Jumat, 31 Oktober 2014

GEGANA (GELISAH GUNDAH MERANA)

Berkaca dari pengalaman diri dan orang lain
Kebanyakan keluh dan gundah adalah ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan ...

- Anak yang kesal pada orang tuanya karena orangtuanya tidak sebaik orangtua lain
- Orangtua yang kecewa anaknya tidak sepintar, secantik dan sepatuh anak lain
- Orang cacat yang kesal dengan tubuhnya yang tidak sesempurna orang lain
- Orang yang kesal pada kelemahan-kelemahan dirinya
- Anak angkat karena diasuh bukan oleh orangtua kandungnya
- Anak yatim/piatu karena kehilangan orangtuanya
- Suami-istri yang tidak dikaruniai anak
- Suami yang kecewa istrinya tidak secantik atau setrampil istri lain
- Istri yang kecewa suaminya tidak sekaya atau romantis seperti suami lain
- Karyawan yang kecewa pada atasan dan perusahaannya
- Atasan yang kecewa pada anak buahnya
- Masyarakat yang kecewa pada pimpinannya
- Kelompok minoritas yang merasa diperlakukan tidak adil
- Kelompok mayoritas yang merasa terganggu dengan adanya orang yang berbeda
- Guru yang kecewa pada siswanya
- Siswa yang kecewa pada gurunya
- Orang miskin kecewa karena keterbatasannya
- Orang kaya kecewa karena kesepian
- ...
List dapat dilanjutkan

Dan saya menemukan, mereka yang berhasil berdamai dengan diri, lingkungan dan ketentuan Allah adalah mereka yang paling bahagia dan bisa fokus untuk melakukan hal-hal yang lebih baik, produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Setiap langkah dan setiap hari kita diuji apakah kita siap untuk menerima perbedaan ini. Mulai dari perbedaan pada diri sendiri hingga perbedaan pilihan orang-orang di sekitar kita.

Mengapa kita gundah dan kecewa dengan perbedaan padahal perbedaan itu adalah Sunnatullah (mengacu pada Al Hujurat: 13).

Allah melengkapi kita dengan potensi untuk ikhlas menerima hal yang tak bisa diubah, sabar untuk berusaha mencapai yang diinginkan dan syukur atas apa yang diperoleh dan pencapaian yang diraih ...
GAMBAR KOK DIATUR ....

Seorang ayah curhat pada saya tentang anak perempuannya yang duduk di TK-A. Sejak kecil anaknya senang menggambar di rumah. Ayahnya yang bekerja di sebuah perusahaan advertising tahu bahwa menggambar adalah pekerjaan "hati" dan memberi kesempatan pada anaknya untuk bereskpresi dan bereksplorasi dengan bebas dalam menggambar. Dia boleh menggambar apapun, memilih warna apapun, dan menggambar dengan cara apapun. Sayangnya sejak masuk sekolah gairah menggambarnya mulai berkurang.

Ternyata di sekolah berbeda. Guru, memandang aktivitas menggambar sebagai aktivitas kognitif dan kendali psikomotorik saja. Oleh karena itu, anak disuruh menggambar secara "obyektif".
- Menggambar pemandangan berarti ada dua gunung, matahari, burung dan awan, ada sawah atau pantai (tergantung di daerah mana anak berada).
- Kalau menggambar bunga, maka dia berwarna merah, pink atau orange dan berdaun hijau, langit berwarna biru. Tak layak menggambar daun berwarna ungu dan langit coklat.
- Kalau menggambar orang harus lengkap bagian tubuhnya. Garis harus rapi dan warna tidak boleh keluar garis. Gambar diberi nilai angka. Angka rendah berarti gambar buruk dan angka tinggi berarti gambar baik.

Anak kehilangan gairahnya karena aktivitas menggambar yang awalnya menyenangkan, mendorong semangat, kreativitas dan ekspresi, berubah menjadi aktivitas yang menekan, memaksa dan

http://www.slideshare.net/oyasujiwo/10-keajaiban-gambar-anak-yang-terlupakan

TAKUT DAN CEMAS

Ketika kita takut, objek rasa takut itu biasanya jelas. Takut terhadap binatang buas, takut berada di tempat tinggi, takut hantu, dan lain-lain.

Menghadapi rasa takut semacam itu, biasanya reaksi kita cukup jelas. Kalau kita tidak tahu apa yang akan kita perbuat, maka kita akan lari menghindar, lemas sekujur tubuh, atau diam kaku tak bergerak.

Sementara kalau kita tahu apa yang kita lakukan, maka kita akan menghadapi obyek yang menimbulkan rasa takut tersebut. Seorang pawang ular dia berani karena dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan ular, dan itu adalah hasil latihan. Orang yang berani panjat tebing, naik gunung atau bungee jumping, dia tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga dirinya tetap aman. Orang yang berani berada di tempat sepi sendirian dia tahu bahwa jin adalah makhluk Allah dan ia yakin bahwa Allah akan menjaganya. Pengetahuan dan ketrampilan menimbulkan rasa aman dan berani.

Sedangkan rasa cemas atau gelisah dalam psikologi didefinisikan sebagai rasa takut terhadap objek yang tidak jelas. Cemas menghadapi masa depan, cemas menghadapi kesulitan, cemas menghadapi lingkungan baru, dll.

Obyek rasa cemas lebih banyak diciptakan oleh pikiran atau imajinasi kita sendiri. Semakin tidak jelas objek yang kita hadapi, semakin tinggi "ancamannya" dan semakin tinggi pula kadar kecemasannya. Dan sebaliknya, semakin jelas kita mengidentifikasi objek kecemasan kita, semakin mudah kita memilah, dan mencari cara untuk menghadapinya.

Reaksi fisik takut dan cemas pun tidak berbeda. Orang yang ketakutan, kulitnya akan memucat, jantungnya berdebar keras, beberapa orang menjadi sakit perut dan bahkan ada yang terkencing-kencing (kendali otot kemih menurun).

Bayangkan bila seseorang mengalami kecemasan terus-menerus dalam hidupnya. Seorang anak yang cemas setiap berangkat sekolah, seorang karyawan yang cemas menghadapi masalah-masalah di kantornya, seorang wanita yang cemas menghadapi ketuaan, seorang remaja cemas menghadapi kelompok teman-temannya, dll. Metabolisma tubuhnya menjadi kacau, beberapa organ mengalami stress terus-menerus. Maag, asma, migrain, sariawan, eksim adalah keluhan fisik yang muncul ketika seseorang mengalami kecemasan.

Stress dalam hidup memang tidak bisa kita hindari. Bahkan Allah pun sudah menyatakan setiap orang akan menerima ujian dalam hidupnya. Oleh karena itu yang perlu kita lakukan bukanlah membiarkan atau menghindari, melainkan belajar dan mengembangkan kemampuan serta ketrampilan menghadapinya dengan coping dan solving problem.

Urai dan identifikasi semua masalah. Pecah-pecah menjadi lebih kecil, sehingga lebih mudah bagi kita untuk menyelesaikannya.

Sementara untuk fisik yang sudah kadung tegang karena tekanan/stress terus-menerus, lemaskan dengan relaksasi, kegiatan rekreatif, olah raga, ibadah, yoga atau apapun aktivitas yang membuat kita menjadi lebih rileks dan nyaman.

Menghindari masalah (yang sebetulnya tidak bisa dihindari dan akan selalu datang) sama saja dengan menyiksa diri terus menerus. Karena kita tidak membuat diri kita mampu, sementara rasa takut dan cemas terus saja datang.

Sayangkah kita dengan diri kita sendiri?
Dan, apakah kita mengizinkan diri untuk menjadi lebih trampil dalam menghadapi masalah dan mengelola emosi?

*Bismillah ... sambil terus belajar ...
SESI KONSELING PENJURUSAN SISWA SMA KE PERGURUAN TINGGI

Bayangkan kamu berada di terminal, ada banyak kendaraan di sana. Mana yang akan kamu naiki? Tentukan dulu tujuannya. Kalau kamu asal naik, maka kamu tidak tahu akan dibawa ke mana. Mungkin saja kamu akan dibawa ke tempat yang kamu suka, tapi mungkin juga kamu akan dibawa ke tempat yang kamu sesali. Bahkan sangat mungkin kamu hanya berputar-putar saja dan kembali ke terminal yang sama.

Ceritanya kamu akan pergi ke Bandung (dari Jakarta). Kamu mau naik mobil yang mana? Ada kendaraan yang lewat tol Cipularang, ada yang lewat Puncak, ada pula lewat Purwakarta atau bahkan Sukabumi. Kamu mau naik bis AC atau yang tidak ber-AC? Atau mungkin kamu memutuskan tidak naik bis, karena kamu mempertimbangkan untuk naik travel, kereta api, pesawat terbang, bawa kendaran sendiri atau kamu ingin naik bajay saja ? Pilihan kendaraan ditentukan oleh seberapa besar uang yang kamu punya, seberapa cepat kamu ingin sampai dan seberapa besar kebebasan yang kamu inginkan.

Kalau kamu pilih naik pesawat, terbangnya sebentar, tapi biayanya paling mahal, bergengsi tentu. Naik travel cukup cepat tapi hanya dari beberapa lokasi saja. Naik bis lebih murah, tapi sampainya lebih lama. Naik kendaraan sendiri lebih nyaman karena kamu bisa berhenti di tempat yang kamu suka, tapi tentu saja melelahkan. Atau naik kereta, keamanannya relatif lebih baik, tapi tentu saja kamu tidak bisa naik dan berhenti sembarangan. Semua kendaraan itu memiliki aturan dan konsekuensinya sendiri. Kendaraan mana yang akan kamu pilih?

Mungkin kamu tiba-tiba ingin mengubah tujuan ketika masih di perjalanan. Misalnya ketika mengobrol dengan teman perjalanan tentang Yogya kamu tertarik untuk pergi ke Yogya saja. Dan serta merta kamu meminta berhenti untuk pindah kendaraan ke Yogya. Atau kalau kamu mau menunggu sebentar untuk singgah dulu di Bandung kemudian naik kendaraan lain menuju Yogya. Tentu saja kamu akan mengalami sedikit kerugian waktu dan biaya.

Apakah salah mengubah tujuan?

Jangan pernah merasa salah karena memilih Bandung sebagai tujuan kalau kamu memang tidak pernah tahu Yogya sebelumnya. Boleh jadi juga setelah kamu ke Yogya kamu mendapat informasi tempat yang bagus di luar negeri. Jangan berkata, "Yah tahu gini saya gak perlu ke Bandung dulu, langsung saja ke luar negeri." Tidak perlu bilang seperti itu karena kalau kamu tidak ke Bandung maka kamu tidak mendapat informasi tentang luar negeri itu.

Jangan pernah merasa kuatir kalau cita-cita kamu sekarang ternyata bukan itu yang kamu lakukan nanti. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang masa depannya. Tugas kita berikhtiar dengan ilmu dan kemampuan kita, kemudian bukalah hati seluas-luasnya untuk menerima ketentuan Allah. Karena Allah yang mengilhamkan jalan yang terbaik. Pasti ada rahasiaNya ketika Allah mengilhamkan "Bandung" yang pertama kali untuk dikunjungi. Karena dari situ kamu akan menemukan pilihan jalan yang lain.

Nah, Bandung, Yogya atau luar negeri adalah cita-cita yang terpikirkan oleh kamu sekarang.
Kendaraan adalah perguruan tinggi, fakultas dan jurusannya.
Uang untuk membayar adalah bakat dan kemampuan kamu.
Sementara perjalanan Jakarta-Bandung itu adalah seperti proses belajar kamu di perguruan tinggi.

*Setting asli konseling berupa tanya jawab dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak siswa untuk menemukan sendiri jawabannya.
REWARD VS PUNISHMENT

Para pendidik, baik itu guru maupun orang tua, kerapkali mengira bahwa "reward and punishment" atau "hadiah dan hukuman" adalah bicara tentang materi dan menyakiti fisik. Sehingga responnya seringkali adalah menolak. Menganggap reward akan memanjakan dan punishment akan menyakiti.

Reward dan punishment bisa dipandang dengan cara lain,
Reward adalah konsekuensi dari suatu perilaku yang membuat perilaku itu berpeluang besar diulangi kembali dan
Punishment adalah konsekuensi terhadap suatu perilaku yang membuat perilaku kemungkinan besar akan menghilang. Reward dan punishment bisa terjadi tidak sengaja maupun disengaja.

Ketika seorang anak menceritakan pengalamannya di sekolah, dan orang tuanya menanggapi setengah hati, tidak menatap mata anak dengan antusias, merespon sekedarnya, memotong pembicaraan anak, panik, menimpali dengan segudang nasihat, atau respon tidak menyenangkan lainnya. Maka respon orang tua dihayati sebagai "punishment" oleh anak, sehingga peluang dia untuk mau menceritakan berbagai macam hal menjadi menurun. Anak menjadi malas berbicara dengan orang tua, kurang terbuka, tidak artikulatif, tidak jujur, tidak sopan dan lainnya.

