Sabtu, 22 November 2014

PREVENTIF DAN KURATIF

Sebuah buku dari zaman kuliah yang masih saya buka hingga saat ini ketika mencari rujukan adalah buku "How to Help Children with Common Problem" karangan Schaefer. Buku ini bagus untuk pegangan bagaimana menghadapi masalah-masalah umum pada anak dan remaja. Menariknya adalah, bahwa buku ini masih cukup relevan untuk memahami, memetakan dan mencari alternatif penyelesaian masalah perkembangan anak, sekalipun zaman berkembang terus. Rasanya mentalitas manusia tetap sama saja, sekalipun sains dan teknologi berkembang pesat.

Saya ingin bicara tentang sistematika penulisan buku ini.
Pertama adalah berbicara mengenai definisi problem spesifik yang sedang dibicarakan, misalnya tentang perasaan tidak aman, ketidak matangan, gangguan kebiasaan, underachiever, dll.
Kedua berbicara tentang penyebab dan latar belakang munculnya problem tersebut.
Ketiga bagaimana tindakan preventif-nya
dan keempat, penanganan bila masalah sudah kepalang terjadi.

Pengalaman saya dalam praktek konsultasi, 20-30 persen orangtua datang sebelum masalah terjadi. Biasanya diawali dengan permintaan psikotes. Entah itu untuk mengetahui minat bakat atau untuk penjurusan masuk SMA dan perguruan tinggi. Diskusi yang terjadi terkendali, logis dan sistematis. Lebih mudah bagi saya mengacu pada teori dan berbicara secara rasional.

Sisanya adalah orangtua yang datang ketika masalah sudah menjadi berat. Anak atau remaja yang menghadapi masalah pun kerap kurang kooperatif. Kehilangan trust, dan apatis. Orangtua kadang hanya satu orang yang datang, kadang berdua dan seringkali suasana konsultasi menjadi emosional. Menangis dan saling menyalahkan cukup kerap terjadi. Sehingga proses konsultasi pun berlangsunga lebih lama.

Menyadari bahwa jauh lebih mudah dan beban emosinya lebih ringan apabila kita mendahulukan tindakan preventif sehingga sedapat mungkin dapat menghindari masalah yang terprediksi. Maka sejak beberapa tahun terakhir saya memutuskan untuk memberikan ruang preventif lebih besar dengan memberikan materi-materi parenting pada orangtua dan guru agar sedapat mungkin mereka menghindari dan melakukan antisipasi terhadap masalah yang dapat terjadi dalam perkembangan anak dan remaja.

Tetapi selalu saja ada masalah yang tidak dapat dihindari. Baik karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan, masalah yang kompleks dan tidak sempat tertangani, dan penyebab lainnya. Sekalipun "penyebab" sudah dapat tertangkap, namun sangat tidak pantas untuk menyalahkan klien. Karena dalam hidup ini semua hal adalah pembelajaran dan "melihat ke depan" jauh lebih memberdayakan daripada berhenti terlalu lama karena menyesali masa lalu.

Pendekatan terkini dalam konseling dan terapi pun sudah menambah porsi "melihat ke depan" daripada "melihat ke belakang" karena ternyata ditemukan bahwa bila kita mengacu pada harapan, kekuatan, tujuan besar di depan membuat energi mental menjadi positif dan lebih bersemangat.

Selasa, 18 November 2014

PERLUKAH MEMBERI TAHU ANAK TENTANG MASALAH KELUARGA?

"Bu, tolong beritahu anak saya, kalau kami bercerai ..."

"Lho, kanapa saya yang harus menyampaikan?"

"Kami gak tega bu, ini juga kami sebetulnya sudah berbulan-bulan berpisah dan tidak memberi tahu anak-anak. Tapi sekarang anak-anak bertanya terus, 'Kenapa papa pindah rumah, kenapa aku ketemu papa cuma Sabtu Minggu, dan kalau ketemu papa, mama gak ikut?"

"Maaf, bukan saya yang harus menyampaikan hal sebesar dan sepenting ini pada putra putri bapak ibu. Bapak dan ibu yang harus melakukannya ... "

---------

Orangtua kerapkali menganggap bahwa anak tidak perlu tahu urusan keluarga. Mereka tidak mau anak menjadi sedih, atau anak ikut campur dalam urusan keluarga. Misalnya saja, orangtua tidak memberi tahu kondisi ekonomi keluarga. Orangtua berusaha membuat anak senang dengan memberikan apa yang diinginkan oleh anak. Orangtua tidak mau anak menjadi minder karena tidak memiliki apa yang dimiliki oleh anak lain. Anak tetap dibelikan sepatu yang mahal, padahal untuk itu orangtua harus bekerja membanting tulang, bahkan berpuasa demi keinginan anaknya.

Atau orangtua tidak memberi tahu anak bahwa mereka merencanakan kehadiran anak yang lain. Mereka menganggap bahwa menambah anggota keluarga adalah hak orangtua, dan anak tidak perlu dilibatkan. Anak harus siap dan harus menerima kehadiran anggota baru, dan tidak didengarkan pendapat dan perasaannya. Sering terjadi, kakak menjadi cemburu akan kehadiran adiknya. Yang bila hal itu dibiarkan dan tidak segera ditangani akan terbawa hingga dewasa.

Kabar buruk, seperti perceraian atau meninggalnya salah seorang anggota keluarga, juga kerap dihindari orangtua. Orangtua memilih "tangan" lain untuk menyampaikannya. Orangtua tidak siap menghadapi kesedihan anak. Bisa dipahami bahwa mungkin orangtua pun berada dalam kondisi emosi yang tidak menentu. Tapi hal itu bukan alasan bagi orangtua untuk tidak menyampaikan masalahnya pada anak, apa adanya. Karena semakin ditutupi, maka anak menjadi semaki gelisah dan bingung. Anak merasakan adanya energi negatif dari masalah, tapi tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

Jadi pertanyaannya, kapan dan sejauh apa kita harus memberi tahu anak tentang urusan keluarga?

Orangtua perlu memberi tahu anak sesegera mungkin, dan ketika urusan itu terkait langsung dengan anak.

