Kamis, 25 Agustus 2016

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANAK
Kemampuan berpikir terdiri dari ragam aspek. Mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Mulai dari yang terberi (given) hingga yang perlu dibimbing, dilatih dan dikembangkan. Bagaimana pun semuanya perlu menjadi perhatian orangtua agar kemampuan berpikir anak berfungsi dengan baik sebagai alat untuk beradaptasi dan menghadapi masalah dalam keseharian.
Saya garis bawahi, bahwa pengembangan kemampuan berpikir intinya bukanlah berbicara tentang pencapaian prestasi akademik. Melainkan berbicara mengenai adaptasi dan kemampuan seseorang menghadapi masalah dalam hidup.
Saya mencoba menguraikan beberapa aspek kemampuan berpikir sehingga para orangtua bisa memahami dan mengembangkan anak-anaknya lebih baik.
  1. DAYA TANGKAP Kemampuan seseorang untuk memahami informasi baru. Ini adalah kemampuan yang paling mudah terlihat. Dan cepat lambatnya seseorang memahami suatu stimulus seringkali dianggap mewakili gambaran kemampuan berpikirnya secara keseluruhan. Padahal belum tentu. Pada anak-anak dengan gangguan emosi ringan hingga berat, misalnya yang tertekan sepanjang hidup atau yang mengalami kejadian traumatis, yang belajar dengan ancaman, hukuman, dipaksa, dll. maka hampir seluruh kemampuan berpikirnya termasuk daya tangkap menjadi tidak optimal tampilannya. Itulah mengapa, betapa penting menciptakan situasi belajar yang tidak menekan. Emosi takut, seringkali menjadi gangguan yang paling besar pada daya tangkap.
  2. KONSENTRASI Kemampuan untuk mempertahankan fokus dan perhatian dalam jangka waktu tertentu. Kemampuan konsentrasi berkaitan dengan kematangan syaraf. Oleh karena itu semakin muda usia anak, maka semakin pendek rentang perhatiannya. Begitupun dengan anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan syaraf pun juga biasanya mengalami gangguan pemusatan perhatian, Ada kalanya diiringi dengan gerakan berlebih (hiperaktivitas), namun sebagian lainnya tidak diiringi dengan hiperaktivitas. Kadang kesulitan konsentrasi bias tampilannya dengan kesulitan memahami. Selain berkaitan dengan kematangan syaraf, kemampuan konsentrasi juga dipengaruhi emosi. Orang yang berada dalam kondisi sangat emosi, takut, marah, sedih, seringkali juga sulit berkonsentrasi. Skor kecerdasan yang tinggi, seringkali tidak tampil optimal ketika seorang anak mengalami banyak tekanan dalam hidupnya. Namun menurut beberapa penelitian, kecemasan dalam kadar yang tidak mengganggu dan dapat dikendalikan akan mendukung konsentrasi. Analoginya seperti orang yang menyetir mobil di malam hari, maka konsentrasinya lebih tinggi karena ia lebih berhati-hati. Kemampuan konsentrasi bisa dibantu dengan latihan, tetapi karena berkaitan dengan aspek fisiologis (perkembangan syaraf) orangtua dan guru juga perlu bersabar untuk menunggu dan menyesuaikan diri dengan rentang perhatian anak yang masih berproses perkembangannya.
  3. DAYA INGAT Kemampuan untuk menyimpan informasi jangka panjang dan memunculkan kembali saat dibutuhkan. Kemampuan ini berkaitan dengan daya tangkap dan konsentrasi, akan tetapi masih bersifat sederhana. Lebih banyak berkaitan dengan kemampuan pengelolaan informasi atau kemampuan storage/penyimpanan informasi di otak. Analoginya seperti orang yang membereskan lemari. Semakin baik dan tertata seseorang menyimpan barangnya di lemari, maka semakin mudah ia untuk menemukan kembali barang-barangnya. Beberapa cara untuk meningkatkan daya ingat: - Metode asosiasi (mengaitkan dengan sesuatu yang berarti) apalagi mengasosiasikan dengan emosi dipandang sebagai metode yang cukup efektif untuk memunculkan kembali informasi yang dimiliki seseorang. - Memahami apa yang diingat. Itu pun juga efektif untuk menyimpan informasi dalam jangka panjang. - Pengulangan, pun juga akan membuat seseorang mempertahankan ingatannya. Seperti seseorang yang melihat seseorang setiap hari, maka ia akan mengingat orang tersebut lebih baik. Oleh karena itu bisa dipahami jika pengalaman traumatis bisa begitu lama tersimpan dan begitu cepat muncul saat terpicu emosi tertentu. Sayangnya ingatan terkait pengalaman traumatis tidak selalu menyenangkan, karena bersifat sangat spesifik dan emosinya seringkali sulit dikendalikan. Seperti air bendungan yang bocor.