*Modifikasi perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi terhadap respons
BALADA KELAS AKSELERASI

- Bu saya kayaknya tambah bodoh. Atau jangan-jangan saya memang bodoh beneran.

+ Gimana ceritanya kamu bisa mikir begitu?

- Dulu waktu SD saya gampang bener dapat nilai bagus. Sekali diajarin langsung ngerti. Gak pake belajar habis-habisan. Kok sekarang kayaknya susah bener dapat nilai bagus. Jangan-jangan hasil psikotes saya salah ya bu. Saya sebetulnya gak pinter-pinter amat.

+ Coba sini lihat, kamu itu punya kecerdasan luar biasa. Dalam populasi paling hanya 5-7 persen yang punya kecerdasan seperti kamu. Itu gift, hadiah dari Allah buat orang-orang tertentu. Ibaratnya kekayaan, kamu itu seperti anaknya orang kaya. Kamu bisa memperoleh apa pun yang kamu mau karena orang tua kamu kaya.

Waktu SD ketika mendapat pelajaran, kamu bisa langsung paham tanpa belajar habis-habisan. Nah teman-teman kamu harus berulang-ulang belajar, mengerjakan PR, itu pun belum tentu bisa langsung mengerti juga. Nah apa yang berbeda? Teman-teman kamu mengembangkan pola berusaha dan bersabar.

Kalau kita bandingkan anak orang kaya dan anak orang biasa-biasa saja, maka anak orang kaya bisa dapat warisan dari orang tuanya dan memperoleh keinginannya tanpa harus menunggu. Sementara anak orang biasa harus bekerja habis-habisan kalau mau kaya. Dan mereka juga belajar menahan diri karena tidak setiap keinginannya langsung dapat diperoleh.

- (Ngangguk-ngangguk dan matanya tiba-tiba bercahaya), Ah saya ngerti bu. Teman-teman saya mengembangkan pola berusaha dan bersabar, sedangkan saya tidak karena saya cepat paham. Sekarang saya sekolah bareng sama anak-anak yang kecerdasannya sama dengan saya dan saya keteteran karena saya tidak terbiasa berusaha dan belajar keras.

+ Nah, padahal saya belum selesai cerita, tapi kamu sudah menangkap ujungnya, berarti kamu cerdas kan ...

*Berhati-hati dengan kemudahan dan kelebihan. Ketika terlena, maka ada yang akan hilang dari diri.
HARAPAN YANG MENJADI BEBAN

- Bu, kayaknya saya salah badan

+ Maksudnya bagaimana?

- Harusnya saya laki-laki bu. Ini badan, bukan badan saya.

+ Apa yang bikin kamu merasa seperti itu?

- Gak tahu, pokoknya saya merasa lebih nyaman pakai baju laki-laki, saya lebih suka bareng sama teman laki-laki. Saya gak suka kegiatan perempuan, masak, jahit, beres-beres.

+ Sejak kapan kamu merasa seperti ini?

- Kalau pakai baju laki-laki sih dari kecil bu. Kata ibu saya, bapak dulu pingin banget punya anak laki-laki, soalnya kakak saya perempuan semua. Terus pas waktu saya kecil saya sering dipakein baju laki-laki. Saya gak boleh nangis bu. Saya dimarahin kalau nangis. Saya harus kuat. Saya juga sering diajak main bola sama bapak. Gak tahu kapan mulainya bu, kayaknya sih waktu SD, saya jadi senang aja kalau main sama teman laki-laki daripada main sama teman perempuan. Kalau main sama perempuan jadi males, berisik ...

+ Nah, perasaan kamu bagaimana sekarang?

- Gak enak bu, kayak ada yang salah gitu. Badan saya perempuan, tapi saya ngerasa gak nyaman. Tapi saya juga takut bu. Saya takut dosa.

+ Dan apa yang kamu inginkan?

- Saya ingin tenang bu

+ Dan apa yang bisa membuat kamu tenang?

- Kalau saya melakukan apa yang saya suka

+ Dan melakukan apa yang kamu suka itu yang seperti apa?

- Saya suka olah raga sampai keringetan, saya suka naik gunung, saya teriak keras-keras di puncak gunung, saya ngadu sama Tuhan ...

..... proses masih berlanjut sampai beberapa sesi dengan forgiveness dan future pacing.

*Berhati-hatilah dengan harapan dan keinginan orangtua karena di kemudian hari bisa menjadi beban bagi anak ...
DIFABLE VS DISABLE

- Saya kasihan bu, anak saya kan punya keterbatasan, masa saya harus membiarkan dan tidak menolongnya. Gak tega bu melihatnya berjalan terpincang-pincang. Kan lebih cepat kalau saya gendong saja.

+ Ibu ingin meninggalkan anak ibu seperti apa?

- ... eeeh ... harus ada yang jaga dan menolongnya bu ...

+ Ada yang mau jaga dan menolong anak ibu setiap saat, dengan penuh kasih sayang, ikhlas tanpa pamrih sepanjang hidupnya seperti ibu?

- (si ibu matanya menerawang ... kemudian berkaca-kaca ...) ...
Gak ada yang bisa merawat anak saya sebaik saya bu ...

+ Jadi ibu mau membuat anak ibu seperti apa?

- Dia harus bisa mandiri ya bu? ... tapi saya gak tega ... (mulai menangis)

+ Ibu, lebih gak tega mana ... ibu sekarang melihat anak ibu susah payah belajar atau nanti ketika besar, ketika ibu tidak ada, anak ibu menjadi beban bagi orang lain ....?

...

*Difable (different ability) bukan disable (dis-ability).
Anak yang memiliki ketunaan fisik/mental bukan tidak mampu melakukan suatu pekerjaan tapi dia berbeda cara untuk melakukan pekerjaan tersebut. Tugas kita adalah membantu dan mengakomodir agar mereka bisa melakukan pekerjaan tersebut secara mandiri dengan caranya sendiri.
BULLYING LAGI

- Satu lagi mahasiswa yang meninggal karena bullying dari seniornya. Bukankah para senior itu sudah pernah tahu bagaimana tidak enaknya dibully. Apakah yang mereka rasakan adalah empati? TIDAK ... yang mereka rencanakan adalah pembalasan pada juniornya.

- Para pelaku pelecehan seksual pada anak-anak itu mereka mengaku dulunya adalah korban pelecehan seksual juga. Apakah setelah itu mereka melindungi anak-anak dari pelecehan seksual? TIDAK mereka malah menjadi predator bagi anak-anak (kecuali para survivor yang pernah memperoleh pertolongan)

- Para wakil rakyat yang sedikit sekali membantu rakyat dan lebih mendahulukan kepentingan partainya, apakah mereka dulu pernah merasakan susahnya menjadi rakyat? YA, tapi .... sudah lupa tuh ....

-----------------------------------

Pekan lalu status path Dinda menyebar di mana-mana. Komen pada umumnya menggaris bawahi mengenai empati. Orang-orang tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang wanita yang satu saat akan hamil bisa berpikir buruk tentang wanita hamil dan enggan memberikan kursinya.

Empati mungkin bisa tumbuh karena kita pernah atau akan mengalami suatu kondisi Tapi keinginan menolong hanya tumbuh kalau kita pernah merasakan betapa nikmatnya memperoleh pertolongan saat kita benar-benar membutuhkan.

Bila kita pernah berada dalam posisi ditekan dan tak ada pertolongan, maka empati apalagi keinginan menolong tak akan pernah tumbuh. Dan itu yang terjadi pada orang-orang yang dibully, mengalami pelecehan seksual dan tekanan lainnya.

*Mencari celah dan mengajak untuk menghentikan lingkaran setan ...
SEX EDUCATION PENTING ... TAPI GIMANA CARANYA?

Banyak orangtua dan guru shock dengan terkuaknya kasus-kasus kekerasan seks pada anak. Seperti puncak gunung es, ternyata di bawah permukaan laut ada bongkahan es massif yang berlipat kali besarnya.

Para profesional, psikolog dan dokter menawarkan, ajarkan anak mengenai pendidikan seks oleh orang terdekat dan terpercaya yaitu orangtua dan guru. Termasuk guru mengaji di masjid pun perlu terlibat aktif memagari moral anak. Kalau tidak, anak akan mencari informasi mengenai seks pada teman dan media, baik yang "syubhat" maupun yang "haram."

Para orangtua jengah dan canggung. Cara yang ditawarkan dipandang vulgar. Banyak berkilah dengan mengatakan, "Dulu ayah ibu kami tidak mengajarkan juga, tapi kami bisa selamat kok ..." Lupa kalau mereka tengah berdiri di lintasan lari, berlomba dengan kecepatan perkembangan media dan teknologi.

Mau menunggu sampai bagaimana?
Sibuk mengkritik cara, tapi tetap tak melakukan apa pun ...

*Status edisi galau ... hehehe ...

Biar galau tetap melakukan sesuatu kok.
Bersiap menyusun materi program pendidikan seksualitas untuk para guru di berbagai sekolah seluruh Indonesia. Semoga berkah dan manfaat, aamiin.
BAGAIMANA ANAK COPING DAN SOLVING PROBLEM

Anak-anak yang seperti apa yang memiliki peluang untuk dapat segera pulih dari pengalaman buruk dalam hidupnya?

1. Anak yang terbiasa berpikir fleksibel.
Anak-anak ini lebih mudah untuk mengubah cara pandangnya dan mencari alternatif solusi mengatasi masalahnya. Maka anak perlu diberi kesempatan mencari berbagai ide, diberi kesempatan menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak dipasung dengan instruksi yang kaku.

2. Anak yang memiliki banyak teman dan aktivitas.
Mereka memiliki banyak pilihan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatiannya, sehingga tidak terus-menerus terpaku pada peristiwa buruk yang dialaminya.

3. Anak yang memiliki tempat untuk curhat.
Mereka dapat mengungkapkan perasaannya dengan nyaman dan tidak mengendapkannya dalam hati sehingga berkerak dan menimbulkan stress bekepanjangan.

4. Anak yang memiliki orangtua serta keluarga yang melindungi dan memberikan dukungan penuh.
Anak-anak ini memiliki tempat berpijak yang kokoh, tempat berlindung yang aman yang membuat mereka bisa beristirahat dan mengobati luka-luka hatinya.

*Pelajaran dari Trauma Healing korban kekerasan seksual pada anak.
FLEKSIBILITAS BERPIKIR

Bayangkan, anda bersama puluhan orang berada dalam ruang tertutup, hanya ada satu pintu kecil di situ.
Tiba-tiba stop kontak di salah satu sudut ruangan, kortsleting dan meledak. Semua orang panik dan berebut untuk keluar lewat satu pintu kecil yang ada.

Orang-orang yang memiliki masalah seringkali merasa seperti orang dalam ruangan tersebut. Ingin lari dan menghindar tapi tak ada pintu lain yang tersedia. Ia menjadi cemas dan frustrasi.

Pada umumnya "hanya satu pintu dalam ruangan" adalah mekanisme berpikir yang kita buat sendiri yang terbentuk dari proses belajar dan pembiasaan yang panjang. Kita mengira, hanya pintulah jalan keluar itu. Kita tidak terpikir bahwa kita bisa keluar lewat jalan lain selain pintu.

Cara berpikir kaku atau kurang fleksibel ini, bisa terjadi karena kita tidak terbiasa berpikir fleksibel atau karena suatu kondisi emosi luar biasa yang membuat cara pandang kita menjadi sempit.

Fleksibilitas berpikir itu penting, karena:
- Membantu kita untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
- Membantu kita mencari alternatif jawaban yang beragam untuk satu persoalan.
- Membantu kita berpikir kreatif dan menghasilkan ide-ide unik.
- Lebih mudah memahami orang lain yang berbeda pandangan.
- Lebih mudah berempati terhadap kesulitan orang lain.
- Kalau ia seorang guru maka ia berpeluang untuk bisa mengajar dengan beragam cara.
- Kalau ia pemimpin, maka ia dapat mencari solusi yang beragam untuk masalah yang dihadapi
- Tidak mudah cemas, stress dan putus asa,
- Terbuka, menghargai pandangan orang lain dan senang belajar hal-hal baru.

Fleksibilitas berpikir bisa dilatih antara lain dengan cara:
1. Membiasakan mencari beberapa alternatif jawaban untuk satu persoalan. Untuk konteks pendidikan, maka pertanyaan esai lebih memberi peluang berpikir fleksibel daripada pertanyaan dengan hanya satu jawaban yang benar.

