

Selasa, 23 Agustus 2016

Orang yang serakah dengan masalah adalah orang yang mempermasalahkan hal-hal yang bukan masalahnya.

Belajarlah memilah masalah. Mana yang menjadi masalah kita dan mana yang bukan. Cara ini akan meringankan beban kita.

Mulailah dengan bertanya;
- Apakah kita mempunyai WAKTU untuk menyelesaikannya?
Jika tidak, maka itu BUKAN masalah kita.
- Apakah kita mempunyai KOMPETENSI/KEMAMPUAN untuk menyelesaikannya?
Jika tidak, maka itu BUKAN masalah kita.
- Apakah kita mempunyai SUMBER DAYA untuk menyelesaikannya?
Jika tidak, maka itu BUKAN masalah kita.
- Apakah kita mempunyai PENGARUH untuk menyelesaikannya?
Jika tidak, maka itu BUKAN masalah kita.


Berfokuslah pada hal-hal yang kita memiliki waktu, kemampuan, sumber daya dan pengaruh...

*Sumber: Kang Asep Haerul Gani

*Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. (QS 2:286)

Jumat, 12 Agustus 2016

PENGETAHUAN PARENTING, PENTING ATAU BIKIN PENING? – yws

Ragam komentar terkait Parenting:
- “Ngapain sih belajar Parenting? Mikir repot-repot. Jaman dulu orangtua kita gak belajar parenting, tapi anak-anaknya sukses dan baik-baik aja tuh ...”


- “Ahli yang ini bilang begini, ahli yang itu bilang begitu, terus yang bener yang mana?”

- “Kenapa para ahli parenting itu tidak memberi tahu dengan jelas dan ringkas, kita cuma pingin tahu supaya anak kita baik, lalu harus diapain”

- “Kenapa para ahli parenting itu menyalahkan terus kepada para orangtua. Seolah kita ini tidak pernah melakukan apa-apa dengan benar untuk anak-anak kita.”

- “Kita ikuti kemauan anak, salah. Kita kerasi anak salah juga. Katanya tidak boleh ngajar calistung sama anak TK, tapi kenyataannya mayoritas SD mempersyaratkan anak sudah bisa baca. Jadi kita musti gimana dong?”

- “Parenting kan ilmu dari Barat dan tidak Islami. Kita harus berhati-hati bahwa ini konspirasi untuk menghancurkan umat Islam melalui pengasuhan dan pendidikan yang sekuler ...”

- "Ah gak perlu lah belajar Parenting, nanti juga kalau nikah dan punya anak, otomatis bisa sendiri"

- “Itu para ahli parenting, anak-anaknya sendiri gimana. Baik nggak? Dianya sendiri sabar nggak, waktu anaknya rewel ...?”

- "Mendidik anak itu yang penting cinta kok. Jadi kalau mau marah ya marah aja, kalau mau manjain ya manjain aja. Allah tahu kok kita melakukan itu semua karena kita cinta anak kita"

- "Yang penting itu prakteknya, bukan Teori parenting ini itu ..."

- "Yang paling tahu tentang anak kita, ya orangtuanya. Para ahli parenting itu enak aja ngomong, ya dia anaknya baik. Dia gak tahu gimana susahnya kita ngadepin anak yang bandel kayak gini."

- “Pengetahuan Parenting membuat saya lebih paham karakter anak saya dan apa yang perlu saya lakukan untuk menanganinya”

- “Karena saya tahu Parenting, maka saya menjadi mengetahui apa sebetulnya yang perlu dicapai. Saya tidak lagi mudah terpengaruh oleh lingkungan yang berubah-ubah. Misalnya kurikulum pendidikan yang berubah, tren, dll.

- “Setelah saya memahami parenting, saya menjadi tahu kapan saya perlu memahami dan tidak memaksa anak, dan kapan saya perlu mendorong agar potensi anak teroptimalkan dengan baik”

* Pengetahuan parenting memang tidak membuat kesulitan dan tantangan mendidik anak akan hilang. Tapi bila kita memahami parenting, maka saat kesulitan dan tantangan itu datang, kita relatif sudah tenang dan siap mengantasipasi apa yang terjadi.

* Jangan sombong ketika anak kita sehat, baik dan berprestasi.
* Jangan putus asa ketika anak kita challenging dan tak sesuai harapan.
* Karena Parenting adalah bagian dari ikhtiar, tetap ada intervensi "Tangan Tuhan" di dalamnya.