  4. MINAT DAN RASA INGIN TAHU Curiosity atau rasa ingin tahu, adalah hal alamiah yang tumbuh pada diri seseorang. Bisa dikatakan bahwa anak lahir dengan rasa ingin tahu. Tidak ada anak yang tidak punya minat terhadap lingkungannya, dan terhadap belajar. Bila ada anak tidak suka belajar, maka bisa dipastikan telah terjadi sesuatu yang membuat anak kehilangan minatnya untuk belajar. Pada umumnya lingkunganlah yang membuat anak kehilangan minat belajar. Beberapa kondisi yang membuat anak kehilangan minat belajar, misalnya; - Ketika anak bertanya tidak dijawab, entah karena orangtua/guru malas atau tidak tahu. - Ketika anak dilarang bereksplorasi dan bereksperimen karena orangtua/guru takut kotor, takut berantakan, takut terluka, - Ketika anak dipaksa belajar pada saat yang tidak tepat, capai, mengantuk, lapar, kekenyangan, dll. - Ketika anak dipaksa belajar hal yang terlalu sulit dan bukan minatnya. Dll.
  5. WAWASAN PENGETAHUAN Wawasan pengetahuan adalah perbendaharaan atau keluasan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Wawasan pengetahuan berkait dengan minat dan daya ingat anak. Luasnya pengetahuan anak akan berguna di kemudian hari dalam hal penyelesaian masalah sehari-hari. Wawasan pengetahuan awalnya sangat bergantung pada bagaimana lingkungan (orangtua dan guru) memperkenalkan ragam pengetahuan pada anak. Pengembangan selanjutnya akan dipengaruhi juga oleh motivasi dan minat anak. Semakin besar minat dan motivasi internal yang dimiliki anak, maka semakin besar peluangnya untuk memperluas wawasan pengetahuannya. Oleh karena itu orangtua yang rajin memberikan pengalaman bervariasi pada anak, misalnya dengan mengajak berjalan-jalan, diskusi, membaca buku, menonton film, berkunjung ke berbagai orang dan ragam tempat, akan memberikan peluang anak memiliki wawasan yang lebih luas. Pengalaman bervariasi ini tidak harus berbiaya mahal. Segala hal yang terjadi dalam dunia anak bisa menjadi jalan untuk mengembangkan wawasan.