2. Untuk orangtua dan guru, memberi kesempatan anak mencari penyelesaian sendiri daripada menginstruksikan anak untuk mengikuti hanya satu cara,

3. Mendorong anak berbicara, tidak hanya mendengarkan orangtua dan guru bicara. Dengan berbicara anak "dipaksa" berpikir, menyusun peta dalam kepalanya dan mengungkapkan dengan bahasa. Proses berpikir dan pemilihan kata adalah bagian dari latihan fleksibilitas berpikir.

4. Berteman dengan banyak orang dari berbagai kelompok akan memberi kesempatan pada kita untuk memahami cara pandang orang lain yang berbeda.

5. Perluas minat, pelajari berbagai hal. Wawasan yang lebih luas akan membuka pemikiran kita.

*Disimpulkan dari pengalaman terkait berbagai kasus.
FOKUS PADA TUJUAN

S: Na ... tujuan kamu adalah sampai di seberang jalan. Apa saja yang kamu bisa lakukan untuk sampai di seberang jalan?

G: Lihat kiri kanan

S: Iya betul itu seperti yang mama ajarkan, ada lagi?

G: Ikut bareng orang pas ada yang mau nyebrang

S: Kalau gak ada orang yang mau nyebrang?

G: Nunggu sampai jalannya agak sepi

S: Kalau jalannya tetap rame juga?

G: Ngangkat tangan pas nyebrang

S: Iya, kalau rameee banget ?

G: Yaaaa .... aku minta tolong deh sama mas-mas di pinggir jalan,

S: Gimana ngomongnya?

G: "Mas tolong saya dibantuin nyebrang dong ..."

S: Ingat, bilang terima kasih ya

....

*Mengajarkan divergent thinking, fleksibilitas, problem solving, menangkap inti masalah dan fokus pada target.
MENGEMBANGKAN ASPEK-ASPEK KECERDASAN ANAK (USIA 2-12 TAHUN)

Menggambar adalah seni, dan seni intinya adalah ekspresi serta kreativitas. Motorik halus adalah pendukungnya.

Jadi menggambar yang baik bukan bicara tentang seberapa presisi obyek yang digambar, seberapa lurus garis yang dibuat, seberapa rapi cara mewarnainya, seberapa "bagus" hasil gambarnya, dll. Perkembangan visual motorik akan mempengaruhi kualitas gambar anak.

Menggambar yang baik adalah yang memberi kesempatan anak mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Trick:
- Daripada membelikan buku gambar berisi 10 lembar kertas yang mahal, lebih baik belikan kertas HVS 1 rim yang lebih murah dan berbagai macam alat gambar, pensil warna, crayon, cat air, spidol, dll. Anak punya kesempatan jauh lebih banyak untuk bereksplorasi.

- Beri kesempatan anak menggambar bebas.
Pada awalnya biasanya anak akan menggambar obyek, kemudian berlanjut ke suasana dan setelah itu dorong anak untuk "menggambarkan" perasaan. Menggambarkan perasaan, sedih, gembira, marah, kesal dll. bukan sesuatu yang mudah, karena bersifat abstrak. Namun cara ini akan mendorong anak juga untuk membuat asosiasi, imajinasi, kreatifitas dan juga mengenal perasaan-perasaannya. Mengenal perasaan akan membantu anak kelak sehingga lebih mudah mengidentifikasi masalah dan menyelesaikannya.

- Hindari memberi penilaian terhadap kualitas gambar anak, misal, "Kok kakinya gede sebelah?" atau "kok mobil rodanya cuma 2" atau "Yang sebelah sini warnanya kurang rapi nih ..."
Bagi anak, mereka sudah melakukan yang terbaik yang mereka lakukan dan mereka tidak akan paham mengapa mereka harus dikritik untuk sesuatu yang di luar kemampuan mereka.

Alih-alih mengkritisi jauh lebih baik bertanya.
"Ini gambar apa?" (misal jawabannya "mobil")
"Mobil siapa ini?" atau "Ada orang gak di dalam mobilnya?"
"Mau pada pergi ke mana nih pakai mobil"
Eksplorasi dengan semua pertanyaan yang mengandung W5H1, Who, What, Where, Why, When and How.

- Pajang gambar yang disepakati
Membuat anak merasa bahwa pikiran, perasaan dan hasil karyanya dihargai dan layak diakui.

*Jadikan semua pengalaman belajar diasosiasikan sebagai pengalaman yang menyenangkan
Balada "MENGAPA?"

Suatu hari sekitar 19 tahun lalu, saya membawa putri kedua saya berusia 1,5 tahun ke dokter ahli craniofacial. Setelah memeriksa dan bertanya, dokter menyatakan bahwa anak saya menyandang satu kondisi langka di mana pertumbuhan tulang kepalanya tidak sempurna. Kondisi ini yang menyebabkan fungsi seluruh organ di kepalanya menjadi kurang optimal.

Pertanyaan spontan saya adalah : MENGAPA hal itu bisa terjadi?

Dokter itu menatap saya dengan mata birunya dalam-dalam, kemudian berkata, "Bagaimana kalau kita tidak bertanya 'MENGAPA,' tapi kita pikirkan APA yang bisa kita lakukan supaya anak kamu bisa berkembang dan berfungsi dengan baik di masa depan?" Kalau kamu bertanya 'MENGAPA', maka ada sangat banyak kemungkinan yang bisa dikatakan, tapi semua itu tidak berarti apapun buat kamu sebagai orangtua, karena kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
....
Bertahun-tahun kemudian, saya semakin memahami bahwa bertanya "MENGAPA" kadang tidak menyelesaikan masalah. Ia malah membuat orang menjadi bertambah cemas. Ketika belajar hipnoterapi dan belajar komunikasi dengan basic NLP, para trainer juga menyarankan menghindari pertanyaan "MENGAPA."

Tapi saya tahu anak-anak kecil dalam perkembangannya kerapkali bertanya "MENGAPA" misalnya,
"Mengapa mobil bisa bergerak?"
"Kenapa daun bergoyang kalau kena angin"
"Kenapa adik bisa lahir"
dan ratusan bahkan ribuan kenapa yang membuat orangtua pusing.

Apakah mereka tidak boleh bertanya 'MENGAPA'?
Kapan waktu yang paling tepat bertanya 'MENGAPA'?

Sementara ini saya menyimpulkan, bahwa ketika kita memiliki 'kuasa' untuk mengubah sesuatu maka bertanya "MENGAPA" akan bisa membawa kita untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Tapi ketika kita tidak memiliki 'kuasa' untuk mengubah sesuatu, maka alih-alih bertanya "MENGAPA" nampaknya jauh lebih baik bila kita bertanya "APA" yang bisa kita lakukan?

Ketika seseorang terus-menerus bertanya 'MENGAPA" pada sesuatu yang tidak bisa diubahnya, misalnya,
- masa lalu,
- keturunan,
- kondisi fisik,
- takdir, dll.
maka ia menjadi frustrasi dan menambahkan kecemasannya. Saat itu ubahlah pertanyaan menjadi "APA yang bisa saya lakukan supaya saya bahagia dengan apa yang saya miliki"
BALADA PENGHAPUS DAN PENGGARIS
Dalam papper and pencil test yang dilakukan pada tes klasikal, salah satu ketentuannya adalah tidak diperkenankan menggunakan penghapus dan penggaris ketika mengerjakan tugas. Saya melihat bahwa kelompok anak yang paling gelisah dengan ketentuan tersebut adalah anak usia SD.

Anak usia SD seolah seperti memiliki ketergantungan luar biasa pada penghapus. Mereka bisa menghapus setiap 30 detik hingga 1 menit saat menulis atau pun menggambar. Gerakan tangan menghapus ini seperti otomatis, mencoret sedikit langsung hapus, mencoret sedikit langsung hapus. Perlu waktu lama bagi mereka untuk benar-benar yakin bahwa garis yang dibuat sudah cukup memadai. Teguran verbal agar tidak menghapus sama sekali diabaikan. Bila penghapus disuruh dimasukkan ke dalam tempat pensil atau tas, selalu ada anak-anak yang diam-diam mengambil kembali penghapus dan menggunakannya.

Menarik melihat perilaku anak ketika penghapus diambil oleh pengawas dan diletakkan di meja depan, Ada anak yang menggunakan karet gelang untuk menggantikan penghapus, ada yang menggunakan air ludahnya kemudian menggosok garis yang salah sehingga mengakibatkan bercak hitam di kertas. Meminta ganti kertas, membalik kertas, mencoret gambar atau tulisan yang salah atau kalau tidak menemukan jalan dia akan menengok kiri kanan melihat pekerjaan teman, mencontek, atau menggerak-gerakkan badannya menunjukkan kegelisahannya.

Tentang penggaris pun sama juga ceritanya. Biasanya anak-anak ini spontan mengeluarkan penggaris ketika mereka akan menggambar benda atau bentuk-bentuk yang memiliki garis lurus. Menggambar rumah, balok, tiang, bahkan menggambar garis horizon sekalipun. Apabila dilarang mereka juga akan menjadi sangat gelisah.

Saya bertanya dalam hati. Apa yang terjadi dalam proses pendidikan baik di di rumah dan terutama di sekolah yang membuat anak-anak ini begitu takut membuat kesalahan. Apakah karena adanya tuntutan selalu harus benar, rapi dan persis seperti apa yang diberikan oleh guru (dan orangtua)?

Teman-teman, para orangtua dan guru, saya kira kalau kita mengharapkan anak-anak yang spontan, berani dan juga kreatif, maka hal itu juga perlu dilatihkan dalam keseharian. Buat anak-anak itu berani untuk menampilkan apa adanya. Kurangi tuntutan untuk harus selalu benar, selalu sama dengan orang lain atau selalu rapi. Berikan apresiasi pada apa pun usaha yang ditampilkan oleh anak. Biarkan anak menghayati bahwa melakukan kesalahan bukanlah dosa tak berampun. "Kesalahan" adalah cara belajar untuk menjadi lebih baik.

Bila kita tak memberi kesempatan pada mereka untuk melakukan kesalahan, maka peluang perilaku tidak percaya diri, tidak jujur, manipulasi, dlsb. akan muncul lebih besar.

*Ongkos emosi ketidakpercayaan diri, jauh lebih mahal daripada memberikan kesempatan anak membuat kesalahan kecil pada masa kecilnya.
DAN KAU PERLAKUKAN TUHAN SEPERTI APA?


- Seorang bapak berusia 50 tahun berkata, "Bu, mulai pagi ini saya berhenti shalat. Buat apa? Tak ada gunanya, berpuluh tahun saya beribadah, ternyata sekarang Tuhan membuat saya cacat seperti ini. Tuhan tidak adil. Mengapa saya harus melakukan perintah Tuhan kalau ternyata Tuhan membuat saya menjadi orang buruk seperti ini"

- Seorang pemuda berusia 20 tahun berkata, "Saya akan bunuh bapak saya. Bapak saya mengkhianati ibu saya, bapak saya tidak bertanggung jawab pada anak-anaknya. Dia membuat saya harus bekerja keras menghidupi keluarga. Dari kecil, Bu, dari kecil saya melihat bapak memukuli ibu, dari kecil saya harus berjualan untuk menambah belanja keluarga. Sakit hati saya. Di mana Tuhan yang harusnya menolong saya, Bu?"

- Seorang istri berusia 40 tahun berkata, "Saya akan balas perbuatan suami saya. Memang hanya dia yang bisa selingkuh? Saya juga bisa. Bertahun-tahun saya setia, apa yang diperbuatnya? Dia mengkhianati saya. Mengapa Tuhan tidak menolong saya, saya sudah menjadi wanita sholihah berpuluh tahun. Saya percaya betul bahwa wanita yang beriman adalah untuk laki-laki yang beriman. Ternyata ayat itu bohong, buktinya, saya baik suami saya bejat."

- Seorang pemuda 17 tahun berkata, "Saya tak percaya Tuhan bu. Kalau Tuhan itu Maha Baik dan Maha Adil mengapa Tuhan menciptakan saya berbeda dari orang lain. Saya berwujud laki-laki, tapi hati dan jiwa saya perempuan bu. Itu kan bukan salah saya. Bukan saya yang mau diciptakan seperti ini. Tapi kenapa ketika saya menampilkan diri seperti ini, orang-orang malah menghakimi dan menyalahkan saya?

- Seorang wanita usia 40 tahun berkata. Bukan mau saya untuk tidak punya anak Bu. Tuhan yang membuat saya seperti ini. Tapi kenapa suami saya tidak mau menerima saya apa adanya. Dia malah berpikir untuk menikahi wanita lain. Apa salah saya Bu? Kenapa Tuhan membuat saya berbeda dari orang lain, membuat suami saya mempunyai alasan untuk menyakiti saya dan membuat orang-orang menghina saya karena saya tidak bisa punya anak?"

