Minggu, 12 Juni 2016

SEKECIL APAPUN KEBAIKAN AKAN MEMBERIKAN PERUBAHAN - yws

Sekitar 12 tahun lalu, saya masih sering turun langsung melakukan pemeriksaan psikologi kepada anak-anak SD di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Itulah mengapa, sekalipun kualitas pendidikan Indonesia tidak merata, namun saya selalu bisa dengan yakin berkata bahwa, anak-anak Indonesia dari ujung Barat hingga ujung Timur itu seperti intan yang belum tergosok atau seperti mutiara yang tertimbun dalam lumpur. 

Saya selalu menemukan anak-anak yang cemerlang di berbagai daerah. Sayangnya mereka tidak selalu memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas, sehingga potensinya tidak tampil optimal. Suatu hari saya pergi ke Ambon. Ambon yang saat itu masih dalam kondisi mencekam karena adanya perselisihan antara kelompok orang yang berbeda agama. Saya tekankan lagi, bukan agamanya yang berkonflik, tapi orangnya. Kota pun seolah terbagi dua dengan garis imajiner. Efek konflik ini begitu buruk terhadap anak. 

Tugas saya adalah mencari dan melakukan seleksi siswa-siswa berlatar belakang sosial ekonomi rendah namun berprestasi untuk memperoleh bea siswa di sekolah bebas biaya di Bogor. Saya masih ingat betul suasana tes di kelas saat itu. Anak-anak nyaris tidak mengikuti perintah yang saya berikan. Selesai instruksi, segera mereka berdiri dan melihat pekerjaan temannya. Sudah sangat otomatis. Sehingga sepanjang pengerjaan tes, mereka mengerjakan sambil berdiri. Tidak ada kepercayaan diri dan tidak ada ketenangan. Mitra kami di Ambon saat itu berkata pada saya, "Ibu salah caranya, ibu terlalu lembut, kalau ibu mau anak-anak itu menurut, ibu harus pukul mereka. Guru-guru di sini memegang penggaris panjang dari kayu saat mengajar untuk memukul anak-anak ..." 

Selesai proses tes yang melelahkan buat saya, karena harus menaikkan level kesabaran lebih tinggi. Saya berbincang dengan mitra Ambon, apa yang menurut dia menyebabkan anak-anak begitu insecure dan mengapa dia menyarankan saya untuk memukul. Menurutnya, bahwa itulah yang terjadi saat itu. Anak-anak tidak akan menurut apabila tidak dikerasi. Di rumah juga demikian. Orangtuanya merasa tidak aman dan nyaman dengan konflik antar pemeluk agama yang terjadi di sana. Sehingga fokus mereka adalah bagaimana mereka menyelamatkan diri dan keluarga. 

Kondisi ini menyebabkan para orangtua tidak cukup sabar menghadapi kerewelan-kerewelan anak. Orangtua mencari jalan short cut untuk membuat anak menurut yaitu melalui kekerasan. Selain di keluarga, anak pun melihat cara penyelesaian masalah dengan kekerasan itu di sekolah dan di lingkungan sosial. Guru mengajar dengan memukul. Penyelesaian perselisihan di jalanan di selesaikan dengan berkelahi dan pengeroyokan. Anak-anak ini melihat alternatif penyelesaian masalah hanya satu, yaitu dengan memaksa dan dengan kekerasan. 

Situasi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di tempat lain di Indonesia. Tidak selalu karena konflik namun menurut saya lebih karena kebiasaan dan budaya. Saya juga membantu sebuah program pelatihan calon guru SD yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Calon guru ini adalah para sarjana yang memiliki ghirah/semangat tinggi untuk berbagi di pelosok negeri. Dari mereka saya kerap memperoleh curhatan mengenai tingginya tingkat kekerasan fisik dan bahkan seksual di berbagai daerah. Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatera, dll. Curhatan dan keluhan mereka sungguh membuat miris dan memprihatinkan. Anak yang sering datang terlambat ke sekolah dan datang dengan muka bengkak dan biru karena dipukul ayahnya. Anak yang menggelendot, tak mau lepas dari gurunya dan bersikap posesif karena merasa menemukan "malaikat pelindung." Anak yang memukul anak lain karena ia terbiasa melihat ayahnya memukul ibunya. Anak yang melakukan pelecehan seksual kepada anak lain yang lebih lemah. Dan banyak lagi cerita yang disampaikan yang membuat saya menghela nafas dengan berat. Dan yang lebih berat lagi adalah ujung pertanyaan yang mereka sampaikan hampir selalu sama, "Jadi apa yang harus kami lakukan, Bu Yeti? 

Saya menyadari betul mereka (dan juga saya) memiliki keterbatasan untuk mengatasi hal-hal yang sudah berurat dan berakar begitu dalam. Mereka sendirian, baru dan masih 'bau kencur.' Tapi mereka punya idealisme tinggi, semangat luar biasa, keinginan berbagi dan dibekali ilmu memadai. Saya perlu berfokus pada kekuatan mereka. Saya menyarankan, "Tugas anda adalah mengajar dengan tawaran cara yang baru, kreatif, dan lebih memanusiakan manusia. Lakukan itu dengan konsisten sehingga anak-anak, guru lain, orangtua dan juga masyarakat yang sudah terbiasa dengan cara lama mengetahui bahwa ada pilihan cara lain untuk mengubah perilaku dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih menyenangkan dan manusiawi. 

Betul bahwa kekerasan bisa mengubah perilaku seseorang, tapi ada luka yang ditinggalkan dan membentuk rantai kekerasan berikutnya. Anda bisa memutus rantai kekerasan itu dengan menginspirasikan cara mengajar dan mendidik yang berbeda. Perubahan mungkin tidak segera karena orang butuh waktu untuk berubah. Tapi percayalah bahwa sekecil apapun kebaikan akan memberikan dampak perubahan. Dan jangan lepas meminta pertolongan dari Allah, karena Dia yang Memberikan Hidayah dan Maha Pemberi Pertolongan" 


Yeti Widiati S. 161015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...