  6. LOGIKA BERPIKIR Logika berpikir terkait dengan kemampuan membuat hubungan atau asosiasi antara satu hal dengan hal lain. Biasanya berupa hubungan Jika A maka B. Daya tangkap yang cepat dan daya ingat yang kuat, akan mempercepat seseorang untuk memahami suatu rangkaian hubungan. Pada anak, proses berpikir pada awalnya terjadi dari situasi konkrit yang ditangkap dengan indranya, kemudian dihubung-hubungkan dan selanjutnya disimpulkan hingga menjadi suatu skema abstrak di dalam otak. Misalnya, ia menjatuhkan bola, bola memantul, menjatuhkan lagi bola, bola memantul. Demikian berulang, maka ia menyimpulkan suatu hubungan, bahwa bila bola dijatuhkan bola akan memantul. Skema dasar ini yang akan diujicobakan oleh anak pada berbagai hal. Sehingga ia memperoleh suatu kesimpulan yang luas. Skema ini juga terjadi dalam situasi sosial. Misalnya, saat anak menangis, ibu akan datang memeluk. Anak menangis, ibu datang memeluk. Demikian seterusnya, sehingga anak tahu, bahwa setiap ia menangis ibu akan datang memeluk. Itulah mengapa kita perlu berhati-hati dalam berespon kepada anak. Yang sering terjadi dan membuat anak bingung serta emosi adalah ketika ia melakukan suatu perbuatan yang diinterpretasi sebagai kesalahan oleh orangtua, lalu diberikan hukuman. Sering terjadi hukuman bukan merupakan rangkaian konsekuensi logis dari perilaku yang dilakukan anak. Misalnya, saat anak menjatuhkan gelas hingga pecah, respon orangtua adalah marah, memukul atau bentuk hukuman lainnya. Padahal respon yang lebih logis adalah, menjelaskan mengenai kejadian, bahayanya, dan kemudian lakukan konsekuensinya (membersihkan pecahan gelas). Logika berpikir yang paling sederhana dulu yang perlu diajarkan. Agar anak memiliki skema dan pola berpikir yang benar. Ketika ia masuk ke lingkungan sosial, tantangannya akan jauh lebih sulit, karena logika sosial jauh lebih rumit.
  7. ANALISIS Kemampuan analisis adalah kemampuan memilah-milah informasi. Ini kemampuan yang abstrak dan lebih rumit tingkatannya. Dalam bentuk yang lebih sederhana, tampak saat anak melakukan coba-coba atau trial error. Bila logika berpikir hanya menyangkut satu rangkaian sebab akibat. Maka proses analisis memiliki skema yang lebih panjang, lebih banyak dan berkaitan satu sama lain. Seperti orang yang melihat peta kota dari helikopter, maka ia melihat lebih banyak dan lebih rumit dibanding orang yang sedang mengendarai mobil di jalan.Sekalipun semua proses berpikir berlangsung secara "misterius" dan abstrak di dalam otak manusia, namun bagi anak, semua perlu dikonkritkan menjadi bentuk yang bisa diindra. Bisa dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dikecap serta dilakukan/dipraktekkan. Oleh karena itu kemampuan analisis, hampir mustahil bila diajarkan dengan nasihat atau dengan paparan satu arah. Kemampuan analisis perlu dilakukan atau dipraktekkan secara langsung. Proses diskusi dan memberi kesempatan anak melakukan pemecahan masalah secara mandiri adalah proses yang paling logis untuk mengembangkan kemampuan analisis. Orangtua yang mengajarkan shortcut dengan selalu membantu anak, hanya akan membingungkan dan mengerdilkan kemampuan berpikir anak. Logika tidak berkembang, apalagi kemampuan analisis yang fondasinya adalah logika.
  8. SINTESIS Kemampuan sintesis, sederhananya adalah kemampuan menyimpulkan. Menarik hubungan dari beragam informasi untuk memperoleh "benang merah"nya. Seringkali kemampuan ini tidak bisa dipisahkan dengan kemampuan analisis. Kemampuan ini dibutuhkan agar anak bisa memperoleh gambaran secara keseluruhan dari suatu masalah. Proses-proses generalisasi adalah salah satu bentuk kemampuan sintesis. Bila seorang anak memiliki kemampuan sintesis, maka ia seolah memiliki "rumus" dalam bertindak dan tidak mudah bingung menghadapi ragam masalah dalam hidup.Dasar dari kemampuan sintensis adalah dari kemampuan logika juga, meskipun tentunya lebih rumit. Cara melatihnya sama dengan analisis, yaitu dengan memberikan kesempatan pada anak menangani beragam masalah yang serupa. Pola penyelesaian masalah yang dia lakukan pada satu kondisi, akan ia coba terapkan pada masalah yang lain. Itulah mengapa, semakin disadari betapa pentingnya memberikan anak kesempatan untuk menyelesaikan sendiri masalahnya dengan kadar kesulitan yang sesuai dengan kemampuannya.