* Apakah mereka semua adalah orang-orang yang bodoh? Mereka semua berpendidikan tinggi.
* Apakah mereka semua tidak memiliki dasar pendidikan agama? Mereka semua dibesarkan dalam tradisi agama yang kuat dan fasih membaca Qur'an.
* Apakah mereka semua orang-orang dhuafa? Mereka semua berasal dari keluarga yang berkelebihan dalam materi dan terpandang di masyarakat.

*Mereka semua membuat saya tercenung, bagaimana Tuhan ditanamkan pertama kali pada hati dan pikiran mereka?
- Apakah Tuhan dianggap sebagai "pesuruh" yang harus memenuhi doa-doa mereka?
- Apakah Tuhan dianggap sebagai "penjual"? Mereka "membeli" Tuhan dengan ritual ibadah dan kalau mereka tidak memperoleh barang dengan spec yang tidak sesuai keinginan maka mereka berhenti membeli?

Segera teringat surat Ar Rahman ... Fa bi ayya i Robbikuma Tukadzdzibaan ... Dan nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan?

PS: Mohon tidak menghakimi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mengalami cobaan/ujian, lupa, lelah dan perlu ditolong. Hal ini bisa terjadi pada siapa pun termasuk pada diri kita sendiri. Saya mengajak untuk melakukan introspeksi, agar diri, keluarga dan orang-orang di lingkungan kita terlindungi.
EDISI TERBATAS BUKAN ALASAN MENJADI MALAS

+ Bapak kerja apa Nak?
- Jualan bu, gorengan di sekolah
+ Kalau ibu?
- Ibu yang buat gorengannya di rumah
+ Kamu juga suka bantu bapak dan ibu?
- Saya bantu bungkusin gorengan sama jaga adik kalau bapak ibu pergi belanja atau jualan
+ Adiknya umur berapa?
- Masih kecil bu, ada yang masih 5 tahun
+ Terus kalau adik nangis karena lapar bagaimana?
- Ibu sudah menyiapkan dulu, tapi kalau ibu gak sempat, saya yang masakin
+ Lho, kamu sudah bisa masak? Masak apa?
- Nasi goreng, goreng-gorengan, masak sayur yang gampang juga bisa.
+ Wah hebat sekali ,,,
Gimana, kamu mau sekolah di Bogor?
- Mau bu
+ Nanti bapak ibu gak ada yang bantuin lagi dong.
- Kata bapak saya harus jadi orang pintar bu dan kalau saya sekolah di Bogor saya bisa bantu bapak ibu juga. Biaya sekolah saya ada yang bantu dan nanti kalau saya sudah lulus dan bekerja saya juga bisa bantu bapak ibu dan adik-adik.
+ Bogor jauh lho, kamu hanya bisa pulang satu tahun satu kali. Teman-temannya dari seluruh Indonesia, macem-macem sifat-sifatnya.
- Gak apa-apa bu. Saya sudah biasa mengurus diri sendiri.

Wawancara ini berlangsung sekitar 9 tahun lalu di Jayapura. Anak ini masih berusia 12 tahun, laki-laki, anak sulung dan memiliki beberapa orang adik. Ayah ibunya membiasakannya bertanggung jawab dengan membantu orangtua semampu yang bisa dilakukannya. Percaya diri, mudah bergaul dan mau berusaha. Cerdas dan juga berprestasi. Saat kuliah sudah memulai bisnis dan usahanya berkembang hingga lintas propinsi.

Ia membuat saya bertambah percaya bahwa keterbatasan tidak menjadi penghalang kesuksesan. "Hanya" membutuhkan orangtua yang mau berpikir panjang, berkorban, dan sabar memberikan bimbingan.

* Renungan
- Pola asuh tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat ekonomi orangtua.
- Pola asuh juga bahkan tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat pendidikan orangtua.
- Pola asuh ditentukan pada seberapa besar kemampuan orangtua mengantisipasi akibat dari suatu perlakuan.
- Pola asuh ditentukan juga pada seberapa besar komitmen dan kekuatan orangtua melaksanakan konsep dan prinsip yang diyakininya benar.

EDISI MISKIN DAN PEMALAS

+ Bapak kerja apa Nak?
- Pemulung sampah
+ Kalau ibu?
- Sama, mulung sampah juga.
+ Kamu juga suka bantu bapak ibu mulung sampah?
- Gak ... gak boleh sama bapak. Kata bapak, biar bapak sama ibu aja yang mulung
+ Terus kamu ngapain aja
- Sekolah
+ Pulang sekolah?
- Main gim
+ Punya game di rumah?
- Iya gimbot ... kadang-kadang main gim onlen (game on line) sama teman-teman
+ Kamu suka bantuin ibu di rumah?
- Gak, rumahnya kan kecil, bapak ibu sering pergi mulung. Males sendirian di rumah.
+ Kamu kepinginnya kalau sudah besar mau jadi apa?
- Pilot
+ Bagaimana ya caranya biar bisa jadi pilot?
- Belajar yang rajin
+ Mau gak kalau sekolah di Bogor? Kamu bisa belajar lebih banyak di sana.
- Gak boleh
+ Gak boleh sama siapa?
- Bapak ibu. Katanya gak boleh jauh-jauh
+ Kalau misalnya bapak ibu memberi izin bagaimana?
+ Gak mau ... (matanya berkaca-kaca, badannya bergerak-gerak terkesan gelisah) ... gak mau jauh dari bapak ibu


Wawancara ini berlangsung sekitar 4 tahun lalu di Jogya. Anak ini memiliki nilai raport tinggi di sekolah. Anak bungsu dan satu-satunya laki-laki dari pasangan pemulung berusia lanjut. Kakak-kakaknya perempuan sudah berkeluarga dan tidak tinggal lagi di rumah. Dengan segala keterbatasan ekonomi orangtuanya anak ini dimanjakan dan diperlakukan bak pangeran. Tidak diberikan tanggungjawab apa pun, keinginan-keinginannya dipenuhi dan dilindungi sedemikian rupa sehingga kemandirian dan ketrampilan bertahan hidupnya tidak terbentuk.

Ketika saya menemukan anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh memanjakan pada keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi, saya tidak heran. Orangtua yang sibuk bekerja mencari uang, kemudahan fasilitas, pembantu berderet siap mengerjakan tugas anak, memberikan peluang lebih besar anak menjadi manja.

Tapi ternyata pola asuh memanjakan ini bukan hanya milik orang-orang kaya. Orang-orang yang miskin pun banyak yang melakukannya.

* Renungan
- Pola asuh tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat ekonomi orangtua.
- Pola asuh juga bahkan tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat pendidikan orangtua.
- Pola asuh ditentukan pada seberapa besar kemampuan orangtua mengantisipasi akibat dari suatu perlakuan.
- Pola asuh ditentukan juga pada seberapa besar komitmen dan kekuatan orangtua melaksanakan konsep dan prinsip yang diyakininya benar.
BOHONG ITU MENGHANCURKAN

Seorang anak yang mengalami demotivasi di sekolah mengeluh,
"Saya sedih bu, ibu saya berbohong, ternyata ayah saya masih hidup"

Saya tanya pada ibunya, apa yang membuat ibu memutuskan untuk membohongi anaknya.

- Saya kesal bu sama suami saya. Dia berselingkuh dan menikah lagi dengan wanita lain. Saya tidak bisa terima. Saya memang katakan pada anak saya kalau ayahnya sudah meninggal. Biar saja, memang dia tidak layak menjadi seorang ayah. Dia tidak bertanggung jawab

+ Bu, kalau saya bilang ibunya ibu adalah orang jahat, bagaimana perasaan ibu?

- Ya marah lah bu, saya gak terima. Gimana-gimana juga itu ibu saya. Orang lain tidak boleh menghina ibu saya yang sudah melahirkan dan mengasuh saya.

+ Ibu marah ya ....
Perasaan marah itu juga yang dirasakan oleh anak ibu. Ayahnya, ayah kandungnya dikatakan buruk dan sudah meninggal. Bukan oleh orang lain bu, tapi oleh ibu kandungnya sendiri, orang yang sebetulnya ia cintai. Kenyataan bahwa ayahnya tidak ideal itu saja sudah membuatnya sedih, apalagi ketika keburukan itu disampaikan oleh ibu kandungnya sendiri. Ia hancur hatinya bu, karena orang-orang tempatnya bersandar ternyata rapuh dan mengecewakan.

*Sebesar apa pun kesal dan sebal kita kepada pasangan, hindari menceritakannya kepada anak. Karena bagi anak, orang yang diceritakan itu bagaimanapun adalah orangtuanya sendiri. Seburuk apapun orangtua kita, kita tak akan suka bila ia dihina apalagi bila yang menghina itu adalah juga orang yang berarti dalam hidupnya.

Suami-istri bisa hilang rasa cinta dan berpisah. Tapi ikatan orangtua-anak adalah ikatan darah yang tak bisa dihapus selamanya.
DEKAT TETAPI JAUH, JAUH TETAP DEKAT

- Mbak, suami saya berhubungan sama perempuan lain di tempat kerjanya. Dia lebih suka chatting dan ngobrol sama perempuan itu. Padahal mbak, saya sudah mengorbankan gelar dan pendidikan saya untuk jadi ibu rumah tangga. Ujung-ujungnya saya dikhianati begini. Saya menyesal jadi ibu rumah tangga dan gak bekerja. Mending saya juga kerja saja kalau begitu.
+ Kapan ibu punya kesempatan ngobrol sama suami?
- Ya gak sempatlah mbak. Suami saya kan kerja dari pagi sampai malam. Saya ngurus anak-anak. Jadi kalau di rumah pun, saya sibuk ngurus keperluan mereka semua. Masak lah, beres-beres rumah. Macam-macam deh bu.
....................................


- Bu, anak saya gak mau nurut sama saya. Bandel banget. Dia lebih ngikut teman-temannya daripada denger omongan kita orangtuanya. Pusing saya jadinya bu.
+ Apa kegiatan putra ibu sehari-hari?
- Sekolah kan dari pagi sampai siang, kemudian ikut les-les. Malam di rumah dia punya urusannya sendiri. Ngerjain PR, main game dan macam-macam lah pokoknya.
+ Sabtu dan Minggu?
- Sabtu dia ada ekskul di sekolah. Minggu dia main sepeda atau jalan-jalan sama temannya.
+ Kapan ibu ada waktu buat ngobrol atau bareng berdua saja sama anak?
- Itu dia bu. Saya kan kerja, pulang malam sampai rumah. Sabtu Minggu ada sih saya di rumah, tapi anak saya kan pergi sama teman-temannya.

* Jauh atau dekat tidak selalu ditentukan oleh berapa kilometer jarak kita, tapi ditentukan oleh seberapa sering kita berinteraksi dan berkomunikasi.
* Penyelesaian masalah lebih mudah diselesaikan bila hubungan kita dekat.

* Ups, jadi inget seseorang yang harus dikontak (noyor pala ndiri)
HAL BAIK YANG DITANAMKAN DI AWAL, TAK AKAN PERNAH SIA-SIA 

-"Mbak, mbak, ada kabar gembira ... "
+ "O ya ... ada apa ...?"
- "Inget kan anakku si Jono (bukan nama sebenarnya) yang dulu saya ceritain sama Mbak. Yang bikin saya pusing dan stress. Setiap hari saya dan suami bertengkar terus sama dia karena dia males-malesan, gak mau belajar dan semaunya sendiri. Sudah kita lakukan berbagai macam cara pokoknya ... "
+ "Oh iya ingat lah. Gimana ceritanya sekarang?"
- "Sekarang Mbak, dia berubah. Luar biasa sekali pokoknya perubahannya. Kita orang tuanya sampai dibuat takjub.
+ "Alhamdulillah, gimana perubahannya dan apa yang terjadi sampai signifikan sekali perubahannya?"
- "Jadi ceritanya ni Mbak. Dulu waktu dia sedang malas-malasnya kuliah,
dia jatuh cinta sama seorang perempuan. Cinta sekali sampai dia memutuskan untuk melamarnya. Datanglah dia pada bapaknya ini perempuan untuk minta izin menikah. Ealah Mbak ... ditolak mentah-mentah sama bapaknya itu perempuan karena anakku katanya gak bisa menjamin masa depan anaknya. Anakku langsung drop, terpukul sekali. Tapi itu justru yang membuat dia sadar dan dia ingin membuktikan bahwa dia layak menjadi suami perempuan itu. Dia belajar habis-habisan untuk dapat IPK sebaik-baiknya, sekarang sudah lulus dan mau melanjutkan S2. Dia juga menabung dan berhemat. Motor kesayangannya Mbak, yang dia sudah dimodifikasi sampai bagus sekali, dia putuskan untuk dijual untuk modal kerja. Pokoknya dia serius sekali mempersiapkan dan merencanakan masa depannya.