Masalah ekonomi berkaitan langsung dengan anak, karena anak perlu belajar untuk berhemat, hidup sederhana, berempati terhadap kesulitan orangtuanya dan menghargai usaha yang dilakukan orangtua.

Kehadiran anggota keluarga baru (adik, pembantu, nenek/kakek, famili) juga akan melibatkan anak. Mereka akan berinteraksi dengan anggota baru tersebut. Sehingga akan jauh lebih baik, bila anak sudah diajak bicara sebelum anggota baru itu hadir. Orangtua juga perlu menyampaikan perilaku apa yang diharapkan dari anak. Adapatasi apa yang terjadi, dan terutama jaminan, bahwa anak tidak akan kekurangan cinta. (Tema besar kehadiran anggota baru adalah kehilangan cinta, perhatian, kebebasan dan berubahnya pola hidup).

Perceraian, perpisahan, kematian atau kehilangan anggota keluarga juga pada dasarnya sama. Karena berarti ada yang berubah dan kita perlu beradaptasi. Maka anak juga perlu diberi tahu sejak dini dengan bahasa yang mudah dicerna. Betul, anak akan sedih. Namun ini juga kesempatan bagi orangtua untuk mengajarkan bagaimana menghadapi perubahan dan menghandle emosi yang tidak nyaman.

Memberi tahu anak urusan keluarga pada waktu dan dengan cara yang tepat, menyampaikan pesan bahwa kita sebagai orangtua bertanggung jawab, siap menghadapi resiko, menghargai keberadaan anak dan percaya pada mereka.

Senin, 17 November 2014

BUANG AIR BESAR VERSUS MENGUNGKAPKAN KEKECEWAAN/KEMARAHAN
(Tinjauan Psikologi Perkembangan)

"Bu, anak saya buang air besar di celana di sekolah. Padahal dia sudah usia 5 tahun dan selama ini sudah bisa buang air besar sendiri. Sekarang dia malu pergi ke sekolah bu, soalnya sejak kejadian itu teman-temannya mengganggu dia. Pasti ada yang gak beres dengan teman-temannya, bu.
Apa saya harus memindahkan sekolah anak saya ... ?"

Seringkali orangtua atau guru melihat masalah hanya dengan menilai ujungnya saja, atau tampilan perilaku yang bermasalah saja. Padahal perilaku yang muncul, itu seperti puncak gunung es. Hanya sedikit yang terlihat, sementara penyebabnya yang jauh lebih besar tidak kasat mata. Karena tidak kasat mata, maka kerap terabaikan untuk ditangani.

Penyelesaian masalah pada umumnya tidak bisa hanya satu cara. Hal ini karena munculnya perilaku bermasalah, biasanya adalah hasil dari akumulasi kondisi. Beberapa pendekatan dan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah di atas.

Bila perilaku bermasalah terjadi berulang dan menunjukkan pola. Maka dibutuhkan pendekatan Stimulus-Respon. Pola yang dimaksud di sini adalah ketika perilaku bermasalah secara konsisten muncul karena suatu stimulus (S) tertentu dan menimbulkan respon (R) serta konsekuensi (C) berupa emosi baik positif maupun negatif.

Misalnya, bila anak cemas (S) maka ia tidak dapat mengontrol otot-otot sphincter pembuangan (R) yang menyebabkan ia menjadi buang air besar tanpa kendali. Kondisi ini menyebabkan perasaan malu dan cemas yang lebih besar (C).
Maka ananda perlu belajar untuk menghandle rasa cemasnya terlebih dahulu, sehingga ia dapat lebih mengendalikan diri dan otot-otot sphincter-nya.

Perlu dicari apa yang menjadi penyebab munculnya rasa cemas di awal. Untuk itu, guru dan orangtua perlu melakukan observasi atau pengamatan yang cermat. Situasi seperti apa (S) yang biasanya menjadi penyebab anak menjadi cemas. Bila sudah ditemukan, maka anak perlu belajar untuk melakukan solving atau coping terhadap situasi tersebut, sehingga ia bisa mengurangi tingkat kecemasannya.

Teknik relaksasi dengan bernafas perlahan dan membaca istighfar perlahan juga bisa dilakukan, saat anak merasa cemas dan gelisah.

Olah raga, berlari, berenang, memukul sansak adalah beberapa aktivitas yang bisa menjadi penyaluran energi mental yang berlebihan.

Latihan mengerutkan dan melemaskan otot sphincter bisa dilakukan pada saat anak santai dan tidak dalam kondisi cemas. Latihan ini bisa dilakukan sambil bermain. Misalnya berbaring dan anak mengangkat kedua kakinya. Lebih seru lagi bila seluruh keluarga melakukannya, sehingga anak merasa memperoleh dukungan.

Hal yang cukup penting dalam kaitannya dengan kasus BAB adalah, biasanya terkait dengan kurangnya kesempatan anak untuk mengungkapkan ketidakpuasan, kekecewaan atau kemarahan terutama kepada orangtuanya. Oleh karena itu orangtua perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan anak, menerimanya, tidak memarahi saat ia menyatakan kekesalannya, namun mengajarkan cara yang lebih baik untuk mengungkapkan ketidakpuasan.

Sekalipun orangtua yakin bahwa pendapat mereka adalah benar, namun jangan halangi anak untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan juga kekecewaannya. Jangan paksa anak untuk diam dan menerima. Karena hal itu membuat anak terpaksa memendam energi negatifnya, dan tidak tahu caranya untuk menyalurkan dengan cara yang tepat.

Bila orangtua ingin memberi tahu bahwa mereka yang benar. Lakukan setelah anak selesai mengungkapkan kekecewaannya.

*Berikan jaminan bahwa orangtua mencintai anak. Terima kekecewaan dan ketidakpuasannya, maka Insya Allah anak tahu bahwa ia bisa percaya dan menyampaikan kesulitannya pada orangtuanya.

Hal ini akan menjadi keuntungan saat anak bertambah besar dan ia mengalami berbagai kesulitan dalam hidupnya. Ia tahu bahwa ada orang yang akan selalu membuka tangan, menerima dan mendukung dirinya, yaitu orangtuanya.