Quote ini berlaku juga buat mereka yang mengaku Ahli Parenting.

Yeti Widiati 120816

Kamis, 11 Agustus 2016

Parenting di abad 21

ILMU-ILMU YANG PERLU DIKUASAI UNTUK PARENTING YANG LEBIH BAIK
(Diambil dan diterjemahkan dari parentinstructor.com) - yws

Ilmu 1 POLA ASUH
1. Pengertian pola asuh
2. 4 Jenis pola asuh
3. Konsekuensi dari pola asuh
4. Pengaruh jenis kelamin, etnis dan tipe keluarga terhadap pola asuh

Ilmu 2 PEMAHAMAN KARAKTERISTIK ANAK
1. Tahapan perkembangan anak
2. Karakteristik temperamen anak
3. Anak sebagai bagian dari keluarga (posisi, urutan, dll)
4. Persaingan antar saudara
5. Relasi sosial anak
6. Anak dan Stress

Ilmu 3 CINTA DAN PERHATIAN
1. Bagaimana menunjukkan rasa cinta
2. Bagaimana menunjukkan perhatian

Ilmu 4 MENJADI ROLE MODEL
1. Pengaruh masa lalu
2. Apa yang kita tampilkan sekarang?

Ilmu 5 EMPATI
1. Emosi dalam hidup
2. Mengapa emosi itu penting
3. Kurangnya empati
4. Mengapa kesadaran sosial itu penting?
5. Bagaimana belajar lebih empati?
6. Mengembangkan empati pada anak
7. Mendengar empatik
8. Komunikasi empatik
9. Acceptance (penerimaan diri)

Ilmu 6 KOMUNIKASI
1. Mengkomunikasikan emosi
2. Pola komunikasi yang merusak
3. Komunikasi asertif
- Menyampaikan pesan
- Belajar mendengar
- Mengekspresikan keluhan
- Kenali bagian kita dalam sebuah konflik
4. Berkomunikasi dengan anak
5. Tips untuk berkomunikasi dengan anak

Ilmu 7 DISIPLIN
1. Tujuan Disiplin
2. Pendekatan dan filosofi disiplin
3. Prinsip umum disiplin
4. Membuat batasan/boundaries
5. Tips untuk membuat batasan/boundaries
6. Hadiah dan konsekuensi/hukuman bagi anak

Ilmu 8 MANAGEMEN STRES
1. Stres dan kesehatan fisik
2. Stres dan kesehatan mental
3. Stres di tempat kerja
4. Stres dalam parenting
- Mengelola kesehatan mental diri sebagai orangtua
- Menangani stress sehari-hari dalam mengasuh anak
5. Mengenali Stres
- Empat tahap managemen stres
6. Dukungan sosial
7. Sepuluh tips mengurangi stres

Ilmu 9 MASALAH SPESIFIK KELUARGA
1. Anak dan Perceraian
2. Co-parenting
3. Parenting dan orangtua tiri
4. Parenting dan orangtua tunggal

Yeti Widiati 150716

Rabu, 10 Agustus 2016

DEBAT MODEL-MODEL PENDIDIKAN - yws

Dikbud sesuai amanah undang-undang sistem pendidikan nasional, menyajikam ragam jenis model pendidikan, dan mengizinkan masyarakat memilih, mana yang paling sesuai dan memberikan kemanfaatan terbesar sesuai dengan kondisinya, kemampuannya dan kebutuhannya. Umumnya sekolah-sekolah ini adalah sekolah swasta, sehingga relatif berbiaya dibanding sekolah negeri.

- Orangtua yang mau sekolah half day untuk anaknya, silakan. Orangtua yang bertanggung jawab melengkapi pendidikan karakternya, bukan menyerahkan didikan pada film, games, internet atau gadget.

- Untuk orangtua bekerja, sekolah full day, mungkin menjadi pilihan. Asalkan orangtua tidak meninggalkan tanggung jawabnya memberikan waktu berkualitas.

- Sekolah internasional atau berwawasan internasional mungkin dipilih para orangtua yang ingin anaknya berwawasan global. Silakan, tetapi orangtua juga bertanggung jawab meletakkan fondasi dan akar nasionalisme, sehingga jati diri kebangsaannya tetap terjaga.