+ "Wah luar biasa sekali, saya senang mendengar dia berubah. Tahu gak bu, menurut saya, meskipun perempuan itu yang jadi trigger anak ibu berubah, tapi modal dasarnya tetap dari ibu dan bapak. Selama ini bapak dan ibu sudah menanamkan konsep-konsep pendidikan yang baik. Termasuk bagaimana caranya bekerja keras. Betul memang ada masa bapak dan ibu berbeda pendapat dengan Jono, dan itu makan waktu panjang dan melelahkan. Tapi ketika akhrnya Jono siap berubah, dia sudah punya semua modal yang dia butuhkan untuk berubah.

*Tanamkan pohon yang baik, sirami dan beri pupuk dengan rajin.
Ada saat ia ditiup angin, diinjak binatang, terpetik tangan jahil ataupun digerogoti belalang. Tapi pohon yang kuat akan menyembuhkan dirinya sendiri dengan nutrisi yang sudah menguatkannya sebelumnya.
TANTRUM DAN BICARA

Seorang ibu yang memiliki anak kelas TK B bertanya, bagaimana caranya menghandle anak tantrum (mengamuk), terutama bila tantrum dilakukan di tempat umum. Rasa malu dan kagok karena ditatap banyak orang biasanya membuat orangtua menyuap anak agar berhenti mengamuk. Tantrum memang berhenti saat itu tapi kemudian anak tahu situasi dan saat seperti apa dia memiliki "kekuasaan" untuk mengendalikan orangtuanya.

Tantrum sebaiknya dicegah. Jangan beri kesempatan ia untuk muncul. Karena kalau sampai terjadi maka seringkali penanganannya menimbulkan trauma fisik dan psikis pada anak dan juga rasa frustrasi dan putus asa pada orangtua.

Saya "belajar" dari anak saya mengenai tantrum.

Nona pertama saya, saat kecil kerap menangis dan tantrum. Ia menangis berjam-jam dengan menendangkan kaki kecilnya ke berbagai arah. Ia bisa menangis hanya karena kepanasan, lampu terlalu gelap atau bahkan kesal karena dengungan nyamuk. Penyebab kekesalan tidak selalu bisa diatasi segera, sehingga anak yang perlu belajar beradaptasi dengan kondisi yang ada. Berbagai cara dilakukan untuk menghentikan tangisnya. Membujuk, menepuk-nepuk, mengusap, menggoyangkan badannya, menyusui, tak berhasil semuanya. Ia baru berhenti hanya setelah kelelahan dan menghabiskan waktu beberapa jam. Dan itu berlangsung sejak bayi hingga usia 2 tahun. Nona kecil ini sempat membuat saya ragu dan kehilangan kepercayaan diri sebagai seorang ibu.

Hingga usia itu saya mengira bahwa ia terlalu sensitif. Tak pernah sedikitpun saya mengira bahwa ternyata ia memiliki gangguan pendengaran. Saya baru mengetahui setelah ia memperoleh pemeriksaan menyeluruh, termasuk dari dokter THT, pemeriksaan bera dan juga audiologi.

Kenyataan bahwa lubang telinganya tertutup itu adalah satu hal. Hal yang jauh lebih penting dari itu adalah, saya memperoleh kesadaran mengapa selama ini ia sangat mudah tantrum. Kesadaran ini juga yang membuat saya menyadari bahwa saya perlu melakukan perubahan pendekatan.

Dengan kondisi kurang pendengaran, maka ia juga mengalami keterlambatan bicara. Cara mengajar saya yang sama dengan kakaknya menjadi kurang efektif ketika dilakukan padanya. Karena ia membutuhkan pendekatan dengan intensitas yang lebih tinggi dan metode yang lebih adaptif.

Segera saya mengubah pendekatan dalam berkomunikasi. Memperbesar volume suara, memperlambat bicara, memotong panjang kalimat sehingga pesan tidak terlalu banyak, berhadapan dan menatap mata saat bicara, melakukan recheck setelah menyampaikan pesan, dll. adalah beberapa penyesuaian yang dilakukan selain mengikuti terapi bicara.

Sekitar 3 bulan sesudahnya, emosinya menjadi lebih stabil. Dan tantrum berkurang secara signifikan bahkan hilang sama sekali setelah 6 bulan kemudian.

Saya belajar, bahwa anak tantrum karena keputus-asaan dan ketidak berdayaannya mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya. Ia merasa orang tidak mendengar, tidak memahami dan bahkan mungkin tidak peduli dengan keinginannya. Di puncak frustrasinya ia pun mengamuk.

Lebih jauh juga saya melihat, bahwa orang-orang yang temperamen dan mudah marah atau masyarakat yang mudah berdemo dengan kekerasan juga karena mereka tidak bisa mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan cara yang tepat. Atau merasa tidak didengar dan dipahami orang lain. Komunikasi secara fisik lah yang akhirnya dipilih.

Karenanya orangtua dan juga guru perlu membuka komunikasi dua arah. Mengajarkan anak untuk nyaman mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Menerima dan mendengarkan dengan antusias ketika anak bicara atau bercerita.

Keuntungannya jelas. Emosi anak menjadi lebih stabil. Tantrum bisa dihindari dan peluang anak menyelesaikan masalah secara mandiri lebih besar. Dan yang juga penting, kapan pun dia punya masalah atau merasa tidak nyaman, ia akan datang pada orangtuanya sebagai tempat yang paling nyaman untuk curhat.

*Dari sesi parenting di sebuah TK di Bintaro
OLAHRAGA-MATEMATIKA-SENI

Seorang atlit bulu tangkis membutuhkan kecekatan, ketrampilan dan kebugaran (juga strategi). Oleh karena itu kenapa dia, selain harus belajar beragam pukulan dalam bulu tangkis, seperti serve, lob, back hand, chop, smash, jumping smash, dll. ia juga harus menguatkan tangannya dengan angkat berat, jogging untuk meningkatkan daya tahan dan latihan lainnya agar otot-ototnya lentur/fleksibel. Jika otot kita kaku, maka gerakan kita pun akan menjadi lambat dan kaku. Pegal-pegal sudah tentu terasa.

Menggunakan analogi seperti itu saya menjelaskan kepada anak saya kenapa kita perlu belajar matematika saat ia kesal karena kesulitan dengan PR matematikanya. Matematika itu seperti angkat berat, jogging dan latihan lainnya bagi seorang atlit bulutangkis. Matematika melatih hampir semua aspek dalam berpikir. Berpikir kritis, logis, analitis, sistematis, sintesis, abstrak, kreatif, dll. Yang semuanya dibutuhkan saat melakukan pemecahan masalah sehari-hari. Seperti juga jogging yang monoton, melelahkan dan kadang membosankan. Seperti itu juga rasanya mengerjakan latihan soal berhitung, apalagi soal-soal cerita yang membutuhkan fleksibilitas/kelenturan berpikir yang lebih tinggi. Jika otak kita kaku, maka kita menjadi tidak segera memahami, kurang fokus, cenderung ngotot dan kurang kreatif saat memecahkan masalah. Bingung dan sakit kepala biasa terjadi pada orang yang kurang terbiasa berpikir mendalam.

Nah, kita sudah bicara tentang kekuatan fisik dan kelenturan gerak. Kita juga sudah bicara tentang mengembangkan aspek kognitif dan fleksibilitas berpikir. Maka bagaimana kita mengembangkan kepekaan perasaan dan empati?

Bahasan empati yang berlanjut pada keinginan menolong orang lain, adalah bahasan umum dalam pendidikan karakter. Kalau saya bertanya pada para guru atau calon guru, bagaimana kita mengajarkan pada siswa agar ia mau menolong temannya yang kesulitan. Jawaban yang kerap muncul adalah, "Kita harus sering-sering menasehati siswa, bu ... "

Jawaban tersebut tidak salah, meskipun tidak sepenuhnya benar. Menasehati lebih kepada ranah kognitif. Itu pun belum tentu bertahan lama, karena hanya disampaikan dengan menasehati. Sehingga dibutuhkan cara lain agar tidak hanya sampai sebatas kognitif, tetapi juga masuk ke ranah afektif (perasaan) dan bahkan psikomotorik (tindakan).

Menggunakan analogi angkat berat dan jogging pada atlit bulu tangkis, atau matematika pada fleksibilitas berpikir, maka untuk mengembangkan empati adalah dengan seni.

Seni, apapun itu bentuknya, baik seni visual, seni suara, seni musik, seni tari, seni peran, dan prakarya adalah cara yang paling baik untuk meningkatkan kepekaan perasaan.

Saya ambil contoh ketika seseorang menggambar objek real dihadapannya. Maka ia didorong untuk berusaha menangkap kesan, menangkap detail dan menuangkannya secara visual dalam bentuk gambar. Seringkali, apa yang tertangkap oleh mata kita tidak selalu dapat kita tuangkan sama seperti apa yang kita lihat. Saya ingat saat kelas 2 SMP dulu, ketika pelajaran menggambar. Guru saya Pak Maman (semoga beliau sehat selalu) meletakkan sebuah piala logam di atas meja di depan kelas. Semua anak diminta menggambar sama seperti apa yang tertangkap oleh mata. Seperti beberapa teman yang lain, saya yakin betul bahwa warna logam adalah "abu-abu" sehingga kami membuat shading halus dengan menggunakan pensil. Dan tak habis pikir kenapa setelah diwarnai tidak tampak kesan bulat pada gambar tersebut.

Guru saya mengajak anak-anak melihat kembali dengan seksama. Betulkah warnanya hanya abu-abu? Bentuk dan pantulan sinar matahari membuatnya menjadi tidak abu-abu seluruhnya. Susah payah bagi kami untuk menangkap kesan tersebut. Minggu-minggu berikutnya, objek gambar bergeser menjadi anggota tubuh, tumbuhan, hingga suasana. Belakangan saya paham, bahwa kepekaan melalui indra mata itu yang coba ditumbuhkan.

Kali lain, saya belajar menyanyi. Masih di kelas saat SMP. Biasanya guru seni suara saya Pak Asep (semoga beliau sehat selalu), yang jago juga tembang dan kawih Sunda ini akan mengawali pelajaran menyanyi dengan membunyikan nada dasar tertentu, kemudian para murid menyuarakan nada do rendah hingga do tinggi dengan nada dasar yang berbeda-beda. Setiap ada anak yang suaranya melenceng dari seharusnya, maka seluruh kelas tertawa. Hasilnya adalah 90 persen lebih anak ditertawakan karena suara yang fals. Sama seperti menggambar, kepekaan juga yang coba dikembangkan meskipun yang ini melalui pendengaran.

Kepekaan yang diawali dari pengindraan yang menyebabkan kita tahu apakah seseorang sedang sedih, marah bahkan senang. Baik yang tampak secara nyata maupun yang subtil/halus, yang tersamar melalui kata-kata dan gerakan tubuh.

Celakanya, di banyak sekolah, mata pelajaran seni dan olah raga diredusir secara signifikan. Pelajaran semua seni digabung satu dan hanya diberikan 2 jam pelajaran dalam seminggu, begitu juga dengan olah raga. Targetnya pun tidak cukup menantang baik bagi guru untuk mencapainya maupun untuk siswa karena tidak berpengaruh terhadap nilai akademik keseluruhan. Sekolah berpendapat bahwa lebih baik berfokus pada pelajaran yang diujikan nasional atau yang dijadikan seleksi masuk sekolah yang lebih tinggi.

Ironi. Ketika perilaku bullying, tawuran, saling mengejek, berucap tidak sopan, saling menjatuhkan, tidak peduli, enggan menolong, prasangka buruk, dll, kita masih belum ngeh bahwa ini semua juga adalah buah dari ketidakpekaan yang tidak kita kembangkan, ajarkan dan contohkan kepada anak-anak kita.

*Hasil obrolan santai dengan seorang guru seni di sebuah sekolah Islam di Jakarta. Mendengarkan curhatannya, karena jam mengajarnya dikurangi dan banyaknya rambu-rambu yang dirasakan membatasinya berkreasi. Membicarakan juga bagaimana seni mempengaruhi kepekaan perasaan dan bahkan bisa membantu penyelesaian masalah-masalah emosi.

MASIH TENTANG BAKAT

Istilah "anak berbakat" yang digunakan umum dalam istilah pendidikan seolah-olah menunjukkan bahwa ada anak yang berbakat dan tidak berbakat. Anak berbakat juga dipandang memiliki "kasta" lebih tinggi dari anak lain yang tidak disebut demikian. Diferensiasi anak berbakat dan tidak berbakat itu lebih lanjut menimbulkan efek psikologis bagi anak-anak yang merasa tidak berbakat. Konsep dan harga dirinya turun dan ia kehilangan kepercayaan diri. Perlakukan guru, orangtua dan lingkungan membebaninya. Orangtua yang kerap silau dengan bersinarnya anak orang lain cenderung menuntut dan memaksa anaknya menjadi sama seperti anak orang lain yang konon katanya "berbakat." Sehingga anak tidak didorong untuk menjadi dirinya sendiri.