Minggu, 16 November 2014

PERAN 
(Dalam konteks pernikahan)

Kita memiliki berbagai peran dalam hidup. Peran-peran yang kita pandang penting, kita jadikan prioritas. Baik dari sisi alokasi waktu, perhatian dan juga usaha yang kita tampilkan. 

Peran yang paling utama dan perlu kita prioritaskan seyogyanya adalah peran-peran yang sesuai dengan visi misi hidup kita. Peran yang membawa kita lebih mendekatkan diri pada pencapaian target jangka panjang. Peran-peran yang bila kita jalankan akan mendekatkan kita pada kebahagiaan hakiki, dunia dan akhirat.

Namun adakalanya kita memilih menjalani peran yang sebetulnya bukan itu yang paling utama. Peran jangka pendek, peran yang menawarkan kebahagiaan semu, peran yang bahkan mungkin menjauhkan kita dari peran yang utama.

Seseorang bisa saja memiliki belasan peran. Sebagai seorang anak, suami/istri, adik/kakak, paman/bibi, karyawan, dosen, tetangga, ketua RT, dll. Mana yang akan kita prioritaskan? Ada saja orang yang menjawab, "Semuanya penting." Jawaban seperti ini menunjukkan kekurangmampuan untuk memilah yang penting dan lebih penting. Jawaban yang berpotensi menimbulkan kegalauan dan kesulitan dalam pengambilan keputusan.

Masalahnya adalah, kita semua punya batas waktu dan batas kemampuan. Ada yang bisa dengan baik menyandang banyak peran, namun juga ada yang hanya bisa fokus pada beberapa peran saja.

Dalam konteks pernikahan, bagaimana kita membuat prioritas dan menjalankan peran, akan menjadi sangat penting untuk mempertahankan pernikahan. Pada umumnya ketika bercerita mengenai hal apa yang paling penting dalam hidup ini. Banyak orang menjawab “keluarga dan kebahagiaan.” Hal yang paling penting ini yang mendorong mereka untuk melakukan berbagai hal.

Adakalanya orang tidak habis pikir. Ia merasa sudah melakukan banyak hal untuk pernikahan dan keluarganya, seperti misalnya bekerja habis-habisan dari pagi sampai sore, tapi ternyata muncul masalah yang menyebabkan relasi suami-istri atau orangtua-anak menjadi retak. Mengapa suatu aktivitas yang dilakukan untuk membahagiakan keluarga, tapi justru malah membuat hubungan keluarga menjadi renggang.

Dalam sebuah sesi training, saya meminta peserta menuliskan peran-peran yang dipandangnya penting. Seorang laki-laki (sudah menikah dan mempunyai anak) menuliskan perannya sebagai ayah, karyawan, kakak, paman, dst. Menariknya adalah dia tidak menuliskan peran sebagai suami.

Saya bertanya, "Mengapa tidak menulis peran sebagai suami?"
Ia bertanya balik, "Memangnya harus? Kan sudah termasuk dalam peran sebagai seorang ayah."
“Lalu, apa yang dilakukan bapak agar istri tetap cinta pada bapak?”
Bapak tersebut menjadi gelagapan, kemudian dia menjawab, “Errrr .... istri kan sudah seharusnya patuh dan mengikuti perintah suami”
“Apa yang bapak lakukan, agar istri bapak ikhlas mengikuti perintah bapak sebagai suami?”
Dan sang bapak tercenung, matanya menerawang, ia tak menjawab pertanyaan saya lagi.

Adakalanya ketika orang-orang penting di sekitar kita bersikap submisif, pasif dan tidak menuntut haknya, kita lupa bahwa jangan-jangan mereka lah orang-orang yang sebetulnya harus dipertahankan dan dilayani terlebih dahulu oleh kita. Kita serta merta menyalahkan mereka ketika mereka mulai berjarak dari diri kita. Lupa bahwa kita lah yang membuat jarak terlebih dahulu dengan tak memberikan perhatian.

*Kita menginginkan kebahagiaan dalam keluarga.
Apakah kita yakin bahwa yang kita lakukan membuat diri kita dan anggota keluarga kita berbahagia?
TEORI VERSUS PRAKTEK

Saat masih duduk di bangku kuliah, konsep dan teori-teori psikologi dengan lahap disantap dan dicerna. Saat menyelesaikan studi, dengan semangat tinggi dan idealisme yang begitu kuat ingin menerapkan teori-teori yang dipelajari tersebut.

Apa dinyana, realita tak sesederhana teori. Apalagi untuk teori-teori psikologi yang memiliki cukup banyak relevan faktor. Ada banyak persyaratan untuk bisa sampai pada pencapaian yang paling optimal. Seringkali ketika ada jarak yang lebar antara kondisi ideal dan realita yang ada, yang terjadi adalah kekurangsabaran, sikap menuntut atau sebaliknya sikap apatis karena putus asa. Dan tetap saja "kesempurnaan" itu tidak pernah tercapai. Jalan yang paling logis sebetulnya adalah menerima yang ada dan bersyukur atas pencapaian yang diraih, seraya tetap berusaha.

Ketika psikologi perkembangan berbicara tentang pentingnya cinta dan kasih sayang untuk perkembangan emosi anak yang sehat. Tiba-tiba hadirlah anak-anak yang kehilangan kasih sayang, yang menunjukkan protesnya melalui perilaku agresi. Ayahnya tak ada, juga ibunya. Benar, teori bisa menjelaskan mengapa hal demikian bisa terjadi. Tapi siapa yang bisa "dipaksa" menjadi orangtua yang bisa memberikan kasih sayang yang penuh?

Ketika panduan detail untuk pengembangan anak berkebutuhan khusus diperoleh. Disadari bahwa dibutuhkan persyaratan waktu, ilmu, biaya, tenaga dan kesungguhan dari orangtuanya. Tiba-tiba hadirlah seorang ibu dengan anak autisnya. Ia sedih dan lelah. Suaminya pergi dengan menyalahkan sang ibu yang melahirkan anak autis. Sang ibu merasa tak mungkin pergi juga meninggalkan anaknya, meskipun ia benar-benar berada dalam kondisi putus asa tak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Di titik ini panduan ideal tersebut menjadi seolah tak berarti, karena sekalipun sang ibu tahu bahwa ia perlu melakukan banyak hal, tapi ia merasa tak berdaya.