- Sekolah berwawasan serta bercirikan agama, menjadi pilihan bagi orangtua yang ingin membekali anak dengan pengetahuan agama dan pembiasaan ibadah. Tetap orangtua perlu menyadari sepenuhnya, bahwa baik tidaknya anak tidak selalu paralel dengan banyak pengetahuan agama dan rajinnya beribadah.

- Sekolah khusus atau inklusi dipilih oleh orangtua yang ingin keunikan anaknya terakomodasi. Tetap ada konsekuensi-konsekuens yang perlu dipertimbangkan.

- Bahkan memilih untuk "tidak bersekolah", menjalankan Homeschooling atau home education pun sekarang sudah legal dan diizinkan. Orangtua bertanggung jawab penuh menyusun "kurikulum" baik untuk akademik maupun karakternya.

Kehebohan saat ini adalah ketika wacana yang spesifik ditawarkan untuk sekolah negeri dari ujung Aceh hingga ujung Papua yang kondisinya sangat variatif. Baik dari sisi fasilitas maupun kualitas guru.

Tetap perlu survey, analisis kebutuhan dan analisis kemampuan kalau berkeras ingin menerapkan kebijakan yang spesifik ini. Kebijakan yang bukan hal yang paling mendasar dalam pencapaian tujuan pendidikan.

Menariknya dengan wacana-wacana yang menimbulkan "automatic thinking" adalah, emosi sudah kepalang tersulut. Dan membuat kita lupa dengan hal yang lebih pokok dan mendasar. Tuduhan ini itu, memalingkan kita dari kenyataan bahwa baik pendidikan di sekolah maupun pendidikan di rumah, dalam banyak hal, ternyata masih berjarak dari tujuan besar pendidikan itu sendiri.

Alhasil perdebatan berujung pada hal-hal yang perifer dan terwarnai emosi. Kita lupa membahas bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan sekolah dan rumah itu sendiri.

Yeti Widiati 100816

Rabu, 03 Agustus 2016

MASUK SD, BUKAN HANYA TENTANG CALISTUNG - yws

"Tante, bisa ngetes anak buat masuk SD?"

"Ngetes apa maksudnya?"

"Iya ini anakku udah 6 tahun, tapi kok aku masih deg-degan. Ni anak bisa gak ya masuk SD. Gurunya nyuruh dites aja, katanya ..."

"Tes mah gampang. Yang jauh lebih penting itu bagaimana kita menyiapkan anak untuk siap masuk SD"

"Apa yang musti disiapin?"

"Gini caranya, kita lihat dulu aktivitas di SD itu apa saja. Belajar di kelas, main bareng sama teman dan ada kemandirian minimal yang perlu dicapai. Apalagi kalau SD-nya full day school"

"Kemandirian minimal itu, gimana maksudnya, Tante?"

"Kita lihat satu-satu ya. Belajar di kelas, berarti anak sudah mampu untuk konsentrasi dalam batas waktu tertentu. Mau mendengar guru bicara. Mampu duduk diam. Gak ganggu temannya waktu belajar. Sabar menunggu temannya yang lambat. Tapi bisa mengejar juga kalau temannya lebih cepat kerjanya. Motorik halus sudah lumayan karena dia akan banyak menulis atau menggambar. Memahami bentuk sudah paham karena dia akan banyak membaca. Konsep dasar berhitung juga perlu dikuasai. Dan kelengkapan kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk mengikuti proses belajar di SD dengan lancar."

"Aduh, anakku ada yang bisa ada yang belum itu. Dia masih suka gak konsen dan gak sabaran. Kalau sudah bosan dan gak sabar dia akan keliling dan lari-lari di kelas."

"Nah, itu salah satu PR--nya. Yang kedua, terkait sosialisasi dan kendali emosi. Bisa gak si adek main bareng teman-temannya. Gak rebutan atau maksa. Tapi gak menyendiri juga. Bisa gak dia mengendalikan emosi, gak gampang marah atau nangis. Bisa gak dia bicara dengan baik untuk mengungkapkan pendapat dan mengekspresikan perasaannya?"

"Aduh, dia masih suka main rebut aja kalau ada maunya. Gak minta izin dulu. Sering berantem jadinya kalau main ..."