Kita coba memandang dengan cara lain.
1. Bakat seorang anak bisa sangat spesifik
Misalnya ada anak yang berbakat di bidang sains, bahasa, seni, musik, memasak. berbicara/mempengaruhi orang, menghafal, olah raga, dll.

2. Seorang anak bisa memiliki bakat yang bervariasi
Misalnya ada anak yang berbakat luar biasa di bidang matematika tetapi juga berbakat tinggi di bidang musik. Ada anak yang sangat berbakat bahasa dan juga jago memasak.

3. Bakat tidak hanya intelektual atau menyangkut bidang akademik. Sehingga bila nilai raport anak rendah bukan berarti ia tidak berbakat sama sekali. Bakat bisa juga berupa kepekaan memahami orang lain, kelancaran berkomunikasi, ketrampilan menggunakan alat, dll. yang tidak masuk dalam penilaian raport di sekolah.

4. Bakat tidak harus outstanding.
Performa bakat tidak harus berupa prestasi atau juara dalam bidang tertentu. Karena bakat bukan untuk dibandingkan dengan orang lain. Bakat diketahui dengan membandingkan antar aspek/kemampuan dalam dirinya sendiri. Seperti hal-nya rizki yang diberikan Allah dalam bentuk dan jumlah yang berbeda-beda, maka level keberbakatan bervariasi, namun hal itu bukan disesali ketika kita tidak menjadi yang terbaik.
Seorang kepala desa yang sukses memimpin warganya tetap memiliki bakat kepemimpinan meskipun ia tidak menjadi gubernur. Seorang Evan Dimas tetap memiliki bakat bermain sepak bola sekalipun ia tidak bermain di liga Eropa seperti Messi misalnya. Dan seorang anak yang terlihat biasa-biasa saja, tidak pernah jadi juara di kelas, tetap memiliki bakat sekalipun dia bukan yang terbaik di kelasnya.

5. Bakat adalah rizki pemberian Allah.
Karenanya adalah hak prerogatif Allah dalam menentukan kadar dan jenisnya. Tapi kita sebagai manusia punya kewajiban untuk menerima dan memanfaatkannya dengan baik sebagai bentuk penghambaan dan rasa syukur kepada Allah.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki bakat dengan jenis yang berbeda dan kadar yang berbeda pula.

Pada anak pemanfaatan bakat kerapkali kurang optimal. Bakat tidak dikenali atau diabaikan bisa disebabkan karena beberapa hal berikut ini, yaitu;
1. Ketika orangtua lebih menghargai kemampuan yang lain.
Misalnya, orangtua menganggap pintar di sekolah itu penting, sehingga lebih fokus pada prestasi sekolah. Padahal ternyata anak mempunyai bakat memasak yang hebat, tapi tidak didorong, dihargai dan dikembangkan.

2. Ketika orangtua beranggapan bahwa bakat perlu dibuktikan dengan menjadi juara.
Sehingga ketika anak sudah berusaha keras dan habis-habisan tapi tidak menjadi juara, maka usahanya tetap dianggap tak ada artinya. (Duh kebayang perasaan anaknya, sakit bener rasanya ... )

3. Ketika usaha untuk mengembangkan bakat menjadi sangat menekan dan membebani atau suasananya tidak menyenangkan.
Mungkin anak memiliki bakat dalam bidang menulis. Tapi guru bahasa di sekolah kurang memberikan suasana belajar yang menyenangkan dan rewarding bagi anak. Maka bakatnya tampil kurang optimal.

4. Sebaliknya ketika usaha untuk mengembangkan bakat sangat minimal atau bahkan tidak ada sama sekali, maka anak pun tidak terdorong untuk berusaha dan mengeksplorasi kemampuannya.

*Sungguh anak adalah amanah luar biasa. Pemiliknya sejatinya adalah Sang Maha Pemberi. Perasaan bahwa kita memiliki dan punya hak untuk mengatur kerap membuat kita melampaui batasan dan melupakan hak anak. Terima anak kita apa adanya dengan segenap bakat dan kemampuannya. Tidak perlu iri pada bakat dan pencapaian anak orang lain. Karena kebahagiaan anak adalah pada penerimaan dari orang-orang yang mencintainya.

(Ngomong sambil bercermin dan sambil mencolek Budi Dar)


BAKAT DAN MINAT, NATURE AND NURTURE

Istilah "minat dan bakat" ini populer sekarang hingga beberapa bulan ke depan. Umumnya terkait dengan penjurusan. Baik siswa kelas 9 yang akan masuk SMA, yang harus sudah mengantungi lembar psikotes yang menunjukkan kecenderungan ke jurusan IPA atau IPS. Juga siswa kelas 12 yang akan masuk perguruan tinggi dan (biasanya) masih bingung dengan pilihannya untuk masuk ke perguruan tinggi.

Bakat itu terkait cepat atau tidaknya seseorang dalam menguasai suatu hal. Orang yang berbakat akan membutuhkan waktu lebih singkat daripada orang yang kurang berbakat dalam penguasaan bidang tertentu.

Sementara minat lebih terkait pada, apakah kita menikmati proses yang kita lakukan atau tidak. Orang yang berminat akan lebih bersemangat dan termotivasi daripada orang yang kurang berminat.

Bagus sekali kalau bakat dan minat selaras. Namun adakalanya bakat tidak selalu selaras dengan minat. Ada orang berbakat musik, tapi minat dan motivasinya hilang, misalnya karena proses belajar musik yang kurang menyenangkan. Atau orang berbakat matematika, nilai pelajaran matematikanya buruk karena gurunya galak atau cara penyampaiannya membingungkan, padahal logika berpikirnya runtut dan cepat berhitung ketika berbelanja.

Bakat itu nature, alamiah atau lebih banyak campur tangan Tuhan di dalamnya. Sementara minat itu nurture dipengaruhi oleh lingkungan.

Ketika saya mewawancarai anak-anak SMA di sebuah sekolah boarding daerah Serpong, saya menemukan bahwa anak-anak yang memiliki arah dan tujuan jelas yang ingin dicapai, biasanya menyandarkan pertimbangan pilihannya pada pengalaman dalam hidupnya.

Misalnya; "Saya ingin jadi dokter bu, soalnya ibu saya meninggal karena sakit kanker. Kalau saya jadi dokter ahli penyakit kanker maka saya bisa membantu banyak orang." Atau,
"Saya ingin menjadi ahli pertanian bu, soalnya di kampung saya petani-petani itu hidupnya susah sekali. Mereka banyak hutang karena biaya alat pertanian, pupuk dan obat hama mahal sekali sementara harga jual hasil pertanian sangat rendah"
"Saya ingin jadi insinyur teknik mesin. Soalnya saya prihatin di Indonesia ini kita hanya membeli saja dari luar negeri dan masih jarang industri otomotif di Indonesia. Saya ingin buat mobil yang bahan bakarnya murah dan ramah lingkungan."

1. Kalau kita mengharapkan anak-anak kita menjadi dokter, maka libatkan ia dalam aktivitas pelayanan kesehatan, khususnya merawat orang sakit atau melihat penderitaan orang lain.

2. Kalau kita mengharapkan anak-anak kita menjadi seorang Insinyur Mesin (otomotif), maka ajak ia ke bengkel, memperbaiki mesin mobil, dll.

3. Kalau kita mengharapkan anak kita bisa menulis dan senang membaca buku. Maka ajak ia ke perpustakaan atau toko buku, hargai tulisan-tulisannya, diskusi mengenai beragam topik buku, dll.

4. Kalau kita mengharapkan anak kita menjadi ilmuwan, peneliti atau pemikir. Maka uji cara berpikirnya dengan diskusi, beri ia kesempatan untuk membuat perencanaan, memecahkan masalah dan melakukan evaluasi, dengan dasar data yang jelas. Melakukan percobaan-percobaan sederhana di rumah juga akan sangat mendukung pengembangan minat dalam bidang ini.

5. Kalau kita mengharapkan anak kita menguasai ekonomi dan bisnis. Libatkan ia dalam aktivitas bisnis, berjualan, bertemu banyak orang, berbelanja. Bahas tentang bagaimana display etalase yang catchy, bahas tentang produk yang disukai anak-anak, remaja, orangtua, dll.

6. Kalau kita mengharapkan anak kita menjadi geolog, diplomat, arkeolog, antropolog, guide atau bidang lain yang bekerja di luar ruangan. Ajak ia untuk mengunjungi berbagai tempat di Indonesia maupun di dunia. Ajak ia ke gunung, pantai, sungai. Ajak ia bertemu dengan berbagai komunitas dan budaya yang berbeda.

7. Kalau kita mengharapkan anak kita pandai berkomunikasi dan bekerja dalam bidang jurnalistik, sosial politik, marketing atau bahkan menjadi guru/dosen. Berikan ia kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya baik dengan menulis maupun berbicara. Dorong ia untuk memahami orang lain dan berpikir dengan cara pandang orang lain, sehingga ketika berbicara ia bisa memilih kata yang sesuai dengan pendengarnya. Berikan pujian saat ia berbicara di depan banyak orang, sehingga ia tidak canggung untuk menjadi pusat perhatian.

8. Kalau kita mengharapkan anak kita menyukai bidang seni, keindahan dan kreativitas. Berikan ia peluang untuk dapat menghasilkan dan menampilkan hasil karyanya. Kunjungi galeri, beri kesempatan ia untuk memberikan penilaian dan apresiasi terhadap hasil karya orang lain.

9. Kalau kita mengharapkan anak kita berkecimpung dalam bidang musik. Perdengarkan ia dengan berbagai style dan genre musik. Tradisional, klasik maupun modern. Ajarkan beragam lagu, alat musik dan bagaimana mengapresiasi musik dan menangkap esensi keindahannya.

10. Kalau kita mengharapkan anak kita trampil dan teliti. Bimbing dan ajarkan ia pada aktivitas yang membutuhkan ketrampilan dan ketelitian. Misalnya, memasak, menata lemari atau kamarnya hingga rapih, menyusun perencanaan acara pesta, dll. Bidang-bidang administrasi, chef, IT, bahkan dokter gigi akan membutuhkan kemampuan ini.

11. Kalau kita mengharapkan anak kita trampil dalam menguasai alat atau aktivitas yang membutuhkan kekuatan dan kendali tubuh, seperti misalnya seorang olahragawan, tentara, polisi, Maka ajak ia melakukan beragam olahraga, mengikuti kegiatan kepramukaan, penguasaan alat dan kegiatan praktis lainnya.

12 Dan kalau kita mengharapkan anak kita memiliki kepedulian dan bisa melayani orang lain, seperti misalnya pekerja sosial, psikolog, perawat, dll. Maka ajak ia untuk bertemu banyak orang agar ia memahami perbedaan dan bagaimana caranya berespon terhadap orang yang berbeda. Berikan kesempatan agar ia bisa menolong orang lain dengan cara yang mampu ia lakukan.

Minat seperti juga bakat tidak selalu spesifik dan berdiri sendiri. Seringkali mereka berkait satu sama lain. Demikian pula dengan profesi atau pekerjaan tertentu tidak pernah hanya didasari oleh satu bakat atau minat tertentu saja. Semakin tinggi level suatu pekerjaan, maka semakin tinggi pula tuntutan variasi bakat dan minatnya. Dokter yang hanya pandai mendiagnosa tapi kurang bisa mengkomunikasikan pikirannya dengan bahasa yang lebih sederhana dan kurang memiliki keinginan melayani belum menjadi dokter yang paripurna dan disukai orang. Reporter yang hanya pandai bicara, tapi tak peduli dengan pikiran dan perasaan orang lain, maka ia akan mengkerdilkan pikiran dan menyakiti hati banyak orang. Pebisnis yang pandai berhitung untung-rugi tapi tak peduli ia berdiri di atas kesengsaraan orang lain, hanya akan menggali lubang kesengsaraannya sendiri. Dst.

*Memaksakan anak memasuki bidang tertentu, sementara kita tidak membekalinya dengan pengetahuan dan ketrampilan yang menguatkan. Membuka peluang ia menjadi stress dan tidak menikmati apa yang ia jalani.

Kamis, 30 Oktober 2014



EMOTION CREATE BY MOTION

Salah satu hal dari sekian banyak hal yang menjadi inspirasi dari 2 hari mengikuti workshop family therapy adalah bahwa kita bisa mengubah mood/suasana hati kita sendiri melalui gerakan.