Ada banyak lagi realita lainnya, yang bila diuraikan bisa membuat tercenung. Bagaimana menyelaraskan konsep-konsep ideal tersebut dalam kondisi realita yang ada.

Dan ternyata kegamangan tersebut nampaknya bukan hanya pada bidang psikologi. Saya melihat bahwa dalam banyak area, agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, sains, teknik, dll semua hal ini terjadi.

Ketika berbicara tentang agama yang diyakini benar, ternyata realitanya adalah kita dihadapkan pada ragam value dan tuntutan untuk hidup berdampingan dengan damai.

Ketika berbicara tentang kebahagiaan yang dicapai dengan kemakmuran, ternyata realitanya ada orang yang miskin atau dimiskinkan oleh sistem. Mengubahnya tidak sesederhana memberi makanan, pakaian atau uang.

Ketika berbicara tentang kekuasaan dan keinginan untuk mengatur orang lain dengan cara yang kita mau. Realitanya adalah ada banyak orang yang juga memiliki keinginan yang sama dengan kepentingan yang berbeda.

Ketika kita berhasil membuat pencapaian teknologi yang tinggi, realitanya kemampuan adaptasi dan perkembangan mental kita tidak secepat perkembangan teknologi.

Teori dan konsep-konsep yang benar, tetap perlu kita pelajari, sehingga kita memperoleh gambaran dan arah yang jelas. Tapi penerapannya membutuhkan kelenturan dan kreativitas. Serta keterbukaan untuk menerima segala hal yang mungkin terjadi, kegagalan maupun keberhasilan.

Wallahu'alam

Kamis, 13 November 2014


COVERT BEHAVIOR VS OVERT BEHAVIOR

Dalam konsep psikologi, yang disebut perilaku (behavior) itu ada yang tampak (overt) dan tidak tampak (covert). Yang tidak tampak, misalnya adalah proses berpikir, imajinasi, pengolahan sensori, pengelolaan emosi, motivasi, dll. Sementara yang tampak adalah yang bisa diindra, dilihat, didengar, dirasakan.

Menilai perilaku yang tampak sudah tentu jauh lebih mudah dibanding perilaku yang tidak tampak. Dan sekalipun perilaku yang tampak adalah manifestasi dan ekspresi dari perilaku yang tidak tampak, namun kita tidak boleh gegabah menilainya. Banyak perilaku yang kelihatan sama didorong oleh motivasi dan niat yang berbeda. Sebaliknya juga banyak motivasi yang sama ditampilkan dalam bentuk perilaku yang berbeda.


Kita tidak patut mengatakan, misalnya, "Oh orang itu tidak melakukan apapun," hanya karena dia tampak diam saja. Atau, "Oh orang itu mau menyombongkan pakaiannya" hanya karena ia berpakaian lebih bagus daripada orang lain di sekitarnya. Jangankan orang yang tidak memiliki ketrampilan, bahkan orang yang sudah mempelajari mengenai sifat dan perilaku manusia pun dibatasi dengan kode etik untuk bisa menilai orang lain.

Oleh karena itu sungguh luar biasa "berani" mereka yang menuduh, melabel dan menyimpulkan niat seseorang hanya dari perilaku yang tampak dan terbatas. Tidak mengambil sample sebanyak-banyaknya, tidak melakukan cross check, tidak melakukan konfirmasi langsung. Tidak bersikap kritis terhadap dugaannya sendiri. Dan banyak hal lainnya yang tidak dilakukan yang menyebabkan nilai pendapatnya menjadi kurang valid.

Jangankan dari sudut pandang psikologi yang kabarnya hanya ilmu manusia. Bahkan agama pun melarang untuk berprasangka. Karena sebagiannya adalah dosa ....

Wallahu'alam

Selasa, 11 November 2014

RINGANNYA MENCARI KESALAHAN, MENUNJUKKAN APA?

Tulisan ini dimaksudkan terutama sebagai refleksi bagi diri saya sendiri.

Dalam ruang konsultasi adalah sangat biasa saya menemukan klien yang menyalahkan pihak lain atas masalah yang dihadapinya. Mungkin sekitar 90 persen jumlahnya. Kalau seorang remaja yang hadir, maka ia akan menyalahkan orangtua, adik/kakaknya, teman, atau guru. Kalau seorang istri yang datang, maka ia menyalahkan suami, ibu mertua, ipar atau tetangganya. Kalau seorang ibu yang datang, ia menyalahkan anaknya, anak tetangganya, guru anaknya, teman anak di sekolah, hape anaknya, games, dll. Kalau seorang bapak yang datang, ia menyalahkan anaknya, ibu anaknya, media sosial, film, TV, sistem pendidikan, menteri sampai presiden. Bahkan tidak jarang yang menyalahkan negara dan Tuhan. Relatif jarang yang menyalahkan dirinya sendiri.

Ternyata itu bukan hanya di ruang konsultasi saja. Dalam keseharian pun demikian.

Sekumpulan ibu-ibu menunggu anak TK-nya di sekolah,
"Anak saya itu lho jeng, ampun deh susah bener makannya. Diemut melulu sambil main games. Sampai susah saya maksa buka mulutnya."

"Eh lebih lebih anak saya Mbak. Si abang itu kalau sudah main games dipanggil pun gak noleh. Sampai cape saya manggilnya. Si Mbak-nya lagi, bukannya si abang dijagain eh malah dia pacaran sama supir tetangga."

Bapak-bapak di kantor ngobrol sambil minum teh hangat.
"Pemda ini apa aja sih kerjanya, masa macet di mana-mana. Kalau saya gak ambil jalur busway tadi, bisa jam berapa saya masuk kantor"

"Habisnya pada korupsi sih di mana-mana. Gak beres begini jadinya negara kita. Saya pak tadi pagi ambil jalan potong. Eh pak polisi itu iseng banget, biasanya gak ada polisi di situ, tadi pagi malah dia jaga di situ. Kena deh saya. Kalau saya gak kasih uang, jadi lama perkara."