"Oke itu PR kedua. Berikutnya adalah kemandirian minimal yang tadi Tante sebut. Maksudnya adalah, anak perlu memiliki ketrampilan bantu diri, bahasa kerennya self help skill sesuai usianya. Sudah bisa makan sendiri belum? Kan gak mungkin minta disuapi gurunya. Sudah bisa pakai baju dan celana belum? Termasuk yang rada rumit itu mengancingkan kemejanya. Kalau belum bisa, repot nanti setelah pelajaran olah raga ganti bajunya. Sudah bisa menjaga dan merapikan barang, buku, tempat minum, pensil dll? Juga sudah bisa buang air sendiri di toilet atau belum? Dari mulai masuk sampai keluar kembali dari toilet dengan bersih dan kering?

"Aduh ... anakku baru bisa sampai "Ma ... udah ..." Lalu harus diceboki orang gede"

"Nah itu PR lumayan besar selain PR-PR lainnya. Toilet training harusnya sudah beres pada usia anak TK. Gak mungkin lah kita ngandelin guru atau penjaga sekolah untuk nyebokin anak kita. Ini beresiko sekali. Maksudnya sangat beresiko karena terkait dengan "Body Integrity" dan juga menghindari pelecehan seksual. Anak harus sudah tahu bahwa alat kelaminnya tidak boleh dilihat dan dipegang-pegang orang lain pada usia TK."

"Aduh ... aduh ... banyak bener PR-nya ..."

"Hehe ... gak apa, pelan-pelan dilihat lagi. Gak usah dipaksain masuk SD kalau memang masih cukup banyak PR yang perlu diselesaikan. Apalagi SD sekarang banyak yang "achievement oriented". Peluang ongkos emosinya akan lumayan besar.

Gitu ya, jadi buat list mana kemampuan yang sudah bisa dan mana yang belum bisa. Kemudian buat rencana untuk membuat bisa. Mana yang bisa diselesaikan oleh gurunya di TK, dan mana yang tetap menjadi tugas kita sebagai orang tua. Insya Allah kamu sama suami bisa ... :) "

*Masuk SD bukan melulu bicara calistung.
*IQ tinggi tidak selalu paralel dengan kematangan dan kesiapan sekolah

Yeti Widiati 030816
RELASI DOKTER - PASIEN DI ERA DIGITAL - yws

Hari ini saya sudah bertemu dengan dokter ke-6 dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, yang melakukan pencatatan menggunakan teknologi IT terbaru. Sehingga data langsung dimasukkan real time melalui komputer yang sudah disetting sistemnya sedemikian rupa. Keluhan, diagnosis, saran dan resep semua langsung terekam secara digital. Dan dengan mudah diakses oleh bagian lain, misalnya oleh bagian rekam medik atau farmasi, atau bagian lainnya.


Memanfaatkan teknologi, bagus sih .... Lebih cepat, lebih akurat, mudah disimpan, mudah diakses dan mudah ditracing. Tapi memang ada saja yang terpaksa dikorbankan. Yaitu kualitas relasi dengan pasien yang menjadi signifikan berkurang. Terlebih kalau dokternya masih canggung dengan metode semacam itu. Sudah diduga, biasanya para dokter senior yang lebih canggung. "Apa tadi, Bu, yang dirasakan?" Tanyanya sambil mengetik keluhan. Para dokter yang lebih muda usianya relatif lebih trampil mengetik sambil tetap menatap pasien. Sekalipun tetap kentara tatapan matanya lebih banyak menunjukkan ia berpikir daripada menunjukkan atensi pada pasien.

Saya pernah bertemu dengan dokter yang menatap hangat dan tersenyum simpati saat mendengar keluhan pasien.

Saya juga cukup sering bertemu dengan dokter yang lebih banyak menunduk untuk mencatat daripada menatap pasien.

Dan sekarang saya perlu membiasakan diri berbicara dengan dokter yang lebih banyak menatap layar komputer sambil mengetik.

Sambil menunggu dokter mengetik, saya pun melamun, "Mungkin satu saat nanti kualitas relasi dokter-pasien akan kembali meningkat, ketika pencatatan dilakukan otomatis dengan mengubah suara/percakapan langsung ke dalam bentuk kode atau tulisan ...."

Padahal ketika dokter menatap dengan hangat, menyimak dengan baik dan berkata dengan simpatik, 25% kesembuhan pasien tercapai. Treatment medis membantu 50%-nya, sementara 25% lainnya adalah motivasi dan usaha pasien itu sendiri.