Ketika kita merasa sedih, gundah, galau kita menampilkan postur tubuh yang kaku, tertutup dan nafas terasa sesak karena kita menahan nafas kita di dada. Sementara sebaliknya ketika kita bahagia, bersemangat, optimis, maka kita menjadi lebih dinamis, gerakan tubuh lebih terbuka dan bebas.

Sayangnya, tak jarang kita memanjakan perasaan kita. Ketika kita sedih atau gundah kita memilih berlama-lama berada pada perasaan tersebut. Kita tidur meringkuk berhari-hari, menutup diri, membiarkan perasaan buruk itu mendekam dalam diri dan tak cukup usaha melepaskannya.

Kita mengharapkan orang lain yang membantu kita melepaskan diri dari perasaan buruk. Padahal sebetulnya kita bisa melakukannya sendiri dengan .... bergerak ....

Betul, bergerak. Kalau asalnya kita tidur maka bangkitlah. Kalau asalnya kita duduk maka berdirilah. Kalau asalnya menunduk, maka tegakkan badan dan mendongak. Kalau asalnya cemberut maka tersenyumlah.

Kalau tak percaya .... cobalah dan rasakan keajaiban yang datang ....


*Dari workshop family therapy. 
Sayangnya bagian ini tak sempat terfoto karena saking terlibat dan takjubnya dengan suasana yang ada.
"HARUSNYA DIA TAHU ... "


Dalam keseharian kita kerap mendengar kalimat itu. Ketika rakyat berbicara tentang pemimpinnya, atau ketika para pengamat bicara tentang pejabat publik.

Dalam ruang konsultasi, kalimat ini lebih sering muncul. Mereka yang menempatkan diri sebagai korban, mengira bahwa perubahan harus dilakukan oleh orang lain agar ia merasa nyaman, sehingga menuntut orang lain yang berubah dan bukan dirinya sendiri.

Anak bicara, "Harusnya mama tahu, aku gak suka main biola"

Ibu bicara, "Harusnya anak-anak tahu, kalau saya cape mengerjakan semua pekerjaan"

Ayah bicara, "Harusnya anak-anak tahu, kalau saya tidak bisa menemani mereka main karena sibuk bekerja"

Guru bicara, "Harusnya anak-anak tahu, kalau belajar itu penting"

Istri bicara, "Harusnya suami saya tahu, kalau dia tidak boleh menaruh handuk sembarangan"

Suami bicara, "Harusnya istri saya tahu, kalau saya tidak suka dia tanya-tanya urusan kantor"

Dan sekian banyak lagi kalimat yang diawali dengan "Harusnya dia tahu, kalau .... "

Menarik adalah bahwa orang-orang ini berasumsi bahwa apa yang dia tahu seharusnya diketahui juga oleh orang lain. Dia menafikan berbagai kemungkinan bahwa orang memiliki fokus perhatian yang berbeda, pengalaman yang berbeda dan berbagai macam hal lain yang berbeda.

Mencoba berpikir dengan cara pandang orang lain, memang bukan sesuatu yang mudah. Membutuhkan kelenturan berpikir. Seperti contoh klasik orang buta memegang gajah. Maka perlu usaha untuk membuka mata, bergeser ke posisi yang lain, mundur untuk membuat jarak, sehingga kita bisa melihat "gajah" secara keseluruhan.

Pada kenyataannya semua mekanisme ini adalah mekanisme abstrak yang terjadi dalam otak. Belum lagi ketika persepsi itu dipengaruhi pula oleh berbagai hal lainnya. Value, beliefs, pengalaman, emosi, kognitif, gender, dll.

Intinya adalah, suatu keniscayaan bila orang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal.

Bahkan sekalipun ketika kita memutuskan untuk hidup bersama dengan orang yang sudah memiliki value yang sama pun, pada prakteknya ada banyak hal yang berpeluang menimbulkan friksi/gesekan dalam perjalanannya.

Komunikasi adalah awal dari penyelesaian masalah. Seberapa mudah seseorang untuk bisa menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakan, ternyata juga membutuhkan latihan dan pembiasaan.

Ternyata bagi beberapa (atau bahkan banyak) orang, tak ada kultur yang terbentuk untuk berkomunikasi dengan baik. Pesan-pesan disampaikan satu arah. Suami kepada istri, ayah ibu kepada anak, guru kepada siswa, pemimpin kepada masyarakat. Dalam konteks keluarga, komunikasi yang kurang berjalan baik ini berkembang menjadi bibit-bibit pertengkaran.

Dibutuhkan kepekaan untuk memahami. Pembiasaan untuk berkomunikasi dan kemampuan untuk mencari titik temu penyelesaian yang win-win bagi semua pihak. Sehingga tak ada yang merasa menjadi korban atau dikorbankan.
BERPELUKAN .....

"We need 4 hugs a day for survival. We need 8 hugs a day for maintenance. We need 12 hugs a day for growth." - Virginia Satir

Kita membutuhkan 4 pelukan sehari untuk bertahan hidup.
Kita membutuhkan 8 pelukan sehari untuk pemeliharaan.
Kita membutuhkan 12 pelukan sehari untuk pertumbuhan

"Berpelukan ..... "

Siapa yang pernah menonton Teletubbies tentu ingat kata-kata itu. Setiap bertemu, Tinky Winky, Dipsy, Lala dan Po akan berseru "Berpelukan ...." atau pada film aslinya dengan bahasa Inggris "Big hug ....."

Virginia Satir adalah seorang family therapist dari Amerika (1916-1988) mengembangkan "Satir Model" suatu bentuk terapi untuk meningkatkan kualitas komunikasi dan hubungan dalam struktur keluarga. Ia percaya bahwa semua manusia dilengkapi dengan kemampuan untuk tumbuh, berubah dan terus belajar. Dan ia memfokuskan tekniknya untuk menemukan diri yang sebenarnya (inner self). Sehingga perubahan terjadi mulai dari dalam diri seseorang.

Berpelukan disarankan oleh Virginia Satir karena memiliki efek luar biasa bagi diri. Baik secara fisik maupun psikis. Karena sentuhan fisik mendorong tubuh untuk menghasilkan hormon oxytocin yang sangat kuat berpengaruh terhadap kesehatan.

20 detik berpelukan dan 10 menit berpegangan tangan dapat mengurangi efek stress terhadap tubuh. Tekanan darah menurun dan detak jantung bertambah lambat. Karena berpelukan juga menurunkan hormon kortisol yang biasanya dihasilkan saat stress.

10 detik berpelukan dalam satu hari menyebabkan:

1. Penurunan risiko serangan jantung
2. Meningkatkan sistem kekebalan tubuh
3. Mengurangi stress
4. Melawan infeksi
5. Melawan kelelahan
6. Menurunkan kadar depresi

Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang hanya memeluk sebanyak 4 kali dalam 1 bulan. Hal ini menyebabkan peluang stress menjadi lebih besar.

Oleh karena itu mari kita peluk anak-anak kita dan pasangan kita ....

Sumber:
http://www.goodtherapy.org/satir-transformational-systemic-…#
*http://articles.mercola.com/…/archi…/2014/02/06/hugging.aspx
RULES VERSUS RULES

Dalam kehidupan bermasyarakat kita dihadapkan pada realitas di mana kita perlu hidup berdampingan dan berinteraksi dengan mereka yang memiliki value, kebiasaan dan keyakinan yang berbeda dengan diri kita. Tidak jarang prasangka dan konflik timbul karenanya ketika tidak tercapai suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Contoh-contoh seperti itu bertebaran di mana pun di sekeliling kita sehingga saya tak perlu menyebutkannya satu persatu.

Dalam lingkup yang lebih kecil dan sederhana, perbedaan itu terjadi dalam keluarga. Seorang perempuan lahir dan besar dalam suatu keluarga yang sudah memiliki tatanan aturan atau rules tertentu dalam keluarganya bertemu dengan seorang lelaki yang juga memiliki keluarga sendiri dengan tatanan aturan yang berbeda.

Saya tidak bicara tentang perbedaan agama, bangsa atau budaya yang jauh lebih sulit lagi mengkompromikannya. Saya hanya bicara perbedaan dari sisi kebiasaan saja. Misalnya yang satu lahir dan besar dari keluarga besar dengan cukup banyak aturan di dalamnya. Ada tuntutan bahwa setiap anak harus menyelesaikan urusan-urusannya sendiri. Sementara pasangannya lahir dan besar dalam keluarga kecil dengan aturan minimal, karena orangtua dan pembantu siap untuk membereskan semua urusan anak.

Value keluarga yang tampil dalam aturan dan kebiasaan yang terjadi oleh seorang anak akan diyakini sebagai "hal yang paling benar." Karena dia hidup dengan cara seperti itu dan juga terasa nyaman baginya. Anak-anak kerapkali mengira, bahwa apa yang mereka alami di rumah dialami juga oleh anak lain persis sama seperti dirinya. Keyakinan itu dibawa sampai dewasa. Maka ketika memasuki hidup pernikahan, banyak pasangan muda yang agak limbung atau bahkan shock ketika pasangannya memiliki kebiasaan yang berbeda. Pada awalnya masih cukup toleransi. Namun memasuki tahun kedua dan ketiga, mulai muncul pertengkaran-pertengkaran kecil karena kesabaran untuk toleran sudah sampai pada batasnya dan masing-masing pasangan merasa sekarang lah saatnya untuk mempertahankan apa yang dianggap benar.

Banyak perbedaan kebiasaan yang sederhana namun bila tidak diselesaikan, berpeluang menimbulkan masalah. Kadang bukan content kebiasaannya yang menjadi masalah. Namun pola penyelesaian masalahnya yang memperparah dan menimbulkan masalah lain dalam bentuk lain.

Misalnya, istri terbiasa makan dengan tertib di meja makan. Sementara suami di keluarganya dulu, boleh makan di mana saja, bahkan di dalam kamar sekalipun. Penyelesaiannya? Mulai dengan membiarkan tapi tidak ikhlas atau pertengkaran kecil hingga pertengkaran besar. Pola penyelesaian itu lah yang akan menetap. Diberlakukan pada setiap masalah yang lain. Dan bahkan ditiru oleh anak. Pola itu juga yang biasanya menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari.

Karenanya, ayo duduk bareng, bicarakan terbuka, apa keinginan masing-masing. Kadang perbedaan itu begitu tajam sehingga menimbulan emosi dan membutuhkan penengah. Tapi kesadaran bahwa perlu ada perubahan dan keinginan serta usaha keras untuk berubah adalah modal terbesar.

*Pincang, bila keinginan itu hanya muncul dari satu pihak. Jauh lebih menguatkan bila perubahan dilakukan bersama.
PSIKODRAMA

Psikodrama adalah suatu metode bermain peran yang digunakan dalam psikoterapi di mana klien menggunakan dramatisasi spontan, bermain peran (role playing) dan menampilkan diri secara dramatis untuk menemukan dan memperoleh insight yang diterapkan dalam hidupnya.

Dikembangkan oleh Jacob L. Moreno (1889-1974) psikodrama meliputi elemen teater, sehingga membutuhkan panggung dan beberapa properti. Dengan menciptakan situasi yang mendekati situasi nyata dan memerankannya, klien memiliki kesempatan untuk mengevaluasi perilaku mereka dan memperoleh pemahaman lebih dalam terhadap situasi tertentu dalam hidupnya.

Psikodrama digunakan dalam berbagai situasi klinis berbasis kelompok dan kerap kali membutuhkan skenario yang dirancang sedemikian rupa, sehingga setiap orang dalam kelompok, berperan sebagai agen terapeutik untuk dalam adegan orang tertentu.
Psikodrama bukanlah suatu bentuk dari terapi kelompok, tetapi terapi individu yang dilakukan dalam kelompok. Perlu dipandu oleh seorang yang terlatih melakukan terapi ini.

Dalam sesi psikodrama, klien yang bertindak sebagai tokoh protagonis, berfokus pada suatu situasi khusus tertentu yang akan ditampilkan di panggung. Beragam adegan dapat dimunculkan, seperti misalnya, memori kebahagiaan di masa lalu, situasi atau masalah yang belum selesai, kejadian sedih, fantasi, mimpi-mimpi, kegamangan menghadapi situasi berisiko di masa depan dan ekspresi emosi yang belum terungkapkan.

Adegan-adegan ini penggambarannya bisa berupa situasi nyata, bisa juga berupa penggambaran dari proses mental internal. Anggota lain dalam kelompok membantu dan mendukung dengan memainkan peran sebagai orang-orang tertentu dalam adegan tersebut.
Salah satu prinsip dalam psikodrama adalah teori Moreno tentang kreativitas spontan. Moreno percaya bahwa cara terbaik dari seseorang untuk berespon kreatif terhadap suatu situasi adalah melalui spontanitas atau kesiagaan melakukan improvisasi dan berespon saat itu juga. Dengan mendorong individu untuk membicarakan masalahnya dengan cara yang kreatif, bereaksi dan mengikuti dorongan spontan, mereka mulai menemukan solusi baru terhadap problem dan belajar peran yang baru yang dapat ditumbuhkan dalam diri.