Di media sosial, kesenangan menyalahkan pihak lain atau mencari keburukan pihak lain, tersalurkan dengan baik. Kesempatan itu datang begitu mudah karena sekali click ratusan orang bisa membaca. Selain itu, si penulis bisa menutup identitasnya dengan pilihan-pilihan julukan beragam, yang mistis "Ratu Pantai Selatan", yang agak filosofis "Sang Pencari Kehidupan," yang patriotis "Pemuda Pembela Keadilan" atau yang lebih religius "Sang Pencari Hikmah" belum lagi para ABG dengan nama-nama anehnya "Kucingkejepitpintu" "Jomblomenantigadis" dll.

Kalau saya membaca komen seorang penyanyi di Youtube misalnya, orang luar negeri bisa begitu menghargai dan memuji penyanyi Indonesia, yang luar biasanya didegradasi oleh orang Indonesia sendiri. Pemimpin-pemimpin kita, dibully habis oleh rakyatnya, karena kekurangnya dan menafikan kelebihannya. Padahal ternyata kebijakan dan keputusan-keputusan mereka diakui dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain.

Pantaslah mengapa dalam budaya kita ada peribahasa "Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan terlihat." Saya penasaran, adakah pepatah semacam itu dalam budaya lain?

Sekarang saya menengok diri. Ada yang salah kelihatannya dengan cara berpikir kita. Kebiasaan mencari kesalahan dan keburukan itu mengkristal dan menjadi penyakit hati dalam diri. Kita menjadi orang-orang yang kurang bersyukur dan tidak menghargai penciptaan Allah. Dalam konteks psikologi, itu menunjukkan juga kita adalah orang yang memiliki konsep diri negatif. Merasa kurang dan rendah dan merasa harus melindungi diri dengan cara melihat keburukan orang lain. Kita merasa "selamat" ketika melihat keburukan orang lain dan menghibur diri, "Tenang saja, ada lho orang lain yang lebih buruk dari kamu ..."

*Saya bukan orang yang steril dari pengaruh, jadi saya meminta bantuan siapa pun untuk mengingatkan saya bila saya melakukan hal yang sama seperti di atas. Sibuk memikirkan keburukan orang lain, dan lupa memperbaiki diri.
Bismillah ...

Sabtu, 08 November 2014

PETA MASALAH
(Konteks psikologi perkembangan)

Masalah-masalah yang dihadapi dalam klinik konsultasi psikologi perkembangan (bayi-remaja) pada umumnya berkisar masalah yang terkait dengan: 

1. Perubahan perilaku yang terkait dengan perkembangan. 
Masih banyak orangtua kurang menyadari bahwa dalam setiap tahapan perkembangan, mulai kelahiran hingga usia remaja, individu memiliki ciri khas perilaku. Di samping itu juga selalu ada kerentanan pada setiap tahap perkembangan, yang bila kurang diantisipasi maka akan menimbulkan masalah selanjutnya.

Misalnya, pada usia bayi, maka anak perlu memperoleh stimulasi yang cukup dalam hal sensori, motorik dan keseimbangan. Bila stimulasi dalam area ini diabaikan, maka akan menimbulkan masalah dikemudian hari, baik dari area yang terkait maupun menyangkut emosi.

Contoh lain adalah pada masa remaja. Remaja mengalami perubahan terutama dari sisi emosionalnya karena perubahan drastis terjadi pada seluruh aspek perkembangannya. Kondisi perubahan yang cepat ini menyebabkan kegamangan dan sensitivitas yang tinggi. Di titik ini, masih kerap dijumpai orangtua yang kurang menyadari dan juga malah terbawa emosi saat menghadapi remaja yang perilakunya menantang.

2. Perbedaan, kekhususan atau keunikan pada individu
Tak ada manusia yang diciptakan sama. Perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya bisa tipis namun bisa juga bisa sangat lebar. Perbedaan itu pun juga meliputi berbagai area. Mulai dari kondisi fisik, sensitivitas emosi, kecekatan motorik, daya tangkap, kemampuan sosialisasi, dll. Ada yang menyandang ketunaan, disfungsional hingga kesempurnaan yang variatif.

Harapan dan preferensi anak dan orangtua akan teruji saat anak atau orangtua menghadapi realitas yang tidak sesuai dengan harapannya.

Misalnya, orangtua menginginkan anak yang cerdas, ternyata anaknya tidak secerdas dan sepintar yang diharapkannya. Atau contoh lain adalah bagaimana para orangtua yang memperoleh amanah istimewa ketika menerima anak berkebutuhan khusus (ABK)

Berbagai alasan yang menyebabkan orangtua menjadi kurang tepat menangani, antara lain karena ketidaktahuan, ketidakmapuan maupun penolakan. Perbedaan alasan ini menyebabkan pendekatan dalam penyelesaian masalah menjadi berbeda-beda.

3. Pola asuh dan komunikasi orangtua dalam keluarga
Orangtua memiliki value, pengalaman, kebiasaan dlsb, yang secara langsung mempengaruhi cara pandangnya terhadap anak, proses komunikasi dan bagaimana ia menetapkan aturan di rumahnya. Atau semua itu dikatakan sebagai pola asiuh dalam keluarga.

Contohnya, adalah ketika orangtua memandang anak sebagai pekerja atau bawahan. Maka pola komunikasi yang dibentuk pun menjadi direktif dan top-down. Orangtua tidak memberikan perhatian memadai terhadap potensi dan kompetensi anak.

Btw, tulisan tentang pola asuh ini ada pada posting-posting sebelumnya.

4. Perubahan karena kondisi situasional baik yang terjadi karena kesalahan pengambilan keputusan maupun situasi yang tidak diduga.
Masalah perceraian, salah satu atau kedua orangtua meninggal, KDRT, pelecehan seksual, kemiskinan, tekanan lingkungan, konflik masyarakat dsb. juga mempengaruhi perkembangan anak.

Seorang ibu yang stress dan depresi terus menerus karena mengalami KDRT, akan mempengaruhi pengasuhan anaknya. Di saat ibu belum cukup berhasil untuk menyelesaikan masalah-masalah emosinya, maka anak pun akan menjadi terpengaruh. Anak dalam kondisi seperti ini akan menunjukkan tuntutannya. Dan karena keterbatasa verbal, maka cara menunjukkan tuntutan dan perhatian akan lebih banyak menggunakan bahasa fisik dan emosi. Sayangnya orangtua kerap salah memberi arti. Mereka menganggap anak kurang bersung-sungguh dan sengaja membuat kesal.

