Kamis, 05 Januari 2017

BELAJAR DARI BUDAYA DISKUSI PARA PAKAR - yws

Beberapa hari lalu, beberapa orang dari komunitas Flat Earth/FE (komunitas yang meyakini bahwa bumi itu datar, bukan bulat/GE) mendatangi Bapak Thomas Djamaluddin, ketua LAPAN yang juga Profesor dan Guru Besar Astronomi ITB untuk meminta pembuktian dari sudut keilmuan beliau bahwa bumi itu bulat.

Bapak Djamal, dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman FE ini.

Ini di luar keilmuan saya, sehingga saya hanya menyimak dan menikmati saja diskusi tersebut yang ditayangkan dalam beberapa video di Youtube, di blog dan FB-nya. Saya sendiri sebetulnya sudah mengikuti bahasan ini, mungkin sekitar 1 tahun.

Sebagai seorang Psikolog Perkembangan, maka saya lebih fokus kepada perilaku dan tata cara diskusinya daripada contentnya itu sendiri. Ini adalah hal penting dalam pembelajaran dan pembentukan sikap ilmiah. Oleh karena itu di sini pun saya ingin membahasnya dalam konteks budaya diskusi.

Diskusi tidak selalu harus berujung pada kesepakatan. Saling memahami saja juga seringkali sudah merupakan pencapaian luar biasa. Ini biasanya terjadi pada diskusi antar dua kelompok yang memiliki cara pandang dan cara berpikir yang satu sama lain saling berbeda dan sulit dicari titik temunya.

Oleh karena itu mereka yang berusaha agar orang lain memahami apalagi mengikuti pendapatnya biasanya akan frustrasi ketika menghadapi kenyataan bahwa orang yang kita jelaskan, jangankan memahami bahkan bersedia mendengar yang kita sampaikan pun, tidak. Peluang frustrasi lebih besar ketika kita berdiskusi dengan tujuan untuk menyadarkan dan memaksa orang mengikuti pendapat kita.

Kalau sudah frustrasi, maka yang bermain adalah emosi. Dan ketika emosi, maka perkataan pun kadang menjadi tidak "lurus" lagi. Bentuk yang paling sering muncul adalah defence mechanism berupa tuduhan, ejekan, pengalihan, dll. yang malah kontraproduktif dengan diskusi itu sendiri.

Orang yang bertanya pun bisa memiliki ragam motivasi;
1. Karena keingintahuan, seperti pertanyaan yang diajukan anak2 atau orang yang ingin belajar.
2. Karena menguji, seperti dalam ujian yang dilakukan guru dan dosen, untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan penguasaan ilmu seseorang.
3. Untuk menimbulkan kesadaran, seperti pertanyaan2 filosofis dan juga pertanyaan yang diajukan dalam konteks coaching.
4. Dan ada juga pertanyaan yang diniatkan untuk didebat dan dijatuhkan. Jadi ketika pertanyaan itu diajukan, si penanya sudah "tahu" jawabannya dan bersiap-siap untuk mendebatnya baik dengan pernyataan maupun pertanyaan tambahan lain. Tidak heran, diskusi model seperti ini membuat orang meragukan kesungguhan dan niat baik si penanya. Sudah ada asumsi, bahkan keyakinan, sehingga jawaban apa pun yang diberikan itu pada dasarnya tidak akan diterima.

Dalam konteks keluarga dan sekolah, maka orangtua dan guru adalah contoh utama untuk berjalannya budaya diskusi yang sehat dan memberdayakan. Sementara di masyarakat, maka tugas itu ada pada para para pakar dan ulama.

Seorang komentator dalam diskusi FE, menyarankan agar tidak perlu meladeni diskusi semacam ini karena seolah tidak berujung. Namun saya sepakat dengan jawaban yang Pak Djamal berikan terhadap saran ini,

"(Diskusi ini) bukan untuk menyadarkan ... , tetapi untuk mencegah berkembangnya sikap anti-sains di kalangan anak muda." - Thomas Djamaluddin, Ketua LAPAN.

Yeti Widiati 050117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...