Dalam psikodrama, klien menggali konflik internal dengan mengeluarkan emosi dan interaksi interpersonal di atas panggung. Klien berperan sebagai protagonis dan berinteraksi dengan aktor-aktor pembantu lainnya. Seorang sutradara dibutuhkan untuk mengatur adegan semirip mungkin dengan aslinya. Metode ini juga melibatkan teknik-teknik dalam teater, seperti berperan, dialog, monolog, dll. Sesi dibagi dalam 3 fase, yaitu, persiapan, Action dan diskusi. Seluruh proses ini memiliki efek terapeutik untuk klien, dan bahkan juga bisa menimbulkan efek yang kurang lebih sama pada aktor pembantu dan juga penontonnya.

Terjemahan bebas dari http://en.wikipedia.org/wiki/Psychodrama
Foto dari: satu scene psikodrama saat training Family Therapy 11-12 Oktober 2014

Foto: PSIKODRAMA

Psikodrama adalah suatu metode bermain peran yang digunakan dalam psikoterapi di mana klien menggunakan dramatisasi spontan, bermain peran (role playing) dan menampilkan diri secara dramatis untuk menemukan dan memperoleh insight yang diterapkan dalam hidupnya. 

Dikembangkan oleh Jacob L. Moreno (1889-1974) psikodrama meliputi elemen teater, sehingga membutuhkan panggung dan beberapa properti. Dengan menciptakan situasi yang mendekati situasi nyata dan memerankannya, klien memiliki kesempatan untuk mengevaluasi perilaku mereka dan memperoleh pemahaman lebih dalam terhadap situasi tertentu dalam hidupnya.  

Psikodrama digunakan dalam berbagai situasi klinis berbasis kelompok dan kerap kali membutuhkan skenario yang dirancang sedemikian rupa, sehingga setiap orang dalam kelompok, berperan sebagai agen terapeutik untuk dalam adegan orang tertentu. 
Psikodrama bukanlah suatu bentuk dari terapi kelompok, tetapi terapi individu yang dilakukan dalam kelompok. Perlu dipandu oleh seorang yang terlatih melakukan terapi ini. 

Dalam sesi psikodrama, klien yang bertindak sebagai tokoh protagonis, berfokus pada suatu situasi khusus tertentu yang akan ditampilkan di panggung. Beragam adegan dapat dimunculkan, seperti misalnya, memori kebahagiaan di masa lalu, situasi atau masalah yang belum selesai, kejadian sedih, fantasi, mimpi-mimpi, kegamangan menghadapi situasi berisiko di masa depan dan ekspresi emosi yang belum terungkapkan. 

Adegan-adegan ini penggambarannya bisa berupa situasi nyata, bisa juga berupa penggambaran dari proses mental internal. Anggota lain dalam kelompok membantu dan mendukung dengan memainkan peran sebagai orang-orang tertentu dalam adegan tersebut. 
Salah satu prinsip dalam psikodrama adalah teori Moreno tentang kreativitas spontan. Moreno percaya bahwa cara terbaik dari seseorang untuk berespon kreatif terhadap suatu situasi adalah melalui spontanitas atau kesiagaan melakukan improvisasi dan berespon saat itu juga. Dengan mendorong individu untuk membicarakan masalahnya dengan cara yang kreatif, bereaksi dan mengikuti dorongan spontan, mereka mulai menemukan solusi baru terhadap problem dan belajar peran yang baru yang dapat ditumbuhkan dalam diri. 

Dalam psikodrama, klien menggali konflik internal dengan mengeluarkan emosi dan interaksi interpersonal di atas panggung. Klien berperan sebagai protagonis dan berinteraksi dengan aktor-aktor pembantu lainnya. Seorang sutradara dibutuhkan untuk mengatur adegan semirip mungkin dengan aslinya. Metode ini juga melibatkan teknik-teknik dalam teater, seperti berperan, dialog, monolog, dll. Sesi dibagi dalam 3 fase, yaitu, persiapan, Action dan diskusi. Seluruh proses ini memiliki efek terapeutik untuk klien, dan bahkan juga bisa menimbulkan efek yang kurang lebih sama pada aktor pembantu dan juga penontonnya. 

Terjemahan bebas dari http://en.wikipedia.org/wiki/Psychodrama
Foto dari: satu scene psikodrama saat training Family Therapy 11-12 Oktober 2014
UNFINISHED BUSSINESS

Dalam hidup kita, selalu saja ada hal-hal yang kita sesali dari masa lalu. Dari mulai hal yang sederhana, "Aduh harusnya tadi saya beli saja sepatu itu." Sampai hal yang tidak terlupakan sepanjang hidup "Harusnya saya katakan apa yang saya ingin katakan kepada orang yang menyakiti saya."

Hal-hal yang kita sesali ini membangkitkan emosi, terutama setiap kali teringat kembali oleh diri kita. Biasanya ketika kita mengalami kejadian yang mirip dengan kejadian tersebut. Dan menariknya ada saja orang yang mengulangi respon yang sama menghadapi situasi tersebut, sekalipun mereka tahu dan sudah merasakan akibat yang pahit tersebut.

Tidak mudah bagi orang-orang tersebut untuk mengubah pola responnya dengan perilaku yang berbeda, karena mereka merasa pasti tidak mampu melakukannya atau tidak cukup siap menghadapi konsekuensinya. Bagi mereka, lebih baik melakukan hal yang sama dan menghadapi akibat yang sudah mereka tahu sekalipun tidak nyaman, daripada mencoba perilaku baru yang mereka tidak tahu bagaimana akibatnya. Seperti orang yang menggoreng dan makan ikan asin setiap hari padahal ia tidak suka ikan asin. Ia lakukan itu karena ia tidak tahu ada makanan lain dan tidak tahu cara memasak yang lain selain menggoreng ikan asin.

Dalam ruang-ruang konsultasi psikologi. Tema-tema unfinished bussiness ini sangat banyak, bahkan boleh dikatakan mayoritas masalah adalah unfinished bussiness. Sekalipun trigger masalahnya muncul pada saat ini. Misalnya diputuskan pacar, diejek teman, kesulitan adaptasi dalam pekerjaan, dll. Namun bila ditelusuri maka akan mengakar pada peristiwa di masa lalu yang belum diselesaikan.

Tidak harus persis sama masalahnya, karena kecil kemungkinannya diputuskan pacar pada usia kanak-kanak. Akan tetapi selalu ada scene/kejadian dalam hidup kita di mana kita konflik dengan teman dan teman tidak mau main lagi dengan kita. Ketika kedekatan dan "kebergantungan" kita pada teman itu begitu besar, maka teman yang ogah main itu akan sangat memukul perasaan kita. Penyelesaian masalah saat itu yang akan berimbas pada bagaimana kita menghadapi masalah-masalah yang polanya mirip di masa depan.

Menyadari jangkauan efek yang sangat jauh melintasi waktu yang tidak terbayangkan, maka menjadi penting bagi kita membimbing anak-anak kita bagaimana caranya coping problem yang dihadapi sejak dini. Bukan karena masalahnya masih gampang maka kita bisa abaikan, tapi justru karena masih gampang maka akan lebih mudah bagi kita untuk menemukan langkah-langkah penyelesaian yang lebih pendek dan segera.

Bagi anak dengan kemampuan berpikir yang terbatas, pengalaman masih sedikit, suatu masalah sederhana pun menjadi luar biasa. Kebiasaan;
- menertawakan kesulitan anak
- mengatakan "Sudah, masa gitu aja dipikirin"
- mengatakan "Anak lain saja bisa, masa kamu gak bisa"
- mengatakan "Harusnya kamu pakai cara ini .... "
semuanya tidak cukup powerful untuk membimbing anak belajar mengelola emosinya sendiri dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Tuntaskan masalah di masa lalu, agar tidak menjadi kerikil di masa depan. Ajarkan anak menyelesaikan masalahnya yang "kecil" di masa kecil, sehingga tidak menjadi masalah dan beban "besar" di saat besar.
LOVE AND TRUST

Dalam relasi yang sangat dekat seperti antara orangtua dengan anak atau suami dengan istri, maka rasa cinta dan percaya adalah seperti semen dan batu bata untuk membangun rumah dengan dinding yang kokoh. Keduanya merupakan elemen penting yang dibutuhkan. 

Ketika menghadapi kasus-kasus pernikahan, ketika cinta hilang dan rasa percaya sirna, terbersit dalam pikiran saya, mana yang perlu dikembalikan lebih dulu. Seperti menebak mana yang lebih dulu, ayam atau telur. Cinta adalah rasa dan ia bisa ditumbuhkan. Buktinya adalah banyak pasangan yang menikah pada awalnya belum memiliki rasa saling mencintai, tapi mereka saling percaya bahwa pasangannya memiliki itikad baik untuk membina rumah tangga, maka cinta bisa ditumbuhkan dengan saling berbuat kebaikan satu sama lain.

Sementara rasa percaya terbangun dari proses berpikir. Data-data perilaku yang dikumpulkan diolah dan dicerna sehingga sampai pada kesimpulan. Semakin banyak suami/istri menunjukkan perilaku yang masuk akal dan positif, maka semakin banyak data yang menunjukkan bahwa ia layak dipercaya.

Mencatat perkataan mereka yang kehilangan kepercayaan pada pasangannya;
"Masak bu, hp dia pakai password, saya gak boleh baca sms-nya, bbm-nya dan siapa saja yang menelpon dia, Memangnya saya ini siapanya? Saya kan bukan orang lain, saya pasangannya "

"Saya pasang GPS di telponnya Mbak. Kemudian saya telpon dia. Dia bilang ada di kantor, padahal di GPS-nya dia sedang ada di mall. Bagaimana saya bisa percaya pada dia kalau begitu"

"Saya gak percaya kalau dia masih sayang sama saya bu. Dia ketus betul kalau bicara pada saya. Di depan orang lain saja dia kelihatan baik pada saya. Di rumah saya dicuekin. Saya benar-benar tersiksa bu"

"Dia bilangnya cinta sama saya bu, tapi ternyata tiba-tiba ada orang telpon saya, bilang kalau suami saya mengajaknya menikah, sakit hati saya bu"

"Mamaku gak sayang sama aku, kalau dia sayang dia gak akan maksa-maksa aku melakukan hal yang aku gak suka. Mama harusnya ngasih apa yang aku mau"

Ketika perilaku dipersepsikan bukan manifestasi dari kepedulian, cinta dan kasih sayang, maka rasa percaya itu luntur bahkan hilang. Dalam konteks hubungan suami-istri, jalan perceraian kerap dipilih setelah pertengkaran yang terus-menerus. Namun dalam hubungan orangtua-anak hal ini menjadi lebih rumit. Karena ikatan darah yang terbentuk dan kebergantungan tidak bisa dilepas. Tapi bahwa hubungan menjadi renggang dan kecemasan terjadi baik pada anak maupun orangtua adalah akibat yang umum.

Dalam hubungan yang kritis, ketika cinta hilang tapi masih ada trust, maka hubungan masih bisa berlangsung. Bahkan cinta itu bisa ditumbuhkan kembali. Tapi ketika trust yang hilang, maka sekalipun cinta masih ada, tidak cukup memadai untuk mempertahankan hubungan.

Sekarang saya paham pada latar belakang munculnya nasihat orangtua zaman dulu pada anak perempuannya. (Note: nasihat-nasihat ini saya kumpulkan dari berbagai pihak terutama para klien )

"Di rumah, dia suami kamu, tapi di luar kamu gak perlu tanya-tanya apa yang suami kamu lakukan daripada kamu sakit hati"

"Jangan berikan semua cinta kepada pasangan kamu, karena kalau nanti pasangan kamu mengkhianati kamu akan menyesal dan akan sangat membencinya"

"Kamu harus bisa kerja dan cari uang, soalnya kalau nanti suami kamu ada apa-apa (sambil ketok-ketok meja), kamu sudah bisa cari uang sendiri dan gak harus bergantung pada dia"

Saya kira nasihat-nasihat itu muncul dari pengalaman traumatis banyak orang. Sehingga berangkat dari asumsi yang terbatas. Semuanya mengasumsikan bahwa pasangan berpeluang besar untuk melakukan hal buruk di luar rumah dan saat ada kesempatan. Nasihat-nasihat itu sendiri pun sudah didasari oleh tidak adanya trust.

*Hubungan akan selalu pasang surut dan menghadapi tantangan. Niat dan tujuan yang baik, komunikasi terbuka dan rasa saling percaya adalah hal-hal yang perlu terus dibina bila kita ingin hubungan tetap berlanjut.

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...