  9. ANTISIPASI Kemampuan antisipasi adalah kemampuan untuk memperkirakan atau memprediksi konsekuensi dari suatu rangkaian sebab-akibat. Jadi selain basisnya adalah kemampuan logika, juga kemampuan analisis dan sintesis pun menjadi dasarnya. Kemampuan ini sudah semakin abstrak. Dan range kemampuan seseorang semakin variatif pada kemampuan ini. Mereka yang terbiasa berpikir sederhana dan konkrit lebih sulit untuk melihat jauh ke depan dan melakukan antisipasi. Saya pribadi, biasanya memperkirakan "kedalaman" berpikir seseorang termasuk seberapa jauh seseorang memanfaatkan kemampuan berpikirnya adalah melalui kemampuan antisipasinya. Bukan dari seberapa banyak hafalannya, seberapa besar nilai raport dan IPK-nya termasuk juga seberapa besar skor IQ-nya. Dan kabar buruk bagi mereka yang senang mencontek juga melakukan short cut adalah, karena kemampuan antisipasi tidak bisa direkayasa. Ia muncul dan tergambar dari konsep berpikir, value dan perilaku seseorang begitu saja. Kemampuan antisipasi yang rendah, menyebabkan seseorang kurang bisa memperkirakan akibat yang mungkin terjadi. Ini berimbas juga pada rendahnya kemampuan perencanaan. Kemampuan antisipasi yang tinggi, tapi tidak disertai dengan kemampuan pemecahan masalah, akan menyebabkan terjadinya ekskalasi peningkatan emosi. Cemas dan panik adalah reaksi emosi yang sering terjadi pada situasi ini. Ini sering terjadi pada anak-anak cerdas tapi tidak terbiasa mengatasi masalah. Sehingga akhirnya emosinya meningkat ia menjadi tegang dan cemas. Berakibat ia kesulitan untuk memunculkan kemampuan berpikirnya secara optimal. Bagaimana mengembangkannya? Diskusi, dan sekali lagi, beri kesempatan anak untuk menghayati dan mengalami proses. Misalnya, lakukan suatu pekerjaan dari awal hingga akhir. Ketika bermain, mulai dari mengambil mainan, bermain, hingga akhirnya merapikan kembali mainannya. Kata kuncinya; adalah memahami proses.
  10. FLEKSIBILITAS BERPIKIR Fleksibilitas atas kelenturan berpikir adalah kemampuan seseorang untuk melihat masalah dari beragam cara pandang. Kemampuan ini membutuhkan kemampuan analisis dan sintesis dan menjadi dasar dari kreativitas dan pemecahan masalah. Kebalikan dari fleksibel adalah kaku. Orang yang kaku cara berpikirnya, seringkali mengira hanya ada satu cara yang paling benar yang bisa dilakukan untuk keluar dari satu masalah. Oleh karena itu mereka senang dengan petunjuk/instruksi dalam mengerjakan sesuatu dan tidak berpikir untuk mengerjakan dengan cara lain. Seringkali juga tidak avonturir atau tidak berani mencoba hal baru karena takut salah. Bila petunjuk itu benar, tidak masalah. Ekskalasi emosi akan meningkat ketika satu-satunya petunjuk yang diketahui, ternyata tidak berhasil menyelesaikan masalah. Orang yang kaku juga seringkali berpikir egosentris, subyektif, sulit memahami cara pandang orang lain dan sulit berempati. Mereka yang cara berpikirnya fleksibel mengetahui bahwa ada ragam cara (tidak hanya satu cara) untuk melihat masalah dan untuk menyelesaikan masalah. Pada umumnya mereka yang memiliki fleksibilitas berpikir yang baik juga kreatif dan tidak mudah stres dan tidak mudah patah semangat ketika menghadapi persoalan dalam hidupnya. Fleksibilitas berpikir itu given. Namun setiap orang memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan ambang fleksibilitas berpikirnya. Seperti otot yang dilenturkan dengan berolah raga, maka pikiran dilenturkan dengan ragam latihan berpikir. Cara-cara berpikir konvergen dengan hanya mencari satu jawaban yang benar, perlu diimbangi dengan cara berpikir divergen, yaitu mencari beragam jawaban benar untuk satu persoalan. Misalnya; - Jenis soal pilihan berganda perlu diimbangi dengan jenis soal essai. - Menyuruh anak memilih satu cara perlu diimbangi dengan memberikan anak kesempatan untuk memberikan ragam alternatif. - Menyuruh anak mendengar perlu diimbangi dengan memberi kesempatan anak mengungkapkan pikiran dan pandangannya. - Bersikap toleran terhadap pendapat yang berbeda adalah juga perwujudan dari fleksibilitas berpikir. Dan ini perlu dicontohkan oleh orangtua dan guru.
