Kamis, 26 Januari 2017

RESILIENSI - yws
(Konteks sembuh dari kejadian buruk dan trauma)

Coba kita lemparkan bola tenis ke lantai yang keras, maka ia akan memantul lebih tinggi dibanding kita melemparkan buah jeruk misalnya. Kemampuan benda untuk memantul kembali (bounce back) setelah terbentur/dibenturkan itu di sebut dengan istilah "daya lentur". Daya lentur ini yang dalam konteks psikologi disebut sebagai "resiliensi" (resilience).

Jadi pengertian sederhana dari resiliensi adalah, kemampuan seseorang untuk kembali ke keadaan semula atau bahkan lebih baik dari sebelum ia mengalami kejadian buruk.

Bila kita analogikan dengan bola tenis tadi, maka bola yang paling lentur adalah yang ketika dibenturkan bisa memantul lebih besar dari tingginya semula. Sehingga orang yang memiliki daya lentur yang baik adalah mereka yang bukan saja bisa bertahan dari kejadian buruk, namun lebih dari itu justru dapat mengambil hikmah dan memanfaatkan kejadian buruk dalam hidupnya untuk menampilkan performa yang lebih baik, dalam keseharian, bekerja, akademik, sosial, maupun dalam hal-hal yang sifatnya lebih spiritual seperti kebijaksanaan, keluasan pemikiran, dll.

Mereka yang berhasil maju kembali setelah kejadian buruk dikatakan anak muda sekarang, sudah "move on" sebaliknya yang masih juga terpuruk dan berkutat dengan kesedihan dan kehancurannya disebut "gagal move on".

Kalau istilah "move on" mengacu pada penggambaran situasinya, maka resiliensi lebih berbicara pada seberapa lentur seseorang untuk bisa segera move on.

Dalam tulisan saya LUKA DI KAKI, LUKA DI HATI, saya berbicara mengenai analogi penanganan luka fisik dan luka psikologis untuk menghindari terjadinya trauma. Maka di sini saya mencoba menguraikan mengenai hal-hal apa yang dapat kita lakukan untuk membuat kita memiliki resiliensi/daya lentur yang lebih baik, sehingga lebih cepat pulih, bahkan menampilkan performa lebih baik dari kondisi sebelum terkena kejadian buruk.

Hal-hal yang mempengaruhi resiliensi seseorang, di antaranya adalah;

1. Karakeristik kejadian buruk yang dialami
- Ada kejadian buruk yang secara OBYEKTIF memang berat
Misalnya, mengalami kecelakaan yang menyebabkan hilangnya beberapa orang tercinta atau mengakibatkan kecacatan. dll.

- Ada kejadian buruk yang secara SUBYEKTIF dipersepsi sebagai hal berat.
Misalnya, kematian hewan peliharaan, kehilangan barang. dll. Bisa sangat berat bila ada meaning penting pada objek2 tertentu.

- Ada kejadian buruk kecil/besar dan berlangsung lama (sejak kecil)
Misalnya, pola asuh yang salah yang diterapkan sejak kecil, kdrt, pelecehan seksual, bullying yang dialami sejak kecil, situasi perang.

- Ada kejadian buruk kecil/besar yang berlangsung hanya satu kali dalam hidup.
Misalnya, bencana alam, kecelakaan, dll.

Semakin berat suatu kejadian buruk, apalagi bila menjadi traumatik, maka kemampuan untuk bangkit kembali membutuhkan usaha lebih besar.

2. Konsep diri
Konsep diri membuat membentuk cara pandang apakah seseorang merasa mampu atau tidak mampu menghadapi tekanan. Bila dalam konteks fisik, daya tahan dan kebugaran itu adalah sesuatu yang obyektif dan dapat diukur, maka dalam konteks psikologis, banyak kasus, kemampuan ini lebih banyak bersifat subyektif dan sulit diukur serta dibandingkan.

Pola asuh dan pendidikan, adalah hal yang crucial dan sigifikan berpengaruh terhadap konsep diri. Terkait bagaimana orang-orang di lingkungan membentuk diri seorang anak.

Orangtua yang sering melakukan judging/labelling negatif terhadap anak dan senang membandingkan satu anak dengan anak lainnya, berpeluang menghasilkan anak yang memiliki konsep diri negatif pula.