*Lakukan analisis sederhana terhadap masalah yang dihadapi, maka lebih mudah bagi orangtua untuk memahami peta masalah. Sehingga penanganannya pun menjadi lebih fokus pada akar permasalahan daripada terhadap gejala yang muncul.

Senin, 03 November 2014

POLA ASUH DALAM KELUARGA

Pola asuh adalah pola interaksi antara orangtua dan anak yang meliputi pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikologis termasuk juga proses pembelajaran mengenai norma dan value untuk beradaptasi di lingkungan.

Setiap keluarga mempunyai pola asuh yang berbeda. Bahkan kadang dalam satu keluarga pun mungkin saja menerapkan pola asuh yang berbeda kepada anak-anaknya.

Hal-hal yang menyebabkan pola asuh berbeda-beda, antara lain

• Karakter orangtua
Orangtua yang banyak bicara berbeda pendekatan dengan orang tua yang tidak banyak bicara

• Pengalaman atau pola asuh yang pernah diterima orangtua
Kalau orangtua dulu diperlakukan keras oleh orangtuanya, maka pengalaman tersebut, baik positif ataupun negatif akan mendasari pilihan pola asuh apa yang akan diterapkannya saat ia memiliki anak.  

• Karakter anak
Anak yang dianggap "bandel" kerapkali mengalami perlakuan yang berbeda dari orangtuanya

• Usia anak
Orangtua seringkali juga menerapkan pola asuh yang berbeda tergantung usia anak. Misalnya, ketika anak masih kecil orangtua permissif, segala hal keinginan anak dipenuhi. Tapi ketika anak beranjak dewasa, tiba-tiba ada sangat banyak aturan yang membatas.

• Cara pandang orangtua terhadap anak
Cara pandang orangtua terhadap anak, juga berpengaruh terhadap pola asuh orang tua, antara lain, 

Orangtua yang memandang anak adalah PESURUH, maka menganggap anak tidak memiliki pengetahuan memadai sehingga harus selalu diberi tahu. Orangtua juga memandang anak tidak memiliki inisiatif sehingga harus selalu disuruh. Dan anak dipandang tidak memiliki hak untuk menentukan sehingga harus selalu diatur.

Orangtua yang memandang anak sebagai RAJA, maka orangtua beranggapan anak harus selalu merasa senang dan tak boleh mengalami kesedihan. Orangtua berusaha memenuhi keinginan anaknya sekalipun orangtua berada dalam keterbatasan. Orangtua biasanya tidak tahan melihat anak menangis dan menghadapi kesulitan, sehingga orangtua selalu membantu atau bahkan mengambil alih tanggung jawab anak. Hingga anak sudah besar sekalipun.

Ada orangtua yang menganggap anak adalah TEMAN. Sehingga orangtua memandang anak memiliki kemampuan, dan bisa diberi kepercayaan. Orangtua memandang anak memiliki perasaan, sehingga perlu didengarkan. Orangtua memandang anak bisa melakukan kesalahan tapi juga melakukan hal yang benar, sehingga perlu diberi kesempatan mengalami kesalahan dan belajar dari kesalahannya.

Ada orangtua yang menganggap anak adalah PENGGANGGU. Orangtua seperti ini biasanya tidak siap atau tidak mengharapkan memperoleh anak. Misal, anak lahir di luar nikah, ibu sedang kuliah/bekerja, usia ibu sudah lanjut, masalah dalam relasi suami istri. Anak yang lahir dan tidak sesuai dengan harapan orangtua, misalnya Cacad, ABK, gangguan perilaku atau berjenis kelamin tidak sesuai harapan, juga kerap dianggap sebagai anak pengganggu.

Maka kondisi-kondisi ini yang menyebabkan perlakuan orangtua pada anak menjadi berbeda. 

Hal yang menjadi kata kunci untuk membedakan pola asuh satu dengan pola asuh yang lain, sehingga kita bisa mengidentifikasi di posisi mana kita berada, adalah terkait dengan adanya DUKUNGAN dan TUNTUTAN kepada anak, atau tidak.

"Dukungan" adalah seberapa besar orangtua memberikan perhatian, menerima dan fokus pada kebutuhan anak, sementara "tuntutan" adalah seberapa tinggi harapan orangtua terhadap anak

Nah jadi dari sini kita bisa turunkan 4 jenis pola asuh

1. Ada dukungan ada tuntutan disebut Pola Asuh Otoritatif

2. Ada tuntutan tapi tidak ada dukungan disebut Pola Asuh Otoriter

3. Ada dukungan tapi tidak ada tuntutan disebut Pola Asuh Permisif

4. Tidak ada dukungan dan tidak ada tuntutan Pola Asuh, disebut Pola Asuh Laissez Faire atau pola asuh menolak dan mengabaikan.

Pola asuh OTORITATIF adalah pola asuh ideal. Di mana orangtua memiliki harapan terhadap anak, namun memperhatikan apa kemampuan dan kebutuhan anak. Oleh karena itu ciri khas dari pola asuh ini adalah adanya komunikasi timbal balik dan anak dipandang sebagai teman. Didengarkan keinginannya dan dipercaya bahwa ia memiliki kemampuan sendiri. Orangtua berfokus pada anak, melihat kondisi dan potensi yang dimiliki anak. Namun harapan yang dimiliki orangtua disampaikan dengan cara komunikasi sehingga orangtua tidak memaksakan kehendaknya.

Pola asuh OTORITER adalah ketika orangtua hanya menuntut saja kepada anak dan orangtua berfokus pada keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri sehingga tidak terlalu peduli pada keinginan anak. Komunikasi satu arah kerap terjadi. Dan biasanya sering muncul kata “Pokoknya kamu harus ....” Orangtua memiliki banyak harapan dalam dirinya sendiri. Kerap iri dengan orang lain, baik anak orang lain, ataupun sesama orangtua. Karenanya orangtua merasa harus bersaing sehingga mendorong anaknya melakuan hal-hal yang diinginkan orangtua. Orangtua pada pola asuh ini menganggap anak sebagai “pesuruh” yang harus mengikuti kemauan dan ketentuan orangtua.