*Sumber angka prosentase dari Prof. David, seorang dokter ahli craniofacial dalam salah satu sesi konsultasinya.

Salam hormat buat teman-teman saya para dokter yang baik ....
*Hihihi takut ditimpukin para dokter :D

Yeti Widiati 020816

Selasa, 02 Agustus 2016

AUTONOMY VERSUS SHAME AND DOUBT - yws
(Perkembangan Psikosial 1-3 tahun)

"Tante, kenapa ya anakku kok sekarang adeuhhh ... nggak nurut, ngelawan, mau-maunya sendiri, dan gampang ngambek. Padahal dulu gak gitu deh. Manis, nurut, enak banget pokoknya ngurusnya"

"Iya, si adek ni kan umurnya 2,5 tahun. Itu memang karakteristik anak umur 1-3 tahun. Berusaha untuk menunjukkan bahwa dia punya keinginan dan ingin lihat juga bagaimana lingkungan berespon terhadap keinginannya. Terutama anak-anak yang basic trustnya sudah terbentuk baik pada usia 0-1 tahun. Nah, keberanian dia untuk melawan, menantang aturan orangtua, dll, adalah karena dia merasa nyaman dengan itu semua, dan yakin bahwa dia gak apa-apa dan akan aman untuk menyampaikan pendapatnya. Ini sehat dan wajar sebetulnya. Justru kalau ini tidak terbentuk pada usia tersebut, maka yang terjadi adalah anak yang pemalu dan peragu untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan pendapatnya."

"Tapi jadinya musti diapain? Diikutin kan emang salah. Gak diikutin rewelnya ampun deh. Kadang jadi kebawa emosi, gak sabaran jadinya."

"Pertama, kita sebagai orangtua paham dulu, bahwa ini proses wajar. Justru kalau tidak terjadi, ini yang kita perlu bertanya-tanya. Kalau dia terlalu penurut, malah di kemudian hari bisa jadi mudah terpengaruh orang lain karena tidak berani mengungkapkan pendapatnya.

Jadi, dengerin aja dulu maunya apa. Biar dia bicara. Itu yang paling dulu dia perlu dapat. Masalah apakah kemauannya perlu diikuti atau tidak, patokannya adalah pada aturannya itu sendiri. Kalau bisa diikuti, ikuti. Kalau memang tidak boleh diubah aturannya, maka jangan diubah. Yang penting, apapun keputusan kita mengabulkan atau tidak permintaan anak, keduanya perlu reasoning/alasannya. Hindari mengatakan "Pokoknya kata bunda, gak boleh ...!"

Sebetulnya proses ini pembelajaran buat anaknya, sehingga dia bisa tahu kemampuan bargainingnya sejauh apa. Anak juga belajar mana aturan yang bisa ditawar dan mana yang tidak. Bagi orangtua, ini juga titik kritis apakah kita akan jatuh menjadi orangtua yang mudah bingung, tidak konsisten, dan terjebak pada target jangka pendek supaya anak tenang dan senang. Atau sebaliknya, kita mempersiapkan diri menjadi orangtua yang konsisten, fokus pada target jangka panjang dan bisa membedakan keinginan dan kebutuhan anak."

"Duh, tapi ngerepotin banget deh, Tante. Jadi lambat semuanya. Pas mau berangkat, tiba-tiba ngadat .... cape deeee ...."

"Iya sih ... memang cape dan perlu kesabaran berlipat-lipat ... Tinggal beberapa bulan lagi nih. Pada usia 3 tahun, bila tahap ini terlewati dengan baik, maka anak akan masuk pada masa initiative. Masa ketika anak mengembangkan kreativitasnya. Dia akan coba-coba dan membuat berbagai macam hal. Siap-siap deh rumah berantakan, hehe... Tapi sebaliknya kalau tahap ini tidak tuntas terlalui, maka anak biasanya akan menjadi penakut berpendapat dan membuat sesuatu. Jadi sering merasa bersalah dan tidak puas dengan apa yang dicapainya.

Nah, kita sebagai orangtua mau pilih mana? Mau anak yang berani berpendapat atau yang malu dan peragu? Keduanya kita perlu hadapi konsekuensinya. Tante percaya, kamu bisa melaluinya dengan baik. Yang sabar ya ..."

"Iya Tante ... "

*Teori Perkembangan Psikososial, Erik Erikson

Yeti Widiati 010816

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...