Orangtua yang bersikap permisif, selalu membantu anak dan
orangtua yang melakukan kekerasan, memperlakukan anak sebagai obyek yang bisa diperlakukan sekehendak hati, secara tidak langsung membentuk dan 'menempelkan' konsep "korban" pada anak. Sehingga anak selalu merasa bahwa ia tak mampu, tak boleh melawan dan tak layak berpikir kritis. Ketika ia mengalami kejadian buruk ia pun akan bersikap sebagai korban dengan menyalahkan pihak2 lain di sekitarnya.

Saya menganalogikan pola asuh yang buruk, itu seperti akar pohon yang digerogoti rayap, sehingga rapuh dan kapanpun angin kencang datang, maka ia akan jatuh dan rubuh.

3. Support system lingkungan
Ini adalah orang-orang penting di lingkungan kita. Bisa orangtua, saudara, pasangan, guru, teman, boss, atau siapa pun orang yang Allah datangkan dan menjadi figur support bagi diri kita. Mereka yang membantu, memberikan dukungan dan dorongan. Kadang mereka tidak terlihat ketika kita begitu fokus pada kesedihan kita. Padahal tanpa mereka kita tidak bisa berdiri.

Analogi dengan pohon yang digerogoti rayap, maka support system ini bisa berupa pagar yang menopang pohon, pupuk yang ditaburkan, tanah yang subur, hujan yang turun, obat pembunuh rayap, dlsb. Tugas kita adalah mengumpulkan sebanyak mungkin support system ini. Dalam konteks konseling dan terapi, maka salah satu tugas konselor dan terapis (termasuk psikolog di dalamnya) adalah mendorong klien menemukan sumber-sumber yang dapat menguatkan dirinya. Sehingga ia dapat bangkit kembali.

Seringkali, mereka yang merasa tidak memiliki siapa pun, merasa harus bangkit sendiri, meyakini bahwa orang lain akan mengejeknya kalau minta bantuan, tidak ingin kelihatan lemah sehingga tidak minta bantuan, membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih kembali.

Sebaliknya, mereka yang menuntut bantuan orang lain tapi minimal melakukan usaha pun juga kerap ditinggalkan banyak orang yang lelah mendengarkan keluhannya.

4. Kemampuan menangkap meaning dari setiap kejadian buruk atau pun baik dalam hidup
Pengalaman hidup Victor Frankl di beberapa kamp konsentrasi NAZI yang kemudian dirumuskan menjadi pendekatan Logoterapi, menurut saya adalah hal luar biasa. Mereka yang bisa menemukan meaning/arti positif atau hikmah dari kejadian yang dialaminya, biasanya memiliki resiliensi lebih tinggi.

Seringkali orang-orang yang memiliki resiliensi tinggi juga memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi karena bisa "keluar" dari masalahnya dan melihat masalahnya dalam konteks cara pandang yang lebih utuh dan komprehensif. Mereka bisa menemukan "rahasia" dari kejadian-kejadian yang dialaminya. Mereka memperoleh ilham, mengalami pencerahan/enlightment.

Kemampuan menangkap meaning ini adalah kemampuan yang subtil/halus. Rumus mengajarkannya tidak sederhana. Namun saya kira anak-anak yang dibiasakan berpikir kritis, antisipatif, abstrak problem solving dan boleh bertanya banyak hal dan boleh berpendapat, juga dikembangkan sensitivitasnya serta kemampuan empati, berpeluang lebih besar untuk bisa mengembangkan kemampuan menangkap meaning ini.

Oh ya, saya tidak membahas mengenai karakteristik pribadi yang bersifat given, meskipun boleh jadi hal itu juga berpengaruh terhadap kelenturan seseorang dalam menghadapi hidupnya. Mengapa? Karena saya ingin berfokus pada apa yang bisa kita usahakan. Sesuatu yang given lebih baik kita terima/accept sebagai keunikan kita dan cara mencari strategi daripada sebagai penghalang dan sumber frustrasi.

Beruntungnya adalah, Allah Maha Pengasih dan Maha Adil. Ia memang memberikan keunikan pada kita di satu sisi, namun memberikan resources positif di sisi yang lain. Tugas kita adalah mengumpulkan sebanyak mungkin resources positif tersebut, sehingga menjadi kekuatan kita dalam menghadapi segala kesulitan dalam hidup.

*Seorang mukmin adalah mereka yang berprasangka baik kepada Tuhannya.

Yeti Widiati 14-260117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...