Pada pola asuh PERMISSIF ini, yang ada adalah pemanjaan. Tidak ada tuntutan, tapi ada dukungan dari orang tua. Jadi anak boleh melakukan apa saja. Anak didengarkan keinginannya, tapi tidak ada aturan yang ditetapkan. Di sini orangtua menganggap anak seperti “raja” yang semua keinginannya dipenuhi. Biasanya pada pola asuh seperti ini, orangtua sangat takut kalau anaknya sakit, sedih, menangis. Sehingga orangtua berusaha untuk membuat anak selalu senang. Anak biasanya jago memanipulasi orangtuanya. Anak tahu dan memiliki senjata bagaimana caranya agar orangtua memenuhi keinginannya. Mulai dari cara menangis, mengancam tidak mau sekolah, maupun mengamuk.
Yang keempat adalah Pola Asuh LAISSEZ FAIRE. Susah sekali menyebutnya. Pada pola asuh ini tidak ada dukungan dan tidak ada tuntutan. Apakah ada orangtua dan keluarga yang seperti ini?
Ya dalam berbagai kadar atau ukurannya, ada saja keluarga yang seperti ini. Yaitu orangtua yang menolak dan mengabaikan anaknya. Kerap terjadi pada keluarga yang belum siap untuk memiliki anak, atau yang kelahirannya tidak dikehendaki, misalnya pada keluarga yang orangtuanya terlalu muda, MBA (married by accident), orangtua terlalu tua sehingga tidak mengira akan punya anak lagi, orangtua yang egois, anak yang lahir karena ibunya diperkosa, ibu yang mengalami proses melahirkan yang menyakitkan, anak yang lahir cacat, suami yang menyakiti istri, sehingga istri membenci anaknya, keluarga dengan anak yang sangat banyak, dlsb.
Ciri khasnya adalah tidak ada kepedulian kepada anak bahkan adanya penolakan terhadap anak. Pengasuhan yang kurang wajar, KDRT, pengucilan bahkan membuang anak, adalah sangat mungkin.
Keluarga seperti ini biasanya memiliki masalah yang beranak pinak seperti lingkaran setan, Dalam arti ketika orangtua tidak menghendaki hadirnya anak, maka penolakan tersebut akan mengakibatkan anak berespon dengan perilaku yang bermasalah. Semakin anak nakal, maka semakin benci pula orangtuanya. Dan demikian seterusnya seperti lingkaran setan. Anak-anak yang lahir dalam keluarga seperti ini, cenderung merusak dirinya. Dan sayangnya orangtua serta lingkungan kerap tidak menyadari bahwa selalu besar kemungkinan mereka lah yang menjadi sumber penyebabnya.

Sekarang mari kita cek diri kita sendiri. Di posisi mana kita berada. Mungkin tidak sepenuhnya kita berada di satu tempat, mungkin ada sedikit di sini ada sedikit di sana. Kadang begini kadang begitu. Seberapa dukungan yang kita berikan dan seberapa besar tuntutan/harapan yang kita bebankan pada anak. Yang perlu kita pikirkan juga adalah, bagaimana konsekuensi dari pilihan perlakuan dan pola asuh yang kita miliki terhadap anak kita. Apakah anak kita bahagia atau tidak, mandiri atau tidak, akhlak atau perilakunya baik atau tidak, dll.  

*Seperti layangan, kadang kita perlu menarik kadang kita perlu mengulur ...

Sabtu, 01 November 2014

WM VS FTM - yws

WM (Working Mother) dan FTM (Full Time Mother) adalah istilah populer yang sekarang digunakan untuk membedakan ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Topik ini tetap saja menarik dan nampaknya tidak akan pernah basi didiskusikan sampai kapan pun. Apakah lebih baik menjadi FTM ataukah menjadi WM. Diskusi ini semakin runcing ketika bersinggungan dengan masalah real dan praktis yaitu terkait tugas mengasuh dan mendidik anak, masalah ekonomi keluarga, hubungan suami-istri dan juga aktualisasi diri seorang perempuan. Cara pandang terhadap agama pun akan menjadikan diskusi ini menjadi menarik. Kerap kali terjadi pengkutuban yang masing-masing berkeras bahwa posisinya-lah yang terbaik.

Saya ingin mengulas hal ini dari sudut pandang beragam masalah anak yang datang pada saya. Bisa jadi mewakili populasi masalah yang ada, namun bisa juga tidak mewakili populasi yang sebenarnya.

Dari kasus-kasus yang saya terima, ternyata kesimpulan umum yang saya peroleh adalah, masalah anak tidak langsung terkait dengan apakah ibunya WM ataukah FTM. Bagaimana ceritanya?

Setiap masalah anak, berdiri sendiri. Ia memiliki latar belakang dan penyebab yang unik satu sama lain. Betul, adakalanya kondisi WM yang sibuk dan kurang dapat menyisihkan waktu untuk anak menjadi alasan pada masalah anak. Tapi menariknya masalah yang sama, bisa juga terjadi pada FTM.

Saya ambil contoh tentang kemandirian anak. Kalau kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan anak untuk melakukan sendiri tugas perkembangan sesuai usianya, maka anak bisa mandiri atau tidak adalah bergantung pada seberapa besar kesempatan yang dia peroleh untuk menuntaskan sendiri tugasnya, memperoleh bimbingan ketika belum bisa menguasai suatu keahlian dan belajar mengelola emosi ketika mengalami kegagalan.

FTM bisa membuat anaknya tidak mandiri, ketika dia selalu melindungi dan menyelesaikan masalah anaknya. WM juga bisa membuat anak tidak mandiri, ketika ia merasa bersalah karena tidak bisa menemani anaknya dan mengganti "waktu" dengan materi dan kemudahan.