  11. KREATIVITAS Adalah kemampuan untuk menghasilkan beragam ide. "Nilai" kreativitas ditunjukkan oleh, - Banyaknya ide yang dihasilkan, - Ragam atau variasi ide - Keunikan - Kerumitan atau kompleksitas ide - Diferensiasi ide Kreativitas tidak hanya menyangkut hasil karya yang bisa dilihat seperti karya seni, tulisan atau teknologi. Lebih jauh dari itu, kreativitas adalah berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menghasilkan ragam ide agar ia bisa adaptif dengan lingkungan dan menyelesaikan masalahnya. Seorang anak yang memiliki cara untuk menghadapi pembully di sekolahnya juga dapat dipandang sebagai kreativitas. Dasar kreativitas adalah fleksibilitas berpikir. Sementara tujuannya adalah untuk pemecahan masalah. Agar dapat mengembangkan kreativitas, maka kebebasan dan keberanian adalah faktor yang sangat penting. Itulah mengapa pada anak-anak yang sangat dituntut kepatuhannya, maka kemampuan kreativitas relatif lebih sulit berkembang. Karena batasan-batasan yang terlalu banyak. Bisa dipahami ini menjadi dilemma bagi sebagian orangtua dan guru. Karena ketika memberi kesempatan anak kreatif, berarti harus memberi kesempatan juga pada anak untuk bereksplorasi, menjelajahi ragam pemikiran, mencoba-coba, memberi kesempatan bertanya bebas, dan menghasilkan karya. Ada banyak orangtua dan guru yang tidak siap menerima konsekuensi dari kreativitas, karena terkesan kurang patuh, kurang disiplin, kurang rapi, suka ngeyel, dll. Oleh karena itu, mengembangkan kemampuan kreativitas juga perlu diiringi dengan mengembangkan kemampuan lain, yaitu; kemampuan empati, antisipasi, problem solving, dan kendali diri.
  12. PEMECAHAN MASALAH Dan semua aspek kemampuan berpikir itu menjadi kurang bermanfaat bila tidak bermuara pada kemampuan penyelesaian masalah. Semua aspek tersebut perlu digabungkan menjadi satu kesatuan yang berujung pada satu atau beberapa solusi dalam menghadapi ragam masalah sehari-hari. Bila olahraga dan latihan itu berguna saat seseorang menghadapi pertandingan. Maka belajar gunanya bukan untuk mengerjakan PR, tugas sekolah, ujian apalagi diredusir dengan mengejar nilai agar dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau untuk memperoleh pekerjaan. Belajar dan mengembangkan kemampuan berpikir ditujukan agar anak dapat menyelesaikan masalah dalam keseharian di kemudian hari secara mandiri. Bila kemampuan pemecahan masalah adalah puncak dari bangunan piramida kemampuan berpikir, maka aspek-aspek tersebut semua adalah fondasi yang perlu kita kembangkan satu persatu, perlahan-lahan dan sesuai kemampuan anak. Skor IQ tinggi bukan jaminan seseorang bisa menyelesaikan masalah secara efektif dalam hidupnya. Tugas kita baik sebagai diri sendiri maupun sebagai orangtua adalah memaksimalkan apa yang diberikan Allah pada diri kita dan pada anak-anak kita. Fokuslah pada proses dan tujuan terpanjang dan terjauh dari keberadaan kita di muka bumi. Bila pun ada yang kurang atau salah pada apa yang kita lakukan, maka Insya Allah, Allah yang akan menyempurnakannya.
*Note: Aspek kemampuan berpikir sebetulnya masih banyak, namun tidak semuanya diuraikan di sini.
Yeti Widiati 250816

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...