Begitu pula tentang apakah anak terperhatikan atau tidak. WM berpeluang untuk tidak bisa memperhatikan anaknya ketika ia berada di luar rumah. Tapi hati-hati, FTM juga bisa saja tidak memperhatikan anak ketika ia sibuk setiap hari dengan tugas-tugas rutin rumah tangga dan mengurus anak-anak lainnya.

Ada anak yang bangga karena ibunya WM. Ia senang karena ibunya memiliki pengetahuan luas, percaya diri, mandiri dan bisa mengikuti perkembangan jaman, dan (jangan heran) ia juga senang karena ibunya sering tampil rapi, bersih dan tidak lusuh.

Ada juga anak yang bangga karena ibunya FTM. Ia senang ibunya selalu berada di sampingnya. Kapan pun dia mau, ibu selalu ada. Ibunya jago memasak, bercerita, bermain dan ia merasa betul-betul terlindungi.

Masih ada banyak kasus-kasus lain terkait anak yang menjadi semakin bias ketika dicari kesalahannya apakah karena WM atau karena FTM. Jangan-jangan kesalahannya memang bukan pada apakah ibunya WM ataukah FTM. Yang jelas, please deh, baik WM maupun FTM tak perlu lagi gontok-gontokan dan saling memojokkan.

Ibu rumah tangga tidak perlu merasa lebih baik daripada ibu bekerja. Saya yakin seorang ibu rumah tangga pada satu titik akan membutuhkan perempuan yang bekerja. Buktinya, ketika hamil ia mencari dokter kandungan perempuan. Ketika sakit ia mencari perawat perempuan. Ketika sibuk ia mencari pembantu perempuan. Ketika anak masuk TK, ia mencari guru perempuan. Ketika di bandara ia lebih suka diperiksa petugas perempuan, dll. Syukuri saja kelimpahan yang dimiliki sehingga memiliki kesempatan besar untuk bisa mendampingi anaknya. Kesempatan untuk melakukan perubahan mulai dari hal mikro.

Sebaliknya pun begitu, seorang wanita bekerja tidak perlu merasa lebih baik dari ibu rumah tangga. Mengatakan bahwa ibu rumah tangga kerjaannya hanya rumpi dan nonton sinetron. Pembicaraannya kurang berbobot karena hanya berputar pada topik anak dan belanja. Syukuri saja kesempatan untuk bisa berkontribusi kepada masyarakat. Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Kesempatan untuk melakukan perubahan dari hal makro.

Saya ingat pelajaran-pelajaran dari Bapak Endang Syaifudin Anshari Alm. saat-saat dulu menikmati aktivitas mahasiswa di masjid Salman ITB. Ama (begitu beliau menyebut dirinya sendiri), senang sekali menggoda para mahasiswi aktivis masjid ini dengan pernyataan “Wanita itu emosional, setuju ....?” Siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju harus memberikan argumennya. Pernyataan itu serta merta membuat pengajian menjadi gaduh. Yang tidak terima, agak emosi menyatakan pendapatnya, menyanggah dengan berbagai macam cara bahwa ia tidak setuju. Ama akan berkata, “Tuh kan bener, wanita itu emosional.” Bahkan yang diam mesem-mesem pun tidak lepas dari godaannya, “Yang diam berarti setuju kan, kalau wanita itu emosional.” Godaan ini selalu berhasil memancing peserta “terpaksa” bicara. Dan menariknya, pada saat bicara itu, Ama akan membimbing para mahasiswi ini untuk berbicara dengan runtut hingga idenya tersampaikan dan dipahami dengan baik. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan. Sekarang saya menyadari bahwa cara Ama adalah cara yang sama seperti orang-orang melakukan coaching saat ini. Ama memang selalu bilang. Bahwa perempuan perlu belajar berbicara dengan jelas, sistematis dan terkendali. Sehingga pesannya bisa dipahami orang lain dengan baik.

Ama prihatin karena perempuan kurang memperoleh kesempatan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Pengajian-pengajian di masa itu biasanya satu arah, para perempuan enggan atau malu bicara dan jarang ada kesempatan tanya jawab. Kalaupun ada tanya jawab, biasanya sedikit pertanyaannya atau pertanyaannya tidak berhubungan langsung dengan topik yang dibahas. Boleh jadi sekarang pun masih ada hal-hal seperti itu, akan tetapi kesempatan untuk bertanya relatif lebih besar. Ama secara tidak langsung mendidik perempuan untuk bersikap kritis dan mengungkapkan pendapatnya dengan baik. Ama ingin ketika perempuan mengambil keputusan atau melakukan sesuatu tindakan adalah karena kesadaran dan tanggung jawab, bukan karena taklid atau kepatuhan buta, bukan karena disuruh orang lain. Karena bagaimanapun semua yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan sendiri bukan oleh orang lain.

Ama Endang Syaifudin Anshari Alm. (semoga amal jariyahnya dalam bentuk ilmu yang diajarkan tetap mengalir menjadi kebaikan baginya), mengatakan bahwa perempuan itu memiliki 4 peran, yaitu;
1. Sebagai seorang anak
2. Sebagai seorang istri
3. Sebagai seorang ibu
4. Sebagai seorang anggota masyarakat

Untuk melakukan peran-peran itu semua maka dibutuhkan kemampuan membagi waktu dan perhatian. Ama tidak bilang bahwa semua harus dilakukan dalam satu waktu bersamaan. Ama juga tidak bilang bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Hanya saja timing-nya harus tepat, dan perlu dimusyawarahkan dengan berbagai pihak terkait saat mewujudkannya. Bisa jadi dengan orangtuanya saat ia menjadi anak, dengan pasangannya ketika ia sudah menikah, atau dengan anak-anaknya ketika ia sudah mempunyai anak.

Ama mengatakan bahwa Allah memberikan karunia dan berkah luar biasa bagi seorang perempuan. Dan itu semua bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya saja, namun juga untuk diamalkan bagi lingkungan dan agamanya.

Jadi bersyukur dan berbahagialah menjadi FTM jangan lupa ada saat-saat untuk juga berkontribusi bagi masyarakat. Bersyukur dan berbahagia juga menjadi WM, jangan lupa ada waktu dan perhatian yang perlu kita berikan juga bagi keluarga, anak-anak dan suami kita.

Yeti Widiati - Oktober